BRAVE

By candyzzle

2K 139 51

A story between a 'brave' girl and an 'annoying' boy who hate each other. But like everyone says, "hate turns... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 6
Chapter 7

Chapter 5

161 17 9
By candyzzle

 “Aku masih tidak mengerti maksudmu datang kesini, Zayn.”

“Kau masih tidak percaya? Aku ada urusan di rumah temanku dan kebetulan lokasinya tidak jauh dari sini. Lalu tiba-tiba aku teringat olehmu, jadi aku datang kesini.”

Aku mengulum bibirku masih mencerna kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Terserah. Kau mau minum apa?”

“Tidak, tidak. Tidak perlu repot. Aku tidak akan lama.”

Aku menaikkan kedua bahuku, “Ya sudah.”

“Besok kau ikut?”

“Ya, sudah pasti. Aku cinta semua hal yang berhubungan dengan alam.”

Zayn menoleh kearahku, “Sulit dipercaya.”

“Hah?”

“Tidak. Bagaimana jika besok kita ke sekolah bersama?”

Aku terkejut mendengar ajakan Zayn. Apa tidak salah? Ia mengajakku pergi sekolah bersama? Gila. Bisa-bisa aku menjadi pusat perhatian jika menerima ajakannya. Tapi jika aku tolak, bisa-bisa hidupku akan terus diganggu olehnya. Terlebih teman-temannya.

Zayn berdeham membuyarkan lamunanku, akupun menoleh kearahnya.

“Bagaimana?” tanyanya lagi.

“Baiklah, tapi kau harus menjemputku.”

Zayn tersenyum puas mendengar jawabanku, “Pasti.”

***

“Bawaanmu banyak sekali, sih?”

“Tentu, kudengar dari beberapa murid yang pernah melakukan penelitian ini, bahwa disana kita akan sangat tersiksa.”

Aku menahan tawa melihat raut wajah Zayn yang bergidik ngeri. Hei, ia sedang membantu membawakan tasku ke dalam mobilnya.

“Aku tidak percaya. Hutan itu indah, Zayn.” Jawabku membuat Zayn memutar matanya.

“Siap?” Tanya Zayn ketika selesai memasang sabuk pengaman di kursinya.

“Ya!” Sahutku dan selanjutnya Zayn menyalakan mesin mobilnya lalu melesat menuju sekolah.

Dalam waktu singkat aku dan Zayn sudah tiba di sekolah. Zayn terlihat kewalahan membawa kopernya yang lumayan berat. Bayangkan saja, hanya bermalam sehari tapi ia membawa 1 koper ukuran sedang. Sangat berlebihan.

“Aku harus segera ke dokter mata sepulang dari Manhattan nanti.” Ucap Erin membuatku heran.

“Kenapa? Ada yang salah dengan matamu?”

“Ya. Aku baru saja melihatmu datang bersama Zayn. Kurasa ada yang salah dengan mataku.”

Aku tergelak dan menjitak pelan kepala Erin, “Bodoh.”

“Bagaimana bisa kau datang bersamanya?”

Sebelum menjawab, aku menoleh ke arah Zayn yang tengah duduk bersama Niall, Harry, dan Louis. Aman, ia tidak melihat ke arahku. Aku hanya sekedar memastikan bahwa Zayn tidak tahu bahwa aku dan Erin tengah membicarakannya.

“Jadi kemarin ia datang kerumahku. Katanya rumah temannya itu dekat dengan rumahku. Awalnya aku memang tidak percaya, tapi apa yang bisa kulakukan? Mengusirnya? Tentu tidak mungkin.”

“Tunggu, tunggu. Bagaimana bisa Zayn tahu alamatmu?”

Oh, aku lupa memberi tahu Erin kejadian dimana Zayn menolongku dari preman-preman gila tempo lalu.

“Ya Tuhan, aku lupa memberi tahumu, ya? Beberapa hari yang lalu, Zayn sempat menolongku dari gangguan preman di jalanan sepi dekat rumahku. Karena saat itu ia luka cukup parah, jadi aku mengobatinya dengan membawanya kerumahku.”

Mulut mungil Erin terbuka lebar mendengar penjelasanku. Aku menahan tawa dan segera memetik jari tengah dan ibu jariku di hadapan wajahnya, “Hei!”

Sontak kedua mata gadis di sebelahku ini mengerjap beberapa kali membuatku tertawa, “Ah, gila. Ceritamu sungguh mirip dengan cerita-cerita di novel. Intinya, Zayn adalah pahlawanmu, begitu?”

