Rhythm 2: Run To You

220 16 1
                                    

Sejak 10 menit lalu aku mulai tidak bisa diam. Setelah mengubah gaya dudukku untuk kesekian kalinya, aku mulai mengetuk-ngetukkan pena yang sedang kupegang. Gelisah. Meeting ini sudah berlangsung 2 jam 17 menit dan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Ini bukan meeting terpanjang yang pernah kualami. Bukan! Topik meeting-nya juga bukan hal yang akan membuat dahiku berkerut-kerut. Bukan! Sesungguhnya ini adalah meeting panjang yang biasa. Aku saja yang sedang tidak biasa. Fiuh!

Sudah 3 hari berlalu sejak pesan Nikko yang membuatku gundah gulana itu kuterima. Hanya itu dan komunikasi kami terputus lagi. Okay, sekarang aku sudah mencoba menghubunginya ratusan kali dan gagal. Jadi, hari ini aku memantapkan hati. Aku akan menemuinya. Akan aku datangi rumahnya yang terletak di daerah sub-urban Jakarta. Demi Nikko, aku yang biasanya membenci kemacetan akan merelakan diri bermacet-macet ria menuju selatan Jakarta. Ah tidak, kuralat kalimatku barusan, semua ini demi aku semata. Aku yang tidak rela ditinggalkannya.

Jam digital di dashboard mobilku menunjukkan pukul 21.10 WIB ketika akhirnya aku sampai di cluster di daerah BSD ini. Deretan rumah-rumah bergaya minimalis menyambutku. Mobilku kuparkir tepat di depan rumahnya. Sekilas kuintip di carport memang ada mobilnya, tetapi karena kondisi lampu dalam rumah masih gelap gulita, kupastikan Nikko masih belum pulang. Sungguh aku berharap dia segera pulang. Aku rindu.

Aku hampir terlelap ketika setengah jam kemudian kudengar raungan halus suara mesin motor di samping mobilku. Ah, akhirnya cintaku datang juga. Dia sudah mematikan mesin motor dan sedang memarkirkannya di carport. Tapi aku masih membeku kaku di dalam mobil. Tergagap ketika ada ketukan halus di jendela kaca mobilku.

"Sudah lama kamu sampai?" suara itu menyapaku. Suara yang selalu mampu menerbangkanku.

Entah kenapa justru suaraku yang mendadak serak ketika menjawab pertanyaannya, "Ya, kira-kira setengah jam."

"Ayo, masuk. Atau kamu masih betah di mobil? Mau tidur di mobil?" katanya dengan cuek. Justru aku yang bertanya-tanya, kenapa wajahnya bisa sedatar itu? Nyaliku jadi semakin ciut.

Dia menawariku minum Nutrisari yang baru dibuatnya. Tanpa basa-basi langsung saja kuhabiskan hampir setengah gelas sekaligus. Tiba-tiba saja aku merasa kehausan dan kerongkonganku rasanya kering sekali. Nikko melirik aksiku sekilas. Kami sudah duduk berhadapan di mini bar yang tampak rapi dan bersih.

"Apa kabar?" Diantara berjuta rasa yang terpendam, nyatanya hanya kata itu yang mampu kuucapkan. Aku gugup luar biasa. Aneh. Padahal dia adalah orang yang sama yang sudah bersamaku selama 6 tahun terakhir.

Nikko memandangku beberapa saat, "Baik. Tapi juga tidak baik." Dia menjawab sambil memandang ke arah lain. Suasana antara kami terasa aneh. Aku merasa jauh sekali dengannya. Alisku naik sedikit, tanda bahwa aku meminta penjelasan lebih dari kata-katanya barusan.

"Secara fisik, aku baik. Sehat, tidak kekurangan apa pun seperti bisa kamu lihat sendiri. Yang kumaksud tidak baik. Hmm..mungkin pikiranku yang agak sedikit kacau akhir-akhir ini."

"Kenapa kamu tidak pernah menjawab telepon atau pesan-pesanku? Apa kamu pikir kalau kamu mendiamkanku begitu lalu masalahnya akan selesai sendiri?" akhirnya pertanyaan itu tercetus begitu saja dari mulutku. Aku memang paling malas berbasa-basi dan sejujurnya aku ingin masalah ini segera selesai.

"Kupikir masalah kita sudah selesai ketika aku membalas pesanmu terakhir kali. Bagian mana yang kurang jelas dari pesan itu, Mar?"

"Semuanya gak jelas Nikko!" aku mulai emosi lagi.

"Kita break, Mar." sahutnya tegas.

Mataku mulai berkaca-kaca, "Kamu boleh marah atau memakiku sampai kamu puas, Nik. Tapi bukan dengan mendiamkanku. Apalagi memutuskan sesuatu secara sepihak. Aku gak mau break."

MaKo RhythmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang