Madu yang Tak Manis

Per TitaDamayanti

26.5K 1K 27

Dua hati yang pernah disatukan oleh cinta sempat terjerumus ke dalam lembah nista. Namun sang permaisuri ters... Més

1. ORANG KETIGA
2. PRIA BERMATA INDAH
4. KERAGUAN
5. BAYANGAN MASA LALU
6. PRIA BERKHARISMA
7. PENGHINAAN
8. KEHILANGAN
9. LI'AN

3. SUMBER BENCANA

2.5K 100 1
Per TitaDamayanti

MSelepas Isya', aku berbaring di atas ranjang kamar tidur yang sempit. Terdapat satu buah lemari kayu ukir dengan dua buah pintu, di samping ranjang. Satu sisi pintu terdapat cermin berbentuk oval memanjang. Sedang di atas sandaran ranjang, terpajang sebuah foto pernikahan.

Kupandangi langit-langit kamar, yang pada beberapa bagiannya terdapat lukisan abstrak, efek rembesan air hujan. Perlahan ingatanku tertuju pada kenangan akan dosa terbesar yang pernah kuperbuat.

Waktu hatiku belum terketuk sama sekali oleh Islam, agamaku. Ketika Islam hanya tertulis di KTP saja. Dan mungkin, aku hanya sholat dua kali saja selama tiga ratus enam puluh lima hari. Tujuh tahun yang lalu.

Sejak resmi menjadi pacar Mas Yoga, hari-hari membuatku semakin dekat dengannya. Kian berani mengekspresikan perasaan untuk memiliki seutuhnya. Kedekatan yang bukan hanya sekedar saling pandang dan rayuan semata. Bahkan lebih dari itu.

Kontak fisik bukan lagi hal tabu bagiku. Bahkan semakin menjadi candu. Melambungkan angan ke dalam kubangan nista yang kugali sendiri tanpa menyadarinya.

Untuk pertama kalinya, Mas Yoga membawaku ke rumahnya. Rumah yang dia beli setahun yang lalu, katanya. Perumahan yang cukup elit, menurutku.

Kami duduk pada sofa berwarna kuning gading di ruang tamu. Aku memilih posisi duduk pada bagian panjang dari sofa. Sedang Mas Yoga, duduk pada sofa bagian lain yang agak jauh dariku.

Kami berbincang tentang masa depan, terasa begitu indah. Impian-impian setelah menikah. Sungguh membahagiakan dalam bayanganku. Aku yang tak pernah berhubungan dengan pria manapun sebelumnya, terbuai oleh kata-kata indahnya.

Berada dalam satu atap yang dipenuhi cinta dan kasih sayang. Memiliki buah hati dan menghiasi rumah dengan kemesraan yang diciptakan pria berwajah oval itu. Membayangkannya saja membuatku merasa amat bahagia. Saling memiliki dalam keutuhan cinta sepenuhnya. Semua kalimatnya membuatku terbius dan terhipnotis.

Merangkai untaian kasih helai demi helai dan membangun dinding rumah dengan rasa sayang tak terbatas juga keromantisan pemilik suara merdu itu. Wanita mana yang sanggup menahan untuk tidak terbuai impian dan janji-janji semacam itu?

Kupejamkan mata, membayangkan betapa indah masa depan bersamanya. Tak terasa bibirku mengembangkan senyum.

Deheman Mas Yoga membuyarkan anganku akan kehidupan rumah tangga impian. Kubuka mata, memandang ke arah pria yang kucintai.

Diambilnya sebatang rokok, lalu menyulutnya di hadapanku. Dihisapnya dalam-dalam hingga pipinya mengempis. Diembuskannya asap rokok pada wajahku. Tanganku mengibas-ngibas, berusaha mengusir asap rokok dari wajahku.

Uhuk ... uhuk ....

Aku terbatuk. Mas Yoga tertawa nakal melihatku hampir kehabisan napas karena asap rokoknya.

Perlahan, dia mendekatkan tubuhnya pada tubuhku. Hingga tak ada jarak sama sekali. Kurasakan dadanya melekat di punggungku yang duduk membelakanginya. Lalu, sesuatu menempel pada pundakku, dagu Mas Yoga.