“Tidak, tidak. Itu berlebihan.”

“Ah, mukamu memerah, Jaq!” Erin tertawa cukup keras sehingga membuat beberapa murid menoleh ke arah kami. Sialnya, Zayn dan kawan-kawannya termasuk.

Menyadari tatapan aneh dari beberapa murid lain, Erin menutup mulutnya dan menunduk.

“Dasar bodoh.” Bisikku disusul sikutan tangan Erin padaku.

Aku melayangkan pandanganku dan mendapati Zayn yang tengah menatapku sambil menahan senyum. Yeah, selamat untuk Erin yang sudah mempermalukanku pagi ini.

***

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, kami tiba di tempat tujuan. Mr. Maddren –guru geografi menuntun kami ke tengah hutan dimana terdapat lahan yang cukup luas untuk kami dirikan tenda disana.

Aku dan Erin mulai mendirikan tenda milikku. Tidak memakan waktu sampai 10 menit, tenda kami sudah berdiri. Oh, itu karena buku panduannya, bukan karena aku.

Memangnya siapa yang bilang karenaku?

Um, barangkali karena kau pikir aku dulunya tinggal di Afrika dan sering melakukan kemah di hutan?

“Setelah ini kita akan ke tengah hutan, siapkan diri kalian. Jangan lupa bawa obat-obatan yang menurut kalian perlu.” Teriak mr. Maddren.

Setelah bersiap, penelitianpun dimulai. Aku dan semua teman sekelasku berjalan mengikuti panduan mr. Maddren. Aku sangat menikmati perjalanan ini, sungguh. Disinilah sumber inspirasiku. Entahlah, aku jadi ingin melanjutkan novelku.

Apa kalian sudah tahu bahwa aku amat sangat tertarik dengan dunia jurnal? Yeah, buktinya sekarang aku sedang menulis sebuah novel. Dan ini bukan novel pertamaku, melainkan yang kedua. Aku sangat berharap suatu saat nanti ada penerbit yang mau menerbitkan novel-novelku.

Ya, suatu saat nanti. Karena untuk sekarang aku masih belum memiliki keberanian untuk memasukkan novel karanganku ke penerbit. Aku belum siap jika ditolak nantinya. Bagaimanapun juga aku sadar bahwa aku hanyalah seorang penulis amatir.

“Kalian bisa pilih pohon mana yang bisa dijadikan contoh. Amati dengan benar karena minggu depan kalian harus kumpulkan laporannya.”

Setelah mendengar kalimat yang dilontarkan mr. Maddren, seluruh siswa juga siswi sibuk memilih pohon mana yang akan dijadikan contoh. Aku yakin mereka akan mengambil contoh pohon yang paling mudah.

Beberapa murid mulai berpencar ke seluruh penjuru hutan untuk mencari pohon mana yang akan mereka teliti. Sedangkan mr. Madden sedang menyiapkan obor di setiap pohon sekitar kemah kami untuk menjadi tanda agar tidak ada siswa siswi yang tersesat.

Aku dan Erin mulai mencari. Namun saat kami baru berjalan beberapa meter, kami mendengar suara seperti meminta tolong.

“Hei, kau dengar itu?”

Aku mengangguk atas pertanyaan Erin, “Kukira aku salah dengar.”

“Sepertinya arah suara itu dari bawah sana.”

“Dibawah sana itu sungai, bukan?”

Erin mengangguk cepat lalu mulutnya membentuk huruf O. Menyadari raut wajah Erin, aku membelalakan mataku.

“Apa mungkin seseorang tenggelam?!”

Aku segera menarik tangan Erin untuk mencari asal suara tadi. Sialan, akses jalan menuju ke sungai itu sedikit sulit. Aku dan Erin harus berhati-hati karena jalanan yang menurun sehingga jika tidak berhati-hati, kami bisa jatuh tersungkur.

Tolong!

Akhirnya kami sampai pada semak-semak yang setelah kuterobos langsung menunjukkan pemandangan sungai yang arusnya amat sangat tenang. Apa aku tidak salah? Seseorang tenggelam disini?

“Ya Tuhan!” Kudengar teriakan Erin saat menemui seorang pria sedang bersusah payah mengambil nafas di tengah sungai.

“Louis?!” Teriakku membuat beberapa orang disana menoleh dengan wajah panik.

