Imaji dalam Kata

By inariwritingproject

3.3K 205 14

Kumpulan cerita pendek penulis Penerbit Haru More

Second oleh Kern Amalia (@dityakai)
Secangkir Memoar oleh Endina Artha
Kopi-Kopi Sofi oleh Amina Sy
Bad Dream oleh Afaanin Ulayanisa
A Cup of Tea oleh Elisabeth Cindy (@KuroyukiAlice)
Melody from My Heart oleh Fika Widya Sari
Coffee and Milk oleh Denaner Pratama (@vierseason)
Gerimis di Jendela oleh David Lee (@itsdavidguys)
Darren Bodoh oleh Fitria Meilia
Kick oleh David Rohadi
Sang Pengkhianat oleh Hanna A. Santoso
Bait Terakhir oleh Ade Agustia Putri
A Risk oleh Des Indriani S
Bertahan oleh Ade Agustia Putri
Rumah Gudang oleh Bayu Febriyanto

FATE oleh Eria Nova

94 7 1
By inariwritingproject

"Coba dulu saja, sepupuku baik kok. Aku jamin kamu pasti akan langsung menyukainya."

Itu tadi Dira yang masih saja berusaha menjodohkanku dengan sepupunya. Mungkin maksudnya memang baik, tapi aku tidak bisa bohong karena dia selalu melakukannya dengan cara memaksa. Kupikir itu karena dia terlalu khawatir aku satu-satunya yang masih belum punya pacar di antara sahabat-sahabatku. Sementara kenyataannya sebentar lagi aku lulus dari universitas.

"Kamu nggak mendengarkanku, ya?" dia menatapku cemberut.

Sepertinya dia tahu aku tidak begitu berminat dengan topik pembicaraan kali ini. Dira ini tidak tahu,mengerjakan skripsi saja sudah membuatku pusing, aku tidak bisa lagi memikirkan hal lain selain skripsi, apalagi pacar. Lagipula, aku sudah naksir seseorang. Ah, mengingatnya saja sudah membuat jantungku berdebar-debar.

"Kamu tahu, kamu itu menyeramkan saat tiba-tiba tertawa sendiri seperti itu," ucap Dira membuatku tersadar.

Aku menyerutup float-ku agak banyak sampai kepalaku juga ikut terasa dingin. "Dengar, ya,Indira, bukannya aku menolak atau bagaimana tapi kamu tahu kan kalau dosenku itu agak rumit jalan pemikirannya. Aku harus mencocokkan isi kepalaku dengan beliau kalau mau skripsiku selesai. Menurutmu apa aku punya waktu untuk memikirkan hal lain selain skripsi?"

"Bohong," tuduhnya sambil menyipitkan matanya. Dia menatapku tidak percaya. "Memangnya aku ini baru kemarin mengenalmu? Kamu pikir aku nggak tahu kalau ada sedikit saja yang berubah pada dirimu?"

"Apa sih maksudmu?" tanyaku tidak mengerti maksud ucapannya.

"Kamu sekarang berubah. Jadi lebih sering senyum-senyum sendiri. Itu tandanya kamu sedang bahagia. Hayo, kamu pasti sedang naksir seseorang."

Aku memutar bola mataku."Oh ayolah, memangnya kalau senyum itu artinya aku sedang naksir cowok."

Dira terdengar tidak puas dengan jawabanku. Kuakui instingnya memang bagus. Dira masih saja menatapku dengan penuh selidik. Kalau aku menatap matanya lebih lama, aku takut dia akan bertanya macam-macam. Pikirku kalau sudah saatnya, pasti aku akan cerita soal dia, si taro bubble.

Aku bertemu dengannya sekitar satu bulan lalu di tempatku bekerja part time. Si taro bubble, maksudku. Saudara sepupu ibu atau yang biasa kupanggil 'Budhe' punya kafe di sekitar kampus. Di jam-jam tertentu, kafe ini ramai oleh anak-anak kampus. Budhe yang sering kerepotan, meminta bantuanku untuk bekerja paruh waktu di sana. Mumpung aku sedang mengerjakan skripsi, jadi waktu kosongku lebih banyak. Upah yang kuterima juga lumayan. Jadi, aku langsung mengiyakan tawaran Budhe saat itu.

