Imaji dalam Kata

By inariwritingproject

3.3K 205 14

Kumpulan cerita pendek penulis Penerbit Haru More

Second oleh Kern Amalia (@dityakai)
Secangkir Memoar oleh Endina Artha
Kopi-Kopi Sofi oleh Amina Sy
Bad Dream oleh Afaanin Ulayanisa
Melody from My Heart oleh Fika Widya Sari
FATE oleh Eria Nova
Coffee and Milk oleh Denaner Pratama (@vierseason)
Gerimis di Jendela oleh David Lee (@itsdavidguys)
Darren Bodoh oleh Fitria Meilia
Kick oleh David Rohadi
Sang Pengkhianat oleh Hanna A. Santoso
Bait Terakhir oleh Ade Agustia Putri
A Risk oleh Des Indriani S
Bertahan oleh Ade Agustia Putri
Rumah Gudang oleh Bayu Febriyanto

A Cup of Tea oleh Elisabeth Cindy (@KuroyukiAlice)

144 13 1
By inariwritingproject


Jika bagi Julio, Mei hanyalah secangkir teh ala kadar di musim gugur, maka bagi Mei, Julio adalah secangkir besar teh panas penuh mahkota bunga merah di musim dingin (lengkap dengan perapian hangat dan kukis cokelat).

***

Mei memandangnya dengan mata penasaran. Pada pemuda yang duduk di hadapannya, yang duduk dengan kedua kaki dinaikkan ke atas kursi, sebuah buku sketsa tebal di tangannya, menjadikan lututnya sebagai pangkuan. Tangannya yang berjemari panjang bergerak lincah menorehkan garis-garis hitam dari pensil arang, menuangkan apa yang ada di pikirannya menjadi sebuah kenyataan.

Mei memandang pemuda itu dengan kepala bertengger di satu tangan. Sebelah tangannya mengaduk-aduk isi cangkir tehnya yang merah kecokelatan, masih saja sedikit hangat. Cangkir milik si pemuda juga masih sama terisi dengannya, tapi isinya sudah dingin dan tidak lagi nikmat untuk dicecap.

Dari arah pandang Mei, dia melihat pintu kayu yang diayun terbuka, mendengar loncengnya yang sedikit berkarat bergemerincing ringan. Pelanggan yang datang membawa angin basah musim gugur ikut masuk bersamanya. Mei dapat merasakan tubuhnya merinding.

"Hei." Pemuda itu menengadahkan kepalanya. Mulutnya tersenyum pada Mei. "Hari ini dingin, ya?"

Mei mengangguk pelan. "Tehmu sudah dingin, tidak mau pesan lagi?"

Pemuda itu hanya bergumam pelan dan kembali menyibukkan diri dengan buku sketsanya. Mei hanya diam dan tersenyum. Dia menatap ke luar jendela dan menyeruput teh hibiscus-nya. Pemuda itu memang begitu, kadang-kadang mengabaikannya dan semua yang ada di sekelilingnya. Dan di lain waktu, dia bisa menjadi begitu peka terhadap lingkungannya hingga bahkan sadar akan kelainan cara bernapas seorang yang dekat dengannya. Mei tidak pernah bisa menghapalnya, kebiasaan si pemuda. Semuanya masuk secara perlahan, meresap ke kepalanya dari tahun ke tahun.

Mereka bertemu lagi setelah lima tahun tidak bertatap muka. Ini takdir, Mei tidak akan menyebutnya kebetulan. Takdir, takdir. Mei tidak ingin pertemuan mereka ini hanya pertemuan sama dengan beribu orang lainnya, itu terlalu manusiawi. Mei berprasangka lebih dengan pemuda itu, seperti layaknya segala hal yang sudah digariskan di dunia ini. Satu hal selalu berkaitan dengan hal lain, seperti kumpulan domino yang jatuh dan membuat yang lain ikut jatuh dan menyebabkan jalur domino roboh. Kadang kita punya kekuatan untuk membuat deretan domino itu berhenti jatuh. Tapi Mei punya kuasa apa? Gadis itu lebih senang melihat barisan domino-domino itu jatuh dan membuat pola yang akan membuatnya terkejut.

Mei senang melihat keping-keping dominonya jatuh, membuat sebuah kejadian A menjadi B, B menjadi C. Mei senang melihat pemuda itu masih tidak berubah dan tidak dapat ditebak sedari dulu. Seperti dulu.

"Hei," Mei kembali memandang si pemuda, jenuh dengan hujan di balik jendela dan kericuhan orang-orang di jalanan.

Pemuda itu mengangkat kepalanya dan mendapati mata si gadis padanya. "Kau mengamatiku dari tadi, hm?" Cengir lebar ada di wajahnya.

Mei terkekeh sambil kembali meminum teh merahnya. "Sedari tadi kau menggambar apa?"

