Woles World Legend: Alpha

By dirgita

788 0 0

Tiba-tiba, Tuan Mahrus ingin terjun ke bisnis pengembangan game. Ia minta sekretaris pribadinya untuk menyiap... More

01 - mulai
02 - tester
03 - Ronit
04 - hubus
05 - limiter
06 - fragma
07 - rembesan
08 - rehatsasi
09 - destinasi
10 - akselerasi
11 - tanda
12 - G4
13 - drit
15 - eXP
16 - eye
17 - dream
18 - experience
19 - berat
20 - kabar
21 - kaget
22 - pamit
23 - maaf
24 - ikut
25 - kontrak
26 - aib
27 - request
28 - pasrah
29 - kontak
30 - cancel

14 - ede

23 0 0
By dirgita

Dua puluh tahun lalu, sejumlah universitas dan rumah sakit bekerja sama mengembangkan teknologi yang dapat membaca gelombang otak, memproses dan memanipulasinya, kemudian mengirim balik ke otak. Teknologi itu kemudian diberi nama "eye-dream". Yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan "ede".

Karena pengembangannya mengalami kesulitan dana, maka dibukalah kesempatan bagi pihak-pihak luar untuk ikut berpartisipasi. Beberapa perusahaan tertarik, mayoritas dari sektor hiburan digital. Mereka melihat potensi ede sebagai penerus kacamata VR dan menginginkan hak penggunaan ede untuk hiburan.

Pada akhirnya, kelompok kerja sama pun dibentuk dengan nama ede Global Concorcium atau eGC. Konsorsium itu tak hanya mendanai pengembangan, tetapi juga membentuk dewan standarisasi teknologi. Teknologi ede kemudian dibagi menjadi dua sertifikasi, Domain-I untuk keperluan medis dan Domain-II untuk keperluan selain itu.

Domain-I adalah ede versi lengkap. Teknologinya mencakup kemampuan manipulasi ingatan manusia. Karena itu, semua perangkatnya tidak dapat dibuat dan dijual dengan bebas. Ada otoritas yang mengawasi penerapannya secara ketat. Berbeda dengan Domain-II yang hanya sebatas manipulasi pengindraan. Sebagai anggota eGC, perusahaan yang tergabung di dalamnya memiliki hak istimewa untuk menggunakan teknologi ede di luar keperluan medis.

Namun, penerapan teknologi ede dengan sertifikasi Domain-II juga menelan biaya tidak sedikit. Member eGC lalu membentuk perusahaan patungan bernama Monolith Initiative. Perusahaan itu berfokus pada pengembangan game berteknologi ede beserta perangkat pendukungnya. Maka, lahirlah game berteknologi ede pertama di dunia berjudul Monolith Alternate. Perusahaan ini jugalah yang pertama kali memproduksi hubus secara komersial di bawah merek Monolith.

Dalam perkembangannya, perusahaan patungan itu juga kesulitan keuangan. Member eGC pun bergonta-ganti. Banyak pihak yang skeptis bahwa teknologi ede akan laku di pasaran. Bahkan untuk sekadar survive pun sepertinya sulit karena teknologinya yang begitu mahal. Sampai akhirnya, Velican bergabung dan mengambil alih semua aset Monolith Initiative. Sejak saat itu, perkembangan game berbasis teknologi ede perlahan mulai menjanjikan.

Mendengar penjelasan itu, Dina manggut-manggut. Layar ponselnya sudah terpampang sejarah pengembangan ede dari situs eGC. Akan tetapi, mereka saat ini sedang berjalan menuju sekolah. Bahaya kalau disambi melihat layar ponsel. Ia pun minta didongengi langsung oleh Hamid. Perihal siapa yang sebenarnya menciptakan ede, serta apakah ada hubungannya dengan elite global yang hendak menguasai dunia? Artikel yang ia baca tadi malam membuatnya gundah.