Aku risih, sedikit menjauh. Namun, Mas Yoga mendekat lagi. Diraihnya dagu ini untuk menatap wajahnya. Hingga wajah kami hanya berjarak 10 centimeter. Kurasakan embusan napasnya yang hangat, serta bau rokok yang memberikan sensasi menggila mulai menggelitik.

Sekujur tubuhku menghangat dan berdesir tak karuan. Perlahan dikecupnya bibirku, lalu jemarinya mulai bergerilya kesana kemari.

***

Selepas kejadian hari itu, Mas Yoga semakin sering mengajakku ke rumahnya. Hari libur tak pernah absen dia menjemputku, kecuali saat aku sedang mudik.

Rumahnya yang sepi menjadikan setan semakin mudah menyerang dan menutupi logikaku. Kesenangan sesaat dan sesat yang menyeretku, menikmati apa yang seharusnya tak kulakukan.

Melanggar aqidah menjadi hal yang mudah untukku. Tertutup oleh rasa ingin dan ingin.

Atas nama cinta, hah? Bahkan hati kecilku memberontak, apa benar ini cinta?

Namun, perasaan tak ingin kehilangan perhatian pria tampan itu membuatku mengenyahkan perintah hati sendiri. Tetap menuruti kemauannya, dan diperbudak nafsu angkara.

Logika tak lagi punya arti.

Begitulah setan menjerumuskan manusia, satu dosa kecil takkan pernah cukup.

Zina mata juga zina hati yang telah terbiasa dilakukan, semakin membuatku terlena. Hingga tanpa sadar aku sudah menggali lubang kehancuran yang akan selalu membayang-bayangi di masa mendatang.

Dua bulan sudah kulalui dengan diiringi perbuatan terlarang yang kian membuatku kecanduan. Tak mengindahkan wejangan ibu bapak. Tak memperdulikan konsekuensi yang akan kuterima nantinya.

Semakin sering mendengar tausyiah semakin merasa bahwa penyiar tausyiah tersebut adalah orang yang munafik. Menganggap diri ini paling benar.

Pongah, disebabkan hati yang merasa mendapatkan semua kenikmatan karena usaha sendiri dan bukan dari sang pencipta alam semesta. Benar, setan telah berhasil menguasaiku sepenuhnya.

Tak jarang ibu mewanti-wanti, namun siapa yang akan mentaati? Bukankah mereka juga tidak akan tahu apa yang kulakukan? Toh kewajiban sudah kupenuhi. Setan di hatiku telah menjadi teman. Menutup telinga dan nurani dari jalan kebenaran. Kian menjauh dari rabb-ku. Pemilik hati yang haqq.

Durhaka, bukan hanya karena tak mengindahkan nasihat orangtua, tetapi yang lebih durhaka adalah menjerumuskan keduanya ke dalam api neraka disebabkan dosa yang telah kuperbuat.

Rasa pusing dan lemas mulai kurasakan. Awalnya aku menganggap itu gejala masuk angin atau karena penyakit maag yang kambuh. Biasanya akan muntah dan tubuh terasa tak punya tenaga.

Perut melilit, dan wajah yang terlihat pucat.

Vina memperhatikan dan mulai bertanya tentang kondisiku. Dia mengeroki punggungku, berusaha mengusir rasa mual yang kurasa.

Beberapa kali hampir pingsan saat sedang bekerja, sehingga terpaksa ijin pulang lebih awal. Selera makan hilang sama sekali. Melihat nasipun membuatku muntah.

Seluruh isi perut keluar tatkala selesai diisi makanan. Tubuhku benar-benar lemas. Sisa tenaga yang hanya sedikit membuat terbatasnya ruang gerak untuk melakukan rutinitas di pabrik.

Membuka lemari, ingin berganti pakaian saat aku melihat bungkusan warna jingga dalam almari. Mulai kuingat sesuatu. Bukankah tamu rutinku belum datang bulan ini.

