Putra Penyihir : Ritual Kemat...

De Ronny_P

84.5K 9.4K 7.2K

Wattys2020 Winner - Fantasi Peter dan Borin, yang pada awalnya hanyalah dua orang pelayan di sebuah kastel ti... Mais

Bab 1
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Chuap-Chuap
Putra Penyihir : Fajar Kegelapan
Vote Cover
GIVEAWAY !!!
PENGUMUMAN PRE-ORDER
PO Kedua

Bab 2

5.3K 951 739
De Ronny_P

Pagi itu Gideon dan Aileen berangkat ke ibu kota bersama beberapa kesatria yang akan bertanding dalam turnamen Kerajaan. Karena Fortsouth dan Kingsfort terpisah oleh Laut Tangal, rombongan Gideon harus berlayar menggunakan kapal. Untuk sementara, segala urusan pemerintahan di Pulau Yaendill dipegang oleh Arden, sang penasihat. Ia juga akan bertanggung jawab atas perubahan sikap Ramos.

Suatu hari, Arden pergi bersama Ramos ke hutan untuk menemaninya berburu. Sebagai pelayan, Borin pun ikut juga dalam rombongan. Karena sering berlatih dan ikut berburu bersama Gideon, Ramos sudah cukup mahir dalam menggunakan senjata.

Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah dataran yang agak tinggi di tengah hutan. Dari situ terlihat seekor rusa jantan yang sedang merumput di area yang lebih rendah. Mendapatkan buruan, Ramos segera bersiap dengan busur dan panahnya.

Matanya tajam membidik, tarikannya kuat dan terarah. Anak panah itu pun melesat cepat dan tepat mengenai jantung rusa malang yang seketika rebah ke tanah. Senyum puas tersungging di bibir sang tuan muda.

"Cepat bereskan hasil buruanku!" Ramos memerintahkan Borin yang segera bergegas menuruni lereng.

"Tolong," sambung Ramos tiba-tiba. Ia memahami bahasa tubuh Arden yang tersenyum kepadanya penuh arti.

Borin menoleh sejenak. Ia tampak keheranan setelah mendengar apa yang baru saja diucapkan tuannya. Beberapa detik kemudian, barulah ia berbalik untuk melanjutkan langkahnya menghampiri si rusa malang. Sambil mengangkat bahu, seulas senyum tercetak di bibir Borin. Seumur hidupnya, baru kali ini ia mendengar kata 'tolong' terucap dari bibir Ramos.

Setelah puas mendapatkan hasil buruan, Ramos memutuskan untuk kembali ke kastel. Ketika itu hari sudah mulai gelap dan Borin pun kembali berkumpul bersama para pelayan.

Malam itu berjalan seperti malam-malam biasanya. Peter duduk bersebelahan dengan Borin sambil sesekali mencuri pandang ke arah perempuan pelayan berkerudung di seberang ruangan. Sambil menikmati makan malam, Borin pun menyampaikan perubahan pada diri Ramos yang dirasakannya dalam beberapa hari terakhir.

"Sepertinya Ramos sudah berubah ...."

Peter terdiam sejenak berusaha mengartikan apa yang dimaksud oleh sahabatnya. "Berubah bagaimana? Apakah sekarang ia juga memakimu karena kau bernapas?" jawab Peter sinis.

Borin menarik sebelah bibirnya ke samping sambil melirik ke arah Peter. "Dasar menyebalkan," ujarnya sambil menyikut Peter pelan. "Bukan begitu, kurasa dia menjadi sedikit lebih baik belakangan ini. Dia tidak kasar seperti biasanya dan bahkan sempat mengucapkan 'tolong' ketika memintaku melakukan sesuatu."

"Oh ya?" Peter menyangsikan hal tersebut. Ia tidak merasa ada perubahan berarti pada tuan mudanya itu. Pandangan dingin dan aura kebencian masih selalu ia rasakan ketika berpapasan dengan Ramos di beberapa kesempatan.

