MaKo Rhythm

By motskee

2.8K 152 29

6 tahun pacaran bukan waktu yang sebentar.. 6 tahun pacaran juga tidak lantas membuat segalanya menjadi mudah... More

Rhythm 1: I Miss You
Rhythm 3: Ruined Date
Rhythm 4: A Friend
Rhythm 5: Gift
Insertion: WA Talk
Rhythm 6: The Concert
Rhythm 7: Lunch Scene
Rhythm 8: No Good In Goodbye
Rhythm 9: New Life
Rhythm 10: Unplanned Trip
Rhythm 11: Love Celebration

Rhythm 2: Run To You

220 16 1
By motskee

Sejak 10 menit lalu aku mulai tidak bisa diam. Setelah mengubah gaya dudukku untuk kesekian kalinya, aku mulai mengetuk-ngetukkan pena yang sedang kupegang. Gelisah. Meeting ini sudah berlangsung 2 jam 17 menit dan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Ini bukan meeting terpanjang yang pernah kualami. Bukan! Topik meeting-nya juga bukan hal yang akan membuat dahiku berkerut-kerut. Bukan! Sesungguhnya ini adalah meeting panjang yang biasa. Aku saja yang sedang tidak biasa. Fiuh!

Sudah 3 hari berlalu sejak pesan Nikko yang membuatku gundah gulana itu kuterima. Hanya itu dan komunikasi kami terputus lagi. Okay, sekarang aku sudah mencoba menghubunginya ratusan kali dan gagal. Jadi, hari ini aku memantapkan hati. Aku akan menemuinya. Akan aku datangi rumahnya yang terletak di daerah sub-urban Jakarta. Demi Nikko, aku yang biasanya membenci kemacetan akan merelakan diri bermacet-macet ria menuju selatan Jakarta. Ah tidak, kuralat kalimatku barusan, semua ini demi aku semata. Aku yang tidak rela ditinggalkannya.

Jam digital di dashboard mobilku menunjukkan pukul 21.10 WIB ketika akhirnya aku sampai di cluster di daerah BSD ini. Deretan rumah-rumah bergaya minimalis menyambutku. Mobilku kuparkir tepat di depan rumahnya. Sekilas kuintip di carport memang ada mobilnya, tetapi karena kondisi lampu dalam rumah masih gelap gulita, kupastikan Nikko masih belum pulang. Sungguh aku berharap dia segera pulang. Aku rindu.

Aku hampir terlelap ketika setengah jam kemudian kudengar raungan halus suara mesin motor di samping mobilku. Ah, akhirnya cintaku datang juga. Dia sudah mematikan mesin motor dan sedang memarkirkannya di carport. Tapi aku masih membeku kaku di dalam mobil. Tergagap ketika ada ketukan halus di jendela kaca mobilku.

"Sudah lama kamu sampai?" suara itu menyapaku. Suara yang selalu mampu menerbangkanku.

Entah kenapa justru suaraku yang mendadak serak ketika menjawab pertanyaannya, "Ya, kira-kira setengah jam."

"Ayo, masuk. Atau kamu masih betah di mobil? Mau tidur di mobil?" katanya dengan cuek. Justru aku yang bertanya-tanya, kenapa wajahnya bisa sedatar itu? Nyaliku jadi semakin ciut.

Dia menawariku minum Nutrisari yang baru dibuatnya. Tanpa basa-basi langsung saja kuhabiskan hampir setengah gelas sekaligus. Tiba-tiba saja aku merasa kehausan dan kerongkonganku rasanya kering sekali. Nikko melirik aksiku sekilas. Kami sudah duduk berhadapan di mini bar yang tampak rapi dan bersih.

"Apa kabar?" Diantara berjuta rasa yang terpendam, nyatanya hanya kata itu yang mampu kuucapkan. Aku gugup luar biasa. Aneh. Padahal dia adalah orang yang sama yang sudah bersamaku selama 6 tahun terakhir.

Nikko memandangku beberapa saat, "Baik. Tapi juga tidak baik." Dia menjawab sambil memandang ke arah lain. Suasana antara kami terasa aneh. Aku merasa jauh sekali dengannya. Alisku naik sedikit, tanda bahwa aku meminta penjelasan lebih dari kata-katanya barusan.

"Secara fisik, aku baik. Sehat, tidak kekurangan apa pun seperti bisa kamu lihat sendiri. Yang kumaksud tidak baik. Hmm..mungkin pikiranku yang agak sedikit kacau akhir-akhir ini."

"Kenapa kamu tidak pernah menjawab telepon atau pesan-pesanku? Apa kamu pikir kalau kamu mendiamkanku begitu lalu masalahnya akan selesai sendiri?" akhirnya pertanyaan itu tercetus begitu saja dari mulutku. Aku memang paling malas berbasa-basi dan sejujurnya aku ingin masalah ini segera selesai.

"Kupikir masalah kita sudah selesai ketika aku membalas pesanmu terakhir kali. Bagian mana yang kurang jelas dari pesan itu, Mar?"

"Semuanya gak jelas Nikko!" aku mulai emosi lagi.

"Kita break, Mar." sahutnya tegas.

Mataku mulai berkaca-kaca, "Kamu boleh marah atau memakiku sampai kamu puas, Nik. Tapi bukan dengan mendiamkanku. Apalagi memutuskan sesuatu secara sepihak. Aku gak mau break."

Nikko mendesah, "Aku capek, Mar. Kita benar-benar perlu introspeksi diri. Kita sudah pacaran 6 tahun tapi selalu ada saja hal-hal yang membuat kita gak sejalan. Kamu gak ingat berapa kali kita putus-sambung selama ini?"

