Mesin Waktu, Aku

By chrisxmas

15.6K 377 87

Corona menikah dengan Erik, dan ia tidak bahagia. Hampir gila, akhirnya ia memutuskan pergi dari rumah (suami... More

1. Yang Berasal Dari Cinta Itu, Luka Atau Bahagia?
2. Yang Kau Suka Dariku, Raga Atau Jiwa?
3. Yang Tak Terhapus Itu, Rindu Atau Foto Kelabu?
4. Tentang Aku Dan Riko (I)
5. Tentang Aku Dan Riko (II)
6. Tentang Aku Dan Dona
8. Tentang Aku, Riko, Dan Dona (II)
9. Tentang Erik Dan Riko
10. Apapun Pertanyaannya, Inilah Akhirnya (End)

7. Tentang Aku, Riko, Dan Dona (I)

960 27 3
By chrisxmas

7. Tentang Aku, Riko, dan Dona (I)

Bingung. Kesal.

Rasanya dua kata itulah yang paling tepat untuk mendeskripsikan perasaanku saat ini. Kesal karena harga makanan yang bisa dibilang lumayan mahal. Dompet ini memang masih cukup tebal sih, namun tetap saja, buang-buang uang tanpa hasil sama sekali itu lumayan bikin berang. Lalu, bingung, yang tak lain dilatarbelakangi oleh beberapa hal: 1) aku tidak tahu kemana lagi harus mencari informasi tentang Riko, 2) aku masih bingung akan kemarahan Dona, 3) aku masih tak habis pikir, mengapa aku harus memikirkan semua ini.

Dan lagi, sampai susah-susah bolak-balik sana-sini mencari informasi. Untuk sepersekian detik, aku sempat merasa jijik. Tapi mau bagaimana lagi. Orang-orang itu kan acapkali berkata: untuk melakukan sesuatu, kita tidak sepenuhnya perlu alasan baku. Asal senang, ya sudah, untuk apa susah-susah mempertanyakan atau memperbincangkan.

Namun, pertanyaannya sekarang, memangnya aku senang? Keadaan ini justru membuat suasana hatiku tidak karuan.

Ah, ya..kini aku mulai menemukan titik terangnya. Ternyata yang aku cari bukan senang, tapi...tenang.

Disela-sela monolog-ku, ternyata sedari tadi HP-ku sudah bergetar-getar. Aku merogohnya dari dalam saku dan membuka kuncinya.

1 missed call dan 2 messages received.

Yang pertama, dari Mama:

[Corona. Kapan kau akan pulang?]

Yang kedua, ah, nomornya asing:

[Halo Corona. Tadi tante coba telepon tp kmu tdk angkat. Jadi, tante beritahu dsini saja. Ada banyak hal yg harus tante ceritakan sama kmu. Hal ini menyangkut Erik, kmu, dan tentu saja pernikahan kalian. Cepatlah pulang, karena ini sangat penting. Nb: tante nggak menyalahkanmu sama sekali atas sakitnya Erik. Tante mengerti.]

Usai membacanya, aku bisa rasakan banyaknya air ludah yang menjalari tenggorokan. Berkali-kali aku menelannya, namun leher ini tetap saja terasa kesat. Tercekat.

Naluriku dapat merasakan adanya aura mengerikan dari kata-kata dalam pesan tadi. Seorang nyonya kaya yang dalam sekilas pandang saja baru aku jumpa dan kenal, tiba-tiba meng-SMS-ku demikian panjangnya. Aku mengerti bahwa Erik, anak semata wayangnya itu sedang sakit, sehingga ia pastinya panik dan memancingku-sebagai menantunya-untuk segera pulang.

Ya, mungkin ini salahku menerima lamaran Erik dengan begitu spontan, tapi..."Aku mengerti"? Ia mengerti kondisiku? Yang benar saja.

HP-ku mendadak bergetar lagi. Seseorang menelepon. Nomornya asing. Ibu Erik.

Aku memasukkan benda bergetar itu ke dalam saku sambil menghela nafas panjang.

Sori, tapi sepertinya kalau sekarang, aku belum siap.

Sorry, Mama. Sorry, Ibu Mertua. Sorry, Erik.

Ah, sekarang kenapa aku benar-benar merasa bersalah?

Guna mengalihkan pemikiran, kucoba mengingat kembali percakapanku dengan Riko yang barangkali-kini-bisa menjadi kata kunci. Ketika dekat dengannya dulu, kami memang tak banyak mengorek privasi satu sama lain. Alasannya sederhana saja: hubungan kami didasari-tulus-hanya oleh rasa ingin bahagia. Jika saling mengetahui latar belakang malah dapat menimbulkan masalah, ya untuk apa. Kalau rasa ingin memiliki cuma akan menciptakan tali pengikat yang menyakiti, ya lebih baik tidak usah. Yah, awalnya sih begitu. Sayangnya aku yang masih muda dan cendrung kekanak-kanakkan itu pada akhirnya agak mengingkarinya juga. Waktu itu, rasa yang ada di hati-selain mencintai-ingin pula memiliki.

Kuyangkan pandanganku ke jalan raya. Biasanya inspirasi bakal cepat datang kalau aku memperhatikan orang-orang. Ada yang lagi menyeberang, sibuk bergandengan tangan, dan...ah, itu ada seorang mahasiswa dengan jaket universitasnya. Ketika ia mendekat, kuperhatikan nama dan alamat kampus yang tertera disana.

Jalan... Letkol... Sudirman... No 19...

Usai membaca, otakku langsung mengingat hal penting yang tadinya sempat terlupa. Kampus Riko! Ya, alamat itu menyatakan bahwa universitasnya terletak di dekat kos-kosan Riko. Universitas di sekitar situ, ya cuma satu itu kan?

Cepat-cepat kuhampiri mahasiswa itu dan bertanya padanya kalau saja ada kampus lain di daerah sana. Tidak ada, jawabnya. Oke, setidaknya sekarang aku sudah tahu harus kemana.

***

"Namanya Riko. Dulu dia kuliah disini sekitar sepuluh tahun yang lalu."

"Riko apa?"

"Maksudnya?"

"Nama panjangnya."

"Oh." aku diam sejenak-berusaha mengingat kalau saja Riko pernah menyebutkan nama lengkapnya. Nihil. Aku tak pernah menanyakannya dan ia juga tak sedikit pun berinisiatif untuk memberitahu. Apalah arti sebuah nama. Bertemu dan saling sekedar tahu, itu sudah cukup.

"Saya tidak ingat." jawabku pelan.

Pegawai universitas itu mendengus kesal.

"Angkatan tahun berapa?"

"Seharusnya 2004."

Lelaki bertahi lalat dan berhidung besar itu-si petugas universitas, maksudku-kemudian mengklik-klikkan mousenya cepat.

"Tidak ada alumni bernama Riko tahun 2004." katanya singkat.

"Tidak ada? Yang benar? Coba cari lagi.."

Ia menatapku dengan pandangan risih. Agaknya ia sudah bosan dengan keberadaan serta pertanyaanku yang tak kunjung usai. Dan kedua hal itu belum pula ditambah dengan bantahanku yang barusan. Aku mengerti dan cepat-cepat memberi penjelasan lebih lanjut,

"Maksud saya..mungkin saja dia tidak menyelesaikan kuliahnya. Atau mungkin, dia lulus di tahun lain..Jadi, begini saja...bisa tolong periksa siapa-siapa saja pria bernama Riko yang masuk sekitar tahun 1999 sampai 2001?

Ia mendengus lagi, kali ini lebih keras. Dengan berat hati disambarnya mouse di meja lalu diklik-klikkannya berkali-kali dengan kasar. Sedetik kemudian matanya telah menjelajahi layar.

"Nih, ada." katanya.

Ia membalikkan laptopnya ke arahku, membiarkanku melihat sendiri ketiga foto yang terpampang disana. Yang pertama, absolutely not. Yang kedua, terlalu gendut. Bahkan rasanya Riko akan masih lebih tampan dari itu meski beratnya 100 kilo. Yang ketiga, yang terakhir...

Seorang pria berkawat gigi dengan jerawat disana-sini. Keturunan Cina.

Jelas bukan Riko.

Aku menghempaskan tubuh ke kursi lalu menggeleng lemah. Petugas itu tersenyum girang, barangkali karena ia mengira tugasnya meladeniku sudah selesai.

Kenapa bisa tidak ada? Jadi..siapa sebenarnya Riko? Atau tahun masuknya yang salah? Ah, sepertinya tidak mungkin. Riko pernah bilang seusai SMA dia langsung kuliah. Berarti kalau tidak tahun 1999, pastinya 2000 atau 2001. Waktu itu dia menghimbauku agar tidak usah kuliah saja. Merepotkan, menyebalkan, katanya. Jadi aku harus bagaimana, tanyaku. Menikah saja, balasnya sambil terkekeh. Sama siapa, tanyaku lagi, penuh harap. Yang pasti jangan sama aku, aku kan mencintai kebebasan, ujarnya. Aku kan juga, kataku sebal. Wanita itu, kalau nggak menikah, susah, jelasnya. Aku tidak percaya, aku...

