Sepasang Topeng Venesia

Av addison86

1.5K 100 2

Setiap orang punya cara yang berbeda untuk menemukan cintanya. Ada dengan cara yang aneh dan unik namun berke... Mer

Bagian 1 (tak berjudul)
Prolog
1
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37

2

92 5 0
Av addison86


Beberapa jam sebelumnya.....

Dua jam sebelum dijadwalkan berangkat ke Jakarta tepatnya jam dua siang, Reina bersama kedua temannya sudah berada di bandara Malpensa. Entah apa yang membuat mereka terlalu cepat berada di sana padahal keberangkatan jam empat sore, seakan takut di saat pesawat boarding atau ketika mempersilahkan penumpang naik ke dalam badan pesawat mereka bertiga sedang dalam perjalanan menuju bandara. Makanya, tidak ada salahnya sedikit lebih cepat berada di sana daripada merasakan bagaimana gondoknya saat ketinggalan pesawat, namun di sisi lain karenanya mau tak mau tanpa memilah siapa saja layak dirasuki sebuah rasa, rasa yang tak nyaman ditanggung beberapa saat ke depan―jenuh muncul begitu saja tanpa mengingatkan, dan itu wajar terjadi bagi mereka yang bingung membagi waktu.

Demi menghilangkan situasi yang membosankan, menunggu dan hanya menunggu―mereka bertiga menyibukkan diri dengan melakukan kegiatan masing-masing. Arta santai dengan buku yang dibacanya, Amanda terlalu sibuk bersama cermin di tangannya, sedangkan Reina.....

"Kamu mau ke mana, Rein?" tanya lembut Arta sambil menutup buku bacaannya yang sudah diberi pembatas halaman. Jodi Picoult adalah penulis novel favoritnya, sudah lima belas buku penulis itu dikoleksinya yang kebanyakan membahas tentang keluarga, hubungan pribadi, dan cinta. Arta bertanya sebab teman di sebelahnya, Reina tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya sepertinya ingin melakukan sesuatu.

"Aku mau duduk di sana, Ta." Jawab Reina pelan agak memelas sambil menunjukkan satu baris bangku kosong, tak jauh di belakang mereka.

"Kenapa nggak duduk di sini saja?"

"Aku inginnya tempat yang bisa membuatku sedikit lebih nyaman."

"Nyaman?" mencerna sejenak kata yang tidak relevan di mana posisi mereka sekarang hingga membentuk sedikit pola kerutan di dahi Arta, dan tampaknya memaksakan diri agar tetap terlihat sopan dan lembut. Namun, nyatanya perkataan tidak sesuai dengan sikap baik yang berusaha ditunjukkannya. "Ya, kalau kamu maunya begitu.....kenapa nggak balik ke hotel saja. Ini bandara. Wajar ramai seperti ini, Rein. Seolah-olah penyakit si tukang keluh menularimu."

"Aku nggak sebegitu bodohnya Arta, aku juga tahu ini bandara," balas Reina dengan menunjukkan wajah kurang sukanya terhadap perkataan temannya. Kenapa Arta tiba-tiba tampak begitu menyebalkan hampir menyamai Amanda, padahal dia gadis yang tidak mau menyusahkan orang lain, jangan-jangan dia kerasukan setan Italia. "Dan, kenapa juga disamakan dengan Amanda. Penyakitnya itu sudah permanen buat dia sendiri bukan buat ditulari atau dibagi-bagi, ini bukan sembako. Lagian nggak ada untungnya juga punya sifat 'keluh' yang ada malah menyusahkan orang lain."

Apa pun yang dikatakan Reina selagi belum memberi alasan yang masuk akal, Arta tetap mengajaknya bicara, mengharapkan suatu penjelasan dan berharap juga bukan karena dirinya Reina bersikap begitu. "Maaf Rein, bukan maksudku menyamakanmu dengan Amanda, hanya saja barusan kamu terlihat seperti mengeluh."

"Seperti mengeluh? Aku bukan mengeluh, cuma ingin duduk di belakang. Kepalaku sedikit pusing, Ta. Kepengen rebahan sebentar untuk ngilangin rasa pusing ini," bantah Reina dan tak ingin memperpanjang rasa kesalnya. "Sudahlah Ta, jangan dibikin susah. Duduk atau rebahan di belakang nggak akan menimbulkan masalah, kecuali kalau aku duduk di lantai bandara lalu tidur-tiduran, baru ini bisa dikatakan masalah bahkan sangat memalukan. Dan, nggak perlu setiap membahas persoalan harus menyamakan atau mengumpamakan seseorang, ujung-ujungnya melebar ke Amanda."

Sering kali Amanda dijadikan objek pembicaraan kedua gadis ini, lantaran tingkah lakunya yang bikin mereka geregetan. Ingin rasanya membungkam mulut si ratu keluh dengan lakban hitam, agar rentetan kesahnya cukup bersemayam di kepalanya tanpa perlu melibatkan telinga mereka.

"Walau bagaimanapun Amanda, dia tetap teman kita juga." Padahal barusan Arta memburukkan temannya sendiri. Kini tampak peduli.

"Seberapa rewel pun dia, sampai membuat kita berdua terganggu dengan sikapnya itu, nggak ada sedikit pun yang dapat mempengaruhi bahkan menghasut otakku agar tidak berteman lagi dengan Manda. Jadi, jangan berpikiran yang nggak bakal mungkin terjadi, kau dan Amanda sudah melebihi dari sahabat bahkan sudah aku anggap saudara sendiri."