"Pilihan katamu masih unik, ya!" Pemuda itu menurunkan pandangannya dan meletakkan pensil arangnya di atas meja. Dia membalikan lembar sketsanya pada gambar lain yang lebih berwarna. Mei memandang lukisannya penasaran.

Senja di Piazza Navona selalu dapat membuat Mei takjub.Dan pemuda itu melukisnya dengan begitu cantik.

"Cat air?" Fontana dei Quattro Fiumi di atas kertas itu terlihat begitu detail.Terlihat begitu hidup. Terlihat penuh kasih. Mei selalu kagum dengan pemuda itu yang menuangkannya dengan begitu mudah. Mei selalu kagum akan semua afeksi yang dituangkan pemuda itu pada lukisannya.

"Kalau yang tadi kau gambar? Apa?" Pemuda itu tidak membalikan kertasnya ke halaman semula."Cangkirku sudah habis, cangkirmu?" Dia menutup buku sketsanya, mengepak pensil arangnya, dan memasukkan semua ke dalam tas selempang yang ada di kursi di sebelahnya.

Mei tersenyum, mengangkat cangkir itu ke mulutnya dan menegak habis semua isinya. Cairan kemerahan itu dengan mudah menghangatkannya. "Sudah habis."

Hujan sudah berhenti mengguyuri kota kecil itu. Matahari bergulir turun dan membanjiri semuanya dengan corak jingga. Lonceng kecil di pintu terus berbunyi. Kedai teh itu semakin ramai. Mei melihat semakin banyak pasangan.

"Punya janji dengan seseorang?" Pemuda itu menatapnya dengan sembari tangannya meraih selembar tisu untuk membersihkan noda arang di jemarinya.

Mei mendorong kotak tisu lebih dekat ke arah si pemuda. "Tidak juga. Setelah ini aku hanya akan jalan-jalan. Akhir pekan ini agak suntuk."

"Hmm."Pemuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.Rambutnya yang agak berantakan karena angin hari itu ikut berayun.

"Masih mau teh?"

"Boleh, deh." Pemuda itu kemudian melambai ke arah konter dan seorang pelayan berjalan ke arah mereka. Pemuda itu memesankan teh hijau matcha untuk keduanya. Mei tidak mempertanyakan pilihan si pemuda. Dia memang begitu, dan Mei, sekalipun dalam hidupnya, belum pernah bisa membaca niatan pemuda itu.

"Nanti malam kau sibuk?" Pemuda itu menyeruput tehnya dengan masih menatap Mei.

Mei mengerjap pelan. Dia menaruh kembali cangkir ke tatakannya, tehnya masih terlalu panas untuk lidahnya. "Ada apa?"

Pemuda itu berpaling ketas selempang dan merogoh keluar ponsel pintarnya. Sekali-kali melirik Mei yang duduk di hadapannya. Mei melihatnya dan berpikir bahwa dia masih sama. Pemuda itu rambutnya masih sama ikalnya, masih sama berantakannya, masih sama cokelatnya. Iris matanya masih sama birunya, sedikit hijau dan tampak seperti zaitun terkadang. Senyumnya masih sama, tindak-tanduknya masih sama, paradigmanya masih sama. Pemuda itu masih pemuda yang dikenalnya lima tahun silam.

"Ceritakan padaku soal apa yang terjadi selama lima tahun aku absen." Pemuda itu tersenyum. "Apa saja yang berubah dengan kota kecil kita, Isca Dumnoniorum ini."

Mei terkekeh pelan, bibirnya tertarik menjadi senyum lebar. Sebab pemuda di seberangnya memang begitu. Seharian bisa saja tampak tidak peduli, dan seharian lain akan sangat peduli bahkan ke hal-hal kecil sekalipun. Gadis itu menyeruput teh hijaunya, yang penuh kafein, kini dengan lebih perlahan.

Maka Mei membuka mulut dan bercerita. Tentang Exeter yang tidak berubah, kota kecil yang masih sama. Juga tentang kehidupan Mei yang tidak berubah, masih sama jenuhnya sepeninggal si pemuda pergi ke Roma. Mei bercerita tentang semuanya yang masih sama.

Juga berlaku untuk pemuda di hadapannya. Segala dari Julio ialah masih sama.

Karena semuanya masih sama, maka Mei pula masih sama.

Dia masih jatuh cinta.

***

Pernah ada suatu masa, di rentang waktu lima tahun itu, Mei bertanya kepada dirinya sendiri, 'Kenapa kamu masih mencintai pemuda itu?'

Exeter bukanlah tempat lahirnya. Dia lahir di Seville, kota kecil Spanyol. Hangat sepanjang tahun dengan acara-acara tahunannya yang indah dan lampu-lampu peri yang menggantung sepanjang jalan pada malam natal.