"Mbak, sampe kapan mau disini? Saya mau istirahat makan, nih." ucap si petugas, membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum miris sebelum akhirnya bangkit berdiri dan berjalan pergi. Sementara terus melangkahkan kaki, berbagai pemikiran melintas dalam benak:

Ah. Riko..jangan-jangan cuma halusinasiku aja? Kalau benar, betapa gila. Betapa kepalaku terkena amnesia.

Sial. Aku yakin sekali Riko itu nyata dan ada. Buktinya saja, Dona bisa mengingatnya...

Aku belum lagi tiba di pintu ketika tiba-tiba mataku membelalak lebar. Aku menyadari sesuatu. Foto di dinding itu, dimana ada tiga wanita dan empat pria berjajar berfoto bersama. Dua diantaranya memegang piala.

Yang aku takjubkan bukanlah kilau piala itu, bukan juga rona wajah bahagia yang terpancar dari semuanya, melainkan...seorang pria dengan kemeja biru dan senyum sinis itu..

Riko!

"Pak, itu Riko!" kataku histeris sambil menunjuk lelaki di foto tersebut.

Petugas itu berdiri, kemudian berjinjit dan mendongak sedikit guna melihat foto yang kumaksud.

"Kamu yakin?" tanyanya tidak percaya.

"Tentu saja!" ujarku setengah berteriak.

Postur tubuh, wajah, senyum, raut muka, bahkan aura, semuanya...sungguh mencirikan Riko.

"Hmmm..." ia berpikir sejenak dan kemudian menyahut, "Nanti saya periksa lagi deh. Tapi sekarang saya mau makan siang dulu..."

"Pak!" aku mendatanginya, tanganku nyaris menggebrak meja. "Tolong carikan sekarang!"

Ia agaknya terkejut, tubuhnya mundur selangkah ke belakang.

"Eh..ya mana bisa. Saya mau makan dulu. Ini sudah lewat jam istira--"

"Bapak tidak mengenalnya? Dia mahasiswa disini sepuluh tahun yang lalu! Pasti ada yang salah dengan sistem komputernya!"

"Aduh, iya, saya juga bingung Mbak.. Saya mana bisa ingat semua murid disini. Nanti saya tanyakan dulu deh ya?"

"Tapi Pak!"

"Mbak! Kalo nggak gini aja. Saya minta nomor HP mbak. Nanti setelah makan, saya langsung cari. Kalau ketemu, saya hubungi segera. Gimana?"

Aku menatap petugas itu lekat-lekat, berusaha meyakinkan dirinya agar melewatkan makan siang dan melakukan pencarian sekarang juga. Tapi, gagal. Perut pria itu sepertinya sudah terlampau keroncongan.

***

Aku tidak begitu mengerti bagaimana, tapi yang jelas kini-untuk kedua kalinya dalam perjalanku-aku tengah berada di depan rumah Dona.

Riko yang tidak ada di daftar namun terpampang dalam foto...kemarahan Dona yang tanpa alasan.. Lelucon macam apa yang sedang orang-orang ini mainkan padaku?

Memuakkan. Kalau begini terus aku bisa mati karena mual.

Aku-dengan cara apapun-harus membuat Dona bicara.

Kuketuk pintu rumah itu berkali-kali. Tidak ada jawaban. Kugedor lebih kuat lagi. Tetap hening.

Kuteriakkan nama Dona dengan segenap amarah dan pasrah yang terlalu lama hinggap di dada.

"Brengsek." kataku pelan. "BRENGSEK!"

Aku menghempaskan diri pada dinding rumah Dona. Kubiarkan tubuhku longsor-terduduk di sebelah pintu. Sama sekali tidak ada air mata yang mengalir. Aku bahkan terlalu marah untuk dapat melakukannya.

"Apa salahku? APA? Brengsek!"

Mulutku masih meracau tidak jelas ketika tiba-tiba pintu terbuka.

Dona menatapku dengan pandangan kosong.

"Kau yang brengsek." katanya pelan. Ia menunduk, matanya memandangku sinis, dan seketika itu pula otakku mencerna sesuatu.

Tatapan itu, pernah aku lihat.

Pernah aku rasa, meski tak aku pedulikan.

Ia yang menundukkan kepala tiap kali aku membicarakan Riko. Bibirnya yang tersenyum bahagia namun matanya yang mengatakan aku kecewa. Raut mukanya yang sedih ketika aku menanyakan perihal pria yang ia suka.

Dan ah...seringai kecil yang terlukis pada wajahnya ketika kukatakan, aku akan pergi ke Jogja...

"Dona...apa kau...?"

"Ya." katanya lirih. "Riko adalah tetanggaku."

***

Continue Reading

You'll Also Like

7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...
6.5M 336K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
724K 67.5K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
1M 148K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...