Wen Junhui
As
Jourell Ravinsa
"Bu, Bu, Arel Ganteng gak?"
"Pak, baju Arel bagus gak hari ini?"
"Bu ... "
"Pak ... "
Ya gitu.
Kira-kira itulah pekerjaan gue sehari-hari kalau di RSJ; cuma bikin riweuh hidup orang. Kadang beberapa diantara mereka ada yang langsung ngacungin jempol sebelum gue nanya saking udah hafalnya dengan kebiasaan gue yang itu. Niatnya sih sekedar hiburan, masalahnya kalau Jourell Ravinsa gak ada di klinik Konseling, pasti mereka nanyain dan pada nyariin terus bilang; 'Kangen banget Ibu sama Arel, cepet masuk ya ganteng' plus emotikon love sebaris penuh khas emak-emak alay.
Sepertinya gue bisa masuk kedalam jajaran senior di Rumah Sakit Jiwa Provinsi. Sejak lulus S1 sampai lanjut S2 dan sekarang udah lulus alias bergelar master, Arel masih betah kerja di RSJ hingga disebut sesepuh oleh temen-temen satu squad gue. Gue gak tau kenapa tiba-tiba kita jadi bikin squad yang isinya para personil Rumah Sakit Jiwa. Yang gue inget sih dua tahun lalu kita semua ikutan lomba agustusan terus gak sengaja tergabung kedalam satu kelompok yang sama. Karena menang dan hadiahnya harus bagi-bagi, alhasil malemnya kita jalan-jalan ke pusat kota buat jajanin uang hadiahnya.
Banyak banget pasien yang nanya sama gue, bedanya Psikolog sama Psikiater itu apa sih? Kok yang itu punya gelar dokter sedangkan gue enggak padahal sama-sama kerja di Rumah Sakit Jiwa? Gimana ya, meski punya latar belakang yang sama karena sama-sama mendalami ilmu kejiwaan dan perkembangan manusia, sebenarnya ada yang sedikit membedakan kita berdua. Baik Psikolog atau Psikiater memiliki konsentrasi praktik yang sama seperti penanganan, pencegahan, diagnosis, dan terapi. Hanya saja, Psikiater boleh memberikan terapi obat-obatan atau Farmakoterapi karena basic mereka sebelumnya dari Kedokteran. Sedangkan Psikolog lebih fokus ke aspek sosialnya, seperti memberikan terapi psikologi atau psikoterapi yang lebih mengedepankan upaya pendekatan secara individual dan sosial.
Ngerti gak lo?
Kalo enggak, yaudah gak usah dipikirin, gue juga males ngelejasinnya lagi, ruwet.
Di hari kamis pagi, gue udah ada jadwal kegiatan buat ngadain penyuluhan sosial di Kota Baru Parahyangan. Rencananya udah dari seminggu lalu, katanya sih program dari dinas kesehatan juga dan kebetulan yang ditunjuk adalah Klinik Konseling Rumah Sakit Jiwa Provinsi. Gue dandan kece banget hari ini, padahal orang-orang kompakan pake baju dinas yang warnanya kuning kecoklatan mirip-mirip seragam PNS gitu. Masalahnya gue jadi pembicara, pokoknya harus keliatan ganteng dan necis di mata para peserta nanti.
Gue udah sebar di grup soal acara hari ini, siapa tau salah satu dari Manjiw Squad ada yang dateng buat ikut ngeramein acara. Sebel banget gue beberapa minggu ini grup wa sepi terus, katanya sih pada sibuk dan gue sendiri juga ngerasain itu tapi gak sampai lupa buat sekedar megang hape. Alesan doang pasti para kaum jomblo mah, padahal kalo di rumah kerjaannya cuma rebahan mirip orang lagi latihan jika seandainya suatu hari dijemput ajal.