Mendengar ucapan Reina, Arta diam sejenak menyelami dan memahami rangkaian kata yang dilontarkan temannya, ada rasa yang tak perlu diabaikan dan dianggap angin lalu; rasa sabar, rasa peduli, rasa sayang, dan rasa memiliki. Semua rasa itu akan berakhir pada rasa ingin menjaga dan melindungi. Begitulah gambaran yang dibayangkan Arta tentang perkataan Reina barusan. Meski dia sudah tahu seberapa baik temannya, tetap saja rasa penasaran sulit disingkirkan dari benaknya.

"Memangnya di sini, kenapa sih Rein?" tanya Arta lagi masih belum puas. "Kamu juga bisa rebahan di sini. Bangku panjang ini kosong loh, cuma ada kita berdua."

"Nggak ada apa-apa, biasa saja, tapi....." Reina tampak malas menyelesaikan ucapannya karena tak ingin membicarakan objek yang sama lagi untuk sekian kalinya. Percuma, tidak akan mempan terhadap keingintahuan Arta.

"Tapi apaan?" paksa Arta.

"Itu.....!" ucap Reina terpaksa demi menyudahi rasa penasaran temannya, daripada kepalanya tambah pusing, sembari melirik ke Amanda untuk memberi tanda kenapa dia bertingkah seperti ini. Sementara, Amanda yang duduk di barisan bangku lain tak jauh dari mereka, masih sibuk dengan cerminnya sampai-sampai tidak menghiraukan percakapan kedua temannya atau sama sekali tidak mendengar pembicaraan mereka yang pelan.

"Maksudmu?" alis beraut, belum juga paham maksud dari kerlingan Reina.

"Manda!" ucapnya pelan kembali kesal.

"Oh, Manda...!" sahut Arta dengan suara lumayan keras, seraya mengangguk dan tak perlu lagi memperpapanjang rasa ingin tahunya. Dengan disebutnya nama gadis itu, dia sudah tahu apa permasalahannya. Sementara orang-orang asing di sekitar mereka tidak terlalu memperhatikan hanya diam karena bingung, mereka tidak mengerti apa yang dibicarakan kedua gadis Asia itu.

"Pelan-pelan dong! Takutnya kedengaran Manda."

"Maaf!" untung saja orang yang mereka bicarakan tidak mendengarnya sebab cermin masih bergelayutan di tangan Amanda, seakan menjadi teman barunya hingga membuatnya lupa dengan kedua sahabatnya.

Reina merasa tak nyaman bukan dikarenakan suasana di ruang tunggu yang ramai oleh calon penumpang, melainkan karena temannya sendiri, Amanda manusia seribu keluh.

***

Beberapa menit yang lalu, di saat Reina dan Arta santai dengan apa saja mereka lakukan sambil menunggu keberangkatan, Amanda merusaknya dengan melontarkan semua keluhannya hingga membuat Reina sedikit risi dan di saat tiba-tiba dirinya merasa pusing―sebegitu repotnya temannya yang satu ini, memaparkan semua yang tidak disukai dan dirasakannya dalam bandara ini, sedangkan beberapa anak kecil di depan mereka tidak sebegitu rewelnya menunggu jam keberangkatan, malah mereka senang berlarian ke sana kemari. Sebenarnya di sini yang anak kecil, anak-anak itu atau Amanda yang rewel seperti anak kecil.

Lantaran keluhannya tidak ditanggapi dan dianggap angin lalu, sesaat terpaksa Amanda berpindah duduk ke barisan bangku lain, dan berhenti berkeluh kesah sebab kedua temannya tidak peka dengan apa yang dirasakannya. Dia alihkan keluhannya dengan sibuk memerhatikan diri dalam cermin tangan.

Arta walau terlihat sederhana dan sedikit culun dengan penampilannya, tapi sifatnya terkadang tidak sesederhana dan seculun penampilannya, seakan memiliki dua kepribadian, kadang kala sebagai pengingat maupun penenang, tapi terkadang sangat menyebalkan karena rasa keingintahuannya yang tinggi.

Arta, gadis yang selalu ingin tahu apa yang diperbuat orang lain, terlebih lagi kedua sahabatnya, terutama Reina, di situlah terkadang dia dikatakan 'sangat menyebalkan'. Meski bukan biang gosip, keingintahuannya hanya dikonsumsi buat dirinya  tanpa melibatkan telinga orang lain yang turut menampung semua keingintahuannya itu, tapi tetap saja menyebalkan.

Walaupun hanya sekedar ingin tahu, Reina tetap kesal terhadap sikap Arta yang selalu menginterogasinya dengan beberapa pertanyaan menjengkelkan, seolah-olah memperlakukannya seperti narapidana. Sungguh, ini sangat bertolak belakang sifat Arta dengan karakteristik dari penulis favoritnya, sifatnya yang suka bertanya seperti ini lebih mengacuh pada Agatha Cristy maupun Sandra Brown, penulis cerita kriminal―beberapa tokoh di dalamnya selalu disematkan rasa curiga. Ini sikap paling menjenuhkan bagi Reina, namun kebiasaan itu sangat sulit dihilangkan dari diri Arta karena sudah mengakar kuat dalam dirinya, malah sudah menjadi bagian dari karakter hidupnya.

