Kisah Tokoh Tokoh MAHABHARATA

By Mun4555

828K 8.9K 436

Penggalan kisah Mahabharata yang diambil dari berbagai sumber. Menitik beratkan pada penggambaran Tokoh tokoh... More

Prolog
BASUDEWA KRESNA
KISAH KRESNA & PANDAWA
PANDAWA
KURAWA
BISMA - Putra Gangga
RAJA SENTANU
SATYOWATI- Istri Raja Sentanu
CITRANGGADA & WICITRAWIRYA
AMBA, AMBIKA dan AMBALIKA
DRETARASTRA -yang terlahir buta
PANDU- Ayah Pandawa
WIDURA-Tokoh yang Bijaksana
GANDARI - Ibu Kurawa
KUNTI - Istri Pandu 1
MADRI - Istri Pandu 2
SANGKUNI - Tokoh Jahat dan Licik
DRONA - Guru Pandawa & Kurawa
DRUPADA-Raja Pancala
KARNA - Raja Angga
YUDISTIRA - Pandawa Pertama
DURYUDHANA - Kurawa Pertama
BIMA - Pandawa Kedua
DURSASANA - Kurawa Kedua
ARJUNA - Pandawa Ketiga
Kurawa Kurawa Lain
NAKULA - Pandawa Kembar
SADEWA - Pandawa Kembar
DURSALA - Kurawa Wanita
HIDIMBI - Raksasa Wanita
SUBADRA - Istri Arjuna
DRUPADI - Istri Pandawa
SRIKANDI - Wanita Tangguh
DRESTADYUMNA
VRUSHALI - Istri Karna
RUKMI & RUKMINI
SISUPALA
ASWATAMA
Part BONUS - Pertemuan Kunti dengan Karna
JAYADRATA
RADHA & ADIRATA - Orang Tua Angkat Karna
GATOTKACA Putra Bima
ABIMANYU - Putra Arjuna
BEGAWAN PARASURAMA
Putra - Putra Pandawa (PANCAWALA)
UTTARA & UTTARI
BALARAMA/BALADEWA
SALYA, RAJA MADRA
RESI BYASA

Extra Part - Semua dipertaruhkan

5K 85 1
By Mun4555

Part ini saya copy paste dari sebuah fun page di faceebok. Dibeberapa bagian mungkin tidak sama dengan serial televisi namun intinya tetap sama. Author tidak bisa menceritakan yang di serial televisi karena tidak tega dengan adegan2nya. :-(

Pada cerita Mahabharata, permainan dadu menjadi part terpenting setara dengan part perang batarayudha.

Jika ada typo mohon dikoreksi

Selamat membaca

*********

Kisah ini dimulai saat Widura pergi ke Indraprastha. Sampai di sana, ia disambut oleh Yudhistira.Raja muda itu bertanya dengan perasaan prihatin,

"Mengapa engkau tidak gembira? Apakah keluarga kita di Hastinapura sehat-sehat? Apakah Raja Hastina dan putra-putranya sehat-sehat?"

Setelah saling menyampaikan salam penghormatan, Widura menjelaskan maksud kedatangannya.

"Semua kerabat kita di Hastinapura sehat. Bagaimana di sini? Apakah semuanya sehat? Aku datang karena diutu mengundangmu atas nama Raja Dretarastra. Datanglah ke Hastinapura dan lihatlah bangunan-bangunan yang telah disiapkan untuk beristirahat.

"Sebuah balairung indah telah didirikan seperti yang engkau bangun di sini. Baginda Raja mengundang kau dan adik-adikmu untuk beristirahat dan bermain dadu di sana."

Yudhistira tidak langsung menerima undangan itu. Ia ingin mendengar nasihat Widura tentang undangan itu.

Katanya, "Bermain dadu dambil bertaruh selalu menimbulkan pertengkaran di antara kaum kesatria. Orang yang bijak pasti akan menghindari hal itu. Kami selalu patuh pada nasihatmu. Apa yang sebaiknya kami lakukan?"

