CAH RANDOM

By HanggitoPrimardi

86 4 6

Selalu... Seorang cewek yang mengubah kehidupan seorang cowok. Klise, bukan begitu? Kehidupan seorang pelajar... More

APA INI?!
THE BEGINING
ZERO

ROLL... ACTION!

19 1 1
By HanggitoPrimardi

Setelah mengiyakan ajakan dari Isdan untuk belajar bareng di cafe Century, Ido langsung bersiap-siap untuk berangkat. Biasanya saat pergi-pergi dia cuma ambil saja yang ada di lemari pakaian, tidak perlu bercermin, langsung sisiran, dan cus berangkat.

Tapi, berhubung ini malam yang spesial buatnya dia menyiapkan diri sebaik mungkin. Cuci muka, sikat gigi, paket lengkap perawatan wajah pun dia lakoni. Saat berpakaian dia mulai pilih-pilih yang cocok dengannya supaya nampak match dan cocok supaya dia kelihatan lebih macho. Tidak lupa dia bercermin dulu, memastikan tatanan rambutnya sudah oke punya.

"Woo... Sip. Lihat saja pasti dia tidak percaya dengan dandananku ini. Kalau tidak... Kau pasti bercanda. Hahaha... ", gumamnya dalam hati dengan bercermin, menunjuk-nunjuk dirinya sendiri pada bayangannya di dalam cermin.

Ido tidak punya motor pribadi. Jadi, setiap dia keluar pasti harus memanggil babang Grab atau kalau bisa nebeng dengan teman. Berhubung ini Isdan yang mengajak, pasti dia akan menjemput Ido dengan sepeda motor lakinya itu.

"Kontak dulu lah sama Isdan. Dah sampai mana dia?", bisiknya dalam hati.

"Dan. Dah sampai mana?", Ido mengirim pesan melalui ponselnya.

"OTW. Sabar.", balas Isdan cepat.

*OTW adalah singkatan dari bahasa Inggris "on the way" yang berarti "dalam perjalanan"

"Oo okk.. Bentar. Kalau kamu otw berarti kan lagi di jalan? Kalau iya terus kok bisa HP-an? Sakti lu ndro.", Ido menanggapi balasannya.

"Lo yo iyo tah.", timpal Isdan lagi.

"Ya wis (udah). Cepetan. Kutunggu.", Ido mengiyakan celotehannya.

"Pasti lagi di lampu merah itu makanya bisa bales cepat. Keberuntungan pemula.", batin Ido.

Ido menunggu di ruang tamu rumahnya dengan tidak tenang. Bukan karena ia gelisah karena akan bertemu dan bertatap muka. Tapi karena dia sudah tidak sabar untuk itu. Ia hanya memainkan ponselnya saja untuk membuang-buang waktu selagi ia menunggu Isdan sampai. Membuka dan melihat display profile-nya Yuli sampai kesengsem sendiri. Sembari melihat fotonya, terbesit pertanyaan yang sama itu lagi.

"Kapan aku harus mengungkapkan perasaanku ini ya? Membingungkan sekali. Padahal melihat teman-teman yang lain berpacaran kayaknya terlalu mudah.", gumam Ido.

"Hari ini dia gandengan dengan si A, besoknya boncengan dengan si B. Gimana ya? Apa mereka nggak tahu perasaannya si cewek? Memangnya pacaran itu mainan sampai-sampai semudah itu putus nyambung dengan si doi.", lanjutnya lalu merasa kesal sendiri membayangkan apa yang baru saja ia batinkan. Mengusap rambutnya yang super duper lurus itu ke belakang seakan mengatakan "kok bisa ya terjadi seperti itu?" keheranan.

"Kalau aku seandainya bisa sampai... Hmm.. pacaran. Pasti nggak akan jadi separah itu. Namanya pacaran itu kan bukan sekedar stempel yang kalau sudah kedaluarsa tinggal dibuang karena sudah nggak layak lagi. Tapi, mereka sepertinya mempunyai pemikiran seperti itu. Sampai-sampai juga nggak tahu tempat dan waktu saat pacaran. Benar-benar anak jaman now. Huft...", gumamnya lagi.