***

Di kampus, Amanda sering dijuluki dengan dua sebutan tidak mengenakkan oleh teman-temannya. Ada memanggilnya si tante menor karena dandanannya terlalu berlebihan, apalagi ditambah dengan sikapnya yang genit. Ada juga memanggilnya ratu gosip, bayangin saja, bila berada di dekatnya, rentetan berita yang tidak penting lebih tepatnya disebut gosip tak berkelas bisa juga murahan keluar secara beruntun dari mulutnya. Mending, jika yang dibicarakan tentang perkuliahan, tidak akan jadi masalah, tapi ini tetap topik yang sama selalu dibahas hingga Reina maupun Arta atau teman-temannya yang lain segera mungkin menyumbat telinga dengan sesuatu apa pun yang bisa menghalangi semua perkataan gadis itu masuk ke dalam rongga pendengaran mereka, malah ada sampai berpikiran jahat ingin membungkam mulutnya Amanda dengan lakban hitam yang begitu susah untuk diam. Kalau bukan menguraikan tentang fesyen ataupun penampilan selebritis luar negeri, kemungkinan besar Amanda membicarakan para pria yang dikaguminya. Dia layaknya presenter infotaiment gemar membeberkan aib selebritis yang suka cari sensasi demi menaikkan kepopularitasan mereka, meski melalui cara yang buruk. Dan wajar saja kalau Amanda mendapat julukan itu, si ratu gosip.

Feminin berlebihan, itulah sifat lain yang tumbuh subur dalam diri Amanda. Riasan wajah tampak menor, sehingga menghilangkan wajah gadisnya atau wajah mudanya tidak begitu jelas terlihat karena olesan-olesan tebal melapisi mukanya. Belum lagi penampilan yang begitu norak, penuh dengan bunga-bunga, di rambut, pakaian, pergelangan tangan, dan di mana saja menurutnya cocok ditempatkan. Bibirnya dibeton padat dengan lipstik, memberi kesan mencolok layaknya dinding bangunan diolesi beberapa lapis cat permanen; warna menyala dan meriah. Dan yang membuat kegenitannya tampil lebih sempurna, sepatu hak tinggi dengan warna yang sama, terang menyala. Satu lagi, tidak bisa lepas dari jari-jemarinya yang lentik, kotak kosmetik layaknya perbekalan makanan yang selalu dibawa ke mana dia pergi.

Sedangkan Reina berbanding terbalik, gadis tomboi yang tidak begitu mementingkan bahkan memedulikan penampilan sehari-harinya kecuali di situasi tertentu memintanya harus mengubah penampilannya. Dia lebih suka memakai pakaian praktis dan anti ribet, lebih mengutamakan kenyamanan daripada gaya yang menyusahkan. Celana jeans, celana malas, jaket berkerah, kaos dan kemeja flanel, kombinasi yang paling cocok untuknya, dan tak lupa tas selempang, sneakers serta topi bucket menutupi sebagian rambutnya yang pendek sebahu. Dan dia juga tidak terlalu berbasa-basi dalam merawat tubuh, sebagaimana layaknya dilakukan para perempuan umumnya seperti temannya, Amanda; salon, spa, dan shopping.

Saat ini, kepedulian Reina hanya bisa disalurkan pada teman barunya Venezia mask, topeng Venesia yang terbuat dari kulit serta akrilik, dipahat membentuk pola bahagia. Biasanya topeng ini digunakan di saat karnaval, diadakan setiap tahunnya di kota Venesia, Italia. Benda itu dia dapatkan dengan cara yang aneh. Dan, keanehan itulah membuat topeng tersebut mendapat tempat di hati Reina. Setiap kali melihatnya, senyum manis tak pernah lepas dari wajah gadisnya yang cantik, seakan dia membayangkan sesuatu yang indah, sesuatu yang mampu membuat pola bahagia di wajahnya. Perhatian penuh bahkan tak pernah lepas darinya semenjak beberapa hari yang lalu setelah keluar dari sebuah toko suvenir hingga sekarang. Selain mengamati cendera mata yang didapatkannya selama liburan di negara asalnya pizza, sekali-kali Reina disibukkan oleh ponselnya yang terus-menerus menemaninya dan satu buku motivasi pengembangan diri yang ditulis David J Schwartz 'berpikir dan berjiwa besar', salah satu buku terbaik. Reina tidak semaniak Arta ketika membaca buku, dia akan membaca kalau memang waktunya untuk itu, beda dengan temannya semua waktu digunakan buat membaca, penasaran dengan jalan cerita.

***

Attenzione.....noi dell'aeroporto ci scusiamo con il potenziale percorso passeggeri Jakarta che è successo a ritardare la partenza per due ore.

Perhatian.....kami dari pihak bandara mohon maaf kepada calon penumpang rute Jakarta bahwasanya terjadi penundaan keberangkatan selama dua jam, keterangan yang berasal dari pengeras suara yang berbahasa Italia lalu disusul dengan bahasa Inggris membuat beberapa calon penumpang ingin berteriak menumpahkan kekesalan mereka, termasuk Amanda, kembali menunggu dan hanya menunggu―sesuatu yang membosankan apabila dirasakan secara berulang-ulang, dan itulah yang terjadi.

Padahal, Amanda sudah hampir bosan menunggu selama dua jam dalam bandara ini, terus ditambah dua jam lagi, mimpi apa semalam bisa-bisanya dia diserang rasa jengkel secara beruntun. Sedangkan Arta selalu dengan senjatanya yang mampu menghilangkan jenuhnya terhadap situasi tersebut, dengan kembali membaca buku secara lahap dari halaman ke halaman sembari menunggu pengunduran keberangkatan, dan tidak memedulikan lalu-lalang penumpang yang tak pernah berhenti.

