SENJA (Revisi 2023)

By De_Amanina

1.1M 37.1K 3.1K

Patah hati. Entah harus berapa lama lagi Senja menahan rasa sakit itu sendirian, diam-diam. Terjebak dalam c... More

Part 1 : Memori
Part 2 : Sekolah Baru
Part 3 : Insecure
Part 4 : Balap Liar
Part 5 : Surat dari Wira
Part 6 : Rooftop
Part 7 : Insiden Bus
Visual Cast
Part 8 : Satria
Part 9 : Hari yang Buruk
Part 10 : Tidak Bisa Ditebak
Part 11 : Satria Itu, Seperti Apa?
Part 12 : Kebenaran
Part 13 : Dilema
Part 14 : Barbeque
Part 15 : Tepi Barat
Part 17 : Move On
Part 18 : Truth or Dare
Part 19 : Jaga Jarak
Part 20 : Konspirasi Devin
Part 21 : The Power of Devin
Part 22 : Hanya Teman
Part 23 : Bayu
PROMOSI CERITA (SAVIOR)

Part 16 : Jaga Hati

13.4K 1.2K 128
By De_Amanina

"Menikmati ubi bakar, bersama Satria. Ini sungguhan?" ~Senja~

***
Vote dulu. Selamat membaca...

***

Satria berhasil membawa Senja ke pemukiman warga. Nafasnya terengah, dengan keringat yang membasahi pelipis. Sementara gadis itu, senyum-senyum menikmati perjalanan mengesankan bersama Satria yang tidak pernah ia duga.

"Ini rumah siapa?" tanya Senja, saat pemuda itu menurunkannya di teras rumah seseorang.

"Rumah temen," jawab Satria.

"Assalamu'alaikum." Satria mengucap salam sambil mengetuk pintu rumah.

"Wa'alaikum salam." Terdengar jawaban dari dalam sana.

"Punten, sareung saha?" tanya seorang Bapak saat mendapati Satria yang bertamu ke rumahnya.*

"Saya Satria, Bapak masih ingat ga?" Satria mencium tangan si Bapak, lalu mencoba memperkenalkan diri. Mengingat dia juga sudah lama tidak tinggal di daerah sini.

"Sakeudap, Bapak inget-inget dulu. Kaya gak asing wajahnya, pernah liat, tapi di mana ya?" Si Bapak berusaha mengingat Satria.*

"Temen sekolahnya Ahmad waktu SD Pak," kata Satria memberi petunjuk.

"Astagfirullah, Den Satria. Udah gede, Bapak sampe gak kenal," ujar Si Bapak kemudian merangkul Satria kedalam pelukannya.

"Iya Pak, ini Satria." Satria membalas rangkulan tangan si Bapak.

Senja hanya bisa menyaksikan adegan yang cukup mengharukan ini, Dia tidak menyangka sikap Satria bisa sehangat itu.

"Aya saha Pak?" Seorang ibu muncul dari dalam rumah, usianya mungkin tidak jauh dari Mama Satria dan Senja.*

"Ini Bu, Den Satria. Anaknya Pak Rafi pemilik kebun teh," jelas Si Bapak.

"Den Satria temennya Ahmad?" tanya Ibu memastikan.

"Iya Bu, Satria yang suka nginep berhari-hari di sini," ucap Satria kemudian mencium kedua tangan Ibu.

"Si kasep. Udah lama gak ke sini. Ayo masuk." Ibu mempersilakan Satria untuk masuk.

"Ja, ayo masuk." Satria menuntun Senja.

"Ini siapa?" tanya Ibu penasaran.

"Assalamu'alaikum. Bu, Pak," sapa Senja kemudian menyalami keduanya.

"Wa'alaikum salam, Neng geulis," jawab Ibu dan Bapak.*

"Namanya Senja, Pak, Bu," ucap Satria memperkenalkan Senja.

"Namanya cantik, kaya orangnya," puji Bapak pada Senja.

Senja hanya menanggapi dengan senyuman.

"Pacarnya Den Satria kan?" Ibu berpendapat yang membuat Senja dan Satria saling berpandangan. Bahkan mereka berdua tidak menampik opini Ibu.

