Race Of The Heart [COMP.]

By heliostellar

83.9K 10.7K 3.2K

Entah takdir apa yang digariskan langit untuk Mark, tidak mungkin takdir yang lurus-lurus saja. Karena terlib... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 21
Epilog 1 : Aftermath
The Cousins

Chapter 20

2.2K 345 59
By heliostellar

A/N: ADA A/N DI DEPAN ADA APANIIH??

gaada sih cuma mau bilang selamat membaca :"



Renjun masih ingat pertemuan pertamanya dengan laki-laki bermarga Lee yang kini duduk berhadapan dengannya di meja kayu yang terletak di sudut kafe. Ia bertemu dengan remaja yang berusia sama dengannya di kafe yang sama di hari pertama masa orientasinya di sekolah menengah atas.

Semester baru dimulai pada awal musim semi, dan meskipun bunga mulai bermekaran saat itu dan es sudah mencair, tubuh Renjun masih menggigil saat berjalan-jalan tanpa jaket tebalnya. Tanpa pikir panjang ia menerobos pintu kaca yang kerangka kayunya masih berbau cat varnis pekat, ia berjalan cepat ke kasir dan memesan satu cokelat panas yang stoknya tinggal satu.

Tidak ada pertemuan klise semacam menumpahkan minuman ke kemeja mengkilap Jeno atau bagaimana. Yang ada Renjun hampir mengutuk Jeno hari itu karena ia menjadi orang terakhir yang bisa memesan cokelat panas. Pakai bahasa mandarin tentu saja, bahasa koreanya masih payah saat itu. Renjun dengan berat hati harus menerima kenyataan dan membawa pulang americano panas dengan uap mengepul di tangannya, yang di lidahnya terasa lebih pahit. (Renjun menyalahkan mood buruknya dan orang asing yang mengambil cokelat panas terakhir sebagai penyebabnya)

Tidak ada yang spesial di pertemuan pertama itu, berani bertaruh Jeno bahkan tidak mengingatnya atau menyadari eksistensi Renjun saat itu. Yang mereka berdua tidak sadari, pertemuan itu bagaikan kunci yang membuka pertemuan-pertemuan mereka selanjutnya. (Walaupun sebenarnya tidak bisa dibilang sebagai pertemuan juga sih)

Renjun hampir setiap hari mengunjungi kafe yang hampir ditutupi tanaman itu sepulang sekolah. Dan menjadi awal mula ketergantungannya terhadap kafein―walaupun rasa pahit yang tertinggal di lidahnya bukan rasa favorit Renjun. Dan hampir setiap kunjungannya ia mendapati sosok remaja berwajah dingin dengan mata tajam yang duduk di pojokan.

"Jangan bodoh Jen, atau kuceburkan bokongmu ke air mancur di depan sekolah―"

Sayup-sayup Renjun dapat mendengar suara Jaemin. Matanya yang tertutup membuat indra pendengaran Renjun lebih tajam dari biasanya. Saat itu Seoul tengah memasuki pertengahan musim semi, dan Renjun memiliki kebiasaan berbaring di bawah pohon cherry blossom yang beberapa tumbuh di halaman belakang sekolah.

"Aku tidak berpikir ini ide yang bagus―"

"―berhenti bersikap membosankan. Inilah kenapa Mark-hyung dengan mudah menindasmu."

"Aku tidak pernah membiarkan siapapun menindasku, bodoh."

Suara siswa yang kedua itu agak meninggi dan terselip rasa jengkel saat mengucapkan kalimat terakhir. Tidur-tidur-malas Renjun mulai terganggu, dia membuka salah satu matanya sambil menolehkan kepalanya malas-malasan ke samping.

Renjun bersyukur karena walaupun dalam kondisi setengah mengantuk, ia dapat menahan diri untuk tidak berkata omong kosong―dan apapun yang dapat mempermalukan dirinya sendiri―di hadapan Jaemin dan laki-laki yang sangat familier. Jeno tampak canggung dan bodoh, meskipun itu tidak menutupi paras tampannya―tapi bukan itu intinya. Perlu lima menit bagi Renjun sebelum mengalihkan pandangannya.