Meskipun di bandara penuh orang saling bicara satu sama lain dengan suara tidak pelan, Arta masih bisa berkonsentrasi dan melebur dengan bahan bacaannya. Mungkin dia sudah kebal dengan keramaian maupun suara bising yang bisa saja mengganggu ketenangannya.

Situasi seperti ini memang jauh berbeda yang dirasakan Amanda dibandingkan dengan kedua temannya yang tampak santai mendapat informasi dari pengeras suara tentang perubahan jadwal keberangkatan, lebih tepatnya penundaan keberangkatan. Sekali-kali Amanda melirik jam tangannya terlihat penuh warna dan bunga-bunga, tampangnya tampak lecet dan cemberut lantaran waktu begitu lama berjalan, ia khawatir perawatan tubuhnya selama ini akan terbuang percuma jikalau menghabiskan waktu yang panjang di dalam ruangan penuh dengan berbagai macam orang, yang tentunya berbagai macam bakteri akan keluar dari tubuh mereka.

***

Amanda begitu benci melihat orang bersin sembarangan maupun batuk di sekitarnya, dia teramat takut penyakit ini akan menularinya. Dulu, dia pernah merasakan penyakit ringan ini sampai-sampai membuatnya stres karena tidak mampu berpenampilan seoptimal yang diinginkan sebab tubuhnya dalam kondisi lemah―kesenangannya berdandan atau mempercantik diri di hadapan cermin tak dapat dilakukannya sehingga membuatnya kurang percaya diri bila berada di luar rumah, merasa seperti gembel berkeliaran di jalanan yang tak tahu arti kata 'penampilan'.

***

Gara-gara waktu melambat layaknya keong sawah yang sedang berjalan membuat Amanda tiba-tiba melamun membayangkan semua impiannya―menurutnya akan tercapai meski hanya dengan kotak ajaibnya yang selalu dibawa ke mana-mana.

Dari barisan bangku lain, Arta kembali melihat kebiasaan lama Amanda sedang bekerja, kebiasaan yang memaksa gadis itu menjadi sesuatu berlebihan dan tidak akan mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Lantas, Arta mendekatinya untuk menyudahi kebiasaan buruk Amanda.

"Woi.....melamun lagi," sambar Arta sambil menggelengkan kepala dan duduk di samping temannya, sejenak keluar dari sifat aslinya. Amanda terperangah sebentar, mendengar teguran temannya yang telah merusak lamunannya, namun dia tidak marah. Tumben, Arta tidak lembut seperti mana biasanya, malah pikirnya. Dia sekarang berhadapan dengan Arta yang menyebalkan bukan yang menenangkan.

Jikalau dinilai, sikap gadis berkacamata yang gemar menginterogasi seseorang dengan beberapa pertanyaan sehingga membuat orang yang ditanyai merasa dirinya dicurigai, ini tidak bisa dikategorikan dalam kelembutan bersikap. Terkecuali hal ini dilakukan pada Amanda, gadis itu malah senang jika disodori berpuluh-puluh pertanyaan kalau yang dipertanyakan soal pria dan fesyen, tapi jangan ditanya tentang perkuliahan, dahinya akan berkerut.

Amanda tidak pernah menyadari bahwa sikapnya yang tak bisa diam barang sejenak dengan gosip-gosipnya yang tidak penting itu, sungguh mengganggu teman-temannya. Begitu juga dengan Arta, tidak pernah menyadari dan tidak bisa sehari diam dari rasa penasarannya terhadap apa saja yang sedang dilakukan temannya. Mereka berdua tak jauh beda sama-sama memiliki sisi buruk dalam bersikap.

Sikap Arta yang demikian masih bisa dimaafkan karena rasa keingintahuannya itu hanya untuk pribadinya sendiri. Beda dengan Amanda, berita penting atau tidak penting akan menjadi konsumsi umum jika sampai ke telinganya, tapi dia masih bisa menjaga rahasia, terkhusus tentang kedua sahabatnya sebab berita apa saja tentang Arta dan Reina merupakan berita spesial, cukup disimpan dalam hati, bukan sesuatu yang perlu dijadikan gosip karena mereka bersahabat. Dia tidak mau persahabatan mereka retak gara-gara sikapnya. Namun, apabila menyangkut kehidupan maupun permasalahan orang lain terutama selebritis, dia akan menguliknya sampai ke akar-akarnya.

"Apa yang kamu pikirkan lagi sih, Man?" ucap Arta yang sudah terbiasa melihat sikap Amanda, dan berusaha menjawab pertanyaannya sendiri, "mikirin anak, nggak mungkin, suami saja belum punya.....jangan-jangan mikirin cowok lagi atau juga mikirin jadi ratu semalam."

"Kau tahu saja, Ta. Apa yang sedang aku pikirkan. Tapi, lebih tepatnya bukan ratu semalam, melainkan selamanya. Dan yang terpenting, kau harus catat ini.....Ta, terserah di mana saja yang bisa mengingatkanmu siapa aku sebenarnya nanti. Aku ini bukan ratu pesta yang menyandang julukan hanya sesaat, ketika pesta berlangsung, sungguh julukan yang nggak 'wow' bagiku, dapat gelar hanya untuk semalam besoknya kembali seperti biasa, that is not me. Aku ini ratu kecantikan sejagat raya, gelar begitu awet yang harus disandang selamanya," jawab genit Amanda panjang lebar dan mencoba meluruskan siapa dirinya melalui dunia khayalnya. Dia tampak senang karena temannya mau menanggapi pikirannya yang kapan saja bisa jadi bahan pembicaraannya, bisa besok, lusa atau benar-benar sekarang, jikalau Arta siap mendengarnya.

