Imaji dalam Kata

By inariwritingproject

3.3K 205 14

Kumpulan cerita pendek penulis Penerbit Haru More

Second oleh Kern Amalia (@dityakai)
Secangkir Memoar oleh Endina Artha
Kopi-Kopi Sofi oleh Amina Sy
Bad Dream oleh Afaanin Ulayanisa
A Cup of Tea oleh Elisabeth Cindy (@KuroyukiAlice)
Melody from My Heart oleh Fika Widya Sari
FATE oleh Eria Nova
Coffee and Milk oleh Denaner Pratama (@vierseason)
Gerimis di Jendela oleh David Lee (@itsdavidguys)
Kick oleh David Rohadi
Sang Pengkhianat oleh Hanna A. Santoso
Bait Terakhir oleh Ade Agustia Putri
A Risk oleh Des Indriani S
Bertahan oleh Ade Agustia Putri
Rumah Gudang oleh Bayu Febriyanto

Darren Bodoh oleh Fitria Meilia

104 9 1
By inariwritingproject

Aku punya perhitungan sendiri dalam menilai seseorang. Kalau manusia tidak ada yang sempurna, sederhananya aku tinggal mengklasifikasikan manusia berdasarkan tiga hal: Visual, inteligensi, dan sifat.

Aku menemui orang cantik yang pintar tapi suka membanggakan diri. Teman sebangkuku dulu, cantik dan taat ibadah tapi lemot. Ada orang positif yang penuh semangat menjaga peringkatnya sampai lupa menjaga kebersihan diri. Ada yang suka membuang uang untuk kesenangan, sama sekali tidak memperhatikan nilai sekolah apalagi mengurangi kebiasaan negatifnya. Ada orang sederhana tanpa keistimewaan apa pun, tapi selalu dikelilingi teman karena keramahannya.

Kalau aku? Postur tubuhku pendek dan berdada rata, wajahku menyeramkan nan pasaran. Karakterku individualis, tidak tahu diri, menyebalkan. Dan sudah berhenti pintar semenjak terjangkit penyakit malas awal masuk SMA.

Benar. Orang yang hanya memiliki satu-dua kelebihan itu banyak, orang tanpa satu pun dari tiga kelebihan itu juga banyak. Tapi orang yang memiliki tiga kelebihan itu jarang.

Walaupun tidak ada manusia sempurna, marikita sebut orang yang punya tiga kelebihan ini si sempurna. Perlu contoh? Contoh si sempurna yang kumaksud itu yang sedang berdiri di samping mejaku sekarang.

"Pinjam pulpenmu." Si sempurna membuka tangan kanannya, berharap aku akan mengikhlaskan salah satu pulpen kebanggaanku.

Aku memeriksa tas bagian depan sebagai formalitas orang yang akan meminjamkan. Begitulah, tidak seperti gadis normal yang punya wadah pensil lucu, aku menaruh semuanya menjadi satu di tas depanku. "Tidak ada."

Si sempurna hanya bergeming.

"Nanti hilang," ucapku terus terang, "tidak bisa."

"Pinjam punyaku saja, Darren." Salah satu perempuan di depan mejaku, sebut saja Mawar, menawarkan pulpen merah muda berhias flamingo di puncaknya.

"Pakai punyaku saja." Seorang perempuan muncul di samping meja perempuan yang meminjamkan flamingo itu, namanya Anggrek, menyodorkan pulpen berwarna hitam.

"Aku yang menawarkan lebih dulu." Protes Mawar.

"Mana mungkin Darren pakai pulpen seperti itu." Anggrek mendengkus.

"Memang punyamu lebih bagus dari punyaku? Pulpenmu itu terlalu standar!"

"Pulpenmu itu yang terlalu jauh dari standar!"

Singkatnya, si sempurna bernama Darren selalu menjadi rebutan perempuan yang mengenalnya. Ngomong-ngomong, meski sekelas, aku tidak mengenal Darren. Aku bisa melihat visual dan kepintarannya, tapi aku tidak tahu bagaimana karakter aslinya.

Aku mencari kedamaian. Mencoba berguna dalam kelompok. Mengobrol saat diperlukan. Menolong karena suatu saat akan ditolong. Bersikap baik agar dibalas baik. Dengan begitu aku tetap punya teman tanpa musuh. Orang-orang akan memandangku normal yang pendiam. Normal yang introvert. Normal yang masa bodoh. Yang penting aku terlihat normal, kan? Tidak ada alasan khusus untuk lebih mengenal Darren.