Lima menit untuk mengamati rahang tegas yang mengatup kaku dan hidung mancung yang seperti sedang menahan nafas. Matanya masih setajam biasanya dan air mukanya tidak lebih ramah―Jeno memang seperti itu. Hanya saja mata yang biasanya tidak terbaca itu sedikit berpendar cemas dan frustasi. Saat Renjun menengok untuk kedua kali, dia menangkap keseluruhan bahasa tubuh Jeno yang dengan jelas menggambarkan kecanggungannya dan keenggangan untuk berada di tempat ini.

"Renjun, ini Jeno―"

Aku tahu, anak-anak di kelas masih sering bergosip tentang anak konglomerat keluarga Lee.

"―temanku yang bodoh ini ingin mengatakan sesuatu."

Mengabaikan teriakan 'hey!' dan suara tepukan tangan berbentur kepala seseorang, Renjun perlahan duduk dan merapikan kemeja biru muda miliknya yang kusut di ujung.

Bukan berita baru bagi Renjun kalau Jaemin berteman baik dengan Jeno, berhubung mereka mempunyai latar belakang keluarga dan lingkar sosial yang cenderung sama. Mereka seperti anak kembar yang hampir selalu bersama―ditambah satu lagi seorang pemuda berkulit eksotis dan bermata almond yang paling sering menengahi perdebatan bodoh Jaemin dan Jeno.

Jaemin berteman dengan Renjun murni karena keberuntungan saja―atau bisa dibilang nasib buruk. Menuntut ilmu di tempat yang bahasanya belum sepenuhnya ia kuasai sudah cukup buruk bagi Renjun, ditempeli makhluk dengan senyum yang kelewat lebar seperti hiu di kelas dan klub seni membuat pemuda asal Cina itu senewen dan cukup traumatis. (Kalau bukan karena Kun, dia sudah akan memohon-mohon pada kepala sekolah untuk memindahkannya ke kelas lain)

Setelah hampir satu bulan menempuh pendidikan di tempat yang sama, tidak sulit bagi Renjun untuk mengetahui perangai Jeno dan Jaemin yang hampir bertolak belakang. Laki-laki bermarga Na itu lebih ramah terhadap orang yang tidak dikenalnya dibanding Jeno yang hampir selalu menyetel wajah sedatar tembok. (Meskipun memiliki stereotipe cold city guy, Jeno bukan orang yang akan bolak-balik ruang guru konseling karena memanjat pagar atau meretas sistem sekolah―itu Jaemin.)

Karena itu Renjun cukup takjub melihat mereka saling dorong dan pukul sambil berbisik nyaring dan lebih banyak mengumpat satu sama lain. Dua orang bodoh sedang bertemu. Tanpa sadar ia mendengus geli. Suara kekehan tertahannya mengundang manik mata Jeno padanya.

Remaja bertubuh semampai itu tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuknya―pemandangan yang langka.

"Err―kudengar kau berteman dengan Jaemin jadi aku minta bantuanya―"

Di sampingnya, Jaemin mendengus. Renjun dapat melihat dari otot matanya yang mengencang Jeno berusaha bersikap senetral mungkin untuk tidak mencekik sahabatnya itu.

"―oke, lupakan. Ini―ambil ini, ini buatmu."

Renjun tidak tahu sejak kapan ada kantong kertas cokelat tersodor di depan hidungnya. Baunya menggoda dan cukup kuat untuk Renjun bisa menebak apa isinya. Ia mengintip dari celah lipatan yang terbuka. Manik matanya melebar, terpana sekaligus bingung.

Ia mendongak meminta penjelasan. Hal pertama yang ia lihat adalah senyum lebar yang Renjun tidak pernah tahu bisa tersemat di wajah seorang Lee Jeno. Orang itu lalu berkata dengan mata yang masih membentuk bulan sabit.