"Ting tong.", suara notif dari ponsel Ido bunyi.

"Brrt.. brrt...", tidak lama kemudian telepon Ido bergetar.

Itu tandanya Isdan sudah datang. Dia biasanya langsung mematikan mesin sepeda motornya sesaat sebelum sampai di depan rumah Ido dan menghubunginya dengan mengirim pesan. Tapi, kalau tidak dijawab dia langsung menelepon. Jadi berasa kayak ninja Isdan, diam-diam sudah nongol di depan rumah orang.

Ido langsung berlari menuju ke kamar mencari jaket hitam dengan penutup lehernya yang khas itu. Lalu, pamit kepada kedua orang tuanya untuk kerja kelompok.

"Ma... Pa... Aku mau kerja kelompok di kafe suhat sama Isdan. Sama yang lain juga.", pamit Ido.

"Iya wis (sudah). Pulangnya jangan malem-malem. Langsung pulang kalau sudah selesai, sudah malam soalnya.", pesan Mama saat Ido mencium tangan untuk pamitan.

"Okk.. Dahh.." pisah Ido.

Ido keluar dari ruang tamu dan pergi menemui Isdan yang sudah stand-by di depan pagar rumahnya sembari memegangi ponselnya.

"Yow Dan!", sapa Ido dengan bersalaman.

"Hei! Sudah kah?", Isdan membalas sapaan Ido sembari menyaku ponselnya lalu membalas salamannya

"Yep. Gas pol.", Ido langsung naik ke atas motor dengan semangat.

"Siap...", Isdan menjawab ajakanku.

"Mari om, tante.", berpamitan kepada kedua orang tuaku yang ada di teras menunggu sampai aku berangkat.

Semilir angin malam dingin merasuk ke dalam sela-sela jaket yang Ido pakai. Hawa sejuk yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, ini yang pertama kali baginya. Dan lagi, kali pertamanya ini ditemani oleh cewek idamannya.

Senang, exited, khawatir, dan malu bercampur jadi satu sepanjang perjalanan. Setiap detik dan jalan yang ia tempuh selalu terbayang dan diingatnya. Ia tidak sabar melihat tempat yang menjadi pertemuan perdananya dengan si doi.

"Kali pertama ya? Di kafe lagi...", gumam Ido sembari melihat rembulan yang nampak bersinar terang kala itu.

Mobil dan sepeda motor yang melintas melewatinya seakan menjadi iring-iringan jalannya menuju ke tempat tujuannya. Gemerisik pohon-pohon di tepi jalan menambah anggun suasana, menambah tenangnya malam itu.

"Kayaknya teman-teman yang lain sudah biasa keluar-keluar malem gini ya?", tanya Ido kepada Isdan untuk memotong kesunyian malam itu.

"Iya lah. Sering nongkrong ngopi di tempat itu lo. Kamu lihat yang ada lampu-lampu di palangnya itu? Di situ biasanya Ambon, Sena, Asep kumpul. Mabar biasanya.", jawab Isdan menoleh ke kiri ke arah Ido, menunjukkan kafe kecil di kanan jalan sembari memegang kemudi.

"Hmm...", dengan mengangguk di belakang Isdan tanda Ido mengiyakan apa yang dikatakannya.

"Btw, tumben awakmu (kamu) kok mau diajak keluar? Biasanya kan di rumah tok (saja). Makanya aku gak pernah ngajak kamu keluar, dasar bocah rumah.", tanya Isdan yang agak heran.

"Hmm... Gak tau. Aku suwung aja di rumah. Jadi kepingin keluar. Sekali-sekali leh uga (boleh juga) lah. Lagian antar jemputnya terjamin toh. Hah...", jawab Ido bengek.

*suwung adalah kosakata dalam bahasa Jawa yang artinya tidak mempunyai kegiatan apa-apa, kosong, tidak berisi, dll. Dalam hal ini artinya adalah yang pertama – tidak mempunyai kegiatan apa-apa.