Serius? Niall, Harry, juga Zayn?! Mereka ada tepat dimana Louis tengah berkutat dengan air sungai, tapi mereka hanya diam dengan memasang wajah tolol seperti itu?!

Tidak memperdulikan pandangan ketiga pria itu, aku segera melepas sepatu juga jaket yang kupakai dan turun ke sungai untuk menyelematkan Louis.

Mungkin aku memang tidak suka dengan Louis, tapi aku juga tidak mau melihat ia mati tenggelam. Apalagi tenggelam di sungai yang arusnya tenang seperti ini. Bagaimanapun Louis adalah teman sekolahku dan sesama teman itu harus saling membantu, bukan?

“Ah!”

Setelah turun dan membopong tubuh Louis ke tepian, aku membaringkannya. Louis terlihat sulit bernafas. Oh tidak, tidak. Jangan biarkan ia mati ya Tuhan! Aku tidak mau terlibat dalam suatu kasus kematian!

“Lou, apa kau baik-baik saja?!” kata Harry seraya membantu Louis duduk.

Aku memutar mata sambil mengatur nafasku yang memburu setelah menyelamatkan Louis, “Tentu saja tidak, bodoh! Bagaimana bisa kalian diam saja? Apa diantara kalian tidak ada yang bisa berenang?!”

“Tentu saja kami bisa! Tapi maksudku kami itu hanya aku dan Harry, tidak dengan Zayn.” Jawab Niall yang langsung mendapat sikutan tangan Zayn. Astaga, apa itu sungguhan? Zayn tidak bisa berenang? Siswa tersombong di BHS tidak bisa berenang?! Baiklah, izinkan aku tertawa sekarang.

“T-Terima kasih, Jaq.” Tukas Louis masih terbatuk-batuk membuatku menoleh kearahnya.

“Ya, itu bukan masalah besar.”

“Tapi jika tidak ada kau, mungkin aku sudah mati.”

“Kau ini berlebihan.”

Louis tersenyum setelah mendengar jawabanku. Kalau boleh jujur, ini pertama kalinya aku mendapat senyuman yang benar-benar tulus darinya. Sebelumnya? Ia hanya memberiku senyuman meledek! Sialan memang.

“Sebagai ucapacan terima kasih, kau boleh menyebutkan satu permintaan, apapun itu pasti akan kulakukan. Kau mau apa? Tas, sepatu, atau baju? Sebut saja.”

Aku mengerutkan keningku, “Serius, kau berpikir aku akan meminta itu semua?”

“Ya, memangnya kenapa? Oh, apa kau mau ketiganya? Atau.. Kau mau yang lain? Berlian mungkin?”

Detik selanjutnya aku tertawa sedikit keras mendengar perkataan tolol Louis. Bayangkan saja, hanya dengan membawa tubuhnya ke pinggiran sungai yang arusnya tenang saja ia sampai mau memberiku berlian. Gila, bagaimana jika aku menyelamatkannya dari kejaran dinosaurus?

“Kau pikir aku ini melakukan hal apa, huh? Astaga, berlebihan sekali. Lagipula aku tidak menyukai tawaran-tawaranmu tadi.”

Louis menggaruk tengkuknya lalu tersenyum, “Oh? Um.. Baiklah, kalau begitu.. Bagaimana kalau kita berdamai? Sepertinya aku sudah melakukan kesalahan besar atas meremehkan kota asalmu, ternyata kau tidak seperti yang kukira. Maaf, Jaq.” Katanya dengan raut wajah bersalah.

Aku membalasnya dengan senyuman. Kupikir tidak ada salahnya menjalin pertemanan. Hei, aku juga ingin tenang dan nyaman di sekolah tanpa harus mendapat gangguan apapun!

“Berdamai? Kupikir kita tidak berperang sebelumnya, untuk apa pula berdamai?”

“Jadi, kita berteman?”

Aku mengangguk pasti, “Teman.”

Sejurus kemudian Louis tersenyum puas diikuti dengan ketiga temannya juga aku dan Erin.

“Ah, baguslah kalau begitu. Aku sudah lelah memikirkan rencana apalagi untuk mengerjaimu, Jaq.” Sahut Niall lalu disusul dengan suara tawa kami. Tapi tunggu, jika aku tidak salah lihat, disini yang tertawanya terlihat terpaksa hanya... Zayn. Hei, apa ia tidak senang berdamai denganku?

***

“Jaq, aku akan berkeliling dengan Harry. Apa kau baik jika aku tinggal sendiri?”