"Untukmu―"

π

"―maaf waktu itu mengambil pesanan cokelat panas terakhir."

Renjun menatap hampa dua minuman yang tersaji di hadapannya. Satu gelas tinggi yang mulai berembun dan di sebelahnya sebuah cangkir hitam dengan uap yang menari-nari di permukaan cairan cokelat pekat. Beberapa gumpalan putih marshmallow mengintip dan mengambang seperti teratai.

"Aku tidak berpikir kau melihatku waktu itu, aku bahkan nggak yakin kau mengingatnya," kata-kata itu mengalir begitu saja seperti kran bocor. Tidak sempat ia hentikan.

Jeno tersenyum kecil melihat Renjun yang tampak terpana dengan minuman yang menurutnya biasa saja. "Aku jelas melihat muka dongkolmu."

Kalau Renjun tidak sedang dalam situasi canggung, dan kalau Jeno bukan mantan kekasihnya yang walaupun tampan tapi sayangnya menyebalkan, Renjun akan tertawa atau bahkan membalas dengan komentar pedas. Tetapi ia dibuat kewalahan dengan kilasan memori saat ia berada di sekolah menengah atas dan disibukkan oleh pikiran yang menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ia dan teman-temannya hampir tidak pernah mengungkit-ungkit kenangan atau momen-momen indah dan bodoh di bangku sekolah sejak hubungannya dengan Jeno berakhir. Hal itu seperti topik tabu dan ada hukum tak tertulis untuk tidak pernah membahasnya lagi. (Kecuali Jaemin, tapi bocah itu memang kurang ajar hingga sekarang jadi Renjun tidak heran)

Semenjak hubungannya berakhir, Renjun dan Jeno seperti menjalani kehidupan di era baru. Satu minggu setelahnya memang menyesakkan bagi kedua sejoli itu yang juga berdampak pada teman-teman mereka. Namun setelah masa menyedihkan itu, Renjun dan Jeno berbicara dan menyapa satu sama lain seolah tidak pernah terjadi apa-apa tentang mereka. Seperti menghilangkan satu bab penuh perjalanan romantis mereka dari kehidupan.

Renjun akan sangat bersyukur kalau hal itu memang benar-benar dilupakan. Olehnya dan oleh orang-orang yang secara tidak langsung terlibat atau menjadi saksi mata hubungannya dengan Jeno. Ia seperti diberi sebuah kejutan, bangun di pagi yang lumaya cerah dengan perasaan bercampur aduk karena satu laki-laki yang walaupun tampan tapi super-menyebalkan, lalu bertemu Jeno di kafe langganannya setelah cukup lama tidak berkomunikasi, dan tiba-tiba ia mengungkit pertemuan mereka di awal-awal sekolah menengah atas?

Memang apa yang Jeno harapkan dari Renjun?

"Apa yang kau inginkan? Apa yang kau harapkan dengan mengungkit-ungkit masa lalu?"

Renjun membayangkan Jeno akan menghinanya, meneriakinya atau mengeluarkan kata-kata dingin seperti terakhir kali. Ia membayangkan wajah Jeno. Garis-garis wajahnya yang tegas, bibirnya yang melengkung jahat tapi masih bisa membutakannya. Well, Renjun jelas tidak menyangka wajah tenang Jeno akan menyambutnya saat ia mendongak.

"Apa yang kau harapkan Renjun? Apa yang kau inginkan dariku?"

Lucu sekali, Renjun bahkan tidak tahu apa yang diinginkannya dari Jeno. Renjun bahkan tidak benar-benar tahu apa yang diinginkannya hampir setiap waktu.

"Atau―apa ada yang ingin kau sampaikan padaku?"