"Sudah jelas, kan?" Hamid menutup ceritanya yang ia coba rangkum sesingkat mungkin. Lagi pula, ia tidak begitu hafal sejarah ede. Masih perlu nyontek. Sesekali melirik layar ponsel.

"Beneran bukan elite global, Mid? Soalnya, kan, nama kelompoknya ada global-globalnya. E-ge apa gitu?"

"E-ge-ce! Iya, ada 'global'-nya, tapi bukan elite global seperti yang kamu baca itu. Disebut global karena anggotanya dari berbagai negara. Indonesia juga ada. Ada tiga perusahaan kalau tak salah. Salah satunya perusahaan om-om yang kemarin ngasih tahu kita cara pilih hubus."

"Om-om elite global." Dina terkekeh.

"Hus!"

"Jadi, ede ini teknologinya aman, ya?"

"Aman. Selagi hubusnya nggak kamu macem-macemin."

"Nggak akan nyedot nyawa kita masuk dalam komputer, kan?"

"Nggak. Impossible itu."

"Tapi di artikel katanya bisa. Katanya setelah nyawa kita disedot, tubuh kita akan dikendaliin elite global."

"Din, kalau kamu bisa browsing dan ketemu artikel hoax kayak begitu, harusnya kamu juga bisa ketemu artikel lain yang lebih bener."

Dina manyun. "Aku mana tahu yang mana bener yang mana nggak, Mid. Aku, kan, baru pertama ketemu yang beginian. Makanya, kamu bantu jelasin."

"Aku sebenernya mau jelasin, sih. Tapi...."

"Tapi?"

Terdengar Hamid menghela. Pemuda itu kemudian berujar, "Benjol yang kemarin masih belum sembuh, loh." Saat digebuk Dina, Hamid terjengkang. Belakang kepalanya membentur kursi.

"Kamu masih belum terima soal kemarin? Sini aku tambahin!" Dina ancang-ancang ingin menghenyak kaki kiri Hamid. Hamid langsung pasang langkah seribu.

Karena keduanya bukan anak yang atletis dan jarang olahraga, mereka sudah ngos-ngosan usai berlari dua puluh meter.

"Bego! Kenapa lari?" Dina menangkap ujung tas Hamid. Punggungnya membungkuk. Dadanya kembang kempis.

"Ya, larilah! Masak ditindas diem aja?" Hamid tak kalah engap.

"Tanggung jawab! Aku lapar lagi ini!"

***

Canggung.

Rozes tiba di klinik Elwa dan mendapati Malika sedang diperiksa. Elwa minta pemuda itu langsung menempati ranjang lain tepat di sisi kiri gadis itu. Elwa akan menempel beberapa sensor pada tubuh Rozes sembari menunggu hasil pemeriksaan tubuh Malika keluar.

Dengan mata yang masih tertuju pada Malika berbalut piama, Rozes merebah. Elwa mulai menempel beberapa elektroda, meminta Rozes mengatur napas, serta menegurnya.

"Malika kemarin, kan, sudah minta maaf."

"Minta maafnya pas aku sedang tidur." Rozes buang muka ke langit-langit.

Elwa tersenyum. Ia tiba-tiba berujar, "Wah, aku ada janji dengan Pak Bay. Aku permisi sebentar." Ia lalu meninggalkan keduanya di dalam klinik. "Jangan cakar-cakaran, ya," pesannya sebelum benar-benar menghilang.

Lagi-lagi, canggung.

Suasana hening.

Hingga kemudian, Malika batuk-batuk.

"Rasain!" seloroh Rozes di sebelah. "Kebanyakan ngopi, sih."

Malika langsung menoleh. Keduanya saling tatap.

Malika batuk lagi.

"Jangan batuk sambil noleh ke sini!" tegur Rozes pula.

Malika buang muka sembari melanjutkan batuk. Melihat punggung gadis itu berguncang-guncang, Rozes pun memprereteli sensor yang sudah dipasang Elwa. Ia turun dari ranjang, mengambil cangkir, dan mengisinya dengan air. Ia sodorkan pada Malika yang sedang berdehem-dehem.