Exeter tempatnya pertama kali jatuh cinta. Pada kota yang jauh lebih kecil dari kota lahirnya. Pada bangunan bersejarahnya dan arsitektur gotiknya. Yang cenderung sejuk dan berhujan, bahkan di musim panas. Sehari-harinya kau dapat berpapasan dengan begitu banyak orang yang familier. Mei jatuh cinta pertama kali di sini. Pada rutinitasnya. Pada domestiknya.

Exeter adalah kota kecil dengan pesona yang membuatnya jatuh cinta berkali-kali, berulang-ulang, terus terjadi. Dan Mei sangat menyayangkan diri pulang lebih cepat dan berkutat dengan pekerjaannya yang seharusnya masih bisa ditunda.

Ada lukisan arang di monitor komputernya. Ada rambut cokelat ikal yang mencuat karena angin musim gugur dan senyum di belakang buku sketsa. Mei mengulum senyum.

"Sedang ada di mana? Menara Jam Miles?" Senja sudah tertidur, layar monitor Mei sedikit gelap dengan lembayung tua dan latar orang-orang berkerumun. Satu menara tinggi dengan jam di puncaknya ada di tengah-tengahnya.

[Di sini ramai sekali, ya?Apa selalu seperti ini?] Julio di dalam layar kini sedang mengepak buku sketsanya, mengembalikannya ke dalam tas kanvas selmpangnya. Mei kagum pada pemuda itu, yang dapat melukis di tempat umum, menggerak-gerakan jemarinya untuk memerangkap kenangan, memerangkap kejadian, memerangkap kenyataan. Mei kagum pada kelihaiannya melakukan apa yang dia cintai.

Mei masih jatuh cinta pada pemuda itu.Pemuda yang menganggap pensil dan sketsa adalah separuh hidupnya, dunianya. Maka jelas saja kalau Mei juga jatuh cinta pada seni yang sudah menjadi dunia bagi pemuda itu.

"Kau sudah terlalu lama tidak pulang." Mei melirik ke tumpukan tinggi buku dan kertas coret yang dia singkirkan ke pinggiran kasurnya, tidak terlihat dari layar monitornya. Berbincang dengan pemuda itu selalu dapat menggeser semua prioritas penting yang sudah Mei susun dalam daftar hidupnya. Kadang seram rasanya bagi Mei, betapa pemuda itu dapat menjadi pusat dunianya dengan mudah, tapi pemuda itu tidak perlu tahu. Dan Mei masih tetap akan jatuh cinta padanya.

Julio tertawa. Tawanya kering. Mei rasa syal tipis yang terlingkar di leher Julio tidak cukup hangat untuk menjaga tenggorokkannya tetap lembap.

[Hmm.] Dia menaikkan syalnya yang melorot. Jemarinya terangkat, menyisir helaian rambutnya yang berantakan. Mei melihat noda gelap arang di ujung-ujung jarinya.

"Setelah ini akan ke mana?" Mei melihat-lihat ke sekeliling kamarnya. Gadis itu melihat cermin di sampingnya dan melihat refleksi dirinya dengan kepang dua yang mulai longgar jalinannya. Warna cokelatnya mirip dengan Julio.

Julio berjalan pergi meninggalkan kerumun orang-orang, sebelah tangannya tetap mengangkat ponselnya agar wajahnya terlihat di layar. Anak rambutnya berayun-ayun, oleh langkah lebarnya dan semilir angin. Poninya sudah mulai panjang dan nyaris menyentuh mata. Mata yang sejak entah kapan mulai menatap pada tingkat yang sama dengan iris amber terang Mei.

Mei menyembunyikan senyumnya dan menoleh ke kiri. Mengambil satu dari tumpukan buku dan membuka-bukanya asal. Mei tidak pernah bisa menatap Julio lama. Dia penuh akan pesona dan cara unik yang dapat meruntuhkannya, terutama tatapannya—dan senyumnya. (Absurd, memang. Jangan salahkan Mei.)

[Menulis itu sepertinya menyenangkan. Menuangkan imaji menjadi realita dengan sekumpulan huruf. Ajaib, ya?]

Tidakkah Julio tahu kalau apa yang dia lakukan bahkan jauh lebih ajaib? Mei menyahut, "Menggambar juga." Mei mengangkat kepalanya dan melihat Julio tersenyum kecil.

Atau mungkin tidak. Mungkin Julio sebenarnya tidak punya kekuatan absurd seperti itu dan hanya Mei saja yang terlalu jatuh untuk berpikir rasional. Pernah berkali-kali Mei bertanya pada dirinya sendiri, 'Kenapa kamu masih mencintai pemuda itu?'

[Kenapa musim gugur di Exeter dingin sekali?]sahutnya dengan bibir mengerucut cemberut.[Aku mungkin akan ke pub. Dengan yang lainnya. Kau mau ikut?]