"Bagaimana denganmu?" balas Renjun cepat dan tajam. Terlalu tajam untuk seleranya, alisnya mengerut tidak suka melihat senyum kecil yang Jeno berikan. Seolah ia mengetahui sesuatu yang Renjun tidak ketahui, ia benci itu.

"Sepertinya aku akan tahu nanti setelah mendengarmu."

Renjun merapatkan punggung ke kursi, seolah berusaha menyembnyikan dirinya dengan kursi. Ia seperti dilempar kembali ke Jilin, di ruang tamu sebuah rumah dua lantai. Berdiri di samping sofa dengan bahu merosot sambil mendengarkan nasihat dan wejangan ibunya. ia juga merasa kembali menjadi anak sekolah menengah atas, duduk di kasur dengan raut wajah ditekuk, di depannya Kun sedang berbicara dengan nada menghardik sambil melipat tangan.

Dia selalu membenci rasa sesak di dadanya tiap kali ia ditegur karena kesalahan-kesalahannya atau ketika ia bersikap kekanakan.

Entah kekuatan ghaib apa yang lewat, Renjun kembali mengingat percakapannya dengan Sicheng. Tentang ia yang harus bersikap adil. Dan bagi mereka berdua untuk punya akhir yang baik.

Maybe we were both at fault after all.

"Aku―aku melihatmu bersama Haechan malam itu."

Kalimat itu keluar diiringi helaan nafas panjang. Batu besar yang selama ini menghimpit dadanya seperti diangkat, menghilang agar ia bisa bernafas lebih baik. Mengutarakan satu kalimat pendek itu seperti menguras habis energi Renjun sekaligus mengisi ulang perlahan hingga penuh saat ia hampir kehabisan dayanya. Kakinya terasa lemas seperti ubur-ubur tetapi ia punya perasaan ia akan melangkah lebih ringan namun yakin mulai sekarang. Renjun seperti mengangkat jangkar yang bertahun-tahun tersangkut di karang dan kini kapalnya bisa berlabuh lagi, tidak lagi terombang-ambing di lautan.

Satu kalimat yang selama ini bagai mimpi buruk baginya dan setengah mati ia kubur dalam-dalam bersama memori buruk di kepala, namun sekarang―setelah ia mengatakannya, mungkin ia juga turut melepas mimpi buruk ke udara lepas dan membiarkannya menghilang terbawa angin.

"Yes, I saw you. Aku tidak mengatakan apapun setelahnya, dan setelah itu aku terus menyadari hal-hal janggal diantara kalian, dan aku―aku tetap tidak mengatakan apapun padamu. Lalu setahun kemudian aku memintamu untuk mengakhiri semua―mengakhiri hubungan kita."

"Kenapa kau menunggu selama itu?"

"Karena aku egois? Entahlah aku tidak tahu―aku menolak ide bahwa orang yang kusayangi bermain di belakangku bersama temanku sendiri. Dan kau sendiri tahu aku benci konfrontasi, lalu setahun kemudian―aku―kupikir, kalian tampak serasi."

"Ya, kupikir kalian tampak serasi. Terlepas dari apa yang telah kalian lakukan―kupikir kalian baik untuk satu sama lain. Aku kenal Haechan, dia tidak akan menyakitimu. Dan aku―"

Sekeras apapun aku berusaha tidak acuh, aku sudah melihat terlalu banyak.

"Kudengar Kakek Lee akan menjodohkan salah satu cucunya, aku tahu itu kau."

Aku tidak hanya egois, aku juga pengecut. Aku memanfaatkan momen itu untuk mengakhiri semuanya dengan caraku. Lagipula kita sudah seperti orang asing waktu itu.

"Kenapa kau menyembunyikannya dariku?" bisiknya lirih, Renjun hampir mengasihaninya, hanya saja rasa terkhianati dan frustasi yang tiba-tiba muncul dan meredam lalu diiringi kelegaan setelah mengeluarkan semua kartunya membuat Renjun tidak merasakan apapun selain hampa.