Widura menjawab, "Setiap orang tahu, bermain dadu adalah pangkal semua kejahatan. Aku telah berusaha menentang rencana buruk ini. Tetapi Baginda Raja memerintahkan aku mengundang engkau. Terserah kepadamu, lakukanlah apa yang menurutmu baik."

Walaupun telah mendengar peringatan halus Widura, Yudhistira tetap saja berniat pergi ke Hastinapura.

Memang sulit menghindari nasib manusia yang dengan sengaja melangkah menuju kehancurannya sendiri karena didorong nafsu berahi, kegemaran berjudi, dan kebiasaan minum-minum. Lagi pula, sesungguhnya Yudhistira memang gemar berjudi.

Menurut tradisi jaman itu, seorang kesatria dianggap tidak sopan jika menolak undangan bermain dadu. Kecuali itu, Yudhistira telah bersumpah untuk tidak pernah melakukan tindakan yang dapat membuat orang lain yidak senang atau marah. Karena itu, sungguh tidak pantas jika ia menolak undangan pamannya sendiri, Raja Dretarastra. Itu sebabnya ia menerima undangan tersebut dan berangkat bersama saudara- saudaranya diiringkan sepasukan pengawal.

Yudhistira dan rombongannya diterima Destarastra di Hastinapura dan dipersilakan menginap di balai peristirahatan khusus untuk tamu. Setelah cukup beristirahat, esok harinya mereka diantar ke ruang permainan dadu.

Setelah saling bertegur sapa sesuai adat, Sangkuni mengumumkan bahwa permadani, meja dan kain berudu penutupnya telah disiapkan secara khusus dan bahwa permainan dapat dimulai.

Yudhistira berkata, "Paduka Raja, bermain judi itu tidak baik. Bukan dengan cara kesatria, kepandaian, dan kebijaksanaan seseorang menang dalam permainan adu nasib seperti ini. Resi Asita, para dewata dan dan para resi yang mengenal inti hakikat kehidupan secara mendalam telah menasihatkan, bahwa permainan judi harus dihindari, karena permainan ini bisa membuat orang ingin berbohong dan menipu. Mereka juga menyatakan bahwa kekalahan dan kemenangan dalam pertempuran adalah jalan yang paling pantas bagi kesatria. Paduka Tuanku sudah tentu bukannya tidak menyadari hal ini."

Meski berkata demikian, sesungguhnya hati kecil Yudhistira bimbang karena kata-katanya bertentangan dengan kegemarannya bermain dadu.

Sangkuni tahu apa yang sebenarnya bergolak di dalam hati Yudhistira karena ia telah mendengar tentang sumpah kesatria itu. Itulah kelemahan Yudhistira.

Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Sangkuni. Ia berkata, "Apa salahnya permainan ini? Sebenarnya, jika sungguh-sungguh dipikirkan, pertempuran itu sebenarnya apa? Apa pula gunanya berbincang-bincang tentang ajaran-ajaran Weda dengan para guru ahli kitab suci? Dalam kenyataannya kita tahu, orang pintar selalu menang melawan orang bodoh. Dalam kenyataannya, orang yang lebih pandai selalu menang dalam segala hal. Semua ini hasil ujian kekuatan atau kepandaian. Dalam kehidupan manusia, yang ahli selalu mengalahkan yang baru mulai belajar. Demikian pula dalam hal bermain dadu. Kalau memang takut kalah jangan ikut main. Jangan mencari-cari alasan dengan mengemukakan basa-basi tentang ajaran moral dan budi pekerti."

Yudhistira menjawab, "Baiklah, siapa yang akan main melawan aku?"

Duryudhana langsung menjawab, "Aku ingin memenangkan semua taruhanmu, semua harta kekayaan dan kerajaanmu. Paman Sangkuni akan mengocok dadu dan bermain atas namaku."