Bergegas aku berganti pakaian. Berencana untuk membeli testpack di apotek terdekat.

Berjalan dengan langkah gontai menuju toko obat dekat pasar. Aku memang belum membeli kendaraan, karena merasa belum butuh. Lagipula tempat kostku jaraknya tak terlalu jauh dari tempat kerja.

Tiba di sebuah bangunan bertuliskan 'Apotek Farma' langkahku terhenti. Ada tiga orang perempuan mengenakan jilbab berwarna biru tosca, juga kemeja batik dengan corak senada.

Salah satu penjaga toko melayani, menanyaiku. Ragu-ragu aku menjawab pertanyaannya, yang mungkin curiga dengan permintaanku untuk membeli testpack.

Sorot mata apoteker menelanjangiku dari atas hingga bawah. Pandangannya menelisik.

Wanita berwajah bulat itu nampak kaget.

Sedikit risih, akhirnya kuberanikan diri bertanya lagi, "Ada nggak, Mbak?"

"Oh iya ada, Mbak. Sebentar saya ambilkan."

Perempuan itu berjalan ke dalam. Satu menit kemudian keluar dengan membawa kotak yang berisikan plastik berwarna biru.

Setelah membayar seharga barang, kutinggalkan tempat itu menuju kost.

Masuk ke kamar mandi dan membuka plastik biru muda tersebut. Membaca petunjuknya, lalu melakukan sesuai dengan apa yang ada di dalam lembaran berisi tulisan tersebut.

Betapa terkejutnya aku, melihat dua buah garis merah sedang tersenyum mentertawakan kebodohanku. Kebodohan karena terlalu mudah terjerat perangkap setan dan kata-kata manis Mas Yoga.

Aku bingung, panik, dan cemas. Bergegas kubuka pintu kamar mandi, menuju kamar tidur untuk menghubungi Mas Yoga. Meraih telepon genggam di laci buffet. Memencet nomor yang bertuliskan nama 'Honey'. Nada sambung lagu Ardina Rasti berjudul 'Kangen' terdengar dari ujung sana.

Ingat waktu kamu peluk aku

Cium kedua pipiku

Bilang kamu sayang aku

Bilang kamu cinta aku

Kini kamu telah pergi

Tinggalkan aku sendiri

Aku mulai menyadari

Kamu yang paling berarti

Aku kangen kamu sayang

Masih kangen kamu sayang

Nada yang sebenarnya entah untuk siapa.

"Halo"

Suara Mas Yoga mulai tersambung.

Tidak serta merta kuceritakan apa yang baru saja kualami. Rasa takut dia tidak percaya ucapanku.

Aku meminta untuk bertemu secara langsung. Mas Yoga sempat menolak, tetapi akhirnya dia luluh dan mau menjemputku.

Setelah menutup telepon. Kuganti pakaian. Mengenakan celana jeans ketat berwarna hitam pekat dan kaus oblong putih. Menyisir rambut. Kupatut diri pada cermin besar lemari. Kulit sawo matang, dengan tinggi 160 centimeter, dan body yang sedikit berisi. Orang bilang aku manis, ditambah lesung di kedua pipi.

Sekitar satu jam menunggu, akhirnya mobil putih Mas Yoga tiba di halaman depan rumah kost.

Sosoknya yang tinggi tegap keluar dari mobil mengenakan jaket jeans abu gelap dan celana botol warna senada. T-shirt putih polos yang bersembunyi di balik bahan denim tersebut turut melengkapi gaya casualnya.

"Jadi, mau kemana kita? Baru sebentar sudah kangen lagi, ya?" Mas Yoga bertanya saat aku menghampirinya.

Senyum nakal di bibirnya kembali mengembang.

"Cafe biasa aja, Mas," jawabku, sembari menggamit lengannya.

Tak kuhiraukan candaannya yang sedang tak ingin kudengar. Rasa cemas, takut dan malu mengalahkan kasih yang kurasa.

Kami masuk ke dalam mobil. Kemudian berjalan menyusuri jalanan aspal kota Malang yang sedikit ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang.