***

"Sedang apa di sini?"Seorang lelaki tiba-tiba bertanya saat aku sedang bermain keran air di pelajaran olahraga.

Tidak kujawab. Darren, laki-laki itu menuju keran di sampingku untuk membasahi wajahnya yang terlihat lelah.

"Menang?" tanyaku. Aku sering gagalngobrol dengan lawan jenis tapi inilah gaya basa-basiku, "suara cewek di sana berisik sekali makanya aku ke sini."

"Menang." Dia selesai dan kembali menuju pinggir lapangan futsal.

Tidak heran para cewek teriak histeris mendukungnya, dia memang baik dalam olahraga. Daripada menyebutnya atletis, mari kita sebut Darren pemain cerdas. Dia benar-benar mengamati lawan dan bisa mengatur timnyauntuk mengikuti rencananya. Tidak begitu bekerja keras dalam hal fisik, semua gerakan yang dilakukan tidak ada yang sia-sia. Dia efektif dan bisa melihat peluang yang sulit disadari. Tapi yang terpenting dari semua itu, dia tampan.
Walaupun tidak dekat dengan laki-laki manapun, aku punya kesempatan untuk lebih mengenalnya karena hari itu, kami ada diperpustakaan.

"Tidak ada guru?" Aku mencari-cari si sumber suara, kutemukan tubuh berseragamnya yang berlapis hoodie hitam sedang duduk dimeja baca. Aku mampir ke perpustakaan karena lupa membawa buku paket pelajaran ketiga. Meski kemungkinan adanya buku itu kecil, aku jalan-jalan dulu saja dengan alasan mencari diperpus.Atau alasan sesungguhnya, aku muak dengan suasana kelas.

"Ada. Tapi belum masuk kelas," sahutku, mengalihkan pandangan ke buku, kemudian aku menyadari sesuatu dan menoleh ke arahnya lagi, "Kenapa tidak ikut kelas daritadi?"

"Aku sakit, tahu."Lantas dia membenamkan kepalanya di antara dua lengan yang dilipat di atas meja. Satu alisku terangkat, baru tahu kalau selain UKS ada juga yang namanya perpustakaan untuk orang sakit.

"Enaknya. Aku juga sakit, kalau begitu." Secara acak kuambil satu buku tebal dan beranjak ke kursi di hadapan Darren. Menjadikan buku tebal itu sebagai bantal, pura-pura tidur di meja.

Kepala yang terbenam itu kembali terbit, "Sakit apanya? Belajar sana."

"Hatiku." Aku bereskperimen menggunakan gaya basa-basi anak kekinian yang tak cocok denganku.

Tawanya tertahan karena sadar tidak boleh berisik diperpustakaan."Orang sepertimu bisa seperti itu juga, ya?"

Aku juga mengangkat kepala. "Sakit hati bukan cuma soal cinta."

Tiba-tiba dia bertanya, "Kau belum pernah jatuh cinta, ya?"

"Belum." Kujawab, "Kalau kagum aku pernah, tapi itu bukan cinta."

"Hoo... kau mengenal diri sendiri dan mau jawab pertanyaan seperti itu jugarupanya." Dia tertawa lagi. Kumohon, kuatkanlah aku dari manisnya lelaki yang hanya keindahan fana ini.

"Aku tipe yang berterus terang," kataku.

"Jadi ingat insiden peminjaman pulpen." Dia mengawang-awang dantersenyum simpul, membahas tingkah Mawar dan Anggrek yang konyol beberapa hari lalu.

"Kau tahu kenapa Mawar dan Anggrek yang bertengkar waktu itu?" Dia bertanya.

"Kenapa?"

"Karena kalau yang bertengkar Mawar dan Melati, sudah pasti Mawar yang menang, terlalu kliseuntuk dijadikan cerita."

Semoga aku segera terbiasa dengan teknik melucunya itu.

Tanpa sadar aku melewati pelajaran sejarah yang gurunya pelit nilai itu. Semuanya diganti dengan obrolan random bersama lelaki populer yang nyatanya lebih welcome dari perkiraanku. Beruntungnya, hanya ada satu penjaga perpus selain kami di tempat itu. Jika murid lain melihat, aku akan diangkat menjadi topik pembicaraan wanita karena dianggap menjalin kedekatan dengan makhluk high-level seperti Darren.

