JASON'S LOVE LETTER: TROUBLE...

By gorgeousbiebs

1.8K 91 80

"Jangan jutek gitu dong, 'kan tak kenal maka tak sayang. Makanya gue ngajak kenalan dulu, siapa tahu lo jadi... More

PROLOG
Lembar Pertama: Hai, Kamu.
Lembar Kedua: Tarik Ulur Hati
Lembar Ketiga: Omurice Rasa Cinta
Lembar Keempat: Bidadari SMA Purnama
Lembar Keenam : Lara Hati
Lembar Ketujuh: A Shoulder To Cry On
Lembar Kedelapan: Belinda, si Pecinta Buku
Lembar Kesembilan: Romantika Malam Minggu
Lembar Kesepuluh: Valentine yang Kelabu
Lembar Kesebelas: Galau
Lembar Keduabelas: Antara Kamu Dan Dia
Lembar Ketigabelas: Lain di Mulut, Lain di Hati
Lembar Keempatbelas: Kamuflase
Lembar Kelimabelas: Merana
Lembar Keenambelas: Sekadar Harapan
Lembar Ketujuhbelas: Pahitnya Sakit Hati
Lembar Kedelapanbelas:Tear
Lembar Kesembilanbelas: Jason's Love Letter
Lembar Keduapuluh: Jatuh, Cinta [END]
EPILOG

Lembar Kelima: Hadiah Valentine Untuk Ramona

80 4 0
By gorgeousbiebs

Jason

Suasana SMA Purnama yang chaos karena demo orangtua murid, membuat gue jadi khawatir kalau Sheren benar-benar bakal di drop out. Semisal Sheren memang terbukti bersalah, berdemo malah akan memancing persekusi dan membuat hidupnya semakin enggak tenang.

Dari hasil rapat guru dengan kepolisian, gue dengar hasil analisa rekaman CCTV belum bisa membuktikan perbuatan Sheren karena videonya sedikit blur. Sisi baiknya masih ada barang bukti berupa gelang mutiara yang sempat tersangkut di seragam cheerleader milik Emma dan sebuah dompet koin berwarna pink yang terkena bercak darah.

Bahkan, Ramona sampai menangis saat melihat Sheren masuk ke ruang BK sembari disoraki dengan ejekan-ejekan kasar orangtua murid. Ramona bilang, dia sejujurnya berharap Sheren tetap bisa sekolah meski diberi sanksi. Dia juga pengin banget bantu Sheren membayar biaya pengobatan Emma, Binar dan Karina lewat donasi, tapi seluruh angkatan SMA Purnama sudah terlanjur memojokkan Sheren.

Maka dari itu, gue harus bertindak untuk membantu Ramona dan Sheeren. Yaitu, dengan menemui Grandpa Kent. Rasanya beneran kayak mau menghadapi big boss di level terakhir sebuah game, soalnya gue enggak begitu sering ngobrol sama Grandpa.

"Grandpa, Jason cuma pengin sekolah ini menegakkan keadilan sama murid-muridnya. Supaya enggak ada lagi yang mengalami hal serupa kayak Sheren, karena dia butuh dirangkul bukan dijatuhkan. Tolong, Grandpa pertimbangkan kembali sebelum mengeluarkan Sheren dari sekolah. Kalau perlu, kita bantu dia membayar--"

"Jason, ini bukan masalah keadilan yang ditegakkan. Tapi, pengaruh dari masyarakat luas akan perbuatan Sheren yang diduga melukai ketiga temannya. Kalau kita merangkul Sheren dan menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan apalagi, membantu Sheren membayar biaya pengobatan teman-temannya, kamu bisa bayangkan apa terjadi? Orangtua murid akan menuntut SMA Purnama, termasuk Grandpa, Bu Jesslyn dan Bu Anindya karena sudah membuat pelaku kriminal terbebas dari hukuman. Meski Sheren belum seratus persen terbukti bersalah, tetap saja kita tidak bisa menyelamatkannya dari tuduhan penganiayaan."

"Jason paham, tapi gimana dengan nasib Sheren semisal dia dikeluarkan? Juga, perasaan keluarganya kalau tahu Sheren harus dipenjara dan meninggalkan ibu sama dua adiknya yang masih balita. Sheren enggak seberuntung kita yang bisa menyewa pengacara untuk mengajukan banding, apalagi membayar biaya pengobatan tiga orang temannya sekaligus. Ibunya hanya seorang pramuniaga di minimarket, dua adiknya juga masih sekolah di bangku SD dan TK. Seenggaknya, Grandpa bisa berdiskusi sama Bu Jesslyn dan Bu Anindya untuk menolong Sheren. Karena, entah kenapa Jason punya firasat kalau Sheren enggak bersalah."