Yang dateng pagi itu cuma Vernon sama Joshua, itu pun gak lama karena katanya baru pada selesai praktek. Padahal tadinya gue pengen ngobrol dulu bentar sambil ngopi kuaci kayak biasanya, tapi mereka main pergi aja sebelum sempat ngomongin ini itu. Alhasil gue berujung godain para mahasiswa PKL yang kebetulan pada ikut acara kegiatan. Kayaknya beberapa diantara mereka ada yang baper deh, gue udah nandain satu yang paling cantik dan imut buat jaga-jaga kalau suatu hari pengen jalan ke Kota.
Saat lagi baca-baca pesan grup, gue cukup terkejut ketika Joshua- laki-laki yang beberapa puluh menit lalu ketemu gue di tempat ini mengirimkan sebuah gambar yang bikin warga satu grup panik. Masalahnya dia fotoin tangannya yang lagi dapet transfusi darah gitu, gue curiganya dia kecelakaan tapi gak mungkin toh masih bisa WhatsApp-an. Setelah ribut sama anak-anak grup, akhirnya beberapa diantara kita yang lagi gak punya jadwal praktek atau tugas di rumah sakit langsung meluncur ke apartemen Joshua di daerah Pasteur.
Saat itu yang gue lihat keberadaannya cuma sekitar tujuh orang termasuk gue didalamnya. Ada Gatra, Dipta, Mada, Vernon, Pram, Johan, dan juga gue. Catra gak bisa izin karena lagi ada pasien detoksifikasi baru di Instalasi NAPZA, kalau Dino jelas gak akan dateng soalnya punya jadwal praktek terapi tetap dari jam delapan sampai jam dua siang, Arthur gak bisa pergi karena harus mengawal pasien rehabilitasi mental remaja, sementara Raga dan Khrisna jaga di UGD menggantikan Johan yang matanya masih belel akibat belum tidur semalaman. Bodohnya, Joshua gak jawab apa-apa lagi setelah mengirim foto tersebut di grup WhatsApp. Beberapa diantara kita gak ada yang tau Joshua tinggal di kamar nomer berapa, untungnya Pram pernah nganter Joshua pulang dan dia inget-inget lupa tapi yakin kalau kamarnya ada di lantai dua.
"Anjing itu bukan di Rumah Sakit kan? Gue liat kayak dekor kamarnya." Makian Johan terdengar panik. Dia cuma pake kaos dan kolor yang dilapisi jaket, keliatan banget kalau dia udah siap-siap mau cosplay jadi bangke.
"Bukan, itu di kamarnya, gue pernah video call sekali." Mada yang jawab, mentang-mentang lagi gak ada kerjaan karena lab-nya sepi, dia bisa izin dengan mudahnya dengan alasan mau jenguk keluarga yang sakit.
"Gue mampir doang dulu, tapi cat-nya sih abu, kayak cat rumahnya." Pram menambahkan, semakin memperkuat asumsi kita semua kalau Joshua memang ada di rumahnya.
"Dia kenapa sih? Lo semua yang punya basic kejiwaan gak bisa nerawang apa woy si Joshua kenapa?" Mulut si Gatra ya bener-bener .... Dikata yang ngerti kejiwaan tuh peramal apa? Kita juga kalo mau mendalami jiwa seseorang ya harus menjalankan tes diagnostik, gak seenak jidat nentuin oh dia begini, atau oh dia begitu.
"Mana gua tau, ngumpul aja udah jarang anjing." Balas Johan, masih betah aja dia sama kata-kata sakti yang wajib banget keluar dari mulutnya; Anjing.
"Kayaknya nomer 122 deh, itu kayak sepatu Joshua ketinggalan sebelah." Dipta yang sejak tadi menutup mulut dibelakang bareng Vernon angkat bicara, menunjuk sebuah kamar dengan sebelah sepatu didepannya yang persis banget kayak sepatu Joshua tadi pagi. Orang-orang langsung lari, mereka rebutan automatic lock di papan pintu mirip bangsat mau nyolong. Bukannya permisi atau ngetok pintu, mereka malah nekan tombol-tombol yang ada disana bermodalkan tebakan angka yang mereka tau soal Joshua.
"Ulang tahunnya goblok! Ulang tahunnya!" Saran Pram, masih adu pantat karena rebutan bareng Johan.