"Jadi begitu, ada visual, inteligensi, dan sifat." Darren tertarik, mengulang setelah aku mengemukakan teori asal buatanku, "Bagaimana kau bisa berpikir begitu? Suka baca tentang psikologi?"

Aku menggeleng, "Dari melihat kehidupanku sehari-hari."

"Kalau menurutmu, aku bagaimana?" Dia menanyakan penilaianku terhadapnya berdasarkan tiga poin tadi.

"Kau memenuhi poin pertama dan kedua, kalau sifat, aku tidak yakin," jawabku.

Matanya berbinar, antara senang dipuji tampan plus pintar, atau senang dengan jawaban jujurku, "Kau benar-benar berterus terang, ya?"

***

Tidak terasa aku terus melangsungkan perkenalanku dengan pemuda itu selama hampir tiga bulan. Mengingat karakterku yang seperti ini, cukup aneh juga kalau aku tidak menjaga jarak dari Darren, meski beberapa orang sudah mulai curiga. Masa sudah mendekati ujian semester genap. Seminggu sebelum ujian, di hari Senin pada sore hari saat pulang, tiba-tiba Darren menghampiri saat aku berjalan menuju jalur angkutan umum.

"Rumahmu di mana?" tanyanya, menghentikan kayuhan dan justru menjalankan sepedanya dengan langkah kaki seperti anak kecil yang tidak bisa naik sepeda. Kalau tidak tampan, tentu saja aku akan menghujat kekonyolan itu.

"Ayo naik!"

"Tidak." Tapi tentunya, dia tidak akan berhenti mengikuti sebelum kuterima tawarannya.Aku mulai merasakan pandangan tajam dari murid-murid disekitarku.

"Kalau begitu tunggu di depan toko ungu." Pada akhirnya aku menentukan titik di mana murid-murid sekolahku jarang lewat tempat itu, demi mengecilkan jumlah saksi.Menuruti keinginan si sempurnaitu lebih cepat lebih baik, karena sepertinya dia tidak terbiasa hidup dengan penolakan.

"Tumben sekali bawa sepeda." Aku berbasa-basi di belakang punggung Darren, sebelum bertanya serius, "Ngomong-ngomong ini bukan jalan ke rumahku! Kau berniat menculikku, huh?"

Dia tertawa girang. Suaranya terbebas, bersatu dengan angin yang berhembus deras di tengah persawahan itu. Menyusuri jalan sempit yang sepi, berada di garis yang memotong himpunan sawah luas yang subur itu. Aku berada di lokasi yang asing dari habitatku.

Darren berdiri dari jok sepedanya dan tetap mengayuh dengan kecepatan tinggi.

"AAAAAAA!!" Teriakannya kuat tapi juga terdengar lega. Seolah dia sedang membiarkan sesuatu dalam benaknnya untuk lepas. Entah apa yang membuatnya seaneh itu hari ini.

"Orang gila!" pekikku panik, menarik-narik kemeja seragamnya, "Cepat duduk! Bahaya! Pelan-pelan!"

Dia sedikit menarik rem stangnya setelahpuas menakutiku. Dengan sisa kekehan dia bertanya, "Kau tahu daerah ini?"

"Yang kutahu perjalanan kita hampir satu jam ke tempat ini," jawabku ketus.

Kukira dia akan menghentikan sepedanya sesaat, tapi dia terus berjalan dengan ritme kayuh yang sedang. Disisi kiri jalan, aku bisa melihat warna oranye langit dan matahari, serta hamparan emas dari padi yang mulai menguning.

"Kau suka?" tanyanya. "Ini pemandangan yang kusuka."

Aku mengiyakan dalam diam. Tidak mengerti kenapa hari ini dia bawa sepeda dan mengajakku melewati tempat ini. Aku tidak bertanya, tapi merasa terhormat bisa mendapat momen seperti ini.

Dia mengantarku pulang melewati jalan yang luar biasa memutar, bahkan aku merasa lelah hanya karena duduk di sepanjang perjalanan. Kami berhenti beberapa meter sebelum belokan rumah, di bawah lampu jalan. Matahari sudah terbenam dan suasana agak sepi. Dari sini, hanya terlihat pagar hijau yang catnya mulai mengelupas dari rumah keluargaku itu.

"Tidak membawaku mampir?" Dia memasang ekspresi berharap yang dibuat-buat.