"Ya sudah, nanti Grandpa akan mengadakan rapat lagi bersama Bu Jesslyn dan Bu Anindya juga dewan guru lainnya. Grandpa hanya punya satu pesan Jason, berhati-hatilah dengan siapapun yang kamu percaya. Jangan sampai, tanganmu digenggam hanya untuk didorong ke dalam jurang lalu ditinggalkan."

Gue mengernyit saat berusaha mencerna ucapan Grandpa yang terdengar kayak quotes dari tokoh dalam film, alias filosofis banget. Bulu kuduk gue sampai berdiri, sesaat setelah gue pamit dan keluar dari ruang ketua yayasan.

Memang, Grandpa sering banget berpesan supaya gue berhati-hati memilih teman. Tapi kali ini, nasehatnya punya maksud yang berbeda. Seolah, ada kaitannya dengan kasus Sheren atau mungkin ....Ramona?

Aduh, kenapa perasaan gue jadi kacau begini sih? Kayak, jadi ragu buat mempercayai Ramona yang membela Sheren habis-habisan sampai memohon sama Bu Jesslyn. Kalau kecurigaan Samuel dan Kevin benar, berarti Sheren memang dijebak.

Enggak tahu lah, gue bukan detektif Conan yang pinter menganalisa alibi tersangka. Kepala gue bisa pecah, kalau mikirin hal serumit ini. Mending, gue makan siang bareng Ramona di kantin. Dia pasti udah nunggu pangerannya datang.

Namun, gue enggak melihat Ramona di sudut kantin. Gue coba cari di kelas 11 MIA 1 dan di lapangan serbaguna, juga enggak ada. Kemana dia?

Langkah kaki gue terhenti ketika mendengar suara bentakan dari arah ruang detensi. Gue lantas berbelok, melihat Mbak Anita tengah memarahi lima orang anggota Pink Girls. Sayangnya, jendela ruangan itu gelap dan gue enggak bisa lihat wajah mereka dengan jelas.

"Karena ulah kalian, Pink Girls jadi gagal meraih juara. Buat apa kalian merusak sound system? Kalian mau melukai teman-teman dengan menyabotase kompetisi? Dan juga, siapa yang menyuruh Sheren berdandan aneh seperti kemarin? Asal kalian tahu, kejadian itu selain merusak penampilan juga mempermalukan Pink Girls, terlebih lagi SMA Purnama!"

Gue lalu bersembunyi di gudang alat olahraga, ketika Mbak Anita membuka pintu dan lima orang anggota Pink Girls tadi keluar dengan wajah yang tertunduk. Gue menyembulkan kepala di balik pintu, dan melihat seorang cewek dengan sepatu vans Hello Kitty yang kelihatannya enggak asing.

Belum sempat gue memastikannya, mereka semua udah keburu pergi. Alhasil, gue memilih balik ke kantin karena perut udah mulai keroncongan dan gue juga harus minum obat asma tepat waktu.

"Jason!" suara lembut Ramona yang memanggil gue seraya duduk di kursi kantin, membuat rasa lelah gue seakan lenyap. Terlihat, dua piring nasi goreng dan dua gelas jus jeruk tersedia di meja. Ramona memang perhatian banget, tahu aja kesukaan gue.

Dan tanpa dikomando, cewek berambut panjang dengan mata sipitnya yang cantik itu langsung berujar.

"Gue tadi lagi beliin McD buat Sheren, dia enggak mau makan di kantin jadi gue minta Katrin sama Bella buat nemenin dia makan di kelasnya. Maaf ya Jas, lo pasti nungguin gue."

"Lo memang teman yang baik Mon, gue enggak sangka lo sangat peduli sama Sheren di saat dia lagi dalam keadaan terpuruk. Tapi gue punya kabar baik, Grandpa Kent udah setuju buat mempertimbangkan keputusan soal Sheren yang akan di drop out dan semoga aja, kita bisa bantu Sheren menyelesaikan masalah ini."

Gue merespons Ramona seraya menyesap jus jeruk, menatap raut wajah cewek yang gue sukai itu terlihat pucat kayak habis dikejar hantu. Juga, dia selalu menoleh ke kanan dan kiri seakan lagi waspada sama seseorang atau sesuatu.