"Sungguh! Untuk apa aku bohong padamu?" Borin menegaskan ucapannya. "Itu bahkan terjadi beberapa kali. Ketika ia memintaku menuangkan minuman atau membersihkan ruangannya. Bahkan, dia pernah sekali meminta maaf kepadaku setelah marah karena rambutku berantakan."

"Mungkin ia terkena pengaruh sihir," sahut Peter sekenanya. Ia memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan tersebut karena malam telah larut. Anak itu pun bergegas menghabiskan makanannya dan terlelap tak lama kemudian.

***

Sepuluh hari berselang, Gideon beserta rombongan akhirnya tiba di ibu kota. Mereka langsung menuju ke ruang takhta kerajaan untuk menemui Sang Raja. Di sana semuanya tampak serba mewah. Pilar-pilar menjulang dihiasi ukir-ukiran beraneka bentuk. Kaca-kaca jendela besar membuat ruangan menjadi terang memancarkan keagungan. Bendera biru putih dengan gambar mahkota dan pedang terpasang menghiasi dinding batu. Sementara itu, sang raja duduk penuh wibawa di singgasananya yang terbalut oleh beludru merah.

"Yang Mulia." Gideon beserta Aileen menyapa sang raja sambil membungkukkan badan tanda hormat.

"Gideon ... Apa kabar? Kau tampak luar biasa." Agra segera bangkit dari singgasananya dan menuruni podium untuk menyapa kawan lamanya. Selama beberapa saat, keduanya berpelukan erat.

Setelah itu, sang raja ganti menyapa Aileen. "Lihat Istrimu ... ia tampak semakin cantik saja." Sang raja menepuk bahu Aileen seraya menyunggingkan senyum lebar, membuat wanita itu hanya bisa menunduk malu-malu.

"Terima kasih atas sambutan hangatnya, Yang Mulia. Semua baik-baik saja di Selatan. Rakyat sejahtera dan hasil panen melimpah." Gideon menyambut bahagia salam dari rajanya. "Ini ada sedikit persembahan dari kami." Gideon mengayunkan tangan dan memberi kode kepada para pelayannya. Tak lama kemudian, empat orang tampak kepayahan membawa sebuah peti besar penuh dengan emas, perak dan mutiara.

"Terimalah, Yang Mulia. Tanda terima kasih kami atas kerja sama baik yang telah terjalin selama ini," ujar Gideon sopan.

"Tentu saja, Kawan. Bertahun-tahun kondisi negeri damai dan tenteram karena peran besarmu menjaga keamanan di Pulau Yaendill." Sang raja pun memberi kode kepada para pelayannya untuk membawa persembahan itu ke ruang penyimpanan.

"Baik, kau pasti lelah setelah perjalanan jauh menyeberangi laut Tangal," ujar Agra. Ia lalu berpaling pada salah seorang pelayan. "Antarkan mereka ke kamar peristirahatannya!" perintahnya.

"Terima kasih, Yang Mulia." Gideon dan Aileen membungkuk sekali lagi sebelum pergi meninggalkan sang raja dan melangkah menuju tempat peristirahatannya.

Sementara itu di Fortsouth, Peter terus berlatih bersama Eric. Beberapa hari terakhir, kesatria itu mencoba melatih Peter menggunakan tongkat. Meski belum dapat mengimbangi kemampuan sang kepala pasukan, Peter merasa lebih nyaman menggunakan tongkat. Kemampuan dan kepercayaan dirinya pun kian meningkat.

Suatu ketika, Gladys bersama pelayannya berjalan melewati halaman kastel. Peter yang sedang beraltih tanding dengan Eric tak kuasa mengendalikan matanya untuk tidak melirik kedua perempuan cantik itu. Karena kehilangan fokus, Eric dengan mudah memukul bahu Peter yang segera mengaduh.

Gladys yang melihat kekonyolan Peter itu lalu tertawa kecil.

"Dasar bodoh! Kau akan mati jika bertarung seperti itu." Eric memarahi Peter.