Semula Yudhistira telah memperhitungkan bahwa dia pasti bisa menang melawan Duryudhana. Tetapi, melawan Sangkuni lain soal. Sangkuni termasyhur sebagai pemain dadu yang ulung namun tidak malu-malu menggunakan segala cara, kalau perlu cara-cara licik, untuk memenangkan permainan. Karena itu Yudhistira berkata,

"Menurutku itu menyalahi adat. Sungguh tidak lazim seseorang bermain atas nama orang lain."

Sakuni menjawab sambil mengejek, "Aku tahu, engkau hanya mencari-cari alasan."

Wajah Yudhistira memerah. Sambil menahan marah ia menjawab, "Baiklah, aku akan main."

Ruangan bermain dadu itu penuh sesak. Tampak di antara yang menonton adalah Drona, Kripa, Bisma, Widura dan Raja Dretarastra. Mereka membayangkan betapa buruknya akibat yang bisa ditimbulkan oleh permainan judi, tetapi mereka tak mampu mencegah. Itu sebabnya mereka duduk dengan gelisah. Para pangeran dan bangsawan menyaksikan permainan itu dengan penuh minat dan semangat.

Mula-mula mereka bertaruh uang, sesudah itu bertaruh emas permata. Disusul kereta dan kuda-kudanya. Yudhistira selalu kalah. Sejak permainan pertama dia belum pernah menang. Kemudian Yudhistiramempertaruhkan semua pengawal dan pelayannya, lalu gajah-gajah dan pasukan berkudanya. Semua yang ia pertaruhkan habis. Setiap kali Sangkuni mengocok dan melemparkan dadu, dadu itu selalu memunculkan angka sesuai kemauannya.

Yudhistira kemudian mempertaruhkan semua desa di wilayah kerajaannya, lengkap dengan penduduknya, sawah dan ladangnya, dan segala macam ternaknya. Semuanya habis dikalahkan Sangkuni. Akhirnya Sangkuni bertanya,

"Apakah masih ada yang bisa kau jadikan taruhan?"

Yudhistira menjawab, "Aku pertaruhkan Nakula, saudaraku yang tampan dan berkulit bersih. Ia adalah salah satu hartaku yang paling berharga."

Sangkuni bertanya, "Kau tidak menyesal? Kami akan senang sekali memenangkan taruhan itu."

Sambil berkata demikian ia melemparkan dadu. Ketika berhenti berputar, dadu itu memunculkan angka yang dikehendakinya. Hadirin bingung melihat itu.

Yudhistira berkata, "Ini saudaraku yang lain, Sahdewa. Ia seorang seniman yang punya pengetahuan mendalam tentang berbagai macam seni. Aku tahu, sebenarnya aku tidak boleh mempertaruhkan dia. Tetapi ...ayo, kita teruskan permainan."

Sambil melemparkan dadu, Sangkuni berkata, "Baiklah, kita teruskan permainan, dan ... lihat aku menang."

Yudhistira menyerahkan Sahdewa yang ia pertaruhkan. Khawatir kalau-kalau Yudhistira memutuskan untuk berhenti bermain, dengan licik Sangkuni memancing-mancing, "Bima dan Arjuna adalah saudara-saudara kandungmu. Kalian terlahir dari satu ibu. Kau tidak akan mempertaruhkan mereka, bukan?"

Mendengar kata-kata itu, Yudhistira tersinggung. Ia tidak mau dikatakan tega mempertaruhkan saudara-saudara tirinya dan lebih menyayangi saudara-saudaranya sekandung. Ia tidak dapat menahan perasaannya, lalu berkata, "Engkau sengaja hendak memecah-belah kami. Engkau mengadu domba kami! Engkau yang selalu hidup dikuasai nafsu setan takkan bisa mengerti bagaimana hidup kami yang sebenarnya."

Setelah mengambil napas, ia menyambung, "Aku akan pertaruhkan Arjuna, pahlawan yang selalu menang di medan pertempuran. Mari kita teruskan permainan."

Sangkuni menjawab, "Baiklah, aku lemparkan dadu. Lihat ...aku menang!"

Yudhistira kalah lagi. Arjuna diambil oleh Kurawa.

Kekalahan terus-menerus membuat Yudhistira gelap mata. Tanpa sadar, ia semakin tenggelam dalam tipu daya Sanhkuni. Dengan air mata berlinang-linang ia berkata,

"Ini Bima, saudaraku, panglima tertinggi balatentara kami. Ia tak kenal menyerah dan keperkasaannya tak tertandingi. Aku jadikan dia taruhanku."

Permainan diteruskan. Yudhistira kehilangan Bima. Sambil mengejek Sangkuni bertanya, "Apakah masih ad yang bisa kaujadika taruhan?

Dharmaputra menjawab, "Ya, diriku sendiri. Kalau kau menang, aku bersedia menjadi budakmu. Awas, perhatikan! Aku pasti menang."

Sakuni melemparkan dadu dan ia menang.

Demikianlah, Yudhistira telah mempertaruhkan semua miliknya, termasuk saudara-saudara dan dirinya sendiri, lengkap dengan pakaian dan senjata yang selalu lekat pada tubuh para kesatria. Semua itu gara-gara ia terbujuk oleh kata-kata Sangkuni yang terus-menerus berusaha mempengaruhi, memancing-mancing, menyindir dan mengejeknya agar Yudhistira kehilangan kendali atas dirinya, menjadi marah, bernafsu dan tak kuasa menghentikan permainan.

Sangkuni bangkit berdiri lalu memanggil kelima Pandawa satu per satu. Dengan lantang ia mengumumkan bahwa secara sah mereka sekarang menjadi budak-budaknya. Para hadirin terpaku, tak kuasa berkata-kata. Sambil memandang Yudhistira.

Sangkuni melanjutkan, "Masih ada satu permata milikmu yang dapat engkau pertaruhkan. Mungkin kali ini nasib baik berpihak padamu dan engkau menang. Apakah kau tidak berani melanjutkan permainan dengan mempertaruhkan Drupadi, istrimu?"

Dengan putus asa Yudhistira menjawab, suaranya bergetar, "Baiklah, aku pertaruhkan dia."

Hadirin menjadi ribut. Dari tempat duduk para sesepuh terdengar bisik-bisik tidak setuju. Kemudian dari segala penjuru terdengar teriakan, "Tidak, tidak, tidak!" Tetapi Duryudhana dan saudara-saudaranya bersoraksorak. Di antara para Kurawa, hanya Yuyutsu yang menundukkan kepala, sedih menyaksikan semua itu. Sangkuni melemparkan dadu lagi dan berteriak, "Aku menang! Lihatlah!"

Duryudhana menoleh kepada Widura sambil berkata, "Pergilah ambil Drupadi istri Pandawa. Mulai sekarang ia harus menyapu dan membersihkan istana kita. Pergi segera! Sekarang juga!"

Widura menjawab, "Kau gila. Ini berarti kau mengundang kehancuranmu sendiri. Ketahuilah, nasibmu kini ibarat tergantung pada seutas benang. Kalau tak hati-hati, kau akan jatuh ke dalam jurang kenistaan. Kaukira kemenanganmu ini akan membuatmu bahagia. Dengar, sekarang kau sedang mabuk dalam lautan kemenangan yang akan menenggelamkan dirimu."

Setelah berkata demikian, Widura menoleh kepada Yudhistira sambil melanjutkan kata-katanya, "Yudhistira, kau tidak berhak mempertaruhkan Drupadi sebab dirimu sendiri tidak bebas lagi. Dirimu sudah kaupertaruhkan. Kau telah kehilangan kebebasan dan degala hakmu. Tapi ... aku melihat keruntuhan Kurawa semakin dekat. Karena mengabaikan nasihat dan petunjuk para guru, kawan dan pendukung mereka, aku yakin, putra-putra Dretarastra kini sedang menuju ke lembah neraka."

Duryudhana sangat marah mendengar kata-kata Widura. Ia lalu berkata kepada Prathikami, sais keretanya,

"Widura iri melihat kemenangan kita dan takut kepada Pandawa. Tetapi engkau ada di pihak kami. Pergilah engkau, ambil, dan bawalah Drupadi ke sini."

Prathikami pergi menjemput

Drupadi di balai peristirahatan. Seperti diperintahkan Duryudhana, ia berkata, "Paduka Permaisuri, Raja Yudhistira kalah dalam permainan dadu dan telah mempertaruhkan semuanya, termasuk diri Paduka. Kini Paduka menjadi milik Duryudhana. Hamba diperintahkan menjemput Paduka untuk dijadikan pelayan di istana ini."

Drupadi sangat terkejut mendengar pesan aneh itu. Ia bertanya,

"Wahai Prathikami, apa maksudmu berkata begitu? Raja Yudhistira tak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan?"

Prathikami menjawab, "Ya, Raja Yudhistira telah mempertaruhkan semua miliknya dan kalah. Kini ia tak punya apa-apa lagi. Karena itu, ia mempertaruhkan Paduka Permaisuri."

Kemudian ia menceritakan bagaimana Yudhistira kalah dalam permainan dadu dengan mempertaruhkan semua miliknya, saudara-saudaranya, termasuk dirinya sendiri.

Walaupun hatinya pedih sekali, namun kekuatan batinnya mendorong Drupadi untuk berkata,

"Wahai sais kereta, kembalilah kepada tuanmu. Tanyakan pada yang bermain dadu. Tanyakan, apakah lebih dulu mempertaruhkan dirinya sendiri atau istrinya. Tanyakan ini di depan semua yang hadir di sana. Kemudian kembalilah ke sini dengan jawaban itu. Setelah itu, barulah aku bersedia kaubawa ke sana."

Prathikami kembali ke ruang permainan dadu. Ia menyembah Yudhistira lalu menanyakan pertanyaan Drupadi. Yudhistira bungkam, tak sanggup menjawab.

Sekali lagi Duryudhana menyuruh Prathikami menjemput Drupadi agar bisa bertanya langsung kepada suaminya. Prathikami kembali menghadap Drupadi. Setelah menyembah ia berkata,

"Paduka Permaisuri, Duryudhana yang berhati licik mengharapkan Paduka pergi ke ruang permainan dan bertanya sendiri kepada suami Paduka."

Drupadi menjawab, "Tidak! Kembalilah ke sana, ajukan pertanyaan itu dan minta jawabannya."

Prathikami mematuhinya. Ia

kembali ke ruang permainan menghadap Duryudhana dan

melaporkan bahwa Drupadi tidak bersedia datang.

Dengan marah Duryudhana lalu berkata kepada Dursasana, salah satu saudaranya, "Orang ini takut pada Bima! Pergilah engkau dan bawa Drupadi ke sini. Kalau perlu ... seret dia!"

Mendengar perintah itu, Dursasana yang berhati busuk dengan senang hati pergi melakukannya. Sampai di balaiperistirahatan, ia langsung masuk ke kamar Draupadi sambil berteriak-teriak, "Ayo pergi, kenapa kau diam saja? Sekarang kau milik kami. Jangan malu-malu, hai wanita cantik! Menurutlah, sebab kami telah memenangkan engkau. Ayo, sekarang juga kita berangkat ke persidangan!" Sambil berkata demikian ia mendekati Drupadi dengan maksud menyeretnya secara paksa.

Drupadi bangkit. Dengan perasaan sedih bercampur benci ia berlari mencari tempat berlindung. Ia bersembunyi di dalam kamar Permaisuri Raja Drrtarastra. Tetapi Dutsasana mengejarnya, menyergapnya, dan mencengkeram rambutnya. Sambil mencengkam rambut wanita jelita itu, ia menyeret Drupadi ke ruang permainan.

