AZZAM (Diterbitkan oleh: Pene...

By Arwen_CTB

4.9K 143 31

Cerita ini diunpublish beberapa parts More

Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 17
Bagian 18

Bagian 1

1.6K 40 5
By Arwen_CTB


Dia sedang tidak buru-buru saat berjalan menyusuri trotoar. Menikmati pemandangan khas sore hari di kota yang ramai, kendaraan berseliweran dalam kecepatan yang wajar. Agaknya, semua pengendara yang lewat juga sedang tak begitu terburu-buru.

Gadis itu memutar sedikit lengan kiri, demi mengintip jarum-jarum mungil yang berputar dalam jam tangan yang tak lebih besar dari koin 100 Rupiah keluaran tahun 1978. Kombinasi tiga jarum itu menunjukkan waktu sore yang remaja. Belum terlalu dekat senja yang bisa membuat siapa saja merasa perlu buru-buru sampai di tempat tujuan. Tak jarang berebut menggunakan jalan, dan membuat jalanan sedikit kacau.

Terus melangkah lurus ke depan, tiba-tiba ada yang terasa tidak benar. Tidak selurus jalur khayal yang akan ditempuh kaki-kakinya. Ada sesuatu yang terasa tidak nyaman. Sesuatu yang dia rasa berasal dari perut.

"Ya ampun! Aku belum makan dari pagi." Gadis itu memegangi perutnya yang bergetar dan seketika terserang rasa bersalah.

Betapa tidak adilnya terhadap diri sendiri. Memenuhi kepala dengan pengetahuan dan kecakapan, tapi mengabaikan satu hal yang penting, terkait dengan kelangsungan hidup. Urusan perut!

Bersamaan dengan itu, getaran yang terjadi di perut seakan menjalar kemana-mana. Sampai ke tas yang bergelayut manja di punggung. Sebuah tas yang bisa dibilang mungil tapi muat buku tulis.

Sejenak dia diam. Mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Yassalaam, ternyata getaran itu berasal dari benda mungil yang ada di saku tasnya.

"Tolong beliin makanan, ya. Aku nggak bisa keluar."

Pesan masuk dari kontak bernama Bianca. Gadis dari kamar sebelah. Tadi pagi Bianca kesakitan karena datang bulan hari pertamanya, dan bisa jadi seharian ini dia juga belum makan apa-apa.

"Siap, Bos!"

Gadis itu berhenti sejenak, mengetik balasan, kemudian mempercepat langkah. Dia harus segera membeli makanan. Rasanya sore ini makan nasi dan ayam goreng cukup menarik bagi perutnya yang sudah meraung-raung. Rasa gurih tepung renyah akan lezat dikombinasikan dengan nasi yang menetralisirnya asinnya. Sempurna! Begitu pikirnya.

Kaki bersepatu kets nomor 38 itu berhenti di depan kios yang dijadikan tempat menjual ayam goreng, yang sebelumnya merupakan toko peralatan seluler.

Ada dua bocah lelaki berbaju kumal. Satu usianya lebih tua, mungkin 10 tahun dan satunya lagi masih terlihat seperti balita.

"Mas, mau beli ayam goreng. Tepungnya aja kalau boleh," ucap si bocah yang lebih tua.

"Boleh. Mau beli berapa, Dek?"

"Ini uangnya, Mas."

Terlihat anak kecil itu menyodorkan dua lembar uang bergambar Pahlawan Patimura.

"Kalau segini uangnya nggak cukup, Dek."

Mendengar jawaban dari penjual ayam goreng tersebut, bocah-bocah itu saling berpandangan sejenak. Anak yang lebih tua mengelus bahu anak satunya sembari tersenyum. Dia juga menegakkan bahu. Ajaibnya, anak kecil yang tadinya lesu kembali terlihat bersemangat.

"Kalau runtukannya aja, boleh nggak, Mas? Kasihan adik saya pengin makan ayam goreng."

Penjual itu malah tertawa. Bukan jenis tawa yang mengejek, karena raut mukanya sangat bersahabat. Gadis yang berada di depan gerobak melirik sekilas, dia hampir mengeluarkan uang tambahan untuk membelikan dua bocah itu, sebelum indra pendengarannya menangkap dialog anak-anak tadi dengan si penjual ayam goreng.

"Kasihan," ucap pemuda itu manja dengan gaya anak-anak sambil membungkukkan badan, demi melihat wajah mereka lebih dekat. "Memangnya, di mana orang tua kalian?" Tangannya mengelus pipi bocah yang lebih kecil.