"Ya udah, ayo kita ngobrol di dalam." Ibu menarik tangan Senja agar mengikutinya.

"Awww." Senja meringis saat tidak bisa menyamai langkah Ibu.

"Eh, kenapa?" tanya Ibu panik, takut-takut Dia terlalu keras menarik lengan Senja.

"Kaki Senja terkilir Bu, jatuh," jelas Satria.

"Harus cepet di urut itu," usul Bapak.

"Ya udah, ayo duduk di situ, ibu ambil minyak urut dulu." Ibu memberi perintah kemudian pergi ke kamar.

"Habis dari mana?" tanya Bapak.

"Panjang ceritanya Pak, Kami bermain di perkebunan teh bagian barat. Kemudian, Senja terjatuh dari tebing perbatasan, sampai kakinya terkilir seperti ini. Lalu, Saya memutuskan membawa Senja kemari karena tidak mungkin memanjat tebing dan hari semakin gelap. Sementara, Hp Saya juga mati Pak." Satria menjelaskan secara garis besar.

"Oh begitu ceritanya, kalau begitu, malam ini kalian tidur di sini saja. Besok pagi baru pulang ke Villa." Bapak memberikan usul.

"Kalau Bapak dan Ibu tidak keberatan, kami akan menginap," ucap Satria.

Sementara Senja hanya diam, pasrah. Hari ini sudah cukup melelahkan. Gadis itu hanya ingin beristirahat.

"Tentu boleh dong." Ibu menjawab dari arah kamar.

Satria tersenyum.

"Sini Neng, selonjoran kakinya. Tenang, gini-gini ibu tukang urut." Ibu menuntun kaki Senja agar mudah di urut.

"Maaf ya Bu." Senja meminta maaf karena merasa tidak sopan saat Ibu menyentuh kakinya.

"Tahan sebentar ya Neng." Ibu mulai mengolesi pergelangan kaki Senja dengan minyak.

"Aaaaaah, sakit Bu. Sakiiit!" Senja mengaduh kesakitan.

Satria ikutan ngeri melihatnya, sementara Bapak sudah terbiasa melihat orang menjerit saat di urut karena terkilir.

"Tahan ya Neng, sebentar lagi. Soalnya kalau gak buru-buru di urut bisa makin kaku nanti uratnya." Ibu kembali mengurut kaki Senja.

"Sakit Bu. Aaaaaah!"

"Tahan Ja." Satria menggenggam tangan Senja, berusaha menyalurkan kekuatan pada Gadis itu.

"Aaaaaah!" jerit Senja panjang.

"Nah, sudah. Coba di gerakkan. Masih kaku ga?" tanya Ibu memastikan kaki Senja sudah tidak terkilir lagi.

"Lumayan Bu, enakan," ucap Senja sambil menggerakkan kakinya.

"Setelah istirahat, besok pasti udah bisa jalan lagi," kata Ibu kemudian pergi ke dapur.

"Kalian belum makan kan? Sebentar, Bapak siapkan makanan." Bapak ikut bangkit menyusul Ibu.

"Makasih Sat," ucap Senja kemudian melepaskan genggaman tangan Satria.

"Oh, iya." Satria tersenyum kikuk.

"Ini, maaf makanannya makanan kampung." Ibu datang dengan hidangan di tangannya.

"Ini, di minum dulu." Bapak datang dengan dua gelas air putih.

"Ayo, silakan dimakan. Kalian pasti lapar." Ibu menghidangkan dua piring nasi, dengan semangkuk sayur asam dan sepiring kecil ikan teri serta tempe goreng, ada sambal terasi juga.

"Maaf hidangannya seperti ini," ucap Bapak merasa malu.

"Engga Pak, ini makanan kesukaan Satria sama Ahmad dulu," jelas Satria.

"Oh iya, Ahmad ke mana? Belum pulang ngaji ya?" sambung Satria menanyakan keberadaan Ahmad.

"Ahmad tinggal di Jakarta Den, ikut Kak Fatimah. Sekolah di sana, kemudian bantu-bantu suami Kak Fatimah jualan Bakso sehabis pulang sekolah," jelas Ibu.

"Oh gitu, sayang sekali, Satria pengen ketemu Ahmad." Satria tampak kecewa, Dia sangat merindukan sahabat kecilnya itu.