Setibanya di sana, sambil menekan perasaannya, Drupadi berkata kepada mereka yang lebih tua,

"Bagaimana mungkin Tuan-Tuan membiarkan diriku dijadikan taruhan oleh orang yang telah kalah berjudi? Bukankah para penjudi adalah manusia-manusia jahat yang ahli tipu-menipu? Karena suamiku sudah menjadi budak gara-gara kalah berjudi, ia bukan manusia bebas lagi dan karena itu ia tak berhak mempertaruhkan aku."

Dengan air mata berlinang-linang Draupadi meneruskan kata-katanya, "Jika kalian memang mencintai dan menghormati kaum ibu yang telah melahirkan dan menyusui Kalian, jika penghargaan terhadap istri atau saudara perempuan atau putri kalian benar-benar tulus, jika kalian memang percaya kepada Yang Maha Agung dan dharma, jangan biarkan aku dihina seperti ini. Penghinaan ini lebih kejam dari kematian!"

Mendengar kata-kata Drupadi yang tajam menyayat hati dan melihat air matanya yang bercucuran, para sesepuh itu menundukkan kepala karena malu dan sedih.

Bima tak bisa menahan diri lagi. Dadanya sesak, seakan hendak meledak. Dengan suara menggelegar dan dengan nada pahit ia berkata kepada Yudhistira, "Penjudi kawakan yang paling bejat pun tidak akan mempertaruhkan perempuan kotor yang mereka pelihara. Tetapi ... lihatlah dirimu yang mengaku sebagai manusia berbudi luhur. Engkau ternyata lebih buruk dari mereka. Engkau biarkan putri Raja Drupada, permaisurimu, dihina oleh manusia-manusia kurang ajar ini. Aku tak dapat membiarkan tindakan tak susila ini tanpa bertindak. Saudaraku Sahdewa, ambilkan api. Akan kubakar tangan manusia-manusia yang merencanakan permainan dadu curang ini."

Arjuna bangkit, menahan Bima dengan kata-kata penuh kesabaran, "Sejak semula engkau tidak berkata apa-apa. Sejak dulu mereka selalu ingin mengenyahkan kita atau menjerumuskan kita ke dalam jaring-jaring kejahatan agar kita terseret ikut berbuat jahat. Kita tidak boleh mengikuti segala tipu daya, kejahatan dan permainan licik mereka. Waspadalah!"

Mendengar peringatan Arjuna, Bima diam dan berusaha menahan perasaannya. Tetapi Wikarna, salah seorang putra Dretarastra tidak tega

melihat penderitaan Drupadi. Ia bangkit berdiri dan berkata,

"Wahai para kesatria yang hadir di sini, mengapa Tuan-Tuan diam saja? Aku tahu, Aku masih muda. Tetapi karena kalian diam saja, aku

terpaksa bicara. Dengar! Yudhistira telah ditipu dalam permainan yang telah direncanakan masak-masak sebelum ia diundang. Karena itu ia tak mungkin menang. Karena terus menerus kalah, ia kehilangan kendali atasdirinya. Ia tega mempertaruhkan permaisurinya. Tetapi, sebenarnya ia tak punya hak untuk mempertaruhkan Drupadi karena putri ini bukan miliknya seorang. Maka taruhan itu tidak sah. Kecuali itu, Yudhistira telah kehilangan kebebasanny maka tak punya hak untuk mempertaruhkan putri ini. Ada lagi alasan yang memberatkan bahwa permainan ini tidak sah. Sangkunilah yang mengusulkan Drupadi dijadikan taruhan. Ini bertentangan dengan aturan permainan. Siapa pun yang bermain dadu tidak berhak meminta taruhan tertentu kepada lawannya. Kalau kita pertimbangkan hal-hal tersebut, kita harus mengakui bahwa Drupadi telah dipertaruhkan dengan tidak sah, inilah pendapatku."

Mendengar kata-kata Wikarna yang tajam dan berani, para tamu merasa lega dan pikiran mereka menjadi terang. Mereka bersorak, "Hidup dharma! Hidup dharma!"

