Jun? Mengapa ia dipanggil Jun?
Apa yang sebenarnya ia simpan?
Aku jadi penasaran.
Bukan menaruh perasaan.
Aina menata hati pelan-pelan. Ia tidak terburu seperti cerita novel. Ia (bisa jadi) mungkin cinta akan bertumbuh. Tapi tidak sekarang. Ia mungkin punya suami, tapi tidak sepenuhnya ia masih betil beradaptasi. Antara hati, raga, dan isi otaknya.
Malam itu, seluruh keluarga sedang bersantai di rumah. Ada yang duduk di teras, di ruang tengah, di ruang makan bahkan para perempuan-perempuan sedang asyik haha hihi di dapur. Aina duduk di ruang tamu dengan sepupu kecilnya. Ia bermain, bergurau, bahkan berlari-lari kecil. Aina sangat menyayangi anak kecil. Makanya, dengan adik kandungnya, ia sangat menjaga dan sabar. Siapa lagi yang memberikan contoh itu kalau bukan ibunya. Ustadz Nabil duduk di teras bersama beberapa kerabatnya yang jiga datang dari pesantren. Sesekali ia melihat ke dalam, melihat Aina yang sedang menjaga sepupu kecilnya. Ustadz Nabil sering tersenyum dan mengalihkan wajahnya, alih-alih tersenyum karena pembicaraan para pria di teras.
Pukul 9.30 malam. Semua bersiap untuk beristirahat. Aina masuk ke dalam kamar. Ia sedikit panik.
Ini malam pertamaku tapi aku gak mau melewatinya. Aku harus gimana nih?
"Ya Alloh", ucapknya lirih. Bukan tak ingin karena ia benci Ustadz Nabil. Tapi ia masih terlalu kecil untuk 'sedekat' itu dengan Ustadz Nabil. Yang ditakutkan datang juga. Ustadz Nabil masuk ke dalam kamar. Aina kaget. Cepat-cepat ia berbaring dan menutupi badannya dengan selimut yang RAPAT.
"Aina", ujar Ustadz Nabil. "Kamu sudah tidur?!", Sambungnya. Aina memejamkan mata seakan-akan ia sudah tidur. Tapi pikirannya kacau. Ia tidak mungkin berbohong. Pikirannya kemana-mana. "Aaaaa.....", Ia sedikit berteriak. Ustadz Nabil pun kaget. Aina tak sengaja berteriak karena terlalu larut dalam imajinasinya. "Kenapa?!", Ustadz Nabil mengira ia sedang kesakitan. Aina masih menutup mata. Ia punya ide.
Aaaa.... Pura-pura ngigau.
"Kamu ngigau ya?", Ustadz Nabil sedikit melirik Aina. Aina pun tetap pada pendirian. Malam ini harus dilewati dengan mempertahankan kejombloanku. Mungkin begitu pikirnya. Ustadz Nabil tidur di sebelah Aina. Mereka saling membelakangi. Ustadz Nabil menata bantal guling di tengah kasur antara ia dan Aina. Ia juga memahami bahwa Aina memang terlalu dini untuk malam pertama, melayaninya. Pernikahan ini ada karena ada sebab khusus dan ia ingin menjaga Aina yang sudah rela menjadi istrinya dan melepas masa sekolahnya. Ustadz Nabil dan Aina tertidur pulas.
3.15 dini hari. Sebuah alarm berbunyi. Rupanya alarm Aina dan Ustadz Nabil di ponselnya secara kebetulan memang sama. Mereka nampaknya punya kebiasaan yang sama. Aina sedikit membuka matanya, namun masih berat rasanya.pun Ustadz Nabil, kantuk masih enggan berlalu. Sedikit demi sedikit mereka membuka mata. Samar-samar Aina melihat sosok wajah di depannya. Ustadz Nabil pun ketika 'memaksa' matanya terbuka, ia melihat Aina sebesar wajahnya.
Aina : "Haaa...."
Ustadz Nabil : "Ya Allah."
Ujar keduanya bersamaan. Nampaknya, selimut dan bantal guling bukan sebuah halangan yang kokoh. Kebiasaan tidur yang tak biasa entah pada siapa diantara keduanya membuat bantal guling 'terusir' juga. Keduanya tertidur sambil berpelukan. Pantas saja wajah mereka sangat dekat.
Keduanya secara reflek melepaskan tangan mereka. Muka mereka memerah. Rupanya takdir sebercanda itu pada mereka.
"Maaf, Ustadz. Bukan maksud saya. Saya juga tidak tahu kalau tangan saya disitu.", Aina nampak kebingungan.
"Saya juga, Aina. Saya juga bingung kenapa akhirnya kayak gini.", Ustadz Nabil keluar kamar menuju kamar mandi. Aina masih malu dan bingung dengan kejadian semalam. "Bajuku masih lengkap, Alhamdulillah.", Aina menghela napas panjang. Selepas sholat malam hingga sholat subuh, Aina bersiap-siap di kamar. Ustadz Nabil masuk ke kamar. Aina pura-pura tegar. Ia menggap semua tidak terjadi apa-apa. Anggap saja kesalahan alam sadar.