Tetapi dalam sepersekian detik, Ramona kembali menatap lurus sembari menyuap nasi gorengnya. Dia mengembuskan napas kasar, suaranya terdengar lirih bersamaan dengan bola mata indahnya yang memerah.

"Gue hanya enggak mau Pink Girls jadi terpecah belah dan bubar, karena Sheren dipojokkan kayak sekarang. Gue akan berusaha mengembalikan impian Sheren juga masa depannya yang hampir sirna, karena dia mengingatkan gue saat pertama kali gabung di Pink Girls. Perjuangan untuk bisa diterima sebagai seorang cheerleader itu enggak gampang, terutama kalau udah menyangkut soal cedera."

Ramona tersenyum miris, air mata mulai menggenangi pelupuknya yang menggambarkan betapa dia merasa simpati pada Sheren. Cewek itu menangis sesenggukan, sembari melanjutkan perkataannya.

"Gue pernah mengalami cedera patah tulang lengan saat kelas 10, tepatnya saat gue pertama kali tampil untuk menyemangati White Eagles dan menampilkan variasi crazy eight. Sayangnya, gue kehilangan keseimbangkan saat membentuk lingkaran diatas kepala dengan lengan dan kaki.

Gue sampai harus vakum kurang lebih satu bulan dan enggak bisa ikut lomba. Makanya, gue bisa merasakan perasaan Sheren. Juga, Emma, Binar dan Karina. Gue peduli sama mereka, Jas..."

Gue enggak bisa berkata apa-apa saat mendengarkan penuturan Ramona, yang gue lakukan hanyalah mengusap air matanya dengan jemari telunjuk. Kepedulian Ramona terhadap Sheren, membuat keraguan gue padanya lenyap seketika.

Gue sangat berharap, Ramona enggak terlibat semisal Sheren hanyalah korban dari fitnah. Dan soal lima orang anggota Pink Girls yang menyabotase lomba cheers, gue juga percaya kalau Ramona bukanlah salah satu dari mereka.

💌💌💌💌

Ramona

Foto-foto Sheren dengan penampilan buruk rupa yang di-share ke grup angkatan, sukses membuat gue terhibur siang ini. Dia kelihatan kayak alien yang nyasar ke bumi, rambutnya dikepang dua dengan karet jepang warna-warni, plus behel yang terpasang di giginya membuat cewek ular itu persis kayak tokoh Betty La Fea.

Gue tersenyum puas, seraya menghapus air mata dengan tisu dan kembali memoleskan concealer dan bedak di kaca wastafel toilet cewek. Meski gue nangisnya dibuat-buat, tetap aja wajah gue enggak boleh kelihatan jelek. Berkat cara ini juga, Jason jadi percaya kalau gue beneran kasihan sama Sheren.

Kalau di lihat-lihat, Jason dan Sheren tuh mirip. Sama-sama bodoh, gampang dibohongi apalagi dimanfaatkan. Enggak heran deh, kalau mereka punya sifat yang naif. Pasti, cocok banget kalau jadian. Oops, itupun misalkan Jason naksir sama Sheren.

Call me a bad girl, tapi gue punya alasan dibalik semua permainan ini. Pertama, menyingkirkan Sheren dan menjadikan Jason sebagai pion yang bisa gue mainkan kapanpun. Kedua, untuk bersenang-senang ditengah rasa jenuh. Lagipula, Jason adalah cowok penurut yang akan selalu menuruti kemauan gue sekalipun gue suruh dia memetik 100 tangkai bunga mawar.

"Mon, lo jadi mau lamar kerja part-time di Ibiza cafe enggak? Kalau iya, gue temenin ke sana mumpung lagi buka lowongan untuk posisi waitress. Gajinya lumayan kok, buat bantu Sheren bayar biaya pengobatan Emma, Binar sama Karina."

Kedatangan Adelina yang membawakan flyer Ibiza cafe, membuat gue terkesiap lalu memelototinya dengan tajam.

"Del, jangan keras-keras ngomongnya. Gue malu, gimana kalau ada orang yang dengar coba? Lagian, gue udah punya cara lain buat dapat uangnya. Enggak perlu susah payah kerja part-time segala, tinggal nunggu dan terima jadi."

Adelina berdecak, menyentil dahi gue dan memaksa gue memegang flyer tersebut. Dia mencengkram erat kedua bahu gue, seraya menasehati dengan bibir yang bergetar.

