4. Tentang Aku Dan Riko (I)

1.1K 33 14
                                    

4. Tentang Aku dan Riko (I)

Teh celup gratis dari kamar hotel ini sudah hampir habis, tapi tenggorokanku masih terasa tercekat. Sendok pengaduk teh itu telah pula kuketuk-ketukkan ke meja dengan tempo cepat, tapi pikiranku tetap tak mau tenang. Dalam dua puluh menit terakhir ini, mataku terus saja menatap nanar ke arah jendela yang menganga terbuka.

Apa yang aku lihat? Tidak ada. Aku cuma menatap hampa. Sedari tadi yang ada di otakku cuma Riko. Lelaki satu itu selalu identik dengan kebahagiaan tiap kali aku mengingatnya, tapi kurasa untuk sekarang ini, tidak. Meski kala meneguk teh celup itu aku tidak tersedak, entah bagaimana, dada ini terasa begitu sesak.

Ada apa dengan Riko? Ada apa?

Sekali lagi kulempar pikiranku ke masa lalu-memaksanya untuk mengingat lebih detail. Tidak ada penambahan. Tentu saja aku tak bisa bilang usaha otakku gagal atau berhasil, sebab meski ingatanku stuck disitu-situ saja, toh aku yakin sekali, sepuluh tahun silam, cuma inilah yang terjadi:

Aku putus dengan Riko, dan dia yang memutuskan aku.

Ya, Riko-lah yang memutuskan aku, walaupun tidak secara langsung dan terang-terangan. Namun setidaknya aku yakin sekali, bukankah orang yang mengatakan bahwa ia tidak ingin ada dalam ikatan apapun itu minta putus?

Aku mendorong kursiku kebelakang dan bangkit darisana menuju ranjang. Kuhempaskan tubuhku, tanganku kubiarkan terlentang bebas.

Ah, bebas. Lepas. Bukankah dulu kami menganut kepercayaan yang sama? Kepercayaan yang bukan agama, tapi lebih pada prinsip.

"Aku mencintai kebebasan." bisikku di telinganya suatu ketika di kamar kos-kosan kecilnya. Ruangan itu sempit dan lumayan panas, tapi bebas. Tidak akan ada yang peduli jikapun ada yang membawa kucing kesayangan, wanita simpanan ataupun teman sepermainan.

Riko yang tengah sibuk memainkan gitar akustiknya tiba-tiba berhenti sejenak.

"Keren." katanya tampak benar-benar kagum. "Aku juga."

"Benarkah?" tanyaku berbinar. "Satu kecocokan lagi!"

"Kecocokan apa? Kita berbeda kok. Aku laki-laki dan kau perempuan. Kalau gender sudah beda ya mana bisa sama.." jawabnya terkekeh.

Aku memanyunkan bibir.

"Ya ampun, aku bercanda kok. Kita sederajat, atau setidaknya aku menganggapnya begitu. Sudah kan?"

Aku masih konsisten dengan wajah cemberut yang agak dibuat-buat.

"Aih, cepatlah ubah mimik itu. Bukan kau banget tahu. Menggelikan." katanya tertawa terpingkal.

Aku memukul kepalanya, tapi ia malah tertawa.

"Haha. Nggak sakit sama sekali, bego. Sudah kubilang berapa kali sih, masa nggak nger--"

Aku menciumnya. Cepat dan mendarat tepat di bibirnya yang tipis manis, lalu sedetik kemudian bergegas melepasnya lagi.

Riko menunduk dan tersipu. Punggung telapak tangannya mengusap-usap bibirnya. Agaknya ia terkejut dengan tindakanku barusan.

Giliranku untuk balas dendam dimulai. Aku tertawa, terbahak-bahak.

"Kau curang." katanya pelan. Dari suaranya aku bisa dengar bahwa ia cukup senang "Kau melawanku secara mental."

"Kau yang terlalu lemah dalam hal begini." kataku.

"Aku hanya terkejut." bantahnya. "Aku tidak menyangka saja. Kau perempuan yang aneh."

"Memang." balasku, tulus. "Aku memberikan keperawanan bibirku padamu. Aku bahkan tidak membiarkanmu mencurinya. Aku mencuri milikku sendiri."

"Keperewanan? Kata-kata itu lumayan jijik jika diucapkan wanita." ujarnya serius.

Mesin Waktu, Akuحيث تعيش القصص. اكتشف الآن