"Jadi, kamu mau bilang kalau selama ini kita tidak cocok? Setelah 6 tahun?"

Nikko tidak menjawab, tapi matanya menjelaskan semuanya. Dia memandangku sedih. Ada ruang kosong di matanya. Ya Tuhan, apakah rasa itu benar telah hilang?

Dengan suara parau diantara isak tangisku, aku mencoba tegar. "Kamu mau kita break berapa lama?" kataku sesenggukan.

"Aku gak tahu, Mar."

"Apa aku benar-benar tidak boleh menghubungimu selama kita break?" tanyaku.

Nikko meraih tangan kananku dan menggenggamnya erat. Tangannya hangat sekali. Genggaman yang selalu menenangkanku. Tapi tidak kali ini. Aku menangis semakin keras. Terserah kalau dia bilang aku cengeng. Aku tidak peduli. Tubuhku lemas.

"Break berarti kita tetap jadi teman, Mar. Kita boleh saling menghubungi satu sama lain seperti layaknya teman. Please call me anytime you need my help."

"Fine." aku menganggukkan kepala tanpa tenaga.

Nikko dan Mara masih saling berdiam diri. Meresapi kebersamaan mereka sekaligus kepedihan di hati masing-masing.

"Mar, sudah jam setengah sebelas. You must go home now. Besok harus masuk kantor kan?" Nikko memecah kebisuan antara kami.

Aku hanya bisa mengangguk lesu, "Ya, aku sebaiknya segera pulang"

"Tunggu disini sebentar. Aku antar kamu sampai apartemen." katanya singkat sambil masuk ke kamar.

"Gak usah, Nik. Aku bisa kok nyetir sendiri."

"Ini sudah malam, Mar. Kamu gak terbiasa menyetir rute sejauh ini kan. Aku gak mau nanti kamu malah ngantuk dan kenapa-kenapa di jalan." Nikko menceramahiku. Just like usual.

Aku hanya bisa pasrah. Mataku masih menatapnya terpana. Nikko sudah mengganti pakaian kerjanya dengan baju yang lebih casual. Jeans, T-shirt dan jaket tidak mampu menyembunyikan aura maskulinnya.

"Aku antar kamu sampai apartemen. Nanti aku pulang lagi dengan taksi." katanya sambil meminta kunci mobilku.

Lagu Silent Times dari Michael Learns To Rock yang mengalun dari audio system mobilku seperti mendukung situasiku saat ini. Hanya ada kebisuan diantara kami. Aku menyandarkan kepala sambil memejamkan mata. Lalu kurasakan tangan kirinya menggenggam lagi tangan kananku.  Aku tidak menolak.

"Maafkan aku, Mar." katanya lirih. Lalu setetes airmata mengalir lagi di pipiku.

Nikko benar-benar mengantarku sampai apartemen. Aku masih jadi zombie yang menurut saja apa pun yang dilakukannya padaku. Kesadaranku entah dimana sampai akhirnya Nikko mengguncang tubuhku sedikit.

"Aku pulang dulu. Jangan lupa mandi pakai air hangat kalau mau mandi. Lalu segeralah tidur. We'll be okay. I love you, Tamara Larasati." pamitnya sebelum pulang sambil memelukku.

Coba katakan padaku bagaimana caranya aku bisa menganggapnya hanya sebagai teman kalau perlakuannya begitu manisnya padaku. Aku menangis lagi. Tidak mau melepaskan pelukanku. Rasanya aku tidak akan sanggup menjalani hari tanpa Nikko. Aku tidak sanggup dan tidak mau. Tapi aku bisa apa? Nikko bukan orang yang mudah tergoyahkan kalau sudah memutuskan sesuatu.

*****

Alarm ponselku berbunyi nyaring tepat pukul 5 pagi. Tanganku meraba-raba permukaan nakas di samping tempat tidur dengan mata terpejam mencari ponselku. Refleks kuhentikan alarm itu. Seharusnya aku bangun untuk sholat Subuh. Tapi, badanku sepertinya masih lembam dan tidak mau diajak kompromi, jadi kuputuskan menambah tidurku 30 menit lagi.

Rencana hanya tinggal rencana. Aku ternyata ketiduran sampai hampir setengah tujuh pagi. Setengah mengumpat aku bergegas turun untuk sholat Subuh. Duh, sekali ini Ya Allah, maafkan aku yang khilaf ini. Semoga niat dan perbuatanku ini tetap diberi pahala walaupun terlambat.

Aku menyiapkan sarapan pagiku dengan malas-malasan. Kalau tidak ingat hari ini aku ada meeting penting dengan klien dari Hongkong, sepertinya aku mau membolos saja. Aku baru menyalakan laptopku untuk browsing berita hari ini, kebiasaanku setiap pagi, ketika ponselku berbunyi menandakan ada pesan masuk.

Dengan harapan yang melambung tinggi, aku meraih ponselku. Aku mengernyit.

Hai Mar. Hari ini lunch bareng yuk! Do you have time?

Pesan singkat yang membuatku tertegun karena tidak menyangka kalau pengirimnya adalah ...

****

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 28.8K 29
Tentang jayden cowok terkenal dingin dimata semua orang dan sangat mesum ketika hanya berdua dengan kekasihnya syerra.
906K 55K 43
Kalluna Ciara Hermawan memutuskan untuk pulang ke kampung Ibu nya dan meninggalkan hiruk pikuk gemerlap kota metropolitan yang sudah berteman dengan...
54.3M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...
5M 920K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...