"Kalau gitu, di makan dulu. Ibu tinggal ke kamar ya. Maklum, jam segini ibu udah ngantuk. Besok harus bangun pagi buat metik teh lagi." Ibu berucap sembari menguap, menahan kantuk. Padahal masih pukul 8 malam.

"Ibu masih kerja di perkebunan?" tanya Satria.

"Masih atuh Den, kalo gak metik teh mau makan dari mana," jawab Ibu di akhiri tawa kecil.

"Maaf ya Bu, kedatangan kami malah merepotkan." Senja angkat bicara, merasa tidak enak sudah mengganggu waktu istirahat Ibu.

"Gak apa-apa Neng. Oh iya, Neng kalau mau istirahat di kamar sebelah sini. Kamarnya bersih kok, ibu selalu bersihin setiap hari. Kalau Den Satria, tidur di luar aja gak apa-apa kan? Soalnya kamar Ibu cuma dua."

"Gak apa-apa Bu, udah biasa tidur di luar sama Ahmad dulu," kata Satria tersenyum mengingat kenangan manis bersama Ahmad.

"Kalau gitu, makan yang lahap. Maaf Ibu tinggal tidur duluan." Ibu bangkit dari duduknya.

"Bapak juga, mau pamit ke luar ya. Biar kalian makannya lahap gak di liatin sama Bapak," ucap Bapak cengengesan.

"Selamat makan," ucap Ibu dan Bapak kemudian meninggalkan keduanya.

***

Malam semakin larut, tapi Senja masih belum bisa memejamkan matanya. Dia masih kepikiran soal Mamanya, pasti semua keluarga mencemaskan dia. Bagaimana mungkin dia di sini bisa tidur dengan nyenyak?

"Sat, udah tidur?" Senja memanggil Satria di pintu kamar.

Satria yang sedang memejamkan matanya di ruang tamu pun terbangun.

"Engga, baru merem aja," jawab Satria kemudian memasang posisi duduk.

Senja menghampiri Satria.

"Kenapa?" tanya Satria.

"Kepikiran Mama," jawab Senja sambil menunduk.

"Mau nelpon Mama?" tanya Satria.

"Gimana caranya?" tanya balik Senja.

"Entah," jawab Satria singkat.

Huh. Senja menghela nafas.

"Mau ke luar? Cari angin." Satria berusaha menghibur Senja.

"Di luar pasti dingin, gak mau," jawab Senja.

"Denger ga? Ada suara kayu terbakar," kata Satria.

"Hah? Kebakaran?!" tanya Senja panik.

"Ck, bego." Satria mendengus pelan tapi masih bisa di dengar oleh Senja. "Ayo ikut." Pemuda itu lantas menarik lengan Senja.

"Oh, api unggun. Kirain kebakaran," ucap Senja saat dia sudah di luar.

"Eh, kalian belum tidur?" Bapak yang sedang menikmati kehangatan bangkit dari duduknya.

"Belum. Oh iya Pak, boleh pinjam Hp gak buat kabarin orang rumah," ucap Satria.

Senja sedikit kaget, Satria mau mengusahakan mengabari Mamanya.
Hari ini, Satria terlihat berbeda di mata Senja. Tidak seperti biasanya.

Senja tersenyum, entah kenapa hari ini Satria banyak sekali bicara. Meski kakinya sakit, Senja bersyukur bisa diberikan kesempatan bersama Satria.

"Ini ada, tapi sinyalnya kurang bagus, biasa kalau mau hujan suka begini." Bapak menyerahkan ponsel pada Satria.

"Pake aja, Bapak mau tidur duluan ya. Nanti HP nya simpan aja dulu," sambung Bapak.

"Oh iya Pak. Terimakasih banyak." Senja menjawab, Dia sangat bersyukur bisa menghubungi Mamanya.

Bapak mengangguk, kemudian meninggalkan ke duanya.

"Duduk, hapal nomor Mama kan?" Satria mengajak Senja duduk pada sebatang kayu di depan api unggun.

"Hapal kok." Senja duduk di samping kanan Satria.

"Ini, telpon gih. Tapi pulsanya cuma ada sepuluh ribu." Satria menyerahkan ponsel jadul itu pada Senja.