Pada saat itulah Karna bangkit dan berkata, "Hai Wikarna, engkau lupa bahwa banyak yang lebih tua darimu hadir di ruangan ini. Lancang benar engkau, berani mempertanyakan aturan-aturan. Engkau masih bocah. Kelancanganmu melukai keluargamu yang telah melahirkan dan membesarkan engkau. Kau ibarat nyala api yang membakar ranting kayu arani dan akhirnya memusnahkan pohonnya. Kau ibarat seekor burung yang merusak sarangnya sendiri. Sejak semula, ketika Yudhistira masih bebas, ia telah mempertaruhkan semua miliknya dan tentu saja itu termasuk Drupadi. Karena itu, sekarang Drupadi menjadi milik Sangkuni. Hal ini tak perlu diperdebatkan. Semua milik Pandawa kini menjadi milik Sangkuni, termasuk pakaian yang mereka kenakan. Hai Dursasana, tanggalkan pakaian Pandawa dan Drupadi. Serahkan semua kepada Sangkuni!"

Mendengar kata-kata Karna yang kasar, Pandawa merelakan pakaian mereka demi menjalani cobaan dharma yang amat pahit. Mereka menanggalkan pakaian, hingga tinggal sehelai kain penutup urat. Semua mereka jalani demi kehormatan, kebenaran dan keagungan dharma. Karena Pandawa menyerahkan sendiri pakaian mereka, Dursasana mendekati Drupadi, siap merampas pakaian sang putri. Ia berusaha menelanjangi Drupadi, tetapi putri itu melawan dengan sekuat tenaga. Dursasana terus memaksa dan Drupadi terus bertahan. Drupadi mengerahkan kekuatan batinnya, membaca mantra dalam hati, berdoa dan memohon pertolongan Brahma.

Dursasana lalu melakukan perbuatan yang sangat memalukan itu. Ia menanggalkan pakaian Drupadi satu per satu. Ajaib! Tiba-tiba terjadilah sebuah peristiwa gaib. Setiap kali ia melepas pakaian sang putri, setiap kali pula muncul pakaian baru menutupi tubuhnya yang jelita. Dutsasana terus melakukan pekerjaan hina itu. Pakaian Drupadi menumpuk seperti gunung, tetap tubuhnya tetap utuh dan berpakaian lengkap. Semua yang hadir dalam ruangan itu gemetar, sadar bahwa Dewata telah memperlihatkan kebesaranNya. Dursasana tak sanggup lagi melakukan tugasnya. Ia terduduk lemas, tak berdaya.

Dengan bibir gemetar Bima mengucapkan sumpahnya,

"Semoga aku tidak diterima oleh nenek moyangku di surga sebelum aku remukkan dada Dursasana yang penuh dosa dan aku hisap darah manusia yang telah menodai keluhuran wangsa Bharata."

Maka terdengarlah anjing dan serigala meraung-raung, unta, gajah, kuda dan keledai meringkik-ringkik, burung burung berkicau melagukan nyanyian duka di seluruh negeri. Semua itu merupakan pertanda akan datangnya malapetaka mengerikan di masa datang.

Raja Drrtarastra sadar, keturunannya akan mengalami kehancuran. Dengan berani ia mengambil keputusan untuk berdamai dengan Pandawa. Ia memanggil Drupadi dan Yudhistira. Ia berkata kepada Yudhistira, "Engkau tidak bersalah, karena itu engkau bukanlah musuh kami. Maafkan Duryudhana demi keagungan budimu dan buanglah kenangan pahit ini dari ingatanmu. Ambil kembali kerajaanmu, kekayaanmu dan demua milikmu. Engkau kubebaskan dan perintahlah kerajaanmu hingga rakyatmu makmur sejahtera. Kembalilah kalian ke Indraprastha."

Demikianlah Pandawa meninggalkan ruangan terkutuk itu. Hadirin bingung dan terpaku melihat keajaiban yang tak masuk akal itu. Pandawa dilepaskan dari malapetaka yang mengerikan, tetapi itu semua terlalu cepat dan ringan untuk dinikmati keindahannya.