Kembali lagi ke topik tentang 'dia'. Dia datang bersama dengan empat orang teman laki-lakinya untuk memesan kopi. Yah, waktu pertama kali melihatnya, kuakui dia punya visual yang di atas rata-rata. Tapi bukan itu yang membuatku tertarik padanya. Dari 5 pesanan itu, 4 gelas memesan iced americano dan satu gelas memesan taro bubble drink. Salah satu menu di tempat kami yang terkenal karena rasanya yang manis.

Dan ternyata, yang memesan minuman itu adalah dia. Entah kenapa hal itu membuatnya terlihat manis. Aku berpikir bahwa cowok yang menyukai segala sesuatu yang manis pastilah memiliki kepribadian yang manis juga. Sama seperti kesan pertama yang dia tunjukkan kepada siapapun yang melihatnya untuk pertama kali. Tapi itu saja, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi setelah itu. Aku pun sudah hampir melupakan tentang sosoknya.

Tapi ternyata kita memang tidak pernah tahu rahasia 'takdir'.

Satu bulan setelah pertemuanku dengannya, aku melihat dia lagi untuk yang kedua kali. Aku ditugasi untuk meliput acara pekan olahraga universitas. Meski sekarang sedang mengerjakan skripsi, aku masih aktif di tim jurnalis fakultas. Jujur saja, bisa dikatakan aku alergi dengan sesuatu yang bernama olahraga. Tapi mau tidak mau harus duduk selama berjam-jam melihat 10 orang berebut bola lari ke sana kemari untuk dapat mengabadikan momen yang bagus.

Lalu aku melihatnya.

Cowok bernomor punggung dua yang tampak familier. Aku menyipitkan mataku. Siapa tahu aku salah lihat. Tapi, benar itu dia, si taro bubble.

Aku memperhatikannya sekali lagi. Rambutnya basah oleh keringattapi dia tidak terlihat lelah sama sekali. Justru dia tampak begitu bersemangat. Dan kalian tahu, setiap kali dia berhasil memasukkan bola ke dalam ring, terdengar teriakan yang keras sekali dari segerombolan gadis di bangku penonton. Beberapa dari mereka bahkan ada yang membawa slogan. Aku berhasil membaca nama yang tertera di salah satu slogan itu. Satria Adrian. Dia bukan taro bubble tapi Satria Ardian.

Tanpa kusadari, aku mendengus.

Baiklah, siapa pun gadis normal yang melihatnya pasti akan menyukainya. Ingat kesan pertama yang dulu juga ia berikan? Ia memang tipe cowok populer.

Saat sibuk dengan pikiranku itulah, si taro bubble—maksudkuSatria Ardian--tiba-tibamenoleh ke arah tribune tempatku duduk. Mungkin dia tahu kalau sekarang dia menjadi objek fotoku karena tepat ketika aku menbidikkan kamera yang sedang kupegang, dia mengangkat sudut bibirnya.

***

"Yang kemarin motoin Satria siapa? Dista?" tanya Meli, ketua jurnalis di fakultasku.

"Bukan, Hana, tuh."

Meli tersenyum padaku."Hasilnya bagus sekali," ucapnya memujiku. "Kemarin waktu aku mau menempelnya di dinding aku sempet mikir-mikir lagi sayang kalau foto sebagus ini dinikmati semua orang. Aku mau nyimpen buat diriku sendiri," lanjutnya sambil tertawa.

Aku mengangguk-angguk mendengarkan ucapan Meli. Dia juga ternyata satu dari banyak gadis yang sepertinya tertarik dengan si taro bubble ini.Aku tidak tahu dia begitu populer. Atau mungkin itu karena selama aku kuliah aku tidak begitu memperhatikan orang-orang di sekitarku.

Setelah event pekan olahraga universitas itu berlalu, aku disibukkan dengan skripsi. Aku juga agak kerepotan mengatur waktu antara part-time dan mengejar bimbingan dosen.Satu-satunya yang membuatku betah berlama-lama di kafe adalah karena Satria masih sering datang ke tempatku bekerja paruh waktu. Dia juga kadang datang sendirian dan akan menghabiskan waktu cukup lama di kafe. Ditemani minuman favoritnya, bubble drink rasa taro dengan krimyang banyak di atasnya. Oh iya, ada satu lagi yang sering dia pesan saat datang ke sini. Cheese cake.