"Maaf," sahut Peter. Ia tertunduk malu sambil mengusap-usap bahunya yang memar akibat pukulan Eric. Ketika itu, Ramos tiba-tiba muncul entah dari mana dan mendorong Peter hingga terjatuh.

"Kurang ajar! kau berani main mata dengan adikku?!" hardik sang tuan muda dengan berang. Ia segera mengambil tongkat Peter yang tergeletak di tanah dan bersiap memukul.

Kepala Peter mungkin sudah remuk jika saja Eric terlambat menahan amukan sang tuan muda. Dikuasai oleh emosi, Ramos berusaha mendorong Eric sekuat tenaga. Namun, kesatria itu tetap diam.

Ramos, dengan suasana hatinya yang amat buruk, mendengkus kasar lalu membuang tongkat dari tangannya. Ia pergi meninggalkan Peter yang masih rebah di tanah.

"Mengapa ia begitu murka? Sepertinya ia sangat membenciku, padahal aku tak pernah mengganggunya?" tanya Peter keheranan.

Eric membantu Peter berdiri sebelum menjawab, "Mungkin itu karena ayahmu telah membunuh ayahnya."

Jawaban Eric itu sontak menimbulkan tanda tanya besar di benak Peter. Matanya membulat sementara mulutnya ternganga keheranan. Sebuah informasi mengejutkan baru saja terekam dalam otaknya.

"Ayo ikut aku!" Eric lalu mengajak Peter pergi ke kediamannya. Ia tahu, anak itu tidak akan puas dengan jawaban singkatnya tadi.

Mereka berdua pun duduk di lantai batu, terdiam selama beberapa saat. Eric menenggak air dari kantong minumannya sambil menyeka keringat di wajahnya.

"Jadi?" Peter menatap Eric menuntut penjelasan.

Eric mendesah pelan lalu balik menatap Peter. "Tuan Gideon bukanlah ayah Ramos yang sebenarnya. Ia adalah Paman sekaligus Ayah angkatnya," jelas Eric memulai ceritanya.

"Ayah kandungnya adalah Tuan Gilbert Fernir. Kakak Tuan Gideon sekaligus penguasa Fortsouth." Peter hanya diam sambil mendengarkan cerita Eric dengan seksama.

"Malam itu, enam belas tahun yang lalu, ibumu sedang terbaring di peristirahatannya menanti kelahiranmu. Tiba-tiba muncul sebuah kilatan cahaya ungu yang melesat dari atas tembok kastel dan membunuh Tuan Gilbert yang ketika itu berada di halaman sedang bermain-main dengan Ramos kecil." Eric berhenti sejenak dan menenggak kembali minumannya. "Kami segera berlari menuju asal cahaya tersebut dan menemukan ayahmu. Ia sudah mati sambil menggenggam tongkat sihirnya."

Tenggorokan Peter terasa mengering. Kepalanya panas, tapi tubuhnya menggigil.

"Ayahmu adalah kesatria sekaligus seorang penyihir. Ia yang seharusnya menjaga Tuan Gilbert." Pandangan Eric menerawang.

***

Turnamen kerajaan telah berlangsung selama beberapa hari dan kini mencapai puncaknya. Delapan orang kesatria tampil ke depan dan membungkuk menghormati Raja. Setelah seorang petugas memberi aba-aba, mereka segera bertanding satu sama lain menggunakan pedang tumpul. Satu demi satu kesatria dinyatakan kalah karena terkena tiga kali pukulan. Dan pada akhirnya, pertandingan menyisakan dua orang petarung; Ballmer dari Bergstone dan George dari Fortsouth.

Mereka bertarung sengit satu sama lain. Ballmer berhasil menangkis serangan George menggunakan perisai dan membalasnya dengan sebuah tendangan. Lawan pun mundur terhuyung ke belakang. Tanpa menunggu lawan siap, Ballmer langsung menebaskan pedangnya menyasar pundak. George menghindar dengan sigap sambil mengayunkan pedang mengenai punggung Ballmer.