"Sebentar!" ujar Arta sambil menyentuh dahi temannya, "kamu sakit, tapi ini nggak panas. Atau penyakitmu kambuh lagi."

"Apaan sih, Ta," ucap Amanda sambil menyingkirkan tangan Arta dari dahinya, "aku nggak sakit."

"Tapi omonganmu ngelantur."

"Apa hubungannya dengan sakit, lagian yang sedang dibicarakan masa depanku."

Kebiasaan konyol ini tidak pernah lepas dari diri Amanda, seusai bersolek lalu melamun sejenak, yang dibayangkan tetap itu, lelaki dan dirinya yang bakalan jadi ratu sejagat.

"Jangan mimpi deh! Dan berkhayal berlebihan," sindir Arta.

"Itu lagi.....itu lagi.....jangan mimpi deh! Dan berkhayal berlebihan," cibir Amanda sembari mengulangi perkataan temannya, tanggapan yang sama jika dia menceritakan isi dari lamunannya. "Apa nggak ada kata-kata lain selain itu, seperti 'semoga ya Manda kamu jadi ratu sejagat' atau 'aku turut mendoakan ya Manda kamu bakal jadi ratu sejagat."

"Maunya!" jawab Arta berusaha mengingatkan dan sedikit menjatuhkan semangat temannya atas impiannya yang konyol, "jangan berharap yang bukan-bukan. Sadar Manda, pikiranmu sedang terkontaminasi oleh daya khayal yang berlebihan. Kita berdua masih menginjak dan menyentuh tanah, bukan berada dalam dunia khayalanmu yang keterlaluan."

"Keterlaluan bagaimana? Ini hanya sebuah mimpi. Setiap orang berhak dong.....punya mimpi," bantah Amanda. "Dan, memangnya aku mengatakan kita ini hantu, terbang dari pohon yang satu ke pohon yang lain dan sama sekali nggak menyentuh tanah."

"Tapi, kamu terlalu terobsesi dengan mimpimu itu."

"Pepatah bijak mengatakan, kejarlah mimpimu setinggi langit. Jadi.....nggak masalah dong."

"Iya, sebenarnya sih.....nggak masalah," jawab Arta. "Tapi masalahnya Manda, kamu punya mimpi ketinggian, melebihi tingginya langit."

"Biarin! Melebihi tingginya langit, daripada kamu setinggi tusuk gigi. Kalau patah, tau deh! Setinggi apa lagi itu tusuk gigi. Mungkin setinggi biji pepaya.....ha ha ha ha......" balas dan tawa Amanda.

"Susah ngomong dengan orang yang belum bangun dari mimpinya."

"Terserah kau deh.....Arta, mau berkata apa sampai berbusa-busa mengingatkan, aku akan tetap mewujudkan mimpi ini."

Mereka berdua tidak sadar sedang diperhatikan seorang pria  berumur, masuk kepala enam. Dia mengerti betul apa saja dikatakan dan diributkan kedua gadis itu, paham dengan bahasa yang mereka ucapkan karena dia berasal dari negara yang sama, Indonesia.

Sementara orang-orang asing yang duduk di sekitar mereka juga memperhatikan, hanya sepintas lantaran tak mengerti apa yang Amanda dan Arta ucapkan, percuma menyimak. Mereka cuma geleng-geleng kepala, dan sebagian berkata dalam hati 'mereka pikir bandara ini hutan maupun gua, seenaknya saja mencipta suara gaduh meskipun tidak terlalu'.

Arta dan Manda cuek saja. Apabila beradu mulut satu sama lain bakalan lupa dengan posisi di mana mereka berada karena sibuk saling menyerang. Pria tua itu juga sama cueknya dengan mereka, bukannya melerai malah terhibur mendengar perang mulut di hadapannya, 'begini ya kalau anak muda zaman sekarang lagi ribut', malah pikirnya.

***

"Mimpi di siang bolong, begini jadinya, kerasukan setan mimpi."

"Sudah ah, Arta. Sudah suasana bandara tidak nyaman, ditambah lagi omonganmu yang nggak mendukung, malah menjatuhkanku." Manda tidak sanggup lagi mendengar ucapan temannya, rasa senangnya dicabut kembali karena bukan itu yang didapatkannya malah sebaliknya.

"Makanya, jangan mengkhayal yang aneh-aneh."

"Jadi ratu sejagat itu, bukan sesuatu yang aneh Arta."

Percuma mengingatkan kalau dianggap angin lalu. Bukannya Arta iri dengan mimpi dan keinginan temannya. Dia tahu betul siapa temannya, dan tahu betul mimpi yang sengaja Amanda ciptakan dalam bilik kepalanya, sesuatu yang konyol untuk diwujudkan karena banyak faktor yang tak mendukung hal itu terjadi―hanya mimpi belaka. Seakan tidak ada pencapaian lain yang benar-benar bisa dicapai, bukan berkutik pada satu mimpi yang jelas-jelas menyengsarakannya.

"Ya sudahlah, lanjutkan saja keinginanmu itu, mudah-mudahan jangan sampai gila karenanya."

"Tau.....ah!" kesal Amanda, dan tiba-tiba tersadar ternyata sedari tadi mereka berdua diperhatikan seorang pria yang sudah berumur  60-an atau di atasnya.