"Terlalu cepat seratus tahun. Tidak mungkin." Aku menggeleng. Kalau aku berniat membawa laki-laki pertama ke rumah, setidaknya jangan yang terlalu tampan karena itu terlalu mustahil dipahamikeluargaku.

Darren yang tidak memarkirkan sepedanya melipat tangan di antara setang, menenggelamkan wajah hingga hidung, menatapku dengan netra cokelatnya yang terlihat lelah, napasnya masih sedikit terengah-engah."Hei, aneh. Kau tidak menyukaiku, kan?"

Mataku membulat karena ini kali pertama dia menyebutku aneh sefrontal itu"Tidak."

Kupikir dia akan tertawa, atau kecewa, tapi setelah mendengarnya dia memutar balik sepedanya untuk pergi dengan datar, "Baguslah. Karena merepotkan kalau menyukai orang yang sebentar lagi mati."

Aku yakin kalau aku salah dengar. "Apa?"

"Kalau tiba-tiba aku menghilang artinya aku mati." Dia berseru tanpa menolehkan kepalanya. Punggungnya semakin menjauh dan menghilang tertelan gelapnya sore itu.

***

Minggu itu adalah rangkaian hari yang dipenuhi kertas dan soal. Walaupun tidak menonjol ataupun niat belajar, aku bukanlah tipe orang yang akan remedial di tiap mata pelajaran. Jadi, tidak perlu menghawatirkanku. Semua orang hari ini sedang mengkhawatirkan sosok yang lebih berfaedah daripada aku. Dua hari yang lalu, Darren pulang tanpa menyelesaikan jawaban di kertas ujiannya, dengan wajah yang benar-benar pucat. Dan hingga sekarang, di hari terakhir ujian, pemuda itu sama sekali tidak muncul batang hidungnya.

Orangtuanya hanya mengabarkan kalau Darren butuh istirahat. Tapi laki-laki itu sama sekali tidak menghubungi teman-temannya sejak saat itu.

Karena masa ujian, aku menjalani kelas yang lebih tenang dan pulang lebih cepat. Tidak ada kegiatan di luar jadwal yang mengusikku. Definisi kebahagiaan yang sebenarnya. Baru saja masuk ke kamar, saat kusimpan tasku asal di lantai, handphone di saku rokku bergetar. Ada gambar masyarakat Bikini Bottom yang menjadi profil pemuda populer itu dilayar, sedang memanggil.

"Kau kena remed berapa pelajaran?" Pertanyaan itu mengudara ketika aku mengangkat telepon tapi tidak bicara duluan. Seharusnya dia sadar kalau kertas jawabannya saja belum ada yang selesai diperiksa.

"Kita teman, kan? Kau masih ingat soal-soal ujian tadi dan kemarin?"Lanjutnya setengah bercanda, pertanyaan yang tidak tepat untuk peraih peringkat tiga besar ditiap semesternya. Demi Tuhan, kalau memberi bocoran soal bisa membuat keadaan Darren membaik, sudah kuberikan semuanya.

"Kau benar-benar akan mati?" Aku mengesampingkan pertanyaan bodohnya dengan pertanyaan yang lebih bodoh lagi.

Kupikir akanada jeda, tapi dia langsung membalas mantap, "Ya."

Aku yang tidak membalas.

"Apa aku orang yang baik?" Dia bertanya. Suaranya terdengar lebih serak dan lemah, entah karena efek di telepon yang memang begitu atau apa.

Mungkin aku agak prihatin, tapi inilah kejujuran yang ada dalam pikiranku. Aku menjawab, "Ya."

"Menurutmu, apa yang terjadi kalau seseorang sudah memiliki tiga kelebihan itu dengan sempurna?" Dia bertanya lagi. Aku sejenak berpikir, lalu menangkap bahwa yang dimaksudnya itu adalah tiga poin yang penah kuterangkan padanya.

"Menurutmu apa?"

"Mati." Jawabnya yakin, "Karena sudah cukup sempurna tidak ada gunanya orang seperti itu hidup."

"Darimana kau menilai orang seperti itu tidak layak hidup?"

Kali ini dia yang tidak membalas.

"Jadilah jaha," ucapku tiba-tiba, "Kalau jahat, kau tidak akan memenuhi tiga poin itu. Artinya kau tetap bisa hidup."

Tawanya meledak dan itu membuatku kaget. Aku sadar barusan adalah solusi paling tidak rasional yang pernah kuucapkan. Perlu menunggu hampir seperempat menit sampai tawanya mereda.

