Luka Abadi

De JipanMln

180 45 41

Luka abadi. Ia hidup dari hati yang tergores. Menjadi parasit yang perlahan-lahan menggerogoti jiwa. Merampas... Mai multe

2. Mutiara
3. Gadis Kecil dan Sejuta Luka
4. Gadis Kecil yang Tidak Disukai 1
5. Gadis Kecil yang Tidak Disukai 2

1.Layu Adinata

48 12 9
De JipanMln

Jika sekarang kamu berada di rumahmu yang hangat, ibu dan ayahmu di sana bersamamu, tersenyum dan tertawa bersamamu, memelukmu erat penuh kasih sayang. Bahagialah kamu. Jika ibumu bawel melarangmu pergi keluar, jangan bantah dia apalagi kau bentak. Apabila ayahmu tak membelikan apa yang kau mau, jangan marahi dia apalagi membencinya. Bersyukurlah kamu. Orang lain di belahan dunia sana masih banyak yang tak seberuntung kamu. Kamu beruntung.

Jika sekarang kamu dikelilingi teman yang sangat banyak, yang rela mengorbankan waktunya untuk kamu, tertawa untuk kamu, menangis untuk kamu, yang bersedia menjadi wadah untuk menampung seluruh tangismu. Maka bersyukurlah kamu. Kamu beruntung.

Di sini, di desa kecil yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Surga di mana tempatnya tumbuhan hijau yang terbentang luas sejauh mata memandang. Minim kendaraan yang berlalu lalang dan tak ada pula gedung-gedung yang menjulang tinggi. Jikalau siang berganti malam, bintang-bintang akan terlukis sempurna dengan indahnya di atas langit sana. Jangkrik yang bernyanyi bersahutan satu dengan yang lainnya siap menemani malam sepi yang dingin. Di sinilah pula gadis yang tak seberuntung dirimu itu dilahirkan.

Gadis kecil itu tak pernah tahu wajah kedua orang tuanya. Mamanya meninggal tepat ketika ia lahir. Setelah Ibunya meninggal, Ayahnya pergi tanpa jejak meninggalkannya sendirian di rumah sakit tempat ia dilahirkan. Untung saja, Tuhan berbaik hati pada gadis malang itu. Tak lama setelah Ayahnya pergi, Bibinya datang ke rumah sakit itu, ia sempat terkejut dan sedih ketika mengetahui bahwa Kakaknya meninggal dan suaminya yang tega meninggalkan anaknya yang baru saja lahir. Namun, ia segera menepis rasa sedih yang menghampirinya dan pikirannya segera terfokus pada gadis kecil yang malang itu.

Setelah itu Bibinya pergi membawa Layu, merawatnya tanpa kasih sayang, karena cinta Bibinya sepenuhnya hanya untuk anak semata wayangnya. Untung saja, rumah dan harta Ayah gadis kecil itu tak dibawa pergi. Sehingga, merekapun menetap di rumah yang sangat megah itu dengan harta yang tak akan habis hingga tujuh turunan pun.

Layu Adinata nama gadis kecil itu. Kini, genap sepuluh tahun umurnya. Ia tumbuh menjadi anak yang cantik dengan wajah yang kaku, ia tak pernah sekalipun menunjukkan senyumannya. Matanya besar dan berbinar-binar dengan rambut panjang nan hitam legam yang tergerai dengan indah. Apalagi pipi nya yang bulat bagaikan bakpao itu, sungguh membuatnya tambah sangat menggemaskan. Ia tak banyak bicara, kecuali pada Mbak Inah, pembantu di rumah itu yang menyayangi Layu lebih dari siapapun. Mbak Inah sudah mengabdi pada keluarga Adinata jauh sebelum Layu dilahirkan.

Sungguh kasihan gadis kecil itu, nasibnya sangat malang. Sesuai namanya 'Layu', kehidupannya pun sangat layu, tak ada yang mau menyiram benih cinta di hatinya. Sehingga, cinta tak tumbuh dalam hatinya.

Layu lebih banyak menyendiri di kamarnya yang cukup besar. Ia menghabiskan waktunya hanya dengan membaca buku atau menulis diary. Ia sangat suka membaca buku, apalagi novel Harry Potter, ia sangat menyukai novel yang satu itu. Di umurnya yang sepuluh tahun ini, ia sudah menamatkan 4 seri novel Harry Potter yang sangat tebal.

Gadis kecil itu sekarang sedang berada di beranda rumahnya yang luas. Tepatnya di bawah pohon besar yang rindang, ia mengenakan kaos putih dengan rok putih belang-belang hitam yang panjang sampai menyentuh tanah. Rupanya, tempat itu telah menjadi salah satu tempat favoritnya untuk membaca. Buktinya, hampir setiap pulang sekolah ia duduk di sana dengan buku di genggamannya. Anak itu sungguh menarik, di usianya yang sangat masih kecil, ia mampu menamatkan satu novel yang tebal hanya dalam beberapa hari saja. Anak-anak seusianya mana ada yang tertarik dengan sebuah novel, paling-paling juga buku bergambar itupun juga jarang. Mereka lebih suka menghabiskan waktu bermain di luar atau bermain gadget di rumahnya ketimbang menghabiskan waktu hanya membaca sebuah novel.

"Non, Non Layu. Makan siangnya sudah siap. Makan dulu Non ! Nanti baca bukunya lanjut lagi setelah makan siang." Teriakan Mbak Inah yang nyaring dan cempreng sukses membuat Layu berhenti melanjutkan perjalanannya di dunia imajinasinya. Walaupun sebenarnya Layu masih ingin terhanyut di dunia sihir yang berada dalam buku yang di bacanya itu, tapi ia tahu persis bagaimana bawelnya Mbak Inah jika ia tak menuruti perintahnya. Akhirnya, tak ada pilihan lain Layu pun menutup bukunya dan segera berjalan ke dapur.

"Nah Non silahkan makan ! Mbak sudah memasak beberapa masakan kesukaan Non Layu. Ini dia, ada gorengan, semur jengkol, terong balado dan tentunya telur mata sapi setengah matang spesial buatan Mbak Inah. Silahkan makan Non."

"Mengapa masak banyak sekali Mbak ?" Layu bertanya pada Mbak Inah yang sedang merapikan makanan di meja makan.

"Karena biar Non Layu senang dan lagipula kata Non Mutiara akan ada teman-temannya main kesini, jadi ya sekalian saja Mbak buat masakan sebanyak ini."

"Teman-teman Ara ? Tapi kenapa harus memasak makanan kesukaan Layu semua ?" Nada bicara Layu sedikit meninggi. Rupanya ia tak suka makanan kesukaannya dimakan oleh orang lain, terlebih lagi masakan buatan Mbak Inah, Layu sangat suka sekali masakan buatan Mbak kesayangannya itu.

"Karena Mbak sangat suka memasaknya. Saat memasaknya, Mbak selalu teringat bagaimana Non Layu makan dengan lahapnya, menurut Mbak itu terlihat menggemaskan." Mbak Inah mencubit pipi Layu sehingga membuat gadis kecil itu sedikit meringis. "Rasanya Mbak ingin setiap hari memasak itu semua. Tapi mana mungkin Nyonya mengizinkan. Nyonya kan selalu ingin masakan yang mewah-mewah".

Layu hanya mengangguk kecil dan segera makan semua yang ada di hadapannya. Mbak Inah memandang Layu dengan senyuman bahagia. Mbak Inah memang sangat menyayangi gadis kecil itu, ia sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri. Wanita yang sudah berumur 47 tahun itu memang sudah dari dulu mengharapkan seorang anak hadir di dalam keluarga kecilnya, menghangatkan suasana dengan tawa dan tangisan anak kecil. Namun, apa daya takdir berkata lain. Langit terlalu kejam mengguratkan takdir untuk wanita itu . Setiap kali ia mengandung, bayi nya meninggal di dalam perutnya. Di saat kehamilan yang ke lima, suaminya kecelakaan dan pergi meninggalkan Mbak Inah sendirian, saat itu pula ia harus kehilangan bayi yang sedang di kandungnya 'lagi' Takdir sungguh tega mempermainkan kehidupan wanita itu. Tak terbayangkan bagaimana ia terpuruknya kala itu. Tapi ternyata langit masih menyimpan cerita indah untuk wanita itu, ia dipertemukan dengan keluarga Adinata, keluarga yang berbaik hati menyembuhkan luka wanita itu.

"Mbak semuanya sudah habis Layu makan. Masakannya terlalu enak, sangat sayang jika tidak dimakan habis. Kalau makanan untuk temannya Ara masak spageti aja, mereka mana mau masakan kayak begini."

"Hmm... Benar juga sih Non."

"Ya makannya jangan masak makanan kesukaan Layu untuk mereka, ini spesial hanya untuk Layu." Gadis kecil itu berbicara sambil berjalan ke luar. Rupanya ia sangat penasaran dengan kelanjutan novel yang tadi dibacanya itu, hingga setelah habis makan ia malah buru-buru ke luar tak mempedulikan Mbak Inah yang sepertinya masih ingin bercerita dengan Layu. Tapi, tiba tiba langkahnya terhenti saat di ruang tamu. Ia melihat Mutiara sedang bermanja-manja kepada Mamanya. Jika kau tak tahu, Mutiara adalah sepupunya, anak semata wayang Bibi Amel, bibinya. Ia berumur sama dengan Layu tetapi Mutiara lebih tua 1 bulan, tingginya pun juga sama. Ia memang sepupunya, tapi ia sangat berbeda jauh dengan Layu. Mutiara sangat riang, boros dan suka dengan barang-barang yang mewah, sangat berbeda dengan Layu yang tertutup dan hidupnya yang sederhana.

Mutiara terlihat senang sekali berada dipelukan Mamanya. Ia tertawa lepas saat Mamanya menjahilinya. Sungguh itu adalah suasana yang romantis antara anak dan ibu. Layu menatap mereka dari kejauhan, ia meremas bukunya kuat-kuat, matanya mulai berkaca-kaca, dadanya sesak kala melihat kebahagiaan di antara mereka berdua. Ia ingin sekali merasakan bagaimana rasanya dipeluk sosok ibu. Layu ingin sekali merasakan kasih sayang seorang ibu yang katanya tak terhingga itu. Bagaimana rasanya ? Apakah menyenangkan ? Apakah bisa membuat hidup lebih berwana ? Apakah hidup bisa menjadi lebih berarti ?. Gadis kecil itu tak pernah mengetahuinya, sama halnya seperti ia tak mengetahui bagaimana cara tersenyum.

Layu tahu menatap mereka hanya akan membuat lubang di hatinya kian membesar, tapi entah kenapa dia terus memandang mereka. Hingga, ia mulai merasakan air mengalir dari air matanya. Layu lari secepat mungkin. Ia berharap dengan berlari rasa sakitnya bisa tersembuhkan. Namun, ternyata rasa sakit itu tak lekas sembuh, bayangan Mutiara dengan ibunya yang tesenyum bahagia menghantui Layu. Rok panjang yang ia kenakan seringkali terinjak, namun Layu tak mempedulikannya. Layu berlari entah kemana,ia tak tahu arah tujuannya.

Rok panjangnya sungguh mengganggu, padahal ia sudah mengangkatnya tinggi-tinggi tapi tetap saja selalu terinjak dan alhasil ia pun terjatuh. Ia terduduk lemas. Ia semakin kencang menangis, bukan karena rasa sakit akibat jatuh, melainkan karena luka di hatinya yang kian membesar. Layu menangis sejadi-jadinya, ia meraung dalam keheningan. "Layu kangen Mama. Mama kemana ? Mengapa Mama pergi meninggalkan Layu sendirian ? Ajak Layu pergi Ma."

"Non Layu ?! Non kenapa menangis ?" Ternyata kaki Layu menuntunnya menuju ke tempat Mbak Inah berada. Mbak Inah langsung menghampiri gadis kecil yang meraung sambil terduduk lemas itu.

"Layu kangen Mama Mbak, Layu hanya ingin merasakan pelukan Mama, sama seperti Ara yang selalu berada dalam pelukan Mamanya. Mengapa Mama pergi Mbak ? Mengapa ?"

Mbak Inah memeluk gadis kecil itu dan mengelus kepalanya. "Mbak tahu Non kangen dengan Mama, tapi jika Non menangis seperti ini, nanti di atas sana Mama pasti bersedih. Non tak mau kan melihat Mama Non sedih ?"

Layu menggelengkan kepalanya. "Tentu saja Layu tidak mau, tapi apa Layu salah jika Layu iri dengan Ara ? Apa salah jika Layu mengharapkan kasih sayang Mama ? Mbak, Layu tak mengharapkan apa-apa, Layu hanya ingin Mama. Silahkan Tuhan ambil apapun dari Layu, ambil hidup Layu, tapi izinkan Mama menemui Layu, satu kali saja."