Meski ragu, Malika menerima cangkir dari Rozes. Airnya ia minum beberapa teguk. Setelahnya, ia berterima kasih. Rozes kembali ke ranjang dan memasang elektroda sensor sendiri. Ia sedikit mengomel mengapa staf unit kesehatan yang lain belum datang.

"Ro... Rozes...." Suara Malika akhirnya terdengar usai batuknya mereda.

"Iya."

"Maaf yang kemarin."

Rozes diam.

"Jangan diulangi!" Rozes akhirnya menyahut.

Malika berputar menghadap Rozes.

"Ro... Rozes sudah baikan?"

"Sudah. Tapi, Kak Elwa minta aku datang ke sini untuk diperiksa lagi."

"Aku tes, ya?"

"Ha?"

Malika menarik ponsel dari kocek. Beberapa saat kemudian, ponsel di celana Rozes bergetar.

"A... apa iniiiii?" Rozes menjerit usai membuka pesan yang masuk. Punggungnya kembali menegak. Sementara itu, Malika melompat turun dari ranjang dan bergegas menuju pintu. "Woi! Jangan kabur! Udah dimaafin malah iseng lagi!"

"Aku cuma khawatir." Pintu klinik terbuka. Kelihatan Elwa mondar-mandir di depan sana, kemudian bertampang bengong. "Rozes masih normal, kan?"

"Aku masih normal! Seratus persen normal!" jerit Rozes. "Jadi, jangan permainkan jiwa lelakiku!"

Malika kabur. Setelah ia jauh, Elwa baru sadar belum selesai memeriksa gadis itu. Sementara di dalam klinik, Rozes mengernyit. Ia baru saja menerima dua pesan baru.

"Syukurlah."

"Itu punya Kak Elwa."

Orang yang disebut dalam chat masuk ke klinik. Ia mengomel. Sempat terlontar dari mulutnya akan memasung Malika nanti malam. Dan kalau batuk-batuk lagi, akan ia sumpal mulut gadis itu dengan lakban.

"Kalian sudah baikan, kan?" tanyanya kemudian pada Rozes seraya membetulkan elektroda yang menempel. "Tadi jerit-jerit bukan lagi berantem, kan?"

"Malika makin kurang ajar! Aku tak tahu sampai kapan masih bisa waras."

"Loh?"

Rozes menunjukkan pesan yang masuk. Melihatnya, Elwa langsung istigfar.

"Aku tak menyangka hubungan kalian sudah sejauh itu. Sudah berani kirim-kirim gambar begituan."

"Apanya yang jauh? Dia mengerjaiku lagi. Dia bilang itu punya Kak Elwa!"

"Eh?"

Elwa memperhatikan lagi gambar yang dikirim. Setelah mengamati dengan penuh khidmat, ia pun berkomentar, "Bukan, ah. Punyaku lebih bagus dari itu. Mau lihat?" Elwa memegang kerah jasnya.

Rozes memicing. "Kak Elwa jangan ikut-ikutan. Aku bukan Pak Bay yang tak mudah baper."

Elwa tertawa. Rozes menggerutu.

"Atau jangan-jangan itu punya Malika sendiri?" Elwa seperti ingat sesuatu. "Asetnya lumayan bagus, loh."

"Malika takkan sebodoh itu!" Rozes berbaring. Semua pesan dari Malika sudah ia hapus. Bahaya kalau ada orang lain yang lihat.

Continue Reading

You'll Also Like

327K 2.2K 11
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
1.1M 50.2K 47
(BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Warning! Mengandung unsur kata kasar! Harap bijak dalam memilih bacaan! Suatu hal yang paling buruk bagi Atlantik...
395K 34.8K 55
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
Hostium (END) By Keila

General Fiction

1.2M 57.8K 47
Reanka adalah gadis pendiam dengan sejuta rahasia, yang hidup di keluarga broken home. Di sekolahnya ia sering ditindas oleh Darion Xaverius. Reanka...