"Plat nomernya lah anjing, kan dia sayang banget sama mobilnya."
"Rumah orang woy! Lo mau dibekuk satpam?!" Akhirnya gue yang udah capek banget liat kelakuan mereka melerai. Keduanya damai, nyobain plat nomer Joshua tapi gagal. Baru pas nyoba tanggal dan bulan lahir laki-laki itu, pintu tiba-tiba terbuka sampai semua orang jingkrak-jingkrak kegirangan. Dasar manusia idiot.
"Jo!"
"Joshua Soptener!"
"Obok-obok!"
Mereka yang teriak tapi kok gue yang malu sih? Untungnya gue cuma narsis doang, gak sampai punya kelakuan lawak kayak mereka yang berjalan didepan. Tim selow ngekor aja dibelakang, apalagi Dipta sama Mada yang langsung geleng-geleng kepala melihat tiga orang didepan ngelabrak rumah orang seenaknya.
"LO SEMUA KALO MASIH TERIAK GUE TUNTUT ATAS TUDUHAN MASUK KE RUMAH ORANG TANPA IZIN!"
Seketika langkah semua orang terhenti,
Bukannya takut, mereka malah ketawa girang karena itu tandanya Joshua baik-baik aja. Semuanya rebutan pintu kamar, membuka sebuah ruangan dengan cat abu-abu gelap itu yang dihuni oleh dua orang manus-
Wait,
Kok dua orang?
Joshua ... ngurung cewek?
"Wow."
Itu adalah respon pertama Vernon yang kepalanya baru bisa nongol dibalik pintu,
"Ada cewek, pantesan ngamuk. Skuy kita balik." Usul Johan.
"Dia dokter gue, jangan malu-maluin plis, gue lemes gak bisa bangun." Joshua menjelaskan, gue pikir itu pacarnya, lumayan dong bentar lagi bisa prasmanan kalau iya mereka jadian. Tujuh orang ini masuk kedalam kamar dengan tidak tahu malunya, langsung rebutan pinggiran kasur supaya bisa duduk didekat laki-laki yang keliatan pucet banget itu.
"Pantesan lo bilang very tired, ternyata lo gini ya, Jo." Ucap Vernon yang berdiri karena gak kebagian duduk, sepertinya mereka sempet ngobrol banyak makanya Vernon tau.
"Tadi lo gak apa-apa goblok, makanya jangan kecapean, belom kawin lo." Johan memukul perut Joshua, padahal kita semua belum tau apa sebab yang membuat Joshua sampai terkapar lemas kayak gini.
"Lo kenapa sih?" Tanya Mada, hampir barengan sama Pram yang sekarang mijit-mijit kaki Joshua. Terharu banget gue sama mereka dan diri sendiri, meski sibuk masih aja bisa sempet ngeluangin waktu buat Joshua.
"Dokter Joshua mengidap Talasemia minor." Yang jawab bukan Joshua, tapi cewek yang sekarang sedang membereskan alat-alat kesehatan diatas meja. "Penyakitnya genetik, beberapa hari ini dia kelelahan dan hemoglobinnya turun drastis sehingga memerlukan transfusi untuk menambah sel-sel darah merahnya."
Semua orang terdiam, di wajah mereka tergambar sedikit kekecewaan terhadap Joshua yang baru menceritakan keadaannya sekarang. Dari yang bisa gue nilai, orang seperti Joshua ini adalah orang yang sulit sekali membuka diri kepada orang-orang. Dia tidak suka kalau dunia ikut tahu soal kesulitannya, dia gak mau jadi beban sehingga membiarkan dirinya memikul bebannya sendiri tanpa mau berbagi. Padahal apa sih yang harus diragukan dari dua belas temannya ini? Meski gak bisa membantu kesembuhannya, sedikitnya kita bisa memberikan dukungan dan dorongan supaya mentalnya juga gak ikutan down kayak sekarang.