"Iya. Iya. Serah (terserah) lah.", respon Isdan mendengar bengekan Ido.

"Hahaha...", tawa Ido meunjukkan dia sedang guyon.

"Btw, dimana kafenya? Sudah deket kah?", tanya Isdan kembali.

"Habis ini. Deket sama kafe tongkronganku tadi. Kalau di tongkronganku tadi kan cowok-cowok yang biasa nongkrong. Kalau di kafe yang mau kita samperin ini biasanya Mawar, Garin, Yuli, dan gengnya yang ke situ.", jawab Isdan panjang lebar.

"Hmm... La kok kamu juga ke situ?", tanya Ido penasaran.

"Ya iya. Hehehe... Aku juga sering ke situ.", jawab Isdan.

"Itu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Dasar gentong.", batin Ido dalam hati dengan memasang alis datar.

"Kalau gitu biasanya bicara apa aja?", Ido mengalihkannya dengan pertanyaan yang lain.

"Rasan-rasan.", jawab Isdan singkat, padat, dan mengundang tonjokan.

"Hah...", respon Ido dengan bengek mautnya.

"Yah... Kurasa tidak penting yang mereka omongkan. Yang penting sekarang kita kan mau belajar bareng kan. Bukan rasan-rasan. Lagian siapa yang dirasani? Kok Isdan mau-maunya ikut sebagai seorang cowok atletis nan kekar? Oh iya. Dia kan seorang ketua kelas juga. Dan lagi dia juga senang keluar-keluar. Jadi, sekali dayung, dua pulau terlampaui. Ashyiap.", pikir Ido.

"Nah ini udah mau sampai.", Isdan memecah lamunan Ido.

"Mana? Yang mana, yang mana?", Ido celingukan melihat ke kanan dan ke kiri melihat kalau-kalau ada papan yang bertuliskan "Century".

"Kirimu.", jawab Isdan.

"Oooo...", mengiyakan jawaban Isdan tapi masih kebingungan karena tidak ada papan nama "Century"nya.

Ido celingukan turun dari sepeda motor dan mencari-cari teman yang lain. Dari dalam satu petak kafe yang berjejer di sepanjang tepi jalan, ada yang melambai kepadanya – Salma. Ido membalasnya dengan lambaian pula.

"Hahaha... Salma pasti heran lihat aku keluar malam-malam begini. Di kafenya lagi.", gumam Ido kepada Isdan sambil melepas helmnya.

"Iyoo... (iya)", jawab Isdan sambil memarkirkan sepeda motor lakinya itu di parkiran depan kafe.

"Suasananya nyaman juga. Tenang, nggak setenang itu sih karena di pinggir jalan. Tapi enak juga buat nongkrong.", Ido yang belum pernah ke kafe sekalipun jadi sotoy sembari berjalan menghampiri Sesil dan melihat sekelilingnya.

*sotoy adalah bahasa gaul sekaligus singkatan dari "sok tahu".

Cahaya lampu kuning cerah menyinari setiap sudut ruangan kafe itu. Sejauh mata memandang, belum ada asap rokok yang menghalangi pemandangannya. Semua orang, pengunjung, dan para karyawan terlihat tengah berbincang- bincang santai dengan tawa kecil yang menghiasi wajah mereka masing-masing.

"Tampaknya mereka semua sangat menikmati kafe ini ya?", batin Ido.

Salma duduk di tempat paling pojok melambai kepada Ido dan Isdan mengajak mereka duduk bersamanya. Mejanya masih berantakan dengan piring-piring kecil untuk saus dengan french fries-nya dan beberapa gelas yang sudah kosong. Di sudut meja ada kamera DSLR yang tergeletak.

"Sepertinya sudah direservasikannya buat kita. VIP kan.", mulai Ido berlagak.

"Halo Sal.", sapa Ido kepada Sesil dan bersalaman.

"Hai Do.", Sesil menjawab sapaan dan salamannya.

"Tumben kamu bisa keluar malem-malem gini? Kaget lo aku.", tanya Salma dengan setengah kaget bisa terlihat di wajahnya yang senyum-senyum sendiri.