Pertarungan itu nampak seimbang, hingga akhirnya, setelah bergerak memutar menghindari serangan lawan, Ballmer berhasil memosisikan pedangnya di leher George. Para penonton pun bertepuk tangan riuh. Sang pemenang kemudian mempersembahkan kemenangannya dengan membungkuk kepada raja.

Raja Agra turun dari tempatnya dan menyerahkan sekantong emas sebagai hadiah atas kemenangan Ballmer. "Selamat atas kemenanganmu! Reputasi para kesatria Bergstone memang sudah terkenal di seantero kerajaan."

"Terima kasih, Yang Mulia. Anda terlalu menyanjung," sahut Ballmer sopan.

Setelah pertandingan berakhir, Raja Agra mempersilakan seluruh tamunya untuk menghadiri pesta kebun. Hari itu memang bertepatan dengan ulang tahun ke sembilan belas Putri Isabel. Ia tampak sangat cantik dalam balutan gaun hijau muda. Rambut pirang lurusnya dibiarkan tergerai lepas menambah kesan anggun dari seorang wanita yang beranjak dewasa. Banyak kesatria yang terpesona akan kecantikan sang Putri dan berusaha menarik perhatiannya.

"Mari bersulang!" Sang raja mengangkat gelas anggurnya diikuti oleh para bangsawan dan kesatria yang hadir di situ. Bermacam-macam hidangan tersaji lengkap di sebuah meja panjang berhiaskan bunga-bunga. Semua orang bebas mengambil apa pun yang mereka mau. Suasana meriah pun semakin lengkap dengan iringan tembang yang dimainkan oleh sekelompok musisi berbakat.

Sang Raja kemudian berjalan berkeliling untuk menyapa para tamunya. Ia mendekati Gideon lalu menyodorkan segelas anggur. "Cobalah, ini lezat sekali."

"Terima kasih, Yang Mulia." Gideon mengecap anggur itu sambil mengangguk-anggukan kepala menyetujui selera rajanya.

"Bagaimana anak-anakmu?" tanya Raja Agra lagi.

"Mereka baik, Yang Mulia." Seketika itu Gideon merasa saatnya tepat untuk menyampaikan niatnya melamar sang putri. Ia lalu berkata, "Saat ini putraku Ramos sudah cukup usia. Ia juga anak yang cakap. Maafkan kelancanganku jika merasa bahwa ia dapat menjadi pasangan yang tepat untuk kecantikan sang putri."

Raja Agra terdiam sejenak. Ia mengangguk pelan sambil mengelus janggut pendek yang tumbuh di dagunya.

"Saat ini banyak bangsawan dan kesatria yang mengajukan lamaran untuk putriku ...." Sang raja tersenyum sekilas sambil menatap Gideon. "Tapi apalah artinya mereka jika dibandingkan denganmu sang penguasa pulau Yaendill."

Sambil menepuk pundak Gideon, Raja Agra berkata lagi, "Ajaklah dia kemari dan biarlah putriku memutuskan apakah dia menyukai putramu. Anak perempuan sulit diatur jika sudah menyangkut urusan hati."

"Baik,Rajaku." Gideon tersenyum menyambut gembira undangan raja bagi putranya.Ia pun segera meminta seorang ajudan untuk mengirimkan pesan ke Fortsouthmenggunakan seekor merpati.

Continue lendo

Você também vai gostar

Lou Length De Mrs. Black

Mistério / Suspense

32.1K 3.4K 34
Diam di rumah ketika matahari terbenam. Atau kau mau pergi menjelajah dunia malam. Tajamkan pendengaran, penglihatan, dan bakat tersembunyi. Fokus, k...
210K 32.9K 35
[SUDAH TERBIT DAN TERSEDIA DI TOKO BUKU] Enchanting cover by @fairygraphic [15+] Alamanda Garthran, sang penyihir abadi, terbangun dari tidur panjang...
136K 16K 29
BUKU KEDUA MIND TRILOGY Beberapa hari setelah kematian semua kecerdasan buatan, empat manusia terakhir harus menghadapi kehidupan yang berat dengan s...