Beruntung orang-orang yang ada disini sudah memiliki pemikiran yang dewasa. Meski kecewa, mereka gak menunjukkan itu kepada Joshua yang sekarang menangis entah karena apa. Pram yang dikenal paling cengeng ikutan nangis tanpa sebab, masih baik gak ada Khrisna, soalnya kalau ada, Pram pasti bakalan diejekin abis-abisan sampe jadi bahan olokan.
"Bro, yang kuat ya. Jangan kecapekan, dokter gak cuma lo doang dan pasien-pasien lo pasti pada baik-baik aja."
Itu adalah wejangan dari Johan yang paling dekat dengan Joshua sehingga tau kesibukan apa aja yang dijalani laki-laki itu.
"Harusnya lo bilang, Jo. Semangat pokoknya, gue gak mau lagi liat lo kayak gini."
Yang itu adalah ucapan semangat dari si anak mami yang selalu cekokin Joshua game-game online supaya gak tertekan; Dipta.
"Anjir ini darah beneran."
Tolong jangan didengarkan, soalnya itu cuma keisengan Gatra Senja Wirawan yang mencet labu darah sampai tangan Joshua keram karena kelakuannya.
"Lo kalau gini lagi, gue beneran bakalan masukin lo ke instalasi rawat inap. Mental lo perlu dirawat, mulai sekarang lo gak boleh mendam apa-apa sendirian. Kalau capek, bilang. Kalau lelah, istirahat. Lo juga manusia, Jo, kita cuma makhluk egois yang seharusnya ... lebih memikirkan diri sendiri dulu dibanding orang lain. Ngerti ente?"
Rasanya gue pengen meluk mereka semua, terharu banget sama ucapan Pram yang barusan. Buat gue, Rumah Sakit Jiwa dan tiga belas jiwa yang ada di kehidupan gue bukan cuma sekedar rumah atau teman saling berbagi. Lebih dari itu, mereka adalah keluarga dan harapan. Mereka adalah tempat dimana siapapun bisa disembuhkan, termasuk hal-hal kecil seperti ini yang seharusnya memang tidak disembunyikan.
"Cepet sehat, Jo. Nanti kalau ke klinik Konseling, gue bakalan mengakui kalau lo lebih ganteng dari gue didepan orang-orang."
***
Lo ngerti kan sekarang kenapa gue betah banget kerja di Rumah Sakit Jiwa? Gue gak peduli apa kata orang, yang penting gue bahagia dan ikhlas selama bekerja ya pasti gue jalani dengan sepenuh hati. Kapan lagi coba lo bakal ketemu sama temen-temen kayak mereka semua? Kapan lagi lo akan menemukan rekan-rekan kerja yang mau menerima semua kelakuan aneh lo disaat mereka semua tau kalau lo gak seharusnya demikian mengingat profesi yang lo pegang sekarang? Pokoknya di mata gue, Rumah Sakit Jiwa gak cuma tempat buat para orang sakit jiwa yang butuh pengobatan, tapi juga tempat dimana para pekerjanya belajar untuk menghargai setiap cerita-cerita kehidupan.
Sebagai Psikolog di Klinik Psikometri, hidup lo gak lebih dari sebuah rollercoaster yang siap naik turun oleh kisah kehidupan para pasien yang datang silih berganti. Gue sering bersyukur setiap kali bertemu dengan pasien yang memiliki beban hidup yang mungkin gak bisa gue tanggung. Rupanya hidup gue terhitung beruntung, nasib gue sangat baik karena tidak harus melewati hal-hal sulit yang membuat jiwa kita sakit. Kemudian dari situ gue sadar, kehadiran orang-orang seperti mereka bukan untuk ditakuti atau dijauhi, justru keberadaannya harus kita rangkul supaya mereka bisa menghilangkan pikiran bahwa dunia gak akan selamanya tidak berpihak kepada mereka.
"Arel kebagian pasien minggu lalu ya, Albar."
Gue yang lagi asik ngelamun tiba-tiba terperanjat saat Pak Bonny menyerahkan satu map berwarna kuning diatas meja kerja gue. Saat mendongak, laki-laki itu cuma senyum sampai pipinya yang menggembung semakin melar lagi. Gue udah nyaranin Pak Bonny buat diet, dia nurut sih beberapa hari sampai keliatan agak kurus tapi tetep aja gagal pas kebetulan ada tukang bakso mangkal didepan rumah sakit.