Tiba di cafe. Memilih duduk di tempat lesehan pada gazebo yang berjajar rapi di taman. Mas Yoga mencatat beberapa menu pada secarik kertas yang tersedia di meja. Lengannya melambai ke arah pelayan. Seorang pramusaji datang dan menerima kertas dari tangan pria yang duduk di depanku itu.

"Mau bicara apa?" tanyanya setelah waitres tersebut meninggalkan meja kami.

"Ini Mas." Kusodorkan testpack yang sebelumnya telah kugunakan untuk mengecek urin.

"Apa ini, Yan?" Mas Yoga tampak bingung.

"Buka aja, Mas! Setelah kamu buka, kamu akan tahu apa isinya."

Kutatap wajah manis di hadapanku itu penuh makna.

Berharap dia akan memberi solusi sesuai dengan apa yang kuharapkan.

Perlahan dibukanya plastik berwarna biru muda itu. Lalu mengeluarkan isinya. Dia shock dengan apa yang dilihatnya.

"Jadi maksudnya kamu hamil, begitu?"

"Iya Mas. Aku hamil. Aku bingung harus gimana sekarang. Orangtuaku pasti sangat malu jika tahu aku hamil di luar nikah."

Dalam kebimbangan kucoba untuk tetap terlihat setenang mungkin.

"Jadi kita mesti gimana?" Mas Yoga bertanya. Wajahnya tampak gusar.

Jawaban terkonyol yang tak pernah terlintas dalam benakku sebelumnya.

"Ya kamu mesti tanggungjawab, Mas." Kutekan suara. Sebal dengan jawaban Mas Yoga.

Lagi, dia masih tampak gusar. Mungkin benar ucapan Vina, bahwa pria ini hanya ingin bermain-main denganku. Tak ada niat untuk menjadikanku permaisuri di istana dan hatinya.

Berjam-jam kami menikmati hidangan tanpa suara satu sama lain. Saling bergelut dengan perasaan masing-masing.

Berkecamuk berbagai kemungkinan dan alasan akan ditinggalkan dari tanggungjawab Mas Yoga, membuat bola mataku berlarian kesana kemari tak tentu arah.

Mengetuk-ngetuk meja kayu cafe sekedar untuk mengusir rasa takut.

Hingga hidangan yang tersaji habis, pria bermata bulat itu masih tetap terdiam.

Raut cemas nampak jelas dari mimik wajahnya.

Dalam kegelisahan dia berkata, "Baik, kita rahasiakan masalah ini. Minggu ini aku akan melamarmu. Secepatnya kita menikah."

Rasa lega mendengar jawaban itu. Setidaknya aibku akan tertutupi. Akan kurahasiakan ini dari ibu bapak atau siapapun. Tak ku tahu waktu itu. Bahwa Islam melarang pernikahan saat mempelai wanita tengah mengandung.

Lampu kamar yang tiba-tiba meredup membuyarkan lamunan dari kenangan masa lalu bersama suamiku, Mas Yoga. Kamar yang semula terang berubah menjadi sedikit gelap.

Mataku mengedip seiring dengan air mata yang jatuh menetes mengenai kedua telingaku. Kupejamkan mata. Menyesali segala dosa di masa lalu. Rasa nyeri mulai menyerang lambungku.

Dalam kepedihan, terngiang-ngiang di telingaku ucapan Ustadzah Anna enam bulan yang lalu.

"Pernikahan yang dilakukan saat mempelai wanita dalam kondisi hamil adalah tidak sah. Jika mereka berhubungan badan setelah pernikahan tersebut, maka hubungan itu adalah zina. Mereka yang menikah karena kecelakaan atau hamil di luar nikah, harus melakukan pernikahan ulang setelah si anak lahir.

Ketika si anak telah lahir, anak tersebut tak berhak atas harta warisan dari ayah biologisnya, artinya dia tidak dapat menjadi ahli waris bagi bapaknya.

Jika anak yang dilahirkan berjenis kelamin perempuan, maka suatu saat ketika akan menikah, bapak biologis tidak bisa menjadi walinya.