"Mona, kalau lo sampai melakukan hal yang enggak benar buat bantu Sheren, gue bakal berhenti jadi sahabat lo! Gue menyarankan lo kerja part-time, supaya lo tahu susahnya cari uang dan belajar berusaha untuk mendapatkan sesuatu. Kalau lo benar-benar mau berubah, pikirin lagi omongan gue. Sebagai sahabat, gue enggak tahan lihat perilaku lo yang semakin semena-mena dan selalu menjunjung tinggi popularitas. Gue mau lo kembali jadi Ramona Anastasia yang ceria, tulus, mau berteman sama siapapun tanpa pandang bulu."

"Del, Ramona yang dulu enggak akan bisa meraih keinginannya dengan mudah. Ramona yang dulu, terlalu naif dan enggak pernah menyadari bahwa akan ada seseorang yang mengkhianatinya juga menyakitinya. Ramona yang sekarang, udah bahagia dengan kehidupan barunya. Jadi tolong, jangan ingatkan dia dengan masa lalu."

Gue berdecak dan tersenyum miring, lalu melepaskan cengkraman Adelina. Dia memang paling mengenal dan mengerti gue, tapi dia enggak tahu seberapa sulitnya seorang Ramona Anastasia menyembunyikan jati dirinya yang udah mati.

Adelina menggeleng sedih dan tertawa sumir. Terlihat jelas, dia begitu kecewa dengan pernyataan gue barusan. Mau gimana lagi, gue enggak bisa membohongi diri sendiri kalau gue merasa nyaman dengan Ramona Anastasia yang sekarang.

"Gue hanya enggak mau lo berubah kayak Tante Katrina yang lebih mementingkan dirinya sendiri, ketimbang keluarga bahkan anaknya. Gue tahu lo masih tertekan sejak Om Edward meninggal, tapi lo enggak perlu sampai lupa diri dan bergaul sama Amanda juga Winona. Amanda dan Winona membuat lo lari dari keterpurukan dengan cara menindas orang lain dan mempermainkan mereka sesuka hati, membuat lo lupa caranya berbaik hati. Jadi, tolong kasih tahu sama Ramona yang dulu supaya dia mengajarkan Ramona yang sekarang tentang arti sebuah kebahagiaan."

Rahang gue menegang mendengar nama mendiang Papa disebut, seakan mengingatkan gue pada masa lalu suram yang menghancurkan keutuhan dan kebersamaan gue bersama Papa juga Mama.

Tanpa pikir panjang, gue menarik kerah seragam Adelina dan mendorongnya ke dalam bilik toilet. Kemudian, gue menyemprotkan air ke wajah dan badan Adelina dengan shower toilet.

"Sekali lagi lo berani mengungkit soal kematian bokap gue, lo enggak akan pernah gue anggap sebagai teman selamanya Del! Sikap gue yang dulu dan sekarang, enggak ada hubungannya sama kejadian itu. Lo juga enggak punya hak, buat mengatur dengan siapa gue harus berteman. Adelina, jangan kira karena kita bersahabat, lo mengira kalau keberadaan lo di hidup gue itu istimewa. Sama sekali enggak, Del."

Gue mematikan shower dan membiarkan Adelina menangis dengan seluruh tubuh yang basah kuyup. Tangan gue gemetar, kaki gue terasa lemas usai membuat Adelina ketakutan.

"Del, gue enggak sengaja. Gue pikir--"

"Pergi! Jangan pernah temui gue lagi, Ramona. Mulai hari ini, gue enggak akan berada di samping lo saat sedang terpuruk. Silakan andalkan Amanda dan Winona, itupun kalau mereka mau mendengar keluh kesah lo tanpa merasa keberatan."

Sepeninggal Adelina, gue hanya bisa terpaku di tempat sambil menampar pipi gue sendiri.

Sebenarnya, apa yang udah gue lakukan sama Adelina? Kenapa gue bisa mengatakan hal sekejam itu sama dia?

💌💌💌💌

Belinda

Sepulang sekolah, gue menyempatkan diri datang ke TreeHouse Cafe yang akan menjadi lokasi Dinner Date untuk event Mak Comblang. Gue ditemani Serlina, Anya, Gabriel, Sarah, dan beberapa anggota klub mading lainnya sambil melakukan survei dan mendiskusikan tema acara.

Konsep cafe yang menyajikan suasana hutan dan kebun, lengkap dengan kolam ikan, rumah pohon yang menjadi tempat menikmati hidangan, ditambah taman bunga kecil membuat cafe ini terkesan asri tapi juga romantis.