"Jadwalnya hari ini emang, Pak?" Tanya gue, padahal hari ini gue sudah menangani lima pasien sekaligus. Sepulang dari apartemen Joshua kemarin, gue langsung balik ke RSJ untuk mengurus laporan kegiatan sehingga yang punya jadwal konseling dialihkan ke hari berikutnya dengan pemberitahuan yang sudah diinformasikan melalui pesan singkat di hari sebelumnya.
"Kemaren, kan di oper ke hari ini semua." Jawabnya. Gue cuma manggut-manggut, lalu setelah itu pintu terbuka dengan dua orang yang masuk kedalam. Mereka ibu dan anak, rumahnya di Kopo dan sengaja datang jauh-jauh kemari untuk terapi pengobatan.
Kondisi remaja laki-laki yang menatap sinis orang-orang itu cukup memprihatinkan. Dia mengidap Paranoia, baru dibawa ke Psikiater minggu lalu dan dirujuk untuk mendapatkan terapi psikologis dari Psikolog. Kondisinya belum terlalu parah meski tanda-tanda halusinasi mulai bermunculan. Gangguan Kepribadian Paranoid adalah salah satu gangguan kepribadian yang memengaruhi pola pikir, fungsi, dan perilaku penderitanya. Untuk kasus Albar sendiri, dia memiliki rasa curiga dan tidak percaya secara berlebihan kepada orang lain. Dia enggan berbicara dengan orang lain, cenderung menyimpan dendam, dan meyakini bahwa semua orang dan kejadian selalu 'mengancam' atau 'merendahkan' dirinya.
"Bu, ngapain sih kita kesini lagi? Mereka cuma mau ngetawain Albar, Bu." Bisiknya pelan namun masih bisa gue dengar. Menurut penuturan Ibunya minggu lalu di sesi konseling, Albar mengalami masa kecil yang gelap. Dulunya, kedua orang tua dia bekerja di luar negeri sebagai pegawai kedutaan. Albar dititipkan pada seorang pengasuh yang ternyata tidak merawatnya dengan benar. Albar mendapat kekerasan fisik, dia juga sering ditinggal disebuah lingkungan kumuh yang pergaulannya sangat rawan. Hingga besar, Albar punya keyakinan tersendiri bahwa orang-orang yang melihatnya sedang meremehkan dan berpikir negatif soal dirinya.
"Albar?" Gue menyapa disertai senyuman, remaja laki-laki yang baru genap berusia tujuh belas tahun itu menatap gue tajam seraya bersembunyi dibalik punggung ibunya. "Kak Arel mau ngobrol lagi, sini." Ajak gue, ibunya tersenyum kemudian meminta maaf. Dia membawa putranya duduk dihadapan gue yang masih mencoba memasang wajah ramah.
Setelah bersusah payah mengajak ngobrol remaja laki-laki itu, akhirnya tiba dimana gue melakukan beberapa tes untuknya. Albar memiliki sifat yang ketus dan agresif, dia benar-benar tidak suka orang lain- apalagi yang asing di hidupnya. Usai memerintahkan seorang mahasiswa magang untuk menemani Albar selama melakukan tes lanjutan, gue meminta untuk berbicara empat mata dengan ibunya yang terlihat sangat resah sembari terus melihat jam di pergelangan tangannya.
Ini nih,
Mau anaknya sembuh gimana coba kalau Ibunya masih saja sulit membagi perhatian antara pekerjaan dan kesehatan anaknya sendiri?
"Bu," gue mencoba menarik atensinya, "Bisa berbicara sama saya sebentar?" tanya gue dengan sopan.
"Oh, iya, Mas Arel." Katanya, "Tes-nya masih lama gak? Saya udah ditelepon pihak kedutaan, ada sedikit masalah di kantor Imigrasi Bandara Husein."