"Tidak. Non Layu tidak salah sama sekali. Jangan bilang begitu Non, ingat selalu hidup Non Layu saat ini jauh lebih berharga dari apapun. Lagipula, Mama Non tak benar-benar pergi dari dunia ini kok, ia masih tinggal dalam hati kecil Non Layu, mengawasi Non Layu. Maka dari itu ia akan sangat sedih sekali ketika mengetahui bahwa anak tercantiknya menangis seperti ini." Mbak Inah baru kali ini melihat gadis kecil itu terpuruk seperti ini, biasanya ia lebih memendam rasa iri nya, biasanya ia kuat menahan rasa sakitnya, tapi entah kenapa hari ini bendungan di dalam hati kecilnya bocor, sehingga menyebabkan emosinya meluap tak terkendali.

"Begitu ya Mbak ?" Perkataan Mbak Inah rupanya telah membuat gadis kecil itu sedikit tenang, ia mulai menghapus air matanya.

"Iya Non Layu sayang yang cantik. Lagipula kan Non Layu masih mempunyai Mbak Inah di sini. Mbak Inah akan selalu ada untuk Non Layu kapanpun dan di manapun. Walaupun Mbak mungkin bukan Mama Non Layu, tapi Non sudah saya anggap sebagai anak kandung saya sendiri."

Layu memandang wajah Mbak Inah, ia melihat ada ketulusan di sorot matanya ketika mengucapkan itu semua. Layu memeluk Mbak Inah. Pelukannya erat sekali seolah-olah ia tak ingin melepaskan Mbak Inah walaupun hanya sedetik saja. Ia merasakan kehangatan, dadanya berdebar kencang rasanya nyaman sekali berada di pelukan Mbak Inah. Kala itu ia berpikir mungkinkah begini rasanya dipeluk Mama. Tapi sayangnya itu semua belum cukup untuk membuat senyuman Layu terukir di wajahnya.

"Terimakasih Mbak. Mulai hari ini Layu berjanji tidak akan menjadi anak cengeng. Layu akan kuat, demi Mama, demi Mbak Inah". Layu berdiri, melepaskan pelukan Mbak Inah.

Senyuman Mbak Inah mengembang di wajahnya, ia mengangguk dan mencubit pipi Layu. Layu meringis kesakitan. Tanpa disadari, Mbak Inah akan menjadi saksi pertumbuhan gadis kecil itu. Gadis kecil yang memegang seluruh kisah ini. Gadis kecil yang kini telah bangkit dari kesedihannya yang telah ia pendam selama sepuluh tahun ini. Selama ini, ia tak pernah mengetahui wajah Papa dan Mamanya. Foto-fotonya pun tak ada, mungkin telah dibakar oleh Papa Layu ketika ia hendak pergi meninggalkan rumahnya. Bibi Amel pun tak punya foto mereka, karena mereka jarang sekali mengambil foto. Layu hanya tahu bagaimana sifat mereka dan kebiasaan mereka melalui cerita Mbak Inah. Bibinya mana mau bercerita pada gadis kecil itu.

Layu hampir lupa, tadi kan ia mau melanjutan membaca novelnya itu. Ia pun pamit kepada Mbak Inah dan segera berjalan menuju ke beranda rumahnya , tapi sekarang melalui jalan memutar, ia tak mau melewati ruang tamu lagi karena takut menyaksikan suasana yang seperti tadi. Akhirnya ia pun sampai di tempat favoritnya,tepatnya di bawah pohon besar yang rindang. Ia pun duduk dan bersandar di pohon itu. Ia mulai membuka bukunya dan segera membacanya.

Layu terhanyut kembali dalam buku itu, raganya sudah tiba di negeri imajinasinya. Kalau sudah begitu, ia tidak bisa di ganggu, kecuali dengan teriakan Mbak Inah yang nyaring. Tempat itu memang cocok sekali dipakai untuk membaca ataupun hanya sekadar bersantai.

Beranda rumahnya memang sangat bersih dan indah, dengan rumput hijau yang terurus dan juga banyak tanaman-tanaman serta bunga-bunga yang beraneka ragam menghiasi beranda rumahnya. Sangat disayangkan jika beranda yang seluas itu tidak dimanfaatkan. Di sana juga terdapat bangku tempat duduk beserta dengan mejanya. Tapi menurut Layu tempat itu tidak cocok untuk dijadikan tempat membaca, ia lebih memilih membaca di bawah pohon besar yang menghadap ke luar rumahnya. Tempat itu menurutnya adalah tempat ternyaman untuk membaca, sangat teduh dan membuat pikiran tenang.

Continuă lectura

O să-ți placă și

1.5M 112K 46
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
The Story Of Janeta 2 De R A Y

Ficțiune adolescenți

801K 95.9K 12
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
1.7M 77.3K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
SAGARALUNA De Syfa Acha

Ficțiune adolescenți

3.1M 157K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...