Biasanya setelah selesai mengerjakan tugasnya dia tidak langsung pergi. Dia akan duduk sebentar untuk mendengarkan musik di ponselnya. Membuatku selalu bertanya-tanya jenis musik apa yang ia sukai.

"Hana, tolong bawakancheese cake ini untuk mas-mas yang duduk di pinggir jendela sana, ya."

Aku mencari sosok 'mas-mas' yang dimaksud Budhe. Aku terkejut saat tahu yang dimaksud budheku adalah Satria.

"Anu Budhe, yang lain saja, ya. Mbak Nita coba," kataku mencoba menghindar. Entah kenapa aku yang biasanya cuma kebagian menjaga tempat kasir harus disuruh mengantarkan makanan.

"Mbak Nita sedang sibuk membuat adonan di dapur, ayolah." Budhe memandangku curiga saat aku masih belum juga bergerak dari tempatku. "Kenapa? Itu mantan Hana? Atau gebetan Hana?" tanya beliau.

Aku buru-buru mengambil nampan yang dipegang Budhe sebelum Budhe bertambah curiga dan bertanya macam-macam. Setelah itu berjalan sepelan mungkin menuju ke meja tempat Satria duduk. Syukurlah, ia sepertinya masih sibuk dengan sesuatu yang dikerjakan di laptopnya. Ia tidak menyadari kehadiranku yang membawakan pesanannya.

Atau tidak begitu.

Ketika kupikir aku bisa begitu saja berlalu dari hadapannya, tiba-tiba ia mengangkat wajahnya. Menatapku dari balik layar laptopnya.

Aku mencoba tersenyum meski sekarang rasanya seluruh otot wajahku menegang karena gugup. "Si,silakan," ucapku terbata.

Sebuah kerutan muncul di dahinya. "Apa kita pernah bertemu?" tanyanya.

Aku ingin menjawab bahwa aku yang menjadi paparazi karena mengambil fotonya tanpa ijin dan terima kasih untuk hal itu karena sekarang klub jurnalis kampus mendadak populer. Para mahasiswa baru berpikir bahwa bergabung di klub memberikan kesempatan kepada mereka untuk memotret cowok-cowok ganteng secara 'legal'.

Aku menggeleng."Kalau yang kamu maksud adalah bertemu di kafe ini, iya. Aku bekerja paruh waktu di sini."

Dia mengangguk-angguk. Tapi masih menatapku. Ada apa, sih, dengannya?

Aku baru akan pamit diri dari hadapannya ketika samar-samar kudengar lagu yang familier terdengar dari laptopnya. Tidak tahan, aku memberanikan diri bertanya padanya.

"Apa ini soundtrack Kimi no Nawa?" tanyaku. Padahal aku tahu betul lagu itu tapi masih juga pura-pura bertanya seolah tidak tahu.

Ia mengangguk. "Kamu juga nonton anime-nya?"

Kali ini aku yang mengangguk. Matanya tampak berbinar-binar. Oh, sinyal apakah ini?

"Kamu suka anime?" tanyanya bersemangat. Binar-binar di matanya masih belum hilang.

"Doraemon? Detective Conan?" Aku menyebut kartun yang kutonton sejak aku SD sampai sekarang.

Sebenarnya tidak ada yang lucu tapi jawabanku membuatnya tertawa. Ini pertama kalinya aku mendengar suara tawanya. Mata sipitnya jadi semakin sipit saat ia tertawa. Dan garis di sekitar hidungnya terlihat sangat jelas dari jarak sedekat ini.

Ia berhenti tertawa dan tiba-tiba menyodorkan tangannya padaku."Senang bertemu denganmu. Dengan siapa kalau boleh tahu?"

"Hana."

"Aku—"

"Satria." Aku menggumam pada diriku sendiri. Tapi sepertinya ia mendengar, karena ia sekarang tersenyum jahil. Oh, ya, Tuhan aku baru saja mempermalukan diriku sendiri.

"Kamu sudah tahu namaku ternyata?" tambahnya masih dengan senyum jahil yang belum hilang dari wajahnya.