Gue menghela napas pelan, "Tiga puluh menit, Bu. Ditemani dulu ya? Kasihan Albar." ucap gue lalu membuka lembaran kertas diagnosa yang sudah gue isi. "Ada gejala lain yang muncul, Bu?"
"Itu, Mas. Kata guru di sekolahnya, Albar sering bertengkar. Menurut pengakuan Albar dia mendengar teman-temannya mengejek dirinya, tapi ketika saya dan guru-guru tanya pada yang bersangkutan, mereka bersumpah kalau mereka tidak berkata apa-apa. Itu gimana ya, Mas? Saya khawatir." Jelasnya panjang lebar, kayaknya Paranoid Albar udah mulai serius deh. Dia menunjukkan gejala halusinasi, apa yang didengarnya bisa saja tidak nyata dan merupakan halusinasi semata.
"Bu, kita lihat seminggu kedepan ya perkembangannya. Kalau masih seperti itu, saya akan merujuk Albar ke Klinik Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja untuk ditangani secara medis." Gue mengusulkan, kadang di beberapa kesempatan halusinasi memang banyak menimbulkan kerugian dan bahaya bagi orang-orang disekitar penderita. "Untuk apa yang Albar dengar, dia pasti menderita Halusinasi Pendengaran, tepatnya Phonema dimana Albar mendengar suara-suara jelas yang seakan-akan berasal dari manusia."
Sontak matanya berkaca-kaca, "Jadi gimana, Mas? Terus saya sekarang harus apa?"
"Seperti yang sudah saya bilang minggu lalu, sebagai satu-satunya orang yang dipercaya Albar, Ibu harus memberikan perhatian extra dan meyakinkan Albar kalau orang-orang tidak seperti yang ada dalam pandangannya. Ibu harus bisa memotivasi Albar, masalahnya dukungan keluarga punya impact yang lebih besar dan berpengaruh dibanding praktisi kesehatan sekalipun." Gue menjeda penjelasan gue sebentar kemudian melanjutkannya, "Bu, tolong bagi prioritas ibu, ya? Kesembuhan Albar juga ada di tangan ibu."
Perkataan gue barusan membuat perempuan bersetelan rapi itu tertunduk lama, sesekali dia mengusap matanya. Bagi wanita karir, membagi perhatian terhadap hal lain tentu sangat sulit. Tapi gue yakin, nalurinya sebagai seorang ibu gak akan membiarkan dirinya lepas tanggung jawab begitu saja terhadap kesehatan mental anaknya. Dia mengucapkan terimakasih, bersamaan dengan itu Albar keluar dari ruang tes diantar oleh mahasiswa magang yang gue tugaskan untuk menemaninya. Gue mempersilahkan mereka berdua untuk pergi, hasilnya akan gue kabari nanti sekaligus menunggu perkembangan Albar minggu depan.
Setelah memeriksa hasil tes, gue langsung menyimpannya di laci meja kerja. Hari ini jam kerja sudah berakhir, dan gue sudah bisa bangkit dari kursi yang hampir lima jam lamanya gue duduki. Saat berjalan menyusuri bagian depan gedung rumah sakit, gue gak sengaja bertemu dengan Catra yang sedang duduk di tepian teras koridor bersama satu kaleng minuman bersoda di tangannya.
"Tra."
Dalam satu hempasan gue duduk disamping laki-laki itu, Catra sampai tersedak oleh soda saking kencangnya gue menepuk punggungnya.
"Anjir, perih idung gua, Rel." Katanya lalu terbatuk. Gue meminta maaf, masih gak bisa berhenti ketawa ngeliat Cayra yang sekarang memuntahkan isi soda dalam mulutnya ke tanah berumput dibawahnya.
"Maaf, maaf, gue pikir gak bakalan keselek."
Laki-laki itu menatap gue dengan mata yang memerah, "Si Joshua udah praktek belom?" tanyanya.
"Hari ini gak ada jadwal, tapi kayaknya dia belom praktek dimana-mana sih." Jawab gue, soalnya tadi pagi pas lewat klinik saraf pintunya ketutup dan gak ada satu pun perawat yang keluar masuk. "Lagian dia drop banget anjir, sakit gak bilang-bilang kan tai."