"Orang tua?" Bocah itu tampak heran sejenak, tapi keheranannya tak bertahan lama ketika dia menggeleng.

Penjual ayam goreng yang usianya sekitar seperempat abad tersebut, mendadak diserbu rasa bersalah. Pemuda itu merasa iba, terlebih saat mengingat betapa dulu juga nasibnya tak lebih beruntung dari anak-anak itu.

"Kalau gitu, hari ini Mas traktir kalian. Oke?"

"Beneran, Mas?"

Pertanyaan bocah itu mendapat jawaban berupa anggukan dari orang yang dipanggil Mas. Lalu sebuah kantong diberikan pada keduanya. Kesedihan yang semula tergambar jelas di wajah bocah-bocah itu sirna seketika.

Gadis yang sejak tadi memperhatikan, diam-diam tersenyum. Dia terkesan dengan kebaikan penjual ayam goreng itu.

"Makasih banyak ya, Mas."

"Sama-sama, Sayang," jawab pemuda itu seraya mencubit pipi dua bocah menggemaskan yang terlihat begitu bahagia. Kebahagiaan yang menghambur seperti serbuk ajaib penuh sihir, dan merayap ke hati si gadis, Karina.

***

Setiap kali, hal wajib yang selalu dilakukan Karina saat bangun tidur adalah pergi ke kamar Nenek. Dengan langkah mengendap-endap, gadis itu akan berjalan ke sisi ranjang. Memperhatikan wajah neneknya lama, lalu pandangannya akan turun ke dada, memastikan masih ada gerakan lembut di sana. Selanjutnya, dia akan mengembuskan napas lega ketika menyadari bahwa neneknya masih bernapas.

Baginya, kehilangan seseorang yang amat dicintai begitu menyedihkan. Hatinya belum siap kehilangan lagi, setelah tahun lalu kakeknya meninggal. Namun, takdir selalu punya kehendaknya sendiri. Mereka sering kali berjalan berlawanan dengan keinginan manusia. Semakin seorang bernapas, semakin dekat ia dengan takdir berupa kematian.

Hari ini, tepat di hari ulang tahun gadis itu, untuk ke sekian kalinya dia berlari menuju kamar paling ujung di lantai satu. Gadis itu mengungkit gagang pintu dengan sangat perlahan, berharap bukan hanya kelengangan yang ada di sana. Nihil, dia tak lagi mendapati sang nenek yang sedang mendengkur, tidak ada tubuh renta yang terbungkus selimut tebal, dan tidak ada lagi wanita tua yang akan tersenyum bahagia sambil mengusap punggung tangannya ketika membuka mata.

"Sayang, kamu kangen sama Nenek, ya?" Seorang lelaki berjalan ke arahnya, mengusap puncak kepala, kemudian membimbingnya ke dalam pelukan.

"Papa, kenapa semua orang yang kita sayangi harus pergi?"

Karina mendongak, mencoba menerka jawabannya lewat mimik muka sang ayah.

Wajah yang sedang dipandanginya tersenyum kebapakan. Lembut, tapi juga berwibawa. Itu membuat Karina semakin yakin bahwa seorang ayah akan selalu menjadi cinta pertama bagi anak gadisnya. Dia merasakan itu. Meski Yoga sendiri termasuk seorang yang sibuk, dia selalu punya waktu luang untuk keluarganya di akhir pekan. Dan apabila hari itu tiba, maka jangan pernah berharap akan ada dering telepon di ponselnya. Saat akhir pekan, baginya adalah saat terbaik untuk berperan menjadi suami sekaligus ayah yang baik.

"Kamu tahu, kenapa bunga menjadi layu setelah mekar? Dan kenapa ulat harus bersembunyi dalam kepompong sebelum menjadi kupu-kupu yang indah?"

"Apa hubungannya dengan pertanyaan Karin, Papa?

"Jawab saja pertanyaan Papa."

Karina terlihat sedikit berpikir. Dia memandangi kuku-kukunya yang terkikir rapi, berharap bisa menemukan keajaiban dan mereka akan meneriakkan jawabannya. Tidak, kata-kata di dalam otaknya malah semakin mirip benang kusut. Dia memang bukan ahli filsafat, tidak pandai berfilosofi seperti ayahnya. Jadi, jangan salahkan kemampuan otak Karina kalau sampai jarum jam terpanjang berdetak sepuluh kali dan dia masih memandangi kuku jarinya sambil mengerutkan kening.