"Karena aku membenci kenyataan bahwa kau diam-diam berkencan di dengan Haechan belakangku." Dan aku tidak mau menyakiti siapapun dengan membuat keributan.

"Aku tidak ingin ada masalah yang lebih rumit, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau aku mengatakan semuanya saat itu. Apa yang akan terjadi pada hubungan kita berempat. Bukan hanya kau saja, Haechan dan Jaemin juga akan terkena imbasnya."

"Aku ingin semuanya berakhir tanpa ada drama antar remaja yang berebut pasangan."

Tapi aku juga membencimu dan mencintaimu di saat yang bersamaan pada waktu itu. Aku tidak tahu apakah menghancurkan persahabatan karena satu kesalahan sebanding harganya. Sekeras apapun aku berusaha aku tetap tidak dapat membencimu dan Haechan. Tapi aku tidak menyangkal bahwa yang kau lakukan cukup untuk menyakitiku, dan aku tidak mau mengakuinya pada saat itu.

Aku tidak ingin membenci siapapun, tapi saat itu kau adalah orang yang kusayangi tapi juga orang brengsek di mataku. Kau orang brengsek dan aku orang yang egois, penuh penyangkalan, dan penakut. Dan mungkin aku juga sedikit pendendam hingga menyimpan masalah ini darimu. Karena aku tahu ini menyakiti kita berdua.

Masalahnya adalah.

"Aku membencimu sebanyak aku membenci diriku saat itu. Dan aku tiak siap untuk memaafkan siapapun."

"Tapi aku ingin mengubah itu. Aku ingin benar-benar mengakhiri hubungan kita dengan tepat. I want a proper closure and I thing we both need it."

"Lee Jeno. Aku memintamu mengakhiri hubungan kita saat itu bukan tanpa alasan. Maaf aku menyembunyikan alasan yang sebenarnya. Hubungan itu tidak sehat setahun lamanya dan perlu diakhiri, karena kau adalah orang brengsek yang sayangnya sangat kucintai."

"Kurasa ini akhir yang adil untuk kita. Aku baik-baik saja sekarang dan kuharap kau hidup bahagia dengan Haechan."



π



Renjun berpikir alangkah nyaman hidupmya kalau ia melakukan pengakuan dosa di hadapan Jeno beberapa tahun lebih awal. Tapi mungkin setiap kejadian mempunyai momen sendiri.

Reaksi Jeno, seperti yang sudah ia perkirakan, syok tentu saja. Mungkin sedikit rasa amarah, yang Renjun sendiri tidak akan menyalahkannya. Selebihnya, ia tetap bertahan pada wajah datar yang tidak terbaca. Hal itu sedikit banyak membuat Renjun cemas, namun melihat sorot mata yang walaupun sedih tetapi memahami di mata temannya cukup untuk membuang rasa cemas Renjun.

Jeno bahkan menawarkan Renjun tumpangan untuk pergi ke kampus. Hal yang akhirnya menampar Renjun bahwa―wow, ia benar-benar sudah mengeluarkan uneg-uneg sekaligus mengumpati seorang Lee Jeno. Awalnya Renjun menolak keras, walaupun sudah meluruskan segalanya berada di ruangan tertutup dengan Jeno masih hal yang aneh baginya. Meskipun demikian, bokong Renjun tetap berakhir di kursi penumpang Benz milik Jeno dengan iming-iming langkah awal membangun kembali pertemanan sekaligus mempersingkat perjalanan.

Kenyataan baru menimpa Renjun sepenuhnya setengah perjalanan menuju kampus. Kebiasaan menggerakan kakinya dengan gelisah muncul saat itu juga, saking canggungnya ia tidak menyadari Jeno mendengus geli. Sepedas apapaun kata-kata yang keluar dari mulutnya dan sekuat apapun perangai yang Renjun bangun, ia tetaplah Renjun yang canggung dan kadang paranoid. Dia tidak berubah.