"Bapak memperhatikan siapa?" tanya Amanda kurang suka. Dia tidak perlu menanyakan pria tua itu berasal dari negara mana dan menggunakan bahasa Inggris karena dia yakin bapak ini dari Indonesia terlihat jelas dari paras wajahnya dan warna kulitnya yang sawo matang.

"Kalian berdua," jawab pria tua itu yang duduk di barisan bangku seberang, di hadapan kedua gadis itu. Benar dugaan Amanda, bapak ini berasal dari negara yang sama dengannya.

"Memangnya kami, kenapa?" Manda jadi penasaran, namun Arta diam saja tak mau berurusan dengan orang asing di negeri orang.

"Kalian berdua menghibur saya," ujar pria tua itu santai. Amanda jadi bingung, apanya yang menghibur, barusan dia hanya perang mulut dengan Arta. Belum hilang rasa kesalnya terhadap temannya malah pria tua ini menambah rasa kesal itu.

"Bapak kira kita ini topeng monyet, menghibur," jengkel Manda.

"Kirain....." canda pria tua itu makin menjadi.

"Kirain kenapa?" marah Amanda, "kirain kita monyet."

"Cantik-cantik kok galak," goda pria itu seakan lupa umur.

"Terima kasih bapak pujian setengah matangnya. Cantiknya saya terima, galaknya buat bapak saja," meski berkata manis tapi ujungnya tetap marah.

"Dipikir telur ceplok kali, setengah matang." Goda pria tua itu penuh dengan senyum, Amanda jadi geli. Mungkin pria di hadapannya, pria hidung belang. Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi.

Ini anak kok malah ribut dengan orang lain, pikir Arta. Kenapa juga memarahi pria tua di hadapannya, meskipun pria itu gatal, apa tidak bisa dibalas dengan perkataan baik tanpa harus marah. Kalau giliran berurusan dengan pria muda dan tampan, sok akrab dan manis, namun kalau dengan yang tua mukanya kecut.

***

Setelah puas membayangi dirinya menjadi ratu sejagat, dan lenyap seketika Arta membangunkannya dari lamunan belaka, lalu merusaknya melalui perkataan yang sama sekali tidak mendukung keinginannya, malah menjatuhkannya berkali-kali hingga perang mulut dan kembali baikkan serta disaksikan orang asing, dan pria lanjut usia mencoba menggodanya. Tiba-tiba kening Amanda kembali berkerut karena pria tua lain dari Asia juga, sebelumnya dia sempat memperhatikan pria tua ini yang sedari tadi batuk dan sekali-kali bersin hingga muncullah keluhan baru.

"Arta, aku kesal sekali dengan kondisi seperti ini."

"Apalagi sih, Manda?" kesal Arta sekian kalinya menghadapi keluhan temannya.

"Lihat bapak itu, sedari tadi dia batuk melulu," ucapnya sambil mengarahkan pandangannya ke pria yang dimaksud. "Aku takut lama-lama tubuh ini bakal penuh bakteri, lalu kusam. Dan percuma selama ini ikut beberapa perawatan."

"Jangan berlebihan lagi deh, Manda. Gara-gara daya khayal yang kejauhan, segala sesuatu yang buruk berhubungan dengan tubuh menjadi masalah besar bagimu. Bapak itu hanya batuk dan bersin, jadi keluhan. Lihat orang-orang di sekitar tidak ada satu pun merungut sepertimu, bahkan terganggu dengan kondisi kesehatan bapak itu. Apalagi anak-anak kecil itu, mereka sama sekali tidak rewel terhadap orang tuanya, mereka malah tertawa riang. Dan seharusnya aku bertanya, ada apa denganmu Manda?"

"Ada apa denganku? Katamu, Ta. Seolah nggak mengenaliku selama ini." Kesal Amanda.

"Aku kenal bagaimana dirimu Manda, tapi nggak harus berlebihan seperti ini sampai menyalahkan orang lain."

"Jadi aku harus menyalahkan siapa? Menyalahkan diriku yang terlalu banyak menuntut dan berkhayal berlebihan."

Arta sebenarnya ingin mengatakan 'iya', tapi lebih baik menjaga perasaan temannya yang susah diajak untuk berkompromi dengan keadaan di sekitarnya. Dia mendadak merasa bersalah karena terlalu keras menasihati hingga membuat temannya sedikit marah, Arta berusaha kembali melunakkan hati Amanda.

"Sabar Man, jangan dibuat rumit, namanya juga bandara. Wajar saja kondisinya seperti ini. Tempat ini berkumpulnya orang-orang dengan berbagai suhu tubuh yang berbeda, ada yang menurun karena sakit dan ada yang normal. Seperti kamu nggak pernah merasakan sakit. Bapak itu juga pastinya melakukan penolakan dalam dirinya atas demam yang dideritanya karena sungguh mengganggu."

Lagi-lagi kata itu yang dia dapatkan dari Arta yang kembali ke sikap normalnya, setelah menjatuhkannya kini hanya kata sabar dan sabar―jurus meredakan emosi yang begitu dihafalnya, dan gadis itu harus menahan derita sejenak demi menghargai perhatian temannya yang sebelumnya mengeluarkan perkataan yang sama sekali tidak mendukung keinginannya, tapi sulit bagi Amanda menjadi orang yang lebih tenang dalam situasi apa pun. Amanda tetap saja menunjukkan wajahnya yang lusuh, dan kedua kalinya keningnya kembali berkerut.

***

Sepertinya Amanda merasakan sesuatu yang kurang di sekitarnya.