"Gue udah siapin tema mitologi Yunani sih, tapi bingung mau pilih dewa-dewi atau makhluk mitologi kayak unicorn, mermaid dan sebangsanya. Tapi, kalau kata Serlina takutnya jadi mirip pesta kostum daripada dinner date."

"Makanya itu, gue lebih suka tema fairytale jadi dresscode-nya bisa ala pangeran dan putri tapi semi-formal. Misalnya Cinderella, bisa di-interpretasi pakai mini dress warna biru dan flatshoes silver. Terus untuk Prince Charming, bisa pakai kemeja warna khaki sama jaket warna cokelat tua. Jadi, kesan dinner-datenya tetap ada juga enggak lebay."

"Gue suka tuh, tema dewa-dewi Yunani. Pasti keren, kalau nanti kita semua pakai kostum ala Aprodhite, Eros, Selene, Ares, Poseidon, Zeus. Udah kebayang deh, jadinya kayak di cerita dongeng gitu..."

Meski ide Anya dan Gabriel terbilang unik, tapi gue juga sebagian anggota klub mading lain berpendapat kalau tema dewa-dewi Yunani enggak terlalu cocok buat dinner date White Day. Karenanya, kami lebih memilih tema fairytale yang terkesan simple.

Usai menikmati cappucinno frappe dan fish sandwich, kami langsung beranjak pulang lantaran hari sudah semakin sore.

Serlina, Anya dan Gabriel pulang bersama naik taksi online karena rumah mereka searah. Sementara yang lain, dijemput orangtua atau supir mereka. Jadilah, gue menunggu sendirian di halte bis transjakarta.

Lima menit kemudian, turun hujan deras yang membuat gue terpaksa harus berteduh dan mengusap-usap badan karena lupa membawa jaket. Kadang, cuaca memang enggak bisa ditebak. Yang tadinya panas terik, bisa tiba-tiba mendung.

Untunglah, bis cepat datang dan membawa gue sampai ke kompleks Melati, tempat tinggal gue sejak kecil. Terlihat, sosok Bang Arsya kakak laki-laki gue yang menunggu seraya membawa payung berukuran besar.

"Isha, daritadi Abang telepon kamu kok enggak diangkat? Kirain Abang, kamu pulang bareng sama teman-temanmu. Enggak tahunya, kata Cecille kamu lagi ke cafe buat bahas acara Valentine."

"Maaf Bang, hape Isha lowbatt. Lupa bawa powerbank karena bangun kesiangan, enggak sempat nge-charge di cafe karena sibuk rapat sama anggota klub mading. H-hwacih... oh ya, Ibu masak makan malam apa Bang?"

"Dasar kamu, makanya jangan begadang baca novel terus...di rumah ada sup ayam sama perkedel kentang, ibu udah masak sebelum berangkat ke salon. Habis ini, kamu langsung mandi ya, Abang mau jemput Zahra."

Semenjak Ayah sibuk mengajar di tiga kampus sebagai dosen, tugas menjemput gue dan Zahra digantikan oleh Bang Arsya sepulang kuliah atau selepas bekerja part-time untuk membantu menambahi penghasilan Ibu yang berprofesi sebagai kapster salon.

Kadang, Bang Arsya seperti sosok Ayah kedua buat gue maupun Zahra. Karena, dia adalah seorang kakak yang sangat mengayomi dan selalu menjaga adik-adiknya dengan baik.

Sesudah makan serta mandi air hangat, gue mengunci pintu rapat-rapat bersamaan dengan deru motor bebek yang dikendarai Bang Arsya mulai meninggalkan kompleks.

Untuk menghilangkan jenuh, gue mengerjakan tugas Bahasa Inggris ditemani cemilan. Dan tanpa diduga, terdengar suara deru motor serta ketukan pintu dari luar rumah.

Gue pikir, Bang Arsya balik lagi karena ada barangnya yang ketinggalan. Enggak tahunya, justru si dia muncul di hadapan gue bersama vespa kesayangannya.

"Hai Bel, gue kesini karena habis baca IG klub mading. Katanya, ada lomba nulis puisi buat orang tersayang ya? Gue mau ikutan, sekalian gabung sama klub mading."

"Ha-Hai, Jas. Boleh aja kok, kebetulan pendaftaran peserta masih dibuka. Kalau mau gabung klub mading, lo harus punya minimal satu novel atau buku puisi."

"Kalau gitu, temenin gue ke toko buku yuk. Bantu gue cari rekomendasi novel dan buku sastra ya Bel, biar nanti puisinya lebih romantis begitu dibaca sama Ramona."

