—Mata tertutup, lupakan semua yang terlihat, maka dari itu kau selamat.—
----
Sebulan kemudian, 1 April 2020.
Gelap, di ruang itu hanya ada seberkas cahaya dari gemerlapnya purnama yang membias. Udara di sekitar juga nggak terlalu bagus cenderung sumpek. Hawa dingin terasa menusuk-nusuk tulang seolah ingin menghancurkan. Gadis berwajah pucat sekaligus linglung tersebut masih enggan untuk beranjak. Lagi-lagi suaranya menguar, mempertanyakan prihal apa yang terjadi padanya.
''Sepertinya saya melupakan sesuatu, tapi apa?''
Benar, pertanyaan tersebut hampir nggak pernah lekang terucap dari bibir si gadis yang sedang termenung. Ia terduduk di pingiran bed memperhatikan kedua tangan seksama yang dililit verband. Ia mendengkus, mengembuskan napasnya berkali-kali. Kemudian ia bergumam lagi bernada dingin dengan intonasi lebih rendah.
''Kenapa saya bisa berada di tubuh ini? Apa yang terjadi? Kenapa—''
Suara gadis itu terhenti, tergantikan suara lain yang menyahut. ''Jangan terlalu memaksa, terima saja. Ini hadiah.''
Tentu ia terperanjat. Kaget, ia memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri. Mengedar-edarkan pandangan sesekali mengerjap, tetapi nggak menemukan si pemilik suara itu. Ia gugup, seketika rasa takut mulai menguasainya lagi.
Kaku, ia mulai bertanya, ''Siapa kamu sebenarnya, apa maumu, dan kenapa selalu saja mengganggu saya?''
Persis seperti orang kurang waras, gadis itu tampak bermonolog sendiri di tengah gelapnya malam dan pengapnya ruang.
''Aku Athala, dan hari ini menjadi ketiga kalinya aku memperkenalkan diri.''
''Ini nggak nyata, ini pasti hanya mimpi. Kamu tahu, kata mereka, saya baru saja bangun dari kematian.''
''Aku tahu, kamu nggak perlu menjelaskannya lagi.''
''Dan ini hanya mimpi. Bagaimana bisa saya bangun dari kematian?''
''Kerena kamu mendapat hadiah. Kamu tahu, kamu menjadi salah satu orang beruntung.''
Entah kenapa perkataan makhluk nggak kasat mata itu seperti menampar pipi gadis itu. Cepat, ia mengambil kaca lagi dan melihat wajahnya pada pantulan. Sama seperti kali pertama, ia menjerit dan langsung melempar kaca tersebut ke lantai.
''Ini nggak nyata. Sadarlah Dyra, sadar.''
''Sekarang kamu bukan lagi Dyra, tapi Arum. Ingat, jiwa kamu sekarang ada di tubuh gadis itu. Dan berhenti melempar sesuatu yang akan melukai orang nantinya. Lagi pula, itu kaca ke sepuluh yang kamu hancurkan.''
Berdenging! Telinga gadis itu tiba-tiba terasa pengang, reflek ia menutup indera pendengarnya kuat. Jelas-jelas ia mengingat namanya, jadi bagaimana bisa semua orang memanggilnya dengan penyebutan lain.
Ia mengernyit, lagi-lagi ini semua membuatnya bingung. Terlebih, ia sudah berada di rumah sakit ini selama sebulan, dan selama itu pula kerap terbangun dari mimpi yang sama di malam hari serta mendengar suara-suara aneh nggak berwujud entah dari mana yang bermula pada malam pertama dinyatakan oleh dokter jika kesadarannya berangsur baik.
Awal ia tersadar, gadis itu melihat sekumpulan bayangan putih yang kemudian berubah warna menjadi lebih beragam. Warna-warna itu kemudian membentuk sebuah gambar abstrak. Semakin lama, gambar itu kian menjelas padahal awalnya hanya berupa sebuah titik-titik kecil. Ia terbangun.
Kemudian, berselang beberapa menit, ia merasakan kelelahan yang teramat, matanya seperti tertimpah berbongkah-bongkah batu raksasa dan diperparah oleh sakit kepala yang terus saja menghampiri ketika gadis itu mencoba mengingat apa yang menimpanya.