"Ayolah, Pa, gunakan bahasa yang lebih sederhana dengan Karin. Jangan menyuruh Karin berpikir tentang filosofi kehidupan, Papa tahu Karin nggak jago."

Sejenak gadis itu melupakan kesedihannya, kepalanya dipenuhi rasa kesal karena sang ayah. Dengan sedikit manja, Karina mengentakkan kaki yang dialas sendal kepala beruang, lalu bibirnya manyun tiga senti dengan tangan bersedekap. Persis gadis labil yang sedang ngambek dengan pacar kesayangan yang terlambat menjemput.

Bukannya menjawab, ayahnya malah tertawa sabil mencubit pipi gembung putrinya.

"Kamu sudah cukup dewasa, tapi sikapmu masih saja kekanakan."

"Ish, Papa! Nggak seru!" Lagi-lagi Karina mengentakkan kaki sambil membuang wajah. Ngambek.

"Karin sayang, anak kesayangan papa yang luar biasa manja padahal udah lulus kuliah. Kematian dan kehidupan itu dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Setiap yang hidup, pasti akan mati. Cepat atau lambat. Kalau kamu bertanya kenapa, jawabannya sudah pasti karena. Tentang karena apa? Itu adalah jawaban yang harus kamu cari sendiri. Dunia ini diciptakan untuk orang-orang yang mau berpikir. Kenapa Karin terkesan seperti pemalas?"

"Pa, Karin bukan pemalas. Terlalu banyak yang harus dipelajari di kampus, itu sudah membuat kepala terasa berat. Papa bukannya kasih jawaban yang gampang dimengerti malah muter-muter kayak kipas angin."

Yoga kembali tertawa melihat tingkah anak gadis yang sebenarnya sudah mulai dewasa. Sayang, dewasa secara usia belum tentu sejalan dengan cara berpikir seseorang. Anak itu lebih seperti bocah yang terjebak dalam raga manusia dewasa. Mungkin karena dia anak semata wayang di keluarga, jadi sikapnya selalu manja seperti anak kecil. Namun, Yoga juga selalu gagal untuk tidak memaklumi itu.

"Ya, ya, ya, baiklah, anak Papa yang cantik. Jadi, sebenarnya ada apa kamu ke kamar ini pagi-pagi? Kangen Nenek, atau ...."

"Atau apa? Karin nggak sepicik yang Papa pikir."

"Oh, ya?"

"Terserah Papa deh!"

Karina melenggang pergi, meninggalkan ayahnya yang menahan tawa sampai pipinya berkedut.

"Katakan."

Suara itu berhasil menghentikan niatnya untuk terus melangkah. Satu kata yang sangat menggiurkan bagi otak gadis yang baru saja menyandang gelar sarjana itu.

"Katakan apa?"

"Apa pun yang Karin inginkan. Papa janji tidak akan menolaknya. Seperti hadiah yang selalu diberikan nenekmu tiap tahun, mulai sekarang Papa yang akan memberikannya."

"Papa serius?"

"Ini janji Papa, dan Karin bisa menggunakan hadiah itu selamanya. Seumur hidup."

Mendengar ucapan sang ayah, hati Karina seolah mendapatkan kucuran cahaya yang megah. Setidaknya, dengan hadiah itu, dia bisa mengatakan keinginannya, sesuatu yang sudah sejak beberapa hari lalu dia pendam. Sebuah keinginan yang mungkin akan membuat ayah, dan mungkin juga ibunya murka ketika mendengar hal itu. Jackpot! Dia berhasil. Bukan Karina namanya kalau tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan.


Hai, Sobat Gorgeous. Ini adalah poject duetku bareng MandisParawansa. So, I hope you Guys consider to also follow her. Hope you enjoy it and see you, in very soon. 

Continue Reading

You'll Also Like

617K 28.6K 15
AAMIR SIKANDAR( age 29) He is a bussinessman who is known for his coldness, straightforwardness and ruthlessness in the bussiness world . what will h...
2.3M 167K 79
"You are fired," he said, as my heart broke into tiny pieces. "No please sir, don't separate me from Imad. I beg of you," I pleaded in agony. What s...
4.9K 1.8K 19
Story of a surgeon Dr. Zulaid Afandi and a medical student Dr. Inara Ibrahim. Age gap Enemies to lovers Grumpy×sunshine Arranged marriage "What did...