"Di sms aja ya, biar ditelpon balik," usul Senja.

"Terserah."

Senja mulai mengetik sesuatu.

"Jangan bilang kita lagi barengan," kata Satria memperingatkan.

Senja menghentikan pergerakkan jarinya.

"Kenapa?" tanya Senja bingung, kenapa Satria tidak mau diketahui.

"Ada hati yang harus dijaga. Jadi, rahasiakan soal ini. Gue gak mau sampai ada yang terluka karena tau kita barengan," jelas Satria panjang.

Senja terdiam, mencerna maksud Satria soal menjaga hati. Siapa yang Satria maksud? Kenapa rasanya penjelasan Satria begitu menyesakkan, seperti tertancap ribuan jarum dalam sekali hantam.

Apa orang yang di maksud adalah Luna? Ingin menanyakan, tapi Senja takut jika jawaban Satria semakin membuatnya sakit. Jika benar Luna, se-spesial itukah hubungan keduanya?

"Kenapa bengong? Ayo sms Mama," tegur Satria saat Senja diam saja.

"Gue harus bilang apa?" tanya Senja.

"Bilang aja kalau lo baik-baik aja di rumah salah satu warga, dan bilang kalau Mama dan keluarga gak perlu cemas," saran Satria.

"Oh, ok." Senja menuruti instruksi dari Satria.

Setelah mengirim pesan. Tanpa menunggu satu menit, ponsel kembali berdering. Panggilan masuk dari Mama.

"Halo Ma," sapa Senja mengangkat panggilan telpon.

"...."

"Senja baik-baik aja Ma. Panjang ceritanya, nanti besok Senja ceritain semuanya."

"...."

"Senja di rumah salah satu warga yang bekerja di perkebunan Om Rafi. Mereka baik, tadi kaki Senja terkilir, tapi udah diurut dan udah bisa jalan lagi." Senja memberikan penjelasan.

"...."

"Gak usah Ma, gak usah jemput. Ini udah malem, besok pagi aja. Halo... Halo... Ma... Mama..."

Tut... Tut... Tut... Sambungan telepon terputus.

"Kenapa?" tanya Satria.

"Hp nya mati," jawab Senja kecewa.

"Yang penting udah kabari Mama, setidaknya bikin Mama sedikit tenang." Satria mencoba menenangkan.

"Nih, charge dulu. Biar besok bisa kabarin lagi." Senja menyerahkan ponsel itu pada Satria.

"Belum ngantuk?" Satria bertanya, karena Senja diam saja.

"Belum," jawab Senja singkat.

"Sakit? Kaki lo sakit lagi?"

"Engga." Senja menggeleng, sejujurnya gadis itu masih kepikiran soal ucapan Satria tadi.

"Tidur, udah malem," perintah Satria sambil fokus memasukan ranting kayu pada api.

"Laper, jadi gak ngantuk." Senja memberi alasan.

"Suka ubi atau singkong?" Satria bertanya sambil memilih-milih ubi dan singkong yang bertumpuk di sisi kirinya. Mungkin sengaja di siapkan Bapak untuk menemaninya tadi.

"Yang manis aja," jawab Senja sambil menengok apa yang Satria pilih.

"Tunggu bentar." Satria memasukkan beberapa ubi pada api yang menyala.

"Menikmati ubi bakar, bersama Satria. Ini sungguhan?" Senja berbicara dalam hati sambil menatap langit berkabut dengan terang bulan purnama.

"Lo benci ya sama gue?" tanya Senja tiba-tiba.

Ini adalah kesempatan baik untuk menanyakan hal yang selama ini menjadi pertanyaan dalam benak Senja.

"Engga," jawab Satria sambil membalik posisi ubi bakar.

Sejujurnya, jawaban Satria tidak terlalu memuaskan.

"Serius?" todong Senja.

"Apa gue pernah bilang benci sama lo?" tanya balik Satria.

Senja menggeleng, memang Satria tidak pernah mengatakan itu, tapi sikapnya selalu dingin dan ketus pada Senja. Apa salah jika Senja berpikiran demikian?

Hening. Tidak ada obrolan lagi.