Terlebih, ia masih terheran-heran ketika orang-orang memanggilnya dengan sebutan Arum sebelum melihat langsung bayangannya di cermin. Sontak ia menjerit, memecahkan kaca dengan pukulan, berakhir pada pemberian injeksi di selang infus. Perlahan, ia mulai terpejam.
Nyawanya bagai dicabut sesaat sebelum akhirnya dikembalikan lagi. Walau kesadarannya mulai menurun, tetapi indera pendengarnya masih bisa menangkap percakapan antar dua orang.
Salah satunya berkata, ''Nona Arum masih dalam tahap penyembuhan, Nyonya. Jadi wajar jika ia sering mengalami halusinasi mengingat bagaimana Nona Arum bisa kembali bernapas setelah dinyatakan meninggal di tempat saat kejadian.''
''Begitu, ya, Dok.'' Suara satunya menimpali. ''saya harap, anak saya bisa secepatnya pulih dan kembali beraktivitas seperti biasa. Ah, iya, kapan anak saya bisa kembali pulang ke rumah, Dok?''
''Saya juga berharap seperti itu, Nyonya. Mungkin beberapa minggu lagi ... itu pun tergantung kestabilan dari kondisi Nona Arum sendiri.''
"Semoga, Dok. Terima kasih sudah berjuang untuk menyelamatkan anak saya.''
''Sama-sama, Nyonya. Tetapi ini semua sudah menjadi kehendak Tuhan. Kami hanya bisa melakukan tugas sebagaimana mestinya. Hasilnya hanya Tuhan yang tahu.''
''Tetap saja, kalian semua sudah berjuang. Sekali lagi terima kasih!''
Selanjutnya ia benar-benar tertidur dengan lelap. Walau begitu, ia sempat melihat bayangan nggak jelas. Benar-benar hal itu menjadi sangat krusial untuk gadis tersebut.
Hingga malam ini, ia kembali terbangun di jam yang sama dengan suara yang sama pula. Sekarang bulir keringat tampak berjatuhan di pelipis, ia meringkuk ketakutan setelah suara aneh itu menguar lagi dan lebih dekat dari yang tadi.
''Sekarang kamu harus banyak istirahat dulu. Tugas kita memerlukan tenaga nantinya, jadi kamu harus menjaga kondisi. Kamu tahu, hanya orang-orang terpilih yang bisa diberi kesempatan oleh Tuhan. Jadi, jangan sia-siakan anugera ini. Kamu juga nggak perlu takut, aku akan membantumu.''
''Tugas? Anugera? Anugera apa? Saya nggak ngerti! Pergi ... enggak, saya hanya bermimpi, sadar Andyra, sadar. Sudah lama kamu tertidur dan bangunlah!''
Gadis itu semakin meringkuk gelisah, jelas sekali ketakutan kian menyanderanya. Ia ingin berteriak, tetapi ditahan mengingat sudah berkali-kali ia lalukan dan berakhir pada ketidak percayaan orang-orang terhadapnya.
Gila ..., enggak, gadis itu masih dalam batas kewarasan, hanya saja suara-suara itu seperti ingin membuat nalarnya terganggu, apalagi dengan kondisinya yang masih linglung sekaligus bingung mendapati kenyataan jika ia berada di tubuh gadis yang sama sekali nggak ia kenal sebelumnya.
''Pergi kamu ... saya bilang pergi!''
Gadis itu terus meracau, mengusir suara itu berulang-ulang, tetapi selalu gagal. Hanya ada suara tawa mengejek yang ia dengar lagi.
''Aku nggak bisa pergi. Kita terikat, itu sudah aturan. Jadi cobalah untuk menerima ini perlahan-lahan dan cepat sembuh.''
''Saya bilang pergi, pergi! Jangan ganggu saya lagi ... saya mohon pergilah!'' bentaknya, nggak sadar jika sekarang fajar telah menjemput biasnya cahaya matahari pagi.
Ia kembali menunduk sesekali menutup telinganya rapat-rapat. Ia meracau menggumamkan kalimat jangan ganggu saya berulang-ulang. Badannya masih meringkuk di atas bed dengan bantal sebagai tameng pelindung diri. Napasnya memburuh sesekali melihat-lihat seluruh ruang yang masih saja kosong.
''Kuasai dirimu. Kita nggak punya banyak waktu, mengerti?''