Oke, ia pasti berpikir aku salah satu penggemarnya karena sudah tahu namanya lebih dulu sebelum ia memperkenalkan dirinya padaku.Dia mengangguk-angguk saat aku menyebutkan namaku. Setelah itu tidak ada hal spesial yang terjadi. Obrolan kami berhenti di situ karena beberapa pelanggan kafe mulai berdatangan di jam makan siang. Dia pun kembali sibuk dengan laptopnya sementara aku kembali ke meja kasir sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya.

***

Dira meneleponku subuh-subuh karena tahu hari Minggu aku libur. Libur di sini dalam artian aku tidak sedang bekerja di kafe atau menyelesaikan skripsiku. Iya, satu hari dalam seminggu aku memberi hadiah pada diriku sendiri untuk beristirahat dari segala aktivitas yang menjemukan itu.

Omong-omong soal Dira, ia meneleponku untuk membantunya membungkus souvenir yang akan dibagikan pada tamu undangan di hari pernikahan kakak perempuannya, Mbak Irene. Aku yang memang tidak punya rencana apa-apa hari ini langsung menyetujui permintaannya itu setelah ia mengiming-imingiku dengan tiket bioskop.

Aku sudah sering main ke rumah Dira sehingga aku dan keluarga Dira sudah sangat akrab. Ibunya sering mengundangku makan bersama atau kalau sedang libur ibunya sering mengirimiku makanan lewat Dira. Selain akrab dengan ibunya, aku juga lumayan akrab dengan ayahnya. Sementara Mbak Ireneadalah senior di jurusanku.

"Assalamualaikum, Tante," sapaku pada Ibu Dira yang kebetulan sedang ada di ruang tamu.

Ibu Dira tersenyum melihatku lalu mempersilakanku masuk. Ia menawariku minum sambil menyuruhku menunggu Dira mengambil pesanan suvenir yang rencananya akan kubungkus bersamanya hari ini. Aku terkejut melihat keadaan rumah yang berantakan karena banyak barang berserakan di lantai. Tak berapa lama, Dira dan Mbak Irene datang. Masing-masing membawa plastik ukuran besar di kedua tangan mereka.

"Mbak Irene, selamat, ya," ucapku.

Mbak Irene tersenyum setelah mengucapkan terima kasih. "Hana katanya sedang skripsi, ya? Sudah sampai bab berapa?"

"Bab 5. Doakan saja sebentar lagi aku bisa ngajuin sidang."

"Sebentar lagi wisuda dong, sudah punya gandengan belum?"

Aku hanya tersenyum.

"Hana masih jomblo,Kak," celetuk Dira. Sepertinya ia sengaja menunggu momen tepat untuk membahas hal ini lagi.

"Ya nggak apa-apa. Mungkin memang belum saatnya," hibur Mbak Irene.

"Tapi temen-temen kita tuh sudah punya pacar semua, Kak."

Kalau tidak menyebalkan bukan Dira namanya. Untung saja dia sahabatku jadi aku sudah kebal sekali dengan ucapannya.

"Dira nggak boleh begitu.Jodoh, mati, hidup, itu sudah ada yang mengatur. Masalah kapan datang, itu urusan Tuhan," sergah Mbak Irene. Ia sepertinya merasa tak enak juga melihat Dira terus saja memojokkanku dengan urusan perjodohan ini.

"Aku tuh punya misi mau ngenalin dia ke Mas Ian," kata Dira lagi tidak mau kalah. Ia belum menyerah rupanya.

Tiba-tiba Mbak Irene tertawa. "Hmmm, Mas Ian boleh juga. Sepertinya kalian berdua akan cocok," katanya lagi.

Aku yang hampir terharu karena dia tadi sudah membelaku sekarang menarik kembali semua ucapanku. Aku melupakan fakta bahwa mereka berdua adalah kakak beradik.

"Sudah, sudah, nanti Hana marah lho," kata Mbak Irene saat melihat ekspresi wajah tak enak yang terang-terangan kutunjukkan. "Tipe cowok Hana memang yang seperti apa?" tanyanya. Obrolan ini sepertinya tidak akan berhenti begitu saja.