"Kau berbeda. Hanya orang sepertimu yang bisa menjaga rahasia ini," katanya. "Kau perempuan yang baik. Terlihat punya teman, padahal tidak. Kau menjaga jarak pada semua orang, bahkan padaku."

"Bagaimana bisa yang seperti itu disebut baik," gumamku, walau agak terhina aku tidak bisa tersinggung.

"Biasanya aku didekati orang lain, tapi untuk pertama kalinya, aku berusaha mendekati seseorang," ucap suara di seberang. "Aku khawatir, karena orang sekarat sepertiku harusnya tidak tertarik pada seseorang. Tapi kekhawatiranku lenyap, ketika kau menjawab 'tidak' saat kutanya tentang perasaanmu. Terima kasih. Kau mengurangi satu bebanku."

Entah jawabanku itu baik atau melukai, aku tidak paham kenapa sekarang menyesal telah memberi jawaban 'tidak' waktu itu.

"Sejak dulu, tetap ikut olahraga walaupun tidak bisa. Berusaha terlihat normal dan baik-baik saja. Mengaku absen karena kesiangan padahal tidakpunya tenaga untuk turun dari tempat tidur.setelah melihat dirimu yang apa adanya dan tidak menutupi apapun, aku merasa tindakanku salah," lanjutnya."Tapi aku tidak bisa berubah begitu saja. Aku mengatakan ini hanya padamu, karena kau akan menjadi orang yang paling cepat sembuh dari kepergianku."

Bodoh. Bukan. Aku cepat merasa sembuh dari kehilangan karena sejak awal memang tidak merasa memiliki sesuatu.

"Aku tidak akan membiarkan yang lain sedih mengetahui keadaanku sekarang. Mungkin egois, tapi aku ingin mereka sedih saat aku benar-benar sudah pergi. Kalau mereka sedih sekarang, justru aku yang ingin buru-buru mati."

Kali ini aku tidak berusaha tertawa mendengarkan leluconnya itu.

"Hei, perempuan aneh." Dia membuyarkanku dari lamunan, "Di hari pertama semester baru, di kelas baru dengan tingkatan yang baru. Kalau di jam pertama aku tidak hadir, umumkanlahpada semuanya, soal kematianku."

Hah?

"Alasan orang sakit tidak hadirdi jam pertama tidak selalu karenasudah mati, kan?"Aku memprotes. Bagaimana bisa dia merencanakan kematian yang hanya kuasa Tuhan itu?

"Kalau orang sepertimu yang mengumumkan memang sulit dipercaya. Tapi, kumohon. Kuserahkan sisanya padamu." Sungguh kalimat penutup yang tidak enak didengar. Dia mengakhiri telepon tanpa menyahut protesku. Meninggalkanku dengan segala gelisah tanpa rasa bersalah.

***

Dan, saat yang dimaksud pun tiba.Setelah liburan, aku kembali sekolah. Duduk di bangkuku, sendiri tanpa satupun orang yang mengajak bicara. Walau kelas tidak dipecah, walau teman-temanku masih sama seperti tahun ajaran lalu. Aku terbiasa melewati situasi ini. Tapi, kali ini aku merasa... hampa?

Beberapa dari mereka membicarakan sosok populer yang belum juga muncul. Dipastikan pemuda itu naik kelas, pertanyaannya sekarang adalah keberadaan orang itu. Bahkan teman-temannya tidak mendapat satu balasanpun melalui pesan ataupun telepon.

Orang-orang awam tidak menghubungkanantara ketidakhadiran Darren saat ujian, dengan ketidakhadiran Darren yang sekarang. Mereka akan berpikir, sudah sewajarnya sosok sempurna itu muncul di momen paling mencolok secara dramatis, karena begitulah nasib orang tampan. Tidak ada yang mengira kalau seseorang bisa saja mengumumkan kematian atas dasar permintaan terakhir si populer itu.

Aku menggenggam handphone-ku di bawah meja. Tidak menghubungi orang itu lagi meski memiliki banyak kesempatan. Bahkan aku yang punya kesempatan detik ini pun, tetap melewatkannya. Aku malah mengkhawatirkan kalau dia sampai menjawab panggilanku. Aku tidak tahu apa yang harus kusampaikan. Aku hanya perlu berpikir dia akan datang, kan? Lagipula jam pertama belum dimulai.