''Enggak, saya pasti masih bermimpi dan ... ya, saya pasti bermimpi. Enggak, ini nggak nyata. Saya Andyra dan bukan Arum. Ya, saya pasti sedang bermimpi, tapi kenapa saya nggak bisa mengingat apa-apa, hah!''
Sulit, sungguh sulit ia membedakan mana delusi dan yang mana keyataan.
''Tenanglah. Coba tenang dulu dan terima ini perlahan-lahan.''
''Diam! Saya nggak mau mendengar suara kamu lagi. Kamu di mana? Saya nggak takut! Keluarlah!'' tantangnya kemudian.
Gadis itu masih bermonolog, tanpa sadar suaranya yang keras berhasil di dengar oleh salah satu suster yang melangkah ke ruangan gadis itu.
"Nona Arum?''
Cepat, si suster kemudian melangkah terburu-buru menemui pasiennya sebelum berakhir terlambat seperti yang sudah-sudah. Sedang si gadis menengadah, menatap langit-langit ruangan yang mulai tampak terang. Ia mencoba berdiri dan mencari pemilik suara itu, tetapi tiba-tiba saja seseorang datang dan membuka pintu. Orang yang melihat gadis itu sontak bergegas menghampirinya.
Gadis itu menengok, pendistraksian orang itu membuatnya berujar, "Suster?''
''Nona Arum sedang apa?'' katanya kemudian melihat pecahan kaca di lantai berserakan.
''Jangan panggil saya dengan nama itu. Saya Dyra, Andyra!'' bentaknya lagi, ia benar-benar frustrasi.
Masih terkejut karena mendapati pasiennya berusaha berdiri dan dibentak, cepat ia meletakkan baki berisi alat instrumen di atas meja kecil di samping tempat tidur, kemudian ia meminta gadis itu berbaring kembali.
''Tenang, Nona. Tenang.''
Pelan-pelan ia menyetuh si gadis yang masih menolak. Dengan sabar, suster itu pun berhasil mendudukkan kembali gadis itu.
"Nona tak seharusnya banyak bergerak dulu, tubuh Nona masih terlalu lemah jika harus dipaksa bekerja ekstra. Biar saya saja yang memenuhi semua keperluan Nona Arum saat ini.''
Mendengar nama Arum dialamatkan kepadanya lagi membuat gadis itu marah. "Saya bukan Arum, Sust, saya Dyra. Nama saya Andyra. Harus berapa kali, si, saya bilang ke Anda atau semua orang di sini agar percaya?''
Deg!
Bingung, tentu perasaan itu datang lagi menyelimuti mereka. Gadis itu diam, ia masih memperhatikan sekeliling harap-harap cemas. Sesekali bergidik dan membentak lagi ketika ia mendengar suara aneh kembali. Si suster yang melihat tindakan gadis itu tentu nggak tinggal diam. Pelan-pelan ia memberi tepukan hangat pada punggung gadis tersebut agar tenang.
Benar-benar gadis itu diperlakukan seperti pasien rumah sakit jiwa. Suster pun kembali menyuruh gadis itu untuk beristirahat, tetapi sekali lagi ditolak.
''Saya bisa sendiri!''
Melihat kelakuan gadis itu membuat sang suster membalas, "Jangan seperti ini, Nona.''
''Seperti apa?'' Gadis itu menggeleng. ''saya nggak butuh Anda.''
Matanya masih sibuk menjelajah dengan pikiran. Sebenarnya, ia ingin jika suster tersebut secepatnya enyah dari hadapan.
''Nona, sebenarnya apa yang terjadi?'' Perhatiannya teralihkan sesaat ke kepingan kaca itu. ''nona tak terluka, 'kan?'' lanjutnya lagi.
Gadis itu nggak menjawab, suster kembali menghela napas, ia mulai duduk di dekat gadis itu.
''Jika Nona perlu apa-apa atau ada yang mengganggu Nona, jangan sungkan untuk bilang ke saya. Anda bisa memanggil saya lewat interkom ini. Apa pun dan kapan pun selama saya masih di sini, saya siap membantu, Nona.''
Lalu menunjuk ke arah sesuatu yang dikatakannya tadi dengan ibu jari, tetapi bukannya menjawab baik-baik, gadis itu malah menyentak kasar.
''Saya nggak butuh bantuan siapa pun. Saya mau kamu pergi dari sini. Saya mau sendiri.''
-----