"Ta, Rein mana?"

"Itu, di belakang!" jawab Arta spontan sambil membalikkan badan dan memperhatikan Reina. Tiba-tiba Arta tersadar seharusnya dia tidak memberitahukannya. Reina sedang duduk sendirian di barisan bangku kosong, gadis itu tampak sekali-kali menguap.

"Aku ke sana ya, Ta?" Amanda berdiri sambil merapikan pakaian yang sempat terlipat ketika duduk, namun Arta menahan tangannya.

"Jangan.....!" sergahnya cemas, dia khawatir Reina bakalan terganggu dengan munculnya Amanda di saat gadis itu sedang menghilangkan rasa pusingnya.

"Kenapa?"

Arta ragu untuk menjawab karena bingung mau mengatakan apa, agar temannya ini tidak tersinggung dengan ucapannya dan kembali adu mulut dengannya. Tahu sendiri Amanda orangnya bagaimana, tidak bisa diam. Apalagi keingintahuannya itu tidak ditanggapi, dia akan terus bicara dan bertanya, mereka memiliki sifat tak jauh beda. Mau tidak mau Arta yang hafal sifat temannya ini harus mengatakan sesuatu.

Apakah ini balasan yang barusan dilakukannya terhadap Reina, yang kini mendapatkan perlakuan yang sama juga setelah apa diperbuatnya dengan menanyai gadis itu beberapa pertanyaan tampak sedikit memaksa. Begini rasanya kalau diinterogasi dengan pertanyaan yang enggan atau malas untuk dijawab, pikir Arta dalam hati.

"Katanya sih, mau tidur, jangan diganggu."

Reina menjauh duduk ke belakang bukan karena ingin tidur saja untuk menghilangkan rasa pusingnya, dia juga malas mendengar kicauan Amanda, membosankan dan begitu dihafalnya, setiap kali bicara dengannya jika tidak cocok akan perang mulut. Ternyata, ketiga gadis itu  memiliki sifat yang sama, andai kata ada perkataan yang tidak sesuai, ujungnya bakal adu mulut.

Amanda bersikeras sembari memerhatikan temannya dari jauh yang sedang memainkan ponsel di tangan kanannya, sedangkan di tangan kirinya memegang topeng Venesia dan menyandarkannya di perutnya.

"Tuh.....si Rein, nggak tidur kok!"

"Sebentar lagi bakalan tidur. Lihat tuh! Dia mulai menguap," Arta tersenyum setengah hati berharap Reina benar-benar menguap. Katanya tadi sakit kepala, tapi sampai sekarang belum rebahan malah main ponsel, bisik Arta dalam hatinya.

"Mana? Rein nggak menguap kok.....mestinya dilihat itu, posisi kacamatamu Ta, condong!"

"Ya, sudah kalau nggak mau dengar omonganku!" kesal Arta mulai malas meladeninya. Lebih baik kembali meleburkan diri dengan buku bacaannya. "mendingan aku baca buku, daripada nantinya kembali ribut denganmu dan membuat pria tua di hadapan kita kedua kalinya merasa terhibur dengan pertengkaran ini."

Amanda dengan raut muka cemberut terpaksa kembali duduk, dia tahu kalau Arta sudah pasrah seperti ini, gadis itu tidak akan mau meladeninya lagi, dia lebih mementingkan bukunya daripada temannya. Tapi, ada benarnya juga apa yang dikatakan Arta, nantinya pria tua di hadapan mereka merasa diuntungkan setelah puas menyaksikan pertengkaran mereka kedua kalinya, jikalau terjadi.

Yang dapat dilakukan Amanda, hanya mencibir panjang tanpa suara sekedar gerakan mulut, menunjukkan kekesalannya. Kesal terhadap kedua temannya. Namun, itu hanya bertahan sebentar, dalam selang waktu lima menit bakalan tersenyum kembali.

Sementara, Reina lamat-lamat matanya meredup, lelah dan mulai tumbang, mulai merasa tak bisa berkonsentrasi lagi dengan telepon genggamnya karena sedari tadi dia memaksakan kepalanya tetap terjaga meski merasa pusing, matanya sudah ingin terlelap dan akhirnya tertidur juga.

***

Satu setengah jam berlalu, Arta dan Amanda teringat akan Reina, apakah dia masih tertidur? Pikir mereka berdua. Mereka mengamati gadis itu dari posisi mereka duduk. Reina masih saja menutup matanya, dia masih tertidur dengan posisi terbaring di atas barisan bangku. Amanda segera menghampiri gadis itu dengan tujuan membangunkannya, dan Arta membiarkannya.

"Rein.....Rein.....bangun!" paksa Amanda sambil menggoyang-goyang bahu temannya dari belakang. Perlahan-lahan Reina membuka matanya, dan tak peduli lalu kembali tidur. Tapi tubuhnya mulai sensitif, ada sesuatu bergerak di kedua bahunya, matanya yang masih redup perlahan terbuka melebar, sepasang tangan lembut penuh perawatan menempel di pundaknya.

Jelas saja, gerakan itu berasal dari Amanda yang mendorong-dorong tubuhnya. Reina meraih kedua tangan tersebut dan melepaskan dari bahunya sambil duduk normal, sekonyong-konyong Amanda dengan perasaan jengkel mengisi bangku yang sebagian sudah dikosongi tubuh Reina dan disusul Arta. Mereka duduk di samping gadis itu.