Wali nikah pada ibunya dengan menggunakan wali hakim atau kerabat dan saudara dari ibu. Sedang kerabat maupun saudara dari ayah biologis sama sekali tidak punya hak untuk menjadi wali pernikahan. Karena tidak akan sah hukum pernikahan si anak.

Sebagai contoh saya nikahkan Mawar binti Melati dengan mas kawin titik titik titik. Bukan saya nikahkan Mawar bin Fulan, bapak biologis, dengan mas kawin titik titik titik. Seperti ini tidak sah hukumnya."

Namun, ada pendapat lain mengatakan, bahwa pernikahan tersebut sah. Tentu saja, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar.

Apalagi di era sekarang ini. Zaman dimana Islam telah terpecah menjadi beberapa golongan. Banyak sekali perdebatan, masing-masing merasa paling benar. Yang pada akhirnya hanya akan membuat bingung orang awam.

Aku mengikuti pendapat yang menolak mengesahkan pernikahan tersebut. Sebab, mata rantainya akan merambah kemana-mana. Kasihan anak yang dilahirkan dari hasil hubungan di luar nikah tersebut. Hal itu akan menjadi dosa turun menurun.

Sebagai contoh, apabila ada seseorang yang hamil di luar nikah lalu dibiarkan dan menganggap sah pernikahan tersebut. Maka yang lain bisa saja melakukan hal yang sama. Dan jika zina sudah menjadi hal yang sudah biasa dilakukan, apa jadinya negara ini? Bukankah begitu?

Tok ... tok ... tok ....

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk.

"Iya masuk!"

Pintu terbuka.

"Bapak dan Ibu mau bicara sama Mbak. Mbak ditunggu di kamar Ibu," Amira berkata dari ambang pintu.

Aku bangkit, Amira ikut keluar dan duduk di depan televisi yang ruangannya menyatu dengan ruang tamu. Kubuka kelambu kamar ibu. Didalam wanita berambut panjang itu sedang duduk bersandar bantal pada sandaran ranjang.

Bapak menyuruhku masuk dan duduk pada kursi palstik di samping ranjang.

Aku masuk. Memeriksa kondisi ibu. Wajahnya nampak cemas, tetapi sepertinya sudah lebih segar disbanding siang tadi.

Setelah memastikan ibu sudah meminum obatnya aku duduk di tempat yang telah disiapkan oleh bapak.

Raut muka pria bijaksana dan penyabar itu nampak serius. Sedang wajah ibu terlihat pasrah dan gundah.

"Kami tahu persoalan yang sedang kamu hadapi saat ini," bapak berkata. Lalu menoleh pada ibu.

Dibalas ibu dengan anggukan.

Bapak menoleh lagi padaku dan berkata, "Ini mengenai Yoga, suamimu."

Suaranya terhenti, mengusap muka dengan kedua telapak tangan dan mengambil napas dalam-dalam.

"Kalo kamu memang benar-benar sudah tidak sanggup, lepaskanlah! Kami tidak ingin kamu menderita hanya karena mempertahankan apa yang sudah kami wanti-wanti padamu dulu."

Bapak mulai sesenggukan. Wajahnya menunduk, ada rasa malu yang terpancar dari raut mukanya.

"Iya, Nduk. Ibu juga menyesal pernah berkata bahwa kamu harus menikah sekali saja seumur hidup. Ibu tidak tahu kalau kejadiannya akan seperti ini. Ibu tak ingin melihat putri Ibu tersiksa. Apalagi sekarang tubuhmu semakin kurus. Ibu tidak sanggup merasakan penderitaanmu. Ibu tidak sanggup jika harus mengorbankan kebahagiaanmu demi berusaha mengikuti kemauan Ibu," wanita berwajah bijaksana itu berkata sambil menangis.

Bahunya berguncang-guncang. Air matanya tumpah, begitu pula dengan bapak. Baru kali ini kulihat tangis mereka begitu haru. Terlebih bapak. Seorang ayah yang selalu nampak begitu gagah di mataku. Kini menangis di hadapanku. Sesenggukan, hingga wajahnya yang selalu tampak tegar berubah menjadi seperti pria lemah, yang sudah tak punya kekuatan sama sekali.