Aku menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Mbak Irene. "Yang bisa olahraga, kalem, dan punya senyum yang menawan," jawabku jujur. Tentu saja aku menjawabnya sambil membayangkan sosok Satria di dalam kepalaku. Entahlah bayangannya muncul begitu saja saat aku mendengar pertanyaan tentang tipe ideal.

"See, Hana is in love," sungut Dira. Kini ia menatapku sebal.

"Baiklah, aku bertemu dengannya beberapa bulan lalu di kafe. Tapi aku belum cerita padamu," kataku jujur.

"Eh tunggu sebentar, Mas Ian pernah bilang dia jadi langganan di kafe sekitar kampus. Jangan-jangan kalian sebenarnya sudah ketemu?" seru Dira, tampak antusias.

Padahal kafe di sekitar kampus bukan hanya punya budhe saja. Ada puluhan kafe sejenis yang ada di sana.

"Lagipula kalau dipikir-pikir tipe ideal Hana itu Mas Ian sekali ya?" Mbak Irene ikut menggodaku.

"Coba nanti aku tanya Mas Ian di mana dia biasa nongkrong bareng teman-temannya," kata Dira lagi.

"Mas Ian sebentar lagi ke sini kok. Dia kan mau bantu menata tempat buat pengajian nanti malam," sahut Mbak Irene.

"Nah itu dia," ucapnya lagi sambil menunjuk seseorang.

Aku tidak begitu jelas melihatnya karena tertutup oleh punggung ayah dan ibu Dira. Aku baru saja kembali memasukkan beberapa suvenir ke dalam plastik ketika kudengar langkah-langkah kaki mendekat ke tempat kami bertiga duduk.

Seorang jangkung dengan tubuh tegap berjalan menuju ke arah kami. Saat itu juga pandangan mataku bertemu dengannya.

Tunggu....

"Mas Iannnn!" sapa Dira girang melihat saudara sepupunya.

Aku ingin sekali tidak melongo, tapi refleksku berkata lain.

"Kenalin, ini Mas Ian," kata Dira saat akhirnya saudara sepupunya itu berdiri di depanku. "Mas Ian, ini Hana."

"Aku sudah kenal, kok.Iya kan, Hana?"

Kali ini giliran Dira dan Mbak Irene yang dibuat melongo.

"Satria Ardian. Ian?" tanyaku saat nyawaku yang tadinya seperti melayang entah ke mana,kembali ke tubuhku.

Satria mengangguk lalu tersenyum."Pantas saja sepertinya aku familier denganmu. Ternyata foto yang ada di kamar Dira itu kamu, ya?"

Satria pasti sedang membicarakan tentang fotoku dan Dira yang diambil saat ospek kampus.

"Yang jago olahraga, kalem, dan punya senyum menawan, ya?" Dira menyenggolku sambil tersenyum penuh arti.

Aku buru-buru menekap mulutnya yang ember sekali itu. lalu nyengir pada Satria yang menatap kami berdua dengan terheran-heran.

"Berarti kita bertiga satu angkatan, ya?" tanya Satria yang ku jawab dengan anggukan kepala. "Kok kalian bisa kenal baik padahal kan nggak satu jurusan?" tanyanya lagi menunjuk padaku dan Dira bergantian.

"Kita ketemu pertama waktu ospek kampus terus kenalan dan berteman baik sampai sekarang," jawabku.

Setelah itu aku dan Satria mengobrol seputar jurusan masing-masing sampai part time ku di kafeBudhe yang menjadi langganannya.

Dira diam-diam menyenggol lengan Mbak Irene tanpa sepengetahuanku. "Mbak, sepertinya kita nggak perlu susah-susah ngenalin mereka berdua. Takdir sudah mengambil perannya sendiri."

Continue Reading

You'll Also Like

678K 2K 49
🔞🔞🔞 warning sex!! you can cancel if you don't like it.This is only for the guys who have sensitive desire in sex.🔞🔞
63.3K 2.9K 38
Collection of Indian short stories.
104K 3.6K 16
علاقه حب ثلاثيه جون و جيون top تاي بوسي bottom
71.5K 1.9K 15
Ethan never really speaks to anyone but his friends and always has an attitude. Kyson is the only one who can make him speak and lose his attitude