"Ada apa sih?" ketus Reina dengan lemas, seraya memandang Amanda yang memasang tampang aneh. Dan, syukurnya rasa pusing yang dirasakannya tadi sudah menghilang, "kenapa sih Manda melototiku seperti itu? Udah deh.....!" 

"Abis.....kamu bisanya tidur, semangat dong!" ucap Amanda manja. Padahal dia begitu juga, setiap waktu mengeluh.

"Iya.....iya, bawel!" ujar Reina sebal.

Amanda bangkit dari duduknya dan mengambil posisi di antara kedua temannya.

"Geser.....geser.....geser!" perintah Amanda.

"Manda!" gertak kedua gadis itu.

"Tenang.....tenang," senyumnya tanpa bersalah. Tanpa aba-aba langsung nyerocos, "oh ya Rein.....liburan kali ini sangat menyenangkan dibanding semester kemarin, di puncak doang, nyiksa bangat." Ucap Amanda seraya melayangkan matanya ke arah Arta, sepertinya balas dendam. Sementara Arta yang berada di sampingnya, hanya diam tidak menghiraukan ocehan temannya. "Padahal di sana berharap, setidaknya ada satu cowok tampan menemuiku layaknya Cinderella didatangi seorang pangeran. Tapi apa yang aku dapat, malah tubuhku dijemur di bawah sinar matahari."

Sikap seperti inilah membuat Reina dan Arta kesal terhadap Amanda, bicara panjang lebar tak ada henti hingga membuat Reina pura-pura tidur kembali, dan Arta lagi-lagi membuka bukunya.

Pamannya Arta seorang pengusaha, memiliki lahan perkebunan teh di sekitar puncak Bogor. Tak jauh dari lahan perkebunan itu, ada sebuah vila, tempat menginapnya para tamu dan saudara-saudara yang datang dari luar daerah untuk berlibur.

Bertepatan liburan semester kemarin, Arta mengajak Reina dan Amanda ke sana. Menurutnya tempat itu cocok buat kedua temannya. Reina yang suka suasana sepi cocok buatnya untuk bermeditasi. Amanda tertarik dengan hawanya yang sejuk dan dingin secara tidak langsung membantu proses perawatan tubuhnya, sedangkan Arta suasana seperti inilah yang dibutuhkannya saat melakukan aktivitas membacanya yang ditemani udara bersih jauh dari polusi udara kota Jakarta.

Waktu itu yang paling gesit, ya Amanda. Kopernya penuh dengan pakaian, sepatu dan kosmetik layaknya mau melancong ke Paris. Sayangnya, itu semua tidak berguna di puncak. Makanya dia mengungkit kembali dan membandingkannya dengan liburan kali ini.

Liburan semester kemarin, liburan penuh dengan keluh kesahnya. Takut kulitnya terbakar sinar matahari gara-gara disuruh membantu memetik teh padahal sudah melapisi seluruh tubuhnya dengan lotion yang tebal, tetap saja mengeluh. Diminta mengenakan pakaian sopan seperti perempuan pemetik teh, menurutnya jauh dari kata modis. Kekesalannya tidak hanya berakhir di situ saja, ternyata apa yang tidak diinginkannya terjadi secara tiba-tiba, beberapa fotografer muda muncul di perkebunan. Amanda bingung dan kalang-kabut lantaran pakaian yang dikenakannya tampak kampungan, tidak ada kesan seksi, sebab saat itu dia berpikiran mana tahu nanti dirinya dijadikan objek foto. Apalagi kalau mereka fotografer dari sebuah majalah anak muda, pikirnya.

"Rein, bangun dong!" ketus Amanda ketika melihat temannya pura-pura tidur lantaran malas mendengar kicauannya. "Udah dong Rein! Jangan tidur lagi."

"Siapa juga yang tidur, wek.....!" suaranya pura-pura menguap seraya mengedipkan matanya.

Bibirnya Amanda semakin mengerucut bahkan tangannya sudah terulur siap mencubit, Reina dengan gigihnya dapat menangkis serangan tersebut.

"Pesawatnya, sebenarnya jam berapa sih Arta?" Amanda masih tak sabar dan manja serta merasa tak bersalah telah menyindir Arta sebelumnya.

"Kurang tahu juga. Sabar saja, kita pasti akan pulang kok." Jawab Arta merasa tak tersinggung dan terbebani dengan ocehan Amanda sebelumnya.

Mendengar ucapan temannya, kening Amanda kembali berkerut sepertinya belum dapat menerima penundaan keberangkatan, tapi mau tidak mau harus menuruti pengumuman dari pengeras suara tadi. Coba, solusi apa yang dapat diberikannya, tidak ada. Jadi lebih baik memandangi cermin kesayangan sambil bertanya apakah dia masih terlihat cantik hari ini, daripada protes tak berujung.

Tetap ikuti terus jalan ceritanya, dan jangan lupa di "vote"

Terima kasih sudah mampir ke Bab 2 Sepasang Topeng Venesia

Selamat membaca!

Fortsett å les

You'll Also Like

73.1K 12.2K 49
Ketika hidup seorang SHANILA ADIRA yang hancur semenjak Ibu dan Adik tersayang nya harus meninggalkan nya karena kecelakaan mobil beruntun, Tiba-tiba...
1M 114K 51
[PRIVATE ACAK! SILAHKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "NENEN HIKS.." "Wtf?!!" Tentang kehidupan Nevaniel yang biasa di panggil nevan. Seorang laki-laki yan...
16.5M 794K 68
Bagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan per...
588K 56.1K 45
Demi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza...