Putra Penyihir : Ritual Kemat...

By Ronny_P

84.6K 9.4K 7.2K

Wattys2020 Winner - Fantasi Peter dan Borin, yang pada awalnya hanyalah dua orang pelayan di sebuah kastel ti... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Chuap-Chuap
Putra Penyihir : Fajar Kegelapan
Vote Cover
GIVEAWAY !!!
PENGUMUMAN PRE-ORDER
PO Kedua

Bab 8

2.4K 534 402
By Ronny_P

Hari itu, di ibu kota akan berlangsung sidang dengan tersangka si pencuri kecil. Tuan Gideon beserta istrinya telah diundang untuk hadir sebagai saksi. Persidangan akan diadakan dalam sebuah aula di kompleks kuil. Para gerpa memang diberi kewenangan untuk bertindak layaknya polisi atas pelanggaran terhadap hukum agama maupun kejahatan sipil ringan. Hal itu dimaksudkan agar pasukan kerajaan dapat lebih fokus pada urusan politik dan keamanan.

Sebelum pergi ke aula pengadilan, Aileen mengajak suaminya mampir sebentar ke kuil untuk mendoakan keselamatan putra-putrinya. Meski belum terlalu mengenal kepercayaan Herod, Aileen merasakan adanya ketenangan batin saat berdoa.

Saat itu sepi, para gerpa sudah pergi ke aula pengadilan. Namun, Aileen melihat seperti ada bayangan di situ. Tak terlalu jelas karena mereka bersembunyi di balik tembok batu.

Penasaran, Aileen pun berjalan mendekat sambil berjingkat. Netranya membulat dan napasnya tertahan ketika tampak sosok seorang laki-laki dan perempuan yang sedang berpelukan sambil berciuman. Ia merasa mengenali kedua sosoknya. Itu Bram dan Putri Isabel! Hatinya terperanjat. Sudah sejauh inikah hubungan mereka? Beberapa detik kemudian kedua sejoli itu menyadari kehadirannya dan segera berlari meninggalkan kuil.

Aileen dan Gideon pun saling berpandangan dalam diam—tak tahu apa yang harus mereka lakukan. 

"Anggap saja kau tak pernah melihatnya," lirih Gideon. Lalu mereka pun pergi meninggalkan kuil menuju aula persidangan.

Lima orang gerpa agung hadir sebagai juri. Satu di antaranya adalah gerpa tua yang waktu itu mempersembahkan kurban Tuan Gideon. Namanya Karl Agerd. Ia bertugas sebagai gerpa kepala yang memimpin jalannya sidang.

Raja Agra yang berhalangan hadir kala itu diwakili oleh istrinya, Ratu Julia. Setelah saling menyapa dengan Aileen dan Gideon, mereka pun duduk bersebelahan. Dalam sebuah persidangan, raja atau perwakilannya biasanya hadir untuk mengetahui siapa saja orang yang berpotensi mengganggu keamanan serta ketertiban kota. Raja juga dapat ikut memantau bagaimana hukum ditegakkan.

Keluarga terdakwa juga hadir di situ untuk memberikan kesaksian guna meringankan hukuman yang akan dijatuhkan. Saat itu, si pencuri diwakili oleh ayah dan ibunya. Mereka hanya rakyat biasa yang miskin dan hidup berkesusahan.

"Ke mana putriku? Persidangan sudah hampir dimulai." Ratu Julia menengok ke kanan dan ke kiri mencari Isabel. Putrinya itu tadi ikut bersamanya, tetapi pamit sebentar dengan alasan ingin berdoa di kuil. Gideon memberi tanda kepada istrinya untuk tidak menyampaikan apa yang sudah mereka lihat.

Setelah mencari ke seluruh penjuru ruangan, akhirnya sang ratu menemukan putrinya berdiri bersebelahan dengan Bram di dekat pintu masuk. Huh ... Anak sialan itu lagi, gerutu Ratu Julia. Nampaknya ia tak begitu menyukai sang gerpa muda berhubungan dekat dengan putrinya.

"Kudengar, kau ingin menjodohkan putramu dengan putriku?" tanya Ratu Julia pada Aileen.

"Benar, Yang Mulia. Jika Anda merestuinya," jawab Aileen dengan penuh hormat

"Di mana dia sekarang? Kenapa belum sampai juga? Aku tidak suka ia semakin dekat dengan gerpa itu."

"Aku juga tidak tahu, dia seharusnya sudah tiba minggu lalu." jawab Aileen khawatir.

"Tenanglah, aku yakin ia akan baik-baik saja." Sang ratu mencoba menghibur.

"Jika boleh tahu Yang Mulia, mengapa Anda tidak menyukai gerpa itu?"

"Huh ... ia suka berbuat seenaknya sendiri. Aku curiga belakangan ini putriku sering pergi keluar malam-malam untuk bertemu dengannya. Selain itu, ia hanya seorang anak angkat dari penguasa wilayah utara. Aku tak suka di sana. Hawanya sangat dingin," gerutu sang ratu.

"Meski wilayahnya cukup kaya, mereka terlalu banyak menghamburkan uang untuk kepentingan keagamaan. Jika berkunjung ke utara, kau akan menemukan kuil pemujaan yang lebih megah daripada kastelnya," ungkap Ratu Julia lagi. Nada bicaranya penuh dengan ketidaksukaan.

Wilayah utara memang adalah pusat pertumbuhan kepercayaan Herod. Di sanalah terdapat Gunung Elken, tempat sang filsuf bertapa. Bram sendiri diperintah ayahnya ke ibu kota, selain untuk mengajarkan kemandirian, juga agar dapat membantu menyebarkan kepercayaan tersebut.

Seperti biasa, sang gerpa kepala memulai persidangan dengan doa. Ia membuka kedua telapak tangannya sambil berujar, "Semoga Tuhan memberikan kebijaksanaan bagi kita untuk memberikan hukuman yang adil bagi pendosa dan membebaskan yang tidak bersalah." Setelah itu, Karl memerintahkan seorang gerpa muda untuk membawa terdakwa ke ruang sidang.

"Tolong ampuni hamba ...," rintih sang pencuri ketika dirinya digelandang dan didudukkan di hadapan para juri. Wajahnya tampak amat ketakutan. Tanpa memedulikan permohonan terdakwa, Karl mulai menanyai anak berusia sembilan tahun yang diketahui bernama Henry itu.

"Kau didakwa karena telah melakukan percobaan pencurian. Apakah kau mengakui perbuatanmu?" tanya Karl. Suaranya terdengar tegas dan agak mengintimidasi.

"I ... Iya, Tuan." Dengan suara tercekat, anak itu mengakui segala perbuatannya. Ia beralasan terpaksa melakukannya karena ibunya sakit dan keluarganya mengalami kesulitan keuangan. Hal yang sama juga diungkapkan ayahnya yang turut hadir di situ. Pria yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang kayu itu tak bisa lagi bekerja karena harus merawat istrinya.

Setelah para juri selesai menanyai terdakwa, kini tiba giliran Gideon dipanggil berdiri untuk bersaksi. Ia pun menyampaikan kejadian seperti apa adanya, dan karena merasa kasihan terhadap keluarga Henry, ia menyampaikan bahwa dirinya sudah memaafkan kesalahan anak itu. Ia juga meminta kepada para juri untuk memberikan hukuman yang ringan kepadanya.

Karena semua keterangan sudah selesai disampaikan, kini kelima juri harus memutuskan sanksi apa yang sesuai untuk kejahatan tersebut. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan lain untuk berdiskusi selama beberapa saat. Seketika itu, ruang pengadilan terasa lebih riuh. Orang-orang bergunjing mengenai hukuman yang layak untuk Henry.

"Ia masih kecil, kasihan sekali," gumam seseorang yang hadir di situ.

"Tapi pencuri tetaplah pencuri. Jika dibiarkan, ia tidak akan belajar dari kesalahannya," tanggap yang lain.

"Sudah, percayakan saja pada para juri." Seseorang berusaha menengahi.

Selain dihadiri oleh pihak-pihak terkait, rakyat umum pun boleh mengikuti jalannya persidangan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat juga bisa belajar nilai-nilai keadilan dari ajaran agama Herod. 

Setelah beberapa menit, kelima juri pun kembali ke ruang pengadilan. Tampaknya keputusan telah diambil.

Karl mengangkat tangan untuk menenangkan para hadirin lalu berbicara, "Kami sudah mengambil keputusan. Sebagai peringatan, kau akan dijatuhi hukuman cambuk lima kali di tangan kanan!" 

Hukuman tersebut dirasa sudah cukup, mengingat terdakwa yang masih muda dan mau bersikap kooperatif. Selain itu, kondisi keluarganya yang kesulitan ekonomi juga menjadi pertimbangan untuk tidak menjatuhkan hukuman potong tangan yang biasanya diberikan untuk para pencuri. Meski merasa keberatan dengan hukuman yang diberikan, pihak keluarga tak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Kau harus ingat bahwa mencuri adalah sebuah kesalahan! Jika kau berkekurangan, mintalah bantuan ke kuil! Kami akan berusaha membantu," tegas Karl. Ia ingin menyampaikan pesan bahwa selalu ada cara untuk keluar dari permasalahan hidup tanpa melanggar hukum. Setelah itu, ia pun memerintahkan agar hukuman dapat segera dijalankan.

Para gerpa yang masih muda dengan sigap membawa si pencuri keluar dari ruang persidangan ke halaman untuk dieksekusi. Mereka mengikat tangan Henry pada sebuah balok kayu dan memaksanya berlutut. Anak itu menatap ayah ibunya dengan mata berkaca-kaca karena takut. Tubuh mungilnya gemetar, bahkan sebelum hukuman dijatuhkan. Seorang gerpa yang bertubuh besar pun maju dengan membawa sebatang tongkat cambuk.

"Tolong, ampuni aku ...," pinta Henry yang masih berusaha memohon belas kasihan. Namun, sang gerpa tidak menggubrisnya. Ia hanya bertugas melaksanakan perintah. Setelah Karl memberikan isyarat, sang algojo pun tanpa ragu mengayunkan tongkat cambuknya mengenai tangan kanan Henry. Jeritan pilu sontak terdengar menyayat hati. Tangan si pencuri pun bergetar semakin kencang. Air matanya meleleh karena menahan sakit.

Seolah tak mau membiarkan terdakwa memperoleh keringanan sedikit pun, sang algojo langsung mengayunkan cambukan kedua. Henry pun berteriak semakin histeris.

"To ... tolong ... hentikan." Ayah Henry menghambur berlutut di hadapan sang algojo. Ia tak sanggup membiarkan anak yang dikasihinya diperlakukan sekeji itu. Namun, ia tak berdaya ketika gerpa lain yang ada di situ segera menariknya keluar.

Cambukan ketiga mengenai tempat yang sama seperti cambukan sebelumnya. Darah pun mengalir dari luka-luka yang diakibatkan oleh pukulan sang algojo. Wajah dan mata Henry memerah menahan sakit. Namun anak itu cukup kuat, ia tidak kehilangan kesadarannya.

"Aku tak dapat melihat ini lagi. Ayo kita pergi." Aileen yang sejak tadi menutup matanya mengajak suaminya pergi dari situ. Mereka pun berpamitan dengan ratu Julia yang nampaknya sudah terbiasa dengan hukuman semacam itu.

Aileen dan Gideon pun berjalan meninggalkan halaman kuil. "Apakah menurutmu hukuman itu adil?" tanya Aileen meminta pendapat suaminya.

"Sebenarnya aku merasa sangat kasihan padanya, tetapi ... ya, sepertinya hukumannya cukup adil. Dengan keadaan di mana hanya sedikit aparat yang bertugas menjaga keamanan kota, hukuman seperti ini bisa memberikan efek jera bagi mereka yang berpikir untuk melakukan kejahatan."

"Tapi bukankah ini dapat menimbulkan dendam terhadap pemerintah?" tanya Aileen lebih lanjut.

"Bisa jadi, tapi keluarga mereka tak memiliki kekuatan untuk membalas dendam. Akan lain ceritanya jika sang pelaku kejahatan adalah seseorang yang berpengaruh. Hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas adalah praktek yang lazim dalam pemerintahan."

"Kita beruntung terlahir dalam lingkungan bangsawan. Terkadang aku merasa kasihan dengan mereka yang lahir sebagai rakyat miskin. Sepertinya aku merasa ada yang salah dengan sistem pemerintahan kita. Ini terasa tak adil." Aileen mengungkapkan perasaannya.

"Ya mungkin kau benar, tetapi kurasa dunia memang tak pernah adil." Gideon memegang tangan istrinya dan melanjutkan perjalanan kembali ke kastel.

***

Sementara itu, Eric terus memacu kudanya menuju ibu kota. Pikirannya fokus pada tujuannya untuk segera sampai di Kingsfort demi mendapatkan bantuan. Ia hanya berhenti sesekali karena lapar dan lelah. Kala itu, hari sudah mulai gelap. Namun, berbeda dari hari-hari sebelumnya, ia tak dapat menemukan penginapan di sekitar situ. Meski sebenarnya masih ingin melanjutkan perjalanan, ia terpaksa berhenti karena kudanya sudah terlalu lelah. Binatang itu tak mau melangkah lagi. Eric pun tak punya pilihan selain memberikan kesempatan bagi kudanya untuk beristirahat.

Eric menuntun binatang tunggangannya ke padang rumput untuk makan, sementara ia sendiri berbaring untuk beristirahat di bawah pohon. Ia cukup heran mengapa tak ada kedai di sekitar situ. Beruntung, bekal roti yang dibelinya siang tadi masih tersisa untuk mengganjal perutnya yang mulai lapar. Angin yang bertiup sepoi-sepoi membuat tubuh lelahnya menjadi rileks. Tak lama kemudian, ia pun tertidur lelap di situ.

Menjelang tengah malam, tiba-tiba suara gemeresak rumput membangunkan Eric dari lelapnya. Sang kesatria pun terjaga dalam waspada. Ada perampok, begitu pikirnya. Sekelebat bayangan hitam muncul dan menghilang dari balik pepohonan. Ada tiga orang ... tidak, ada empat ... atau lima. Ia pun mengeluarkan pedang dari sarungnya. Matanya bergerak ke kanan, ke kiri, lalu menengok ke belakang. Badannya berputar mengikuti bayangan hitam yang terus bergerak dari pohon ke pohon.

Para penjahat itu bergerak semakin mendekat. Beberapa detik kemudian, Eric melihat sebilah pisau terbang melayang ke arahnya. Bunyi nyaring logam beradu terdengar ketika sang kesatria berhasil menangkisnya. Reputasinya sebagai kesatria handal bukan omong kosong belaka.

Serangan berikutnya, yang datang dari belakang sanggup ditangkisnya. Dengan sigap, ia membalas serangan itu dengan tendangan ke dada lawan. Satu lawan jatuh tersungkur namun dua lagi segera menyergap, dari kanan dan kiri. Eric menangkis sabetan pedang dari sisi kanannya sambil menghindari serangan lain yang menyasar lehernya.

Dua orang lagi menyergap dari belakang. Eric tidak gentar. Tubuhnya condong ke belakang, menahan pukulan yang datang dengan pundaknya—membuat sabetan lawan terhenti di situ. Sikutnya bergerak cepat menghantam perut dua lawannya yang segera merintih kesakitan.

Sang kesatria bergerak mundur mengambil jarak sementara para penjahat itu melangkah sedikit demi sedikit membentuk lingkaran untuk mengepung Eric. Wajah mereka semua tertutup kain hitam seperti layaknya penjahat yang tak ingin identitasnya terbongkar.

Serangan berikutnya datang lagi dari belakang. Eric memutar badannya ke samping untuk menghindari tebasan dari atas lalu menjatuhkan badannya ke belakang untuk menghindari serangan lain. Melihat adanya pertahanan terbuka, kakinya sigap menendang kepala lawanny, membuatnya mundur terhuyung.

Eric berguling-guling di tanah sambil terus menghindar. Melawan lima orang dalam kegelapan hutan bukan perkara mudah, bahkan untuk seorang petarung handal seperti dirinya. Ia tak bisa mendapatkan kesempatan untuk melancarkan serangan mematikan. Ketika akhirnya berhasil berdiri lagi, seorang lawan kembali menyerang. Ia dapat menahan serangan itu dengan pedangnya. Logam dengan logam beradu menimbulkan percikan api.

Atas, bawah, kanan, kiri, serangan itu datang silih berganti tiada henti. Eric Menangkis, melompat, menunduk dan berguling untuk dapat bertahan. Lama kelamaan, tubuhnya mulai lelah dan napasnya memburu. Terus menerus menghindar bukanlah solusi, pikirnya. Mengerti bahwa tak ada kesempatan menang, ia pun mencari peluang untuk kabur. Ia berusaha berlari secepat mungkin, namun para penjahat itu bergerak dengan gesit untuk kembali menghadang dan mengepungnya.

Eric berhasil menangkis beberapa serangan yang datang kemudian. Bunyi berkelontangan nyaring pun kembali terdengar. Dalam kelelahannya, Eric melihat sebuah kesempatan kecil untuk menyerang. Ia pun menebas dengan pedangnya mengenai tubuh lawan. Meski berhasil merubuhkan satu lawan, serangan itu membuatnya sedikit lengah terhadap pertahanan. Seorang perampok yang lain berhasil melukai kaki nya dengan pedang. Eric pun menjatuhkan dirinya sambil berguling untuk menghindari serangan berikutnya yang lebih mematikan.

Sambil menahan sakit, Eric berusaha berdiri lagi dan mengacungkan pedangnya. Peluang kabur sepertinya sudah tertutup. Ia tak mungkin bisa meloloskan diri dengan kondisi kakinya yang terluka. "Serahkan semua yang kau punya!" Seorang penjahat berkata dari balik kain yang menutupi mulutnya.

"TIDAK AKAN!" Eric menolak dengan tegas meski kondisinya sudah semakin lemah. Sebagai seorang kesatria, tak ada kata menyerah dalam kamusnya.