Aku tak sanggup, tak sanggup melihat air mata mereka tertumpah hanya karena seorang Yoga. Menantu yang bahkan pernah meneriaki ibuku.

Cairan bening turut keluar dari hidung bapak. Lalu diusapnya dengan ujung kemeja. Sekuat tenaga kutahan agar air mataku tak keluar. Aku ingin terlihat baik-baik saja, setidaknya di hadapan mereka, kedua orang yang telah mengukir jiwa dan ragaku.

"Insha Allah ... Yana nggak pa-pa, Pak, Bu. Akan tetapi, jika Bapak dan Ibu merestui, Yana akan mengambil sikap tegas mulai sekarang."

Bapak dan ibu meraih kedua tanganku yang terlipat di atas pangkuan. Digenggamnya jemariku, mencoba menyalurkan semangat.

"Bapak sama Ibu percaya, kamu pasti bisa melewati ini semua. Gusti Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuan umat-Nya. Yakinilah, bahwa setelah semua ini, kamu akan mendapat kemulyaan," ucap bapak. Tangannya menepuk-nepuk bahuku.

Orangtuaku memang bukan orang yang sangat mengenal Islam, jauh sekali dari sifat religius.
Akan tetapi, sholat, puasa, dan zakat mereka selalu mencoba mentaati. Cara mereka mendidiklah yang membuatku selalu menjadikan mereka berdua prioritas utama.

"Kamu bukan wanita yang lemah, Nduk. Kembalilah seperti Yana yang Ibu kenal dulu. Meskipun, pasti tidak akan mudah menghadapi semua ini. Bapak sama Ibu ada di belakangmu. Jadi, kamu tak perlu merasa sendirian. Ceritakan pada kami apa yang perlu kamu ceritakan. Jangan memendamnya sendirian," ibu berkata sembari mengusap air matanya.

Memang, selama menikah dengan Mas Yoga, tidak pernah sekalipun aku bercerita mengenai kehidupan rumah tanggaku. Bukan merasa tak perlu, aku hanya tidak ingin menambah beban pikiran pada mereka. Usianya kian sepuh, beban pikiran sedikit saja, bisa mengganggu kesehatan.

Aku tersenyum. Kulepaskan genggaman tangan mereka. Dan berganti, tangan mereka yang kugenggam.

"Bapak sama Ibu tak perlu terlalu khawatir. Yana pasti bisa melewati ini semua. Bukankah Mas Yoga adalah pria yang Yana pilih sendiri untuk mendampingi Yana. Sudah seharusnya Yana menanggung segala konsekuensinya," aku meyakinkan.

Kelambu terbuka, kami bertiga menoleh ke arah pintu. Sorot lampu ruang tamu yang lebih terang dari kamar ibu menyeringai dari balik tubuh Amira. Dia berjalan masuk mendekatiku. Lalu memelukku. Tak lama disusul dengan pelukan ibu serta bapak.

Wanita dengan wajah teduh itu menciumiku dengan berurai air mata, membasahi tiap inci wajahku. Kami berempat terlarut dalam suasana haru di keheningan malam.

***

Continua llegint

You'll Also Like

2.3K 370 13
Hutang bertumpuk, masalah lain muncul dari orang tua, keluarga juga sanak saudara. Apa yang harus aku lakukan? Mentalku semakin diuji karena suamiku...
Terima Kasih Lidya Per eireen8

Literatura romàntica

9K 373 15
Jingga tidak pernah menyangka kalau rumah tangga bahagianya dengan Dewa harus menghadapi badai karena sosok wanita bernama Lidya. Sosok yang bahkan t...
2.3K 490 91
tahta itu membuat hubungan persaudaraan hancur
Hati Hara Per Rahmayani ZA

Literatura romàntica

1.1M 29.3K 10
Dia adalah seorang gadis yang rela melepaskan cintanya untuk seorang sahabat, berharap jika perempuan itu dapat bahagia bersama orang yang dicintainy...