"Kemaren malem gue WhatsApp doi lagi makan anggur katanya, ditemenin dokter pribadinya."
"Cewek tau, Tra. Cakep anjir, pengen gua jodohin aja rasanya." Kita berdua tertawa, lagian dokternya Joshua beneran cantik, malah gue pikir dia ceweknya doi yang sengaja diumpetin dirumah. "Lo ngapain nyasar dimari? Perasaan Instalasi NAPZA diujung dunia dah."
Dia meminum sodanya lagi lalu melihat gue dengan pipi yang menggembung, "Naik angkot gua kemari." candanya, "Barusan abis dari lab, ngasih sample urine pasien detoksifikasi gue yang masa detoks-nya udah selesai terus gak sengaja terdampar disini, ngadem."
"Oh iya, NAPZA aman?" Tanya gue, soalnya Instalasi NAPZA tuh menurut gue paling ekstrim sih, tentunya selain bangsal rawat inap intensif.
"Aman, ya meski sekalinya nanganin pasien sakau rasanya gue pengen ikutan sakau. Hahaha." Yang khas dari Catra Surya Wirawan ini tentu suara tawanya, kenceng banget kayak perahu otok-otok. Tapi kalo udah memerankan perannya sebagai dokter, dia kayaknya bakalan berubah jadi orang paling serius di dunia. Gue gak bohong, satu ancaman dari mulutnya terdengar sangat menusuk bagi para pasien gaduh gelisah yang sedang dia tangani.
"Yaudah bro, gue pamit kesorean nih ntar macet." Ucap gue berpamitan, laki-laki itu sempat melakukan tos sama gue sebelum akhirnya gue meninggalkan dia sendirian di koridor dekat UGD. Sepanjang perjalanan menuju parkiran, sesekali gue melempar kunci mobil gue untuk menghilangkan rasa bosan.
Sepertinya hari ini gue gak pulang ke rumah, gue pengen ketemu sama keluarga gue yang udah lama banget gak gue temui. Meski berasal dari keluarga yang gak utuh, gue tetap merasa bersyukur karena setidaknya gue tidak berujung seperti korban-korban broken home yang sering gue tangani. Sebenarnya hidup itu mudah. Asalkan lo mampu menghargai dan mensyukuri apa yang lo jalani, lo gak akan punya tekanan yang membuat jiwa lo rusak perlahan-lahan. Yang terpenting, lo harus terus berpikiran positif sehingga hidup lo akan dipenuhi oleh keikhlasan dan mengalir lancar dengan normal-normal saja.
"Bunda, Arel pulang."
Ucap gue kemudian memeluk perempuan yang setiap jam empat sore akan memasak untuk dirinya sendiri dan satu adik laki-laki gue di rumah. Tubuhnya semakin tua, sampai sekarang gue gak bisa membayangkan gimana sedihnya jadi perempuan yang suaminya memilih menikah dengan teman dekatnya sendiri.
Kehancuran, kekecewaan, rasa sakit, semua itu Bunda tampung sendirian tanpa pernah menunjukkan kalau dia serapuh itu pada anak-anaknya. Gue banyak belajar dari beliau, dia bilang meski kita disakiti dan dikhianati, kita gak boleh membenci orang apalagi sampai berakhir menyakiti diri sendiri dengan hal-hal yang seharusnya tidak perlu terjadi. Bunda selalu mengajari anak-anaknya untuk ikhlas, karena katanya, di dunia ini tidak ada sesuatu yang benar-benar berakhir dalam keabadian sehingga setiap orang harus siap untuk kehilangan.
Ketabahannya dan caranya memandang dunia dengan sudut pandang yang berbeda sukses membuat gue termotivasi sehingga berakhir menjadi Jourell Ravinsa seperti sekarang, seorang Psikolog ahli yang sudah membantu banyak sekali jiwa dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat.
✡️✡️✡️
Sayang banget sama Arel😭