019. victoria; bridge.
Tidak ada yang melewati tempat itu, Jembatan Blenkinsop Lake, di jam sepagi ini. Setelah puas saling memotret siluet masing-masing, Chanyeol dan Wendy bersandar pada birai jembatan, membuka jurnal mereka.
"Lirik yang ini cocok dengan yang ini, deh." Wendy menunjuk sebuah halaman, ke sisi kiri dan kanannya. "All butterflies, all love, all tingling sensations ... would you like to spend the spring with me ... bagaimana?"
"Boleh, deh." Chanyeol melingkari kedua paragraf tersebut, memberinya nomor yang sama. "Ini lirik yang kautulis waktu kita di motel sebelum Nevada, kan?"
"Kalau tidak salah." Wendy memasukkan tangannya ke dalam saku jins. Pandangannya menyapu sekeliling, "Victoria ... aku jadi ingat sesuatu."
"Kunjungan pertamamu yang waktu itu, ya? Waktu kau masih SD?"
Wendy mengangguk. "Aku bertemu seorang anak kecil. Perempuan. Dia menangis di pinggir jalan. Aku baru saja tiba di Kanada, Papa suka sekali mengajakku ke tempat-tempat yang dia kunjungi untuk pekerjaannya. Aku senang jalan-jalan sendiri saat Papa sibuk ... lalu aku bertemu anak itu. Dia tersesat."
"Kau menolongnya?" Chanyeol menatapnya penuh arti.
"Aku mengantarnya sampai ke kantor polisi. Aku tidak bisa bicara dengan lancar ... tapi aku berhasil." Wendy mengawang-awang, menatap ke kejauhan, senyum semringah samar-samar menghiasi wajahnya. "Papa kemudian mengetahuinya. Papa memujiku, kau pahlawan untuknya, Sayang. Aku, sebagai anak kecil, dengan polosnya bertanya, hero? Perempuan boleh jadi hero? Papa bilang tentu saja. Siapa pun bisa."
"Yeah." Chanyeol melingkarkan tangannya di bahu Wendy. Menatap jauh ke suasana pagi Kanada di sekitar jembatan tersebut. "Kebanyakan pahlawan di komik-komik dahulu memang laki-laki."
"Banyak anak-anak percaya soal itu." Wendy mendongak. "Untung saja stereotipe itu sudah mulai diubah."
"Kalau kita punya anak, aku akan bilang padanya, mamanya adalah seorang hero."
Wendy tertawa kecil. "Someday, ya, Sayang. Someday."