Dengan sisa rasa gugup dan sedih yang tertahan, gue berusaha tetap bersikap ramah sama Jason. Ya, dia kembaran Samuel yang gue sukai tapi lagi-lagi cinta gue bertepuk sebelah tangan.

Di dalam kamar, gue membiarkan tetesan air mata menggambarkan betapa cemburunya gue sama Ramona. Dari sekian cewek yang ada di SMA Purnama, kenapa harus Ramona? Kapan Jason bisa menyadari kalau gue udah lama menaruh hati sama dia?

💌💌💌💌

Jason

Ini perasaan gue aja, atau Belinda memang kelihatan bete selama gue ajak ke toko buku? Apa dia bosan ya, karena selama kita lihat-lihat buku gue banyak cerita tentang proses PDKT sama Ramona?

Atau, Belinda capek dan merasa terganggu karena gue tiba-tiba datang ke rumahnya? Duh, jadi enggak enak nih. Mana tadi, gue kesannya kayak memaksa dia buat pergi.

"Jas, ini ada beberapa novel teenlit yang ada unsur romance-nya juga terus gue pilihin lo buku puisi modern biar enggak kesulitan waktu mempelajari majas, diksi dan peribahasa."

Uluran tangan Belinda yang membawakan tiga buah novel dan tiga buku puisi membuat pikiran negatif di kepala gue lenyap seketika.

Benar, gue enggak boleh berburuk sangka sama Belinda yang baik hati.

"Tapi, gue masih belum paham sama majas dan peribahasa. Bisa ajarin gue enggak, Bel? Soalnya, gue seringkali dapat nilai rendah untuk materi itu di pelajaran Bahasa Indonesia. Gue ada bukunya sih, tapi jarang dibaca karena tebal banget."

"Oke, nanti gue bantu rangkum isi bukunya biar lebih enak dibaca. Oh iya Jas, karena nanti waktu White Day kita ada event Mak Comblang lo langsung gue masukin jadi panitia."

Belinda menerima buku majas dan peribahasa dari tangan gue lalu menggenggamnya seraya melihat-lihat beberapa koleksi novel di rak best seller.


Gue lantas berseru senang, sambil mengepalkan tangan ke udara dan tertawa. Belinda tuh ibarat cupid, yang membantu memanah cinta diantara gue dan Ramona.

"Asik! Lo benar-benar bisa diandalkan, Bel. Demi Ramona, gue mesti jadi calon pacar idaman yang romantis."

Belinda ikut tertawa, kemudian mengajak gue ke Dunkin Donuts supaya kita bisa diskusi soal puisi ditemani ice coffee dan beberapa buah donat mini.

Selama Belinda menjelaskan dan mencatat, gue menyimak sambil memperhatikan matanya yang mulai berkaca-kaca seakan lagi menahan tangis.

"Bel, lo lagi ada masalah? Kok, kelihatannya sedih? Kita tunda dulu aja deh diskusinya  atau gue lanjutin merangkum sendiri di rumah, biar lo bisa menenangkan pikiran."

"Nih Jas, contoh majas personifikasi dan simile yang bisa lo terapkan di puisi buat Ramona. Kalau mau lebih bagus lagi, sering-sering aja dengerin lagu romantis."

Bukannya menjawab, Belinda malah mengalihkan percakapan dan mengusap air matanya. Mungkin aja, dia enggak mau curhat sama orang yang belum akrab.

Apapun itu, gue berharap kesedihan Belinda bisa lekas mereda. Sebab, gue enggak tega melihat seorang teman berusaha tersenyum di saat hatinya terluka.

Author Note:

Sejauh ini, kalian lebih dukung Jason sama Ramona atau Belinda? Terus, kalau kalian ada di posisi Belinda bakal bilang apa sama Jason? Pasti sakit banget, pura-pura bahagia dan nyembunyiin rasa patah hati.

Bebas curhat di kolom komentar, hehe...

Love,

gorgeousbiebs





























Continue Reading

You'll Also Like

174K 1.1K 34
spoiler "Berani main-main sama gue iya? Gimana kalau gue ajak lo main bareng diranjang, hm? " ucap kilian sambil menujukan smirk nya. Sontak hal ter...
754K 2.8K 67
lesbian oneshots !! includes smut and fluff, chapters near the beginning are AWFUL. enjoy!
110K 3.5K 32
[ONGOING 🔞] #8 insanity :- Wed, May 15, 2024. #2 yanderefanfic :- Sat, May 18, 2024. After y/n became an orphan, she had to do everything by herself...
8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...