"Kau tidak perlu ikut mengantarku ke gedung administrasi, Jeno."

"Jalan saja Huang."

Benz hitam itu berhenti di halaman parkir di dekat gedung administrasi. Dan karena kebaikan hatinya Jeno ikut berjalan bersama Renjun menuju gedung dengan deret kolom doric putih.

"You creep me out. Apa kau masih punya kecenderungan psikopat?" Renjun berujar ngawur saat mereka melewati air mancur bundar dari marmer putih. Sedang Jeno hanya tertawa.

"Oke-oke, aku hanya mengerjaimu."

Renjun mendelik, namun sedetik kemudian suasana berubah canggung dan mereka berdua masing-masing tidak tahu harus berbuat apa.

Why is my life so complicated. Batin Renjun merana.

"Hei dengar, aku mungkin tidak pantas mengatakan ini dan kau juga mungkin jengah mendengarnya," Jeno berujar sambil berdiri di hadapan Renjun. Kata-katanya menggantung dan ia menatap jauh di belakang punggung Renjun seperti ia menemukan oasis di padang pasir.

Pemuda Huang itu mengangkat tangan. "Kalau kau ingin minta maaf lagi, Jeno itu sudah cukup―"

Renjun mungkin terlalu cepat ketika ia memutuskan untuk bersikap biasa saja dengan Jeno. Ia harusnya bersikap lebih kejam. Yang lebih penting, ia harusnya lebih peka oleh perubahan kilat matanya karena beberapa detik setelahnya ia merasakan benda lembab dan empuk mendarat di pipi kanannya.

Otaknya berhenti bekerja selama beberapa saat setelah Jeno berbisik di samping telingannya. "Itu bisa diatur. Tapi kau harus urus yang ini dulu―Mark hyung kelihatannya tidak suka."

Jeno menjauhkan badannya, menepuk kedua pundak Renjun dengan tampang polos tidak berdosa sementara Renjun kesulitan mencerna kata-katanya. Dia tidak perlu bersusah payah memutar otak lebih lama saat matanya menangkap tiga sosok lelaki menuruni tangga pualam, bentangan paving block selebar tujuh meter membatasi mereka.

Ia dapat menangkap jelas tiga wajah yang ia kenali. Wajah Ten yang tersenyum menyebalkan, wajah netral Jaehyun, dan―apa yang Mark Lee lakukan di sini?

Oh sialan.

"Sampai jumpa Renjun." jeno menepuk-nepuk bahunya selayak orang memberi semangat sebelum berbalik dan melangkah pergi dengan langkah yang terlalu bahagia.

Bedebah sinting.



π

A/N: tiada kata selain selamat membaca semoga kalian gak gumoh bcs ini lumayan panjang??

dan aku lama gak nulis jadi maaf kalau ini aneh heueheuheu but one thing is, cerita ini udah mau berakhir :" makasih banyak yang udah ngikutin cerita ini hehe sudah mau menyempatkan membaca, vote, ataupun komen, terbaeq lah kalian

took me more than 18 months tapi ya gimana :"

anw, selamat membaca semuanya^^

Continue Reading

You'll Also Like

757K 20.5K 76
မင်းဟာ လူသားတွေကိုကယ်တင်နေတဲ့ဆရာဝန်မလေးပေမယ့်ကိုယ့်အတွက်တော့ အချစ်တွေကုသပေးမယ့် အချစ်ဒေါက်တာမလေးပါ..... #စဝ်ခ...
2.1M 57.7K 95
On the twelfth hour of October 1st, 1989, 43 women gave birth. It was unusual as none of them had been pregnant since the first day they started. Sir...
134K 7.9K 94
"Great news! Wei WuXian has died!" "Wait- WHAT?!" "But I'm still here." The juniors (Lan Sizhui, Lan Jingyi, Jin Ling, and Ouyang Zizhen) accidentall...
1.5M 35K 60
In wich a one night stand turns out to be a lot more than that. -Completed-