Detik dan menit terus berputar. Mataku menangkap waktu di layar handphone-ku. Sudah setengah jam pelajaran pertama berlangsung, tapi belum ada guru yang datang. Mungkin di hari pertama kenaikan kelas, daripada belajar semuanya lebih mementingkan perkenalan. Tidak perlu waktu berjam-jam untuk pengenalan guru baru, maka para guru pun boleh terlambat kalau mereka mau.

Aku, hanya memikirkan Darren. Kalau diingat-ingat memang ada yang salah pada dirinya, bahkan sebelum aku mengenalnya. Walaupun anak baik nan pintar, dia sering menghilang di jam pelajaran. Sering datang dan pulang tidak pada waktunya. Walaupun gerak-geriknya tidak berubah, tapi warna wajah dan tubuhnya selalu mengungkapkan. Hanya saja, tidak ada yang bersedia menyadarinya. Darren terlalu sempurna sampai-sampai hal negatif tidak layak dibayangkan kepada dirinya. Sambil memperhatikan lekat-lekat pintu di kelasku itu, aku banyak menyadari berbagai hal.Untuk pertama kalinya aku memikirkan orang lain terlalu dalam. Suara ricuh teman-temanku dan semuanya, menjadi kosong. Hanya aku dan kesendirianku yang membelenggu.

Aku mengendalikan pikiranku supaya tidak mengirim perintah untuk memecahkan cairan yang selama ini kutahan.Pertama, mau tidak mau aku harus melaksanakan permintaan terakhir orang itu. Kedua, aku harus memikirkan dengan cara apa aku menarik perhatian sebelum berbicara. Lalu, pikirkan rangkaian kalimat paling tepat untuk mengumumkannya. Aku belum mempersiapkannya, karena selalu berpikir dia akan baik-baik saja.Sangat sulit berpikir jernih di saat kenyataan menamparku tanpa jeda. Air mataku jatuh dan dengan sia-sianya aku mengepal kedua tangan kuat-kuat, berharap mampu menahan isakan. Belum ada yang menyadari tingkah gilaku ini. Tidak. Jangan sampai ada yang melihat. Tidak boleh kutunjukkan wajah ini sebelum aku selesai mengungkapkan semuanya ke seisi kelas.

Aku berhenti memperhatikan pintu kelasku itu. Mengusap wajahku dengan punggung tangan, sambil menyortir kata-kata yang akan kurangkai di depan teman-temanku.

"Butuh sapu tangan, nona?" Seseorang yang nada suaranya terdengar familiarfamiliermenepukku dari belakang. Aku terperajat karena malu kalau wajahku ini sampai terlihat. Setelah air mata kuyakinkan tersapu bersih, aku menoleh ke sumber suara.

Tangan pucat terangkat menyodorkan saputangan. Pemiliknya menggunakan hoodie hitam yang sering menjadi ciri khasnya. Namun hoodie itu sekarang jadi tambah kebesaran, entah karena terlalu sering dicuci atau tubuh si pemakai memang mengurus secara drastis. Kondisi yang mengkhawatirkan, tapi sosok itu menampilkan senyum seperti biasa.

Perlahan, suara-suara ricuh di sekelilingku kembali terdengar. Sebagian besar suara itu menyoraki kehadiran pemuda yang menawarkan sapu tangannya padaku.

Aku mematung beberapa saat. Kehabisan akal dengan pemandangan yang kulihat. Merasa air mataku makin memuntah, aku merebut sapu tangan itu, dan menenggelamkan wajahku pada kain beraroma familier yang sering menemani dan menghilang selama beberapa bulan terakhir itu.

Semua isakyang kutahan dilepaskan dengan satu kata.

"Bodoh!"


jajaran



jejeran sendiri memiliki pengertian yang terkait dengan adegan silaturahmi serta perembukan dalam wayang kulit dan sebagainya (KBBI)

Continue Reading

You'll Also Like

92.5K 3.9K 32
✿ a collection of short Indian love tales, binded with care and fates ✿
32.8K 6.9K 30
A Lawyer, Bold with a bit of anger issues, Smart, Not in good terms with his Father. A Girl, Sweet but Insecure about her weight, With Career tension...
128K 5.3K 47
A fire incident at his(Kim Jae-soo) husband's home while he (Baek Ji-Hu )was away made Kim Jae-soo return to his third year of university (he was reb...
469K 1.5K 47
🔞🔞🔞 warning sex!! you can cancel if you don't like it.This is only for the guys who have sensitive desire in sex.🔞🔞