Mei tersentak pelan, ternyata Julio mendengar pertanyaannya. Rupanya dia masih pendengar yang baik—bukan hal baru bagi Julio untuk seperti itu, tapi dengan dia, Mei berasa menjadi anak kecil yang kembali pertama kali melihat dunia, belajar hal-hal baru (tentang si pemuda).

"Mmm, mungkin lain kali."

[Baiklah.Lain kali.]Julio melambaikan tangan. Mei menutup panggilan video mereka.

Pertanyaan itu masih menggambang di kepala si gadis. Itu pertanyaan biasa, sangat klise. Tapi Mei belum pernah mendapatkan jawaban pasti tiap kalinya.

Barangkali karena dia adalah Julio Alvano dengan cara hidupnya tersendiri.

Tapi tidakkah setiap orang di dunia ini punya cara hidup mereka tersendiri? Ada tujuh miliar lebih individual dengan cara hidupnya tersendiri. Dan Mei jatuh pada satu di antaranya.

Kenapa dia? Bukannya yang lain juga sama uniknya?

Mei mungkin akan menjawab karena selera dan keunikkan Julio saling bertautan. Mungkin karena semesta membuatnya tertarik dan jatuh cinta pada pemuda itu. Takdir. Cukup mudah, kan?

Mei menutup layar komputer jinjingnya, meletakkannya di meja nakas dan mematikan lampu kamarnya. Gadis itu menghempaskan diri ke kasurnya, mengabaikan pekerjaan dan buku-buku yang menjadi hidupnya, dunianya.

Mei bahagia. Orang jatuh cinta memang begitu. Mei merasa muda, karena cinta tidak mengenal kata tua, bagian dari Mei akan selalu muda, tidak menua. Karenanya masih begitu banyak waktu untuk mencinta.

Selama dia tetap dapat bahagia tanpa alasan jelas dan jawaban pasti, kenapa perlu menyusahkan diri mencarinya?

Mei tertidur dengan senyum di muka.

***

Lain kali yang mereka janjikan tidak perlu Mei tunggu terlalu lama. Hujan musim gugur di penghujung siang dan Mei menemukan Julio berada di luar pasar swalayan. Ini takdir, Mei tersenyum simpul.

"Hei."

Julio mengangkat kepala dan menoleh padanya. "Hai juga." Pemuda itu ikut tersenyum.

Mei berpaling, ikut menatap ke depan. Sebelah tangannya ditarik dan beban sebelahnya kini menghilang. Pemuda di sampingnya kini berdiri dengan kantung belanjaannya di satu tangan.

"Kubawakan."Julio berkata dengan sangat mudah. Dan dia memang begitu. Melakukan hal-hal spontan yang tidak pernah terpikirkan. Mei masih belum bisa menebaknya. Mei tidak bisa menerkanya.

"Mmm, terima kasih. Apakah kau luang sore ini? Tempat tinggalku tidak terlalu jauh." Mei berdeham, kikuk. Janggal dengan kalimatnya sendiri. Tapi tidak masalah. Sebab Julio bukan orang asing yang baru sekali-kali mengenal keadaan malunya. Banyak yang mereka lewati, bersama-sama.Hingga takdir membawa pemuda itu pergi ke Roma.

Mei mungkin terlalu larut hingga langkahnya tersendat di belakang Julio yang mulai berjalan dengan kakinya yang panjang. "Rumahmu masih di ujung jalan ini, benar?"

Mei tersenyum lebar sambil berlari kecil dan mengejar punggung pemuda itu. Tangan kecilnya membuka payung dan berdiri sejajar dengan si pemuda, distansi nyaris tidak ada dan bahu mereka sering kali bersentuhan. Payung Mei cuma satu, tidak terlalu besar. Dan Mei bahagia, berbagi hangat dengan Julio.

Mei bahagia. Orang jatuh cinta memang begitu, kan?

"Masih."

Mei,masih jatuh cinta pada pemuda itu.

Pada seorang Julio yang masih tak menahu dan sadar akan perasaannya.

Ya, masih.

Continue Reading

You'll Also Like

184K 9.7K 85
So the story is about Doctor Aarohi,,, her position in her family and the things she go through..... Akshara always get more attention and love from...
117K 3.6K 37
Yum sausage.
131K 2.2K 27
រឿងមួយនេះជាប្រភេទ BL s*x ចង់អានក៏អានចុះតែបើប៉ះពាល់អារម្មណ៍កុំបន្ទោសអ្នកសរសេរឲ្យសោះហើយក្នុងនេះក៏មានពាក្យមិនសរម្យច្រើនដែល🤏🔞 Taekook all story 🤯 ___...
12.1K 1.3K 9
This is a short story on TejRan. Recently TejRan were in Laughter chef. so I thought to write a story on it. I have added some my imagination with th...