"Hahaha... Sudah kuduga dia akan berkata seperti itu.", batin Ido.

"Ya nggak apa-apa. Bosen aku di rumah. Terus Isdan ngajak ke sini. Ya udah, bolehlah sekali-sekali. Btw, aku pertama kali ke sini ya.", jawab Ido.

"Haha... Ya udah. Pesen apa kalian?", tanya Salma sembari memberikan daftar menu kepada kami.

"Aku seperti biasa. Paket hemat 10k.", jawab Isdan yang sudah berpengalaman di sini.

"Ada free lemon tea-nya seperti biasa kan?", lanjutnya.

"Bentar-bentar ya Dan. Kutanyakan dulu ke masnya.", Salma langsung pergi menanyakannya.

"Wahh... Dan. Aku ngikut kamu aja deh. Lagian yang paling murah juga yang kamu pesan itu. Aku itu juga deh.", bisik-bisik Ido ke Isdan selagi Sesil pergi.

"Terserahmu lah.", jawab Isdan.

"Dan. Free-nya diganti takjil selama bulan puasa ini. Nggak apa-apa a?", tanya Salma mengonfirmasi pesanan Isdan.

"Ya wis (sudah). Itu aja nggak apa-apa.", jawab Isdan.

"Sal. Aku juga sama kayak yang dipesen Isdan ya.", potong Ido.

"OK.", jawab Sesil singkat.

Ido dan Isdan menunggu bersama hingga Salma datang kembali untuk membawakan pesananan mereka. 

"Wih... Ternyata dingin juga di kafe ini. Tahu gitu aku nggak pakai celana pendek gini. Nyesel dah.", gumam Ido sambil meraba-raba dengkulnya dengan maksud menghangatkan diri.

Sampai Salma sudah datang kembali.

"Nih. French fries-nya dua sama saus tomat plus sambalnya dua. Free takjilnya dua ya.", Salma mengantarkan pesanan Ido dan Isdan sudah seperti seorang pelayan hotel profesional.

Lalu dia kembali duduk bersama mereka.

"Eh... Yuli belum datang ya?", tanya Ido menanyakan yang dia nanti-nantikan sedari tadi sambil menatap jalanan di sebelah kirinya berharap dia segera sampai di kafe.

"Iya.. Tunggu dulu bentar. Dia sudah otw.", jawab Salma.

"Yep.", lanjut Isdan.

"Hmm... Okk.. Kalau gitu aku makan ya kentangnya Sal.", Ido permisi kepada Salma dulu.

"Lo.. Ngapain kamu ngomong gitu. Kan itu pesananmu. Makan lah.", jawabnya dengan gaya tomboinya yang khas.

Isdan kembali membuka ponselnya sembari bercakap-cakap dengan Salma, sedangkan Ido menikmati kentang gorengnya dengan penantian berharga berharap dia segera duduk bersama dengannya di kafe itu. Setiap cocolan saus sambal di kentang gorengnya, dia menoleh ke jalan. Ternyata hanya suara-suara sepeda motor yang berlalu-lalang.

"Mungkin sebaiknya aku tidak usah sampai segitunya menunggu. Toh dia juga sudah otw ke sini. Ayolah Do. Kendalikan dirimu.", Ido yang bergumul dengan dirinya sendiri.

Tidak lama setelah mereka berbincang-bincang. Isdan mengecek pesan yang baru saja terkirim ke ponselnya.

"Itu lo Do. Dia datang.", Isdan menepuk pundak Ido dan menunjuk ke arah parkiran.

Spontan Ido langsung menoleh ke parkiran di depan kafe.

"Iya. Akhirnya Yuli datang juga."

~to be continued

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

543K 25.5K 49
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
5.8M 275K 52
Follow sebelum membaca. Cerita sudah diterbitkan dan tersedia di Shopee. ||Sinopsis|| Menceritakan tentang kisah seorang gadis bernama Revaza Khansa...
5.7M 244K 56
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
6.3M 143K 40
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...