"Kalau begitu kami akan mengambilnya dengan paksa." Mendengar jawaban dari sang lawan, empat orang penjahat yang tersisa itu menyerbu dengan pedang terhunus. Eric pun harus kembali mengayunkan pedangnya untuk menahan serangan yang datang dari berbagai arah. Kakinya yang terluka membuat tubuhnya kini tak bisa bergerak sempurna.

Dentang pedang beradu kembali terdengar nyaring memecah keheningan malam. Eric terus menangkis dan menghindar. Dalam sebuah kesempatan, ia berhasil menyabet lengan seorang lawannya. Namun, itu bukan luka yang fatal. Penjahat itu masih bisa melancarkan serangan berikutnya bersama dengan tiga kawannya yang lain.

Eric terus menangkis sambil bergerak mundur untuk menjaga jaraknya dari para perampok itu. Malang, karena gelapnya malam ia tak melihat sebuah akar melintang di kakinya. Ia pun jatuh telentang. Pertahanannya terbuka lebar. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, salah seorang panjahat langsung menusuk paha kiri sang kesatria yang seketika menjerit kesakitan.

Meski lukanya amat dalam, Eric belum mau menyerah. Ia menyabet leher lawannya dan menewaskannya seketika. Tiga orang penjahat yang tersisa pun maju menyerang dengan garang. Dengan luka menganga di kakinya, kini ia sudah tak mampu berdiri lagi. Sang kesatria itu pun terpaksa menahan berbagai serangan lawannya dalam posisi terduduk—yang sama sekali tidak ideal.

Meski sudah berusaha sekuat tenaga, melawan tiga orang bersenjata dalam kondisi tubuh yang sudah lelah dan terluka parah, Eric tidak memiliki kesempatan. Seorang penjahat berhasil menusuk bahu kanannya dari belakang. Sang kesatria pun menjerit sekali lagi. Pedangnya terlepas dari genggamannya dan jatuh berkelontangan ke tanah. Sebuah tendangan keras menyusul kemudian mendarat tepat di wajahnya. Ia pun jatuh tersungkur bersimbah darah.

Tak sampai di situ saja, seorang penjahat lain menginjak luka di paha Eric, membuatnya berteriak kesakitan. Tangannya meronta dan memukul-mukul tanah. "BUNUH SAJA AKU!!" Eric pun tak sanggup lagi menahan rasa sakit itu. Mulutnya terasa amis karena banyaknya darah, matanya berkunang-kunang dan tubuhnya berkeringat dingin.

"Ambil semuanya!" Penjahat yang menginjak kaki Eric itu berkata pada teman-temannya. Seorang perampok kemudian mengambil satu kantong emas pemberian Ogier, sementara seorang yang lain mengambil pedangnya. Mereka tahu kualitas pedang Eric sangat bagus.

Setelah itu, seorang penjahat berniat membunuh Eric namun dicegah oleh kawannya. "Biarkan saja dia menderita lebih lama dan mati kehabisan darah." Ia lalu menusuk paha kanan Eric untuk memastikannya tak bisa pergi kemanapun. "Jangan lupa dengan kudanya yang masih tertambat di sana". Mereka pun pergi meninggalkan korban yang tergeletak lemah dan hampir mati.

Kini Eric tinggal seorang diri di tengah gelapnya malam. Ia merintih pelan karena kesakitan. Luka-luka tusukan di kedua kaki dan bahunya ditambah pendarahan di hidung dan mulutnya terasa begitu nyeri. Tubuhnya yang lemah sudah tak dapat digerakkan. Ia pun menggigil kedinginan, tanpa tahu lagi hal itu disebabkan karena angin malam yang berhembus kencang, atau karena tubuhnya telah kehabisan banyak darah.

Dalam keputusasaan, kesadarannya mulai berkurang. Pandangannya pun terasa semakin gelap. Apakah aku akan mati sekarang? gumamnya dalam hati. Ketika hari menjelang subuh, ia tak kuat lagi hingga akhirnya kegelapan total menyelimutinya, mematikan seluruh indranya.

Continue Reading

You'll Also Like

117K 29K 118
Kisah-kisah yang entah puitis, humoris, sarkastis, atau optimistis; bercokol di antara enigma dan ambiguitas :.:.: ( ~'-')~ Oracular: 30 Daily Writ...
279K 735 9
konten dewasa 🔞🔞🔞
173K 11K 19
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...
202K 8.1K 61
"Denger ya! Apapun yang gue inginkan itu hak gue dan itu adalah kewajiban lo buat menuhin perintah gue!" tegas Adelard. "Harus?" tanya Dasha. "Harus...