"Aina, saya minta maaf. Sebenarnya pernikahan ini pasti berat buat kamu.", Ustadz Nabil membuka pembicaraan sambil duduk di kasur. Aina yang membetulkan jilbabnya diam. Ia sedikit kaget dengan tema pembicaraan Ustadz Nabil. "Memangnya kenapa, Ustadz?!". Aina berjalan ke kasur. Ia duduk, masih tetap berjauhan agar tetap terjaga karena malu. "Awalnya ini dari Abah.", Abah Nabil adalah Kyai Mansyur Hanafi, tentu saja pemimpin utama Pondok Pesantren Nurul Hikmah. Aina membenarkan posisi duduknya. Ia menatap Ustadz Nabil dengan seksama. "Lalu?!", Tanya Aina pertanda ia benar-benar butuh penjelasan. "Abah ingin aku segera menikah. Abah berpikir dalam waktu dekat ini ada yang menggantikan beliau. Dengan syarat harus menikah dulu. Abah mengatakan ada batasan waktu. Tidak boleh terlalu lama dalam memilih calon. Ustadz Agus sempat memberikan penawaran ta'aruf dengan beberapa orang. Namun Abah menolak. Aku sempat bingung. Sewaktu membuka dokumen para santriwati, aku mengambil beberapa dokumen dan aku tertarik membaca resumemu. Ada tulisan 'ingin bersama Ibu' di kolom harapan. Menurutku itu sebuah harapan baik.", Ujar Ustadz Nabil panjang lebar. Aina tiba-tiba teringat. Sebuah kertas yang isinya tentang apa itu cita-citanya? Hobinya? Kebiasaan di kamar? Juga harapan ke depan. Aina teringat ibunya yang sedang sakit sehingga ia menulis dengan percaya diri bahwa ia ingin bersama ibunya.
Ustadz Nabil meneruskan, "Namamu aku berikan ke Abah. Abah diam. Lalu ia berdiri dan berkata bahwa setelah ia istikharah, ia akan segera memberitahukanku. Aku juga tak yakin. Karena menurutku, seorang yang ingin dekat dengan ibunya adalah sebuah cerminan akhlak." Aina tersipu malu. Sedikit. Itu tak berarti ada rasa yang timbul karena cerita ini. Ia masih butuh banyak penjelasan. "Kamu ingat naskah dramamu tertinggal di mejaku? Itu sengaja. Agar kamu datang untuk mengambil dan bertemu dengan Abah." Aina berpikir ke belakang. "Pantas, saat sungkem tadi beliau tersenyum. Saya juga masih menebak-nebak sepertinya pernah bertemu dengan beliau. Oo, tenryata yang saya temui di meja Ustadz itu ya??" Ustadz Nabil mengangguk.
"Lalu Abah setuju. Aku disuruh pergi menemui Ayah Ibumu."
"Saat bertemu denganmu, dia melihatmu menjaga jarak sambil menunduk. Abah bilang kalau kamu adalah calon menantu yang ia suka. Belum sampai situ, aku menemui Ayah Ibumu. Memperkenalkan diri bahwa aku Pengajar di pondokmu. Dan hal lain lain hingga akhirnya... Aku ingi menikahimu." Aina kaget. "Ayah gak kaget?." Ustadz Nabil tersenyum, "Tentu. Awalnya tidak setuju. Setelah tahu bahwa itu juga keinginan Abah. Mereka memberi waktu 3 hari. Dan ya.. setelah itu sampai saat ini.. di kamar ini." Aina menggelengkan kepala. "Bahkan agar aku putus sekolah juga Ayah dan Ibu setuju ya?", Raut wajah Aina berubah. "Tidak, Aina. Kamu tetap akan kembali ke pondok." Aina kaget. "Lho, kok bisa?".
"Aku dengar dari Ibu kalau kamu ingin menjaga Ibu. Abah menolak mengeluarkanmu dari sekolah. Tapi keterangan untuk merawat ibu dalam sebulan ini. Teman-temanmu sekelas juga sudah diberi tahu lewat Ustadz-ustafz yang mengajar. Jadi selepas ini, kamu boleh masuk kelas lagi." "Aaa...", Aina kegirangan. Ia membayangkan duduk dan bertemu sahabat-sahabatnya, yang sekarang ia makin rindu pafa Lutfah, Putri dan Lita. Ia memeluk Ustadz Nabil tanpa sadar.
"Waa... Terima kasih, Ustadz. Makasih banyak." Ustadz Nabil yang canggung akhirnya perlahan membalas pelukannya. Aina sadar. Ia diam. Ustadz Nabil pun diam. Mereka diam sambil berpelukan. 30 detik mereka di posisi mematung. Antara malu dan bahagia menjadi satu. "Us....tadz itu tadi bukan saya ya.... Ya Allah. Tangan saya, maafkan tangan saya." Ustadz Nabil tak kalah malu. "Aa.. tidak apa-apa. Saya yang maaf. Buat kamu terlalu girang."
Dok dok dok.
Suara pintu kamar terketuk. Aina membuka pintu. Sepupunya memberitahu bahwa ada perias yang akan meriasnya untuk acara resepsi. Aina mengangguk bahwa ia sedang bersiap-siap. "Ustadz. Acara resepsi di Aula pondok ya? Bukannya itu di lingkungan Pondok?." Tanya Aina. "Ada dua Aula. Yang satu memang di dalam pondok. Satu lagi di luar pondok tapi masih berjarak 50 meter. Disewakan juga untuk umum. "Para santriwati tahu dong nanti saya istri Ustadz?", Aina penuh tanya. "Tentu. Walau mungkin tidak semua santriwati tahu kalau saya anak Abah." Aina menaikkan alisnya. "Kita sambung nanti ya, Ustadz. Saya make up an dulu.", Ustadz Nabil tersenyum mengangguk. Aina keluar pintu, kepalanya masuk lagi ke kamar menintip dari pintu. "Ustadz, satu pertanyaan. Kenapa dipanggil Jun?". Tangan Ustadz Nabil memberi kode agar Ania segera keluar berias. "Nanti saja. Hutang saya."
Sesaat lagi, acara resepsi akan segera digelar.