Setelah Yudhistira dan saudara-saudaranya pergi, di dalam ruangan terjadi perdebatan sengit. Atas hasutan Dursasana dan Sangkuni, Duryudhana memaki-maki ayahnya yang telah mengacaukan rencana mereka.

Mereka lalu mengutip petuah brihaspati yang mengatakan bahwa melakukan tipu muslihat untuk menghancurkan musuh bebuyutan adalah tindakan benar. Ia menggambarkan, kebebasan dan kekuatan Pandawa akan membahayakanmereka jika dibiarkan tumbuh. Kata mereka, satu-satunya cara untuk mengalahkan Pandawa yang sakti dan perkasa adalah dengan tipu muslihat dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari tipu muslihat itu untuk melumpuhkan kebanggaan dan kehormatan mereka. Untuk itu semboyan yang paling tepat adalah "tidak seorang kesatria pun akan menolak undangan bermain dadu."

Mengetahui betapa besar cinta ayahnya kepada dirinya, Duryudhana meminta"persetujuan Dretarastra untuk mengundang Yudhistira bermain dadu sekali lagi. Dengan berat hati karena merasa mendapat firasat buruk, Dretarastra memberikan persetujuan.

Segera Duryudhana mengirim utusan untuk menyusul Yudhistira yang belum sampai ke Indraprastha. Utusan itu membawa undangan pribadi dari Raja Dretarastra.

Setelah menerima undangan itu, Yudhistira berkata, "Memang benar, kebaikan dan kejahatan sudah tersurat dan tak dapat dihindari. Kalau kita harus main lagi, kita akan main, demikian jawabanku. Ajakan bermain dadu demi kehormatan tak dapat ditolak. Aku harus menerimanya."

Yudhistira dan saudara-saudaranya kembali ke Hastinapura dan bersiap-siap untuk bermain dadu lagi melawan Sangkuni. Setiap orang yang berpikiran baik dan berpendirian halus yang hadir dalam pertemuan itu sebenarnya tidak menyetujui permainan itu.

Agaknya Yudhistira telah ditakdirkan oleh Batari Kali, Dewi Kemusnahan, untuk menjadi umpan yang dapat meringankan beban dunia dari segala macam kejahatan.

Sebelum bertanding, taruhan ditentukan, "Barangsiapa kalah dalam permainan ini, ia dan saudara-saudaranya harus menjalani hidup dalam pengasingan dan pembuangan di hutan rimba selama dua belas tahun. Pada tahun ketiga belas ia harus hidup menyamar selama setahun penuh. Kalau pada tahun ketiga belas ada yang mengenali mereka, mereka harus dibuang ke pengasingan selama dua belas tahun lagi."

Tidak perlu diceritakan bagaimana Sangkuni menggunakan tipu dayanya lagi dalam permainan ini. Lagi-lagi Yudhistira kalah. Pandawa harus menjalani hidup dalam pembuangan di hutan rimba. Mereka yang menyaksikan kekalahan Pandawa menundukkan kepala karena malu, diam tenggelam dalam duka dan tak mampu berbuat apa apa.

Continue Reading

You'll Also Like

341K 50.8K 78
"Became the Most Popular Hero is Hard" adalah judul novel yang saat ini digemari banyak pembaca karena memiliki visual karakter dan isi cerita yang m...
286K 25.7K 28
Kehidupan Evelyn yang sempurna berubah setelah kematian kedua orang tuanya. Ia harus menjual harta dan kediamannya untuk membayar hutang keluarga. Se...
390K 18K 27
Gadis biasa yang dicintai oleh seorang pemuda tampan yang terkenal disekolah. Terlebih lagi, lelaki tersebut bisa membaca pikiran 'hampir' semua oran...
BITTER TRUTH [END] By Angel

Historical Fiction

8.3M 1.1M 91
"Buktikan bahwa bukan kau yang meracuninya dengan pedang ini" ucap Duke Hevadal dengan wajah yang sedingin dinginnya pada putri kandungnya sendiri El...