Satria sibuk dengan ubi bakarnya, sementara Senja sudah membenamkan wajahnya pada kedua lutut. Mungkin gadis itu tertidur.

"Ja, lo tidur?" Satria bertanya, namun tidak ada jawaban.

"Ja..." Satria sedikit mengguncang lengan Senja, tapi gadis itu masih tak bergeming.

Satria memandang Senja sejenak, gadis itu pasti kelelahan. Tanpa pikir panjang, Satria membopong tubuh Senja, dan membawanya masuk agar gadis itu bisa istirahat dengan nyaman.

***

Pagi-pagi buta sekali, Bapak dan Ibu sudah bersiap untuk memetik teh. Senja dan Satria pun sudah siap untuk pulang ke Villa.

"Terimakasih ya Pak, udah di izinin nginep di sini," ucap Satria.

"Iya, Bapak justru seneng. Iya kan bu?"

"Iya, Ibu seneng dikunjungi kaya gini, apalagi sama Neng Senja," ungkap Ibu sambil mengusap-usap lengan Senja.

"Nanti Senja boleh kan main ke sini lagi?" tanya Senja.

"Tentu boleh atuh Neng," jawab Ibu dan Bapak sembari tersenyum.

"Pak, Bu, nanti kalau orang tua kami menanyakan soal ini, tolong bilang kalau semalam Senja nginep sendirian di sini," ucap Satria.

"Memangnya kenapa?" tanya Ibu heran.

"Karena, Satria gak mau kalau sampai ada yang salah paham. Tolong bilang kalau Bapak yang menemukan Senja di sungai dan membawa ke rumah," jelas Satria.

Senja terdiam, segitu tidak maunya kah Satria diketahui sedang bersama Senja. Jadi benar, ada hati yang dia jaga. Apa benar Luna?

"Oh begitu, iya nanti Bapak akan jelaskan itu." Bapak dan Ibu mengangguk paham.

"Makasih ya Pak, Bu. Mama sama Papa juga gak tau tentang Ahmad dan Satria sering nginep di sini dulu, yang tau semuanya cuma Kakek sama Nenek, jadi jangan bahas soal itu ya Pak, Satria gak mau mereka sampai curiga." Satria kembali menjelaskan maksud dari tujuannya.

"Iya, Bapak mengerti." Bapak menepuk pundak Satria.

"Ini HP Bapak, Satria juga sudah kirim pesan untuk jemput Senja di tepi jalan menuju Villa, jadi Bapak dan Ibu bisa ke perkebunan bareng dengan Senja," ucap Satria sambil memberikan Ponsel pada Bapak.

"Kita gak pulang bareng?" tanya Senja sedikit kecewa.

"Gue anter sampe jalan," jawab Satria tersenyum.

"Oh ya udah." Senja menunduk kecewa.

***

*Punten, sareng saha? = Maaf, dengan siapa
*Sakedap = sebentar
*Aya saha Pak? = Ada siapa Pak
*Si kasep = Si ganteng
*Neng geulis = Gadis Cantik, Neng (panggilan untuk anak gadis dalam sunda)

Bogor, 3 Juli 2019
Revisi, 5 Juli 2023

De_Amanina

Jangan lupa vote dan koment, silakan follow jika berkenan.

Follow juga akun IG aku de_amanina

Continue Reading

You'll Also Like

15.8K 325 10
Nah yang suka cari sana sini bingung gimana style yang lagi ngeptrend gue ada nih :)))
1.4M 30.9K 8
Amelia Salsabila hanya mengerti bahwa mencintai Damar Ardian Pramudya adalah hal termenyakitakan yang pernah ia tahu. Terlebih ketika Damar melontark...
1.5M 68.3K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
RATSEL By arli_ina

Teen Fiction

13.1K 6.6K 52
"ᴴⁱᵈᵘᵖ ⁱⁿⁱ, ᵗᵉⁿᵗᵃⁿᵍ ˢⁱᵃᵖᵃ ʸᵃⁿᵍ ᵈᵃᵗᵃⁿᵍ ˡᵃˡᵘ ᵖᵉʳᵍⁱ." ••• Ini tentang Aleta-seorang gadis, belasan tahun. Di usianya yang masih sangat muda, ia harus...