“Ya, tentu.”

“Oke!” Erin mengecup pipiku. Sejak kejadian ‘Louis hampir tenggelam’ tadi siang, Harry mulai mengajak Erin bicara. Bahkan sekarang ia sudah mengajak Erin untuk berjalan-jalan. Ah, aku turut senang atas perkembangan hubungan Erin dengan Harry.

“Hei.” Aku terperanjat saat menemukan suara yang datang dari arah belakangku. Oh, kini aku sedang duduk di depan api unggun yang dibuat mr. Maddren di tengah-tengah perkemahan kami. Penelitian sudah selesai diakhiri dengan arahan mr. Maddren dan sekarang siswa siswi dibebaskan berjalan-jalan keliling hutan. Tapi tidak dengan jarak yang jauh, tentunya.

“Hei, Zayn.”

“Belum mengantuk?”

Aku menggeleng, “Belum.”

Zayn tersenyum merespon jawabanku. Kemudian ia memberiku segelas teh hangat, “Ini untukkmu. Cuaca malam ini cukup dingin.”

“Terima kasih.” Kataku lalu menerima teh yang diberikan Zayn.

“Kemana temanmu?”

“Maksudmu Erin?” Tanyaku lalu Zayn mengangguk sebagai respon. “Dia sedang berkeliling dengan Harry.” Lanjutku. Lagi, Zayn menganggukkan kepalanya.

“Oh, apa kau sudah mencatat hasil penelitian hari ini?”

“Sudah, tapi belum selesai. Aku masih perlu mengeditnya, lagipula itu dikumpulkan minggu depan, bukan?”

“Iya. Um, kalau kau hanya tinggal mengedit, bersediakah kau membantuku untuk mengerjakannya?”

Aku memandang aneh kearah Zayn. “Memangnya kau belum?!”

“Aku sudah mencatatnya tapi hanya sedikit dan tidak lengkap. Maukah kau membantuku? Kumohon, Jaq.”

“Um, memangnya kau meneliti pohon apa?”

“Pohon pinus.”

Aku tertawa kecil mendengar jawabannya, “Astaga, itu mudah sekali. Baiklah, aku akan membantumu menyelesaikannya. Tapi, setelah yang punyaku selesai, oke?”

Zayn tersenyum senang dan mengangguk, “Ah, kau memang baik, Jaq. Oke kalau begitu, beri tahu aku jika kau sudah siap membantuku.”

“Baiklah.” Jawabku sambil menampilkan deretan gigi rapihku. Kemudian kurasakan tangan besar Zayn beralih kearah hidungku dan mencubitnya pelan.

“Kau menggemaskan.” Ucapnya membuatku salah tingkah. Aku bisa merasakan suhu yang berubah di kedua pipiku. Pipiku memerah dibuatnya? Ya ampun, aku memang berlebihan sekali.

***

Erin’s POV

“Jadi, yang kemarin itu gadismu?”

“Tentu saja bukan. Gadis itu hanya gadis yang kutemui di acara ulang tahun temanku beberapa minggu yang lalu.”

“Tapi kalian terlihat sangat dekat seperti sepasang kekasih.”

Harry tertawa kecil, “Dia yang mendekatiku, Erin. Aku susah payah menjauhinya saat itu. Beruntung kau datang dan bisa membawaku menjauhi gadis gila materi itu.”

“Maksudmu?”

“Ya, aku yakin ia mendekatiku hanya untuk memanfaatkanku. Saat itu ia memintaku untuk membelikan semua kebutuhannya. Cih, memang aku ini ayahnya?!”

Aku mengerucutkan bibirku dan berpikir, memutar memori dimana aku dan Harry tak sengaja bertemu di mall beberapa hari lalu. Ah, benar juga. Saat itu Harry sedang berada di toko Gucci, bukan? Ya Tuhan, benar-benar gadis memalukan.

“Ya, ya. Aku ingat sekarang. Saat itu ia membawamu ke toko barang-barang mahal, bukan? Ugh, dasar gadis tidak tahu malu.”

Harry mengangguk dan tersenyum, “Kau sendiri, saat itu kau bilang bersama temanmu, benar begitu? Ah, pasti yang kau maksud adalah kekasihmu.” Celetuk Harry membuatku tertawa.

“Bukan, saat itu aku bersama Jaq. Lagipula aku tidak memiliki kekasih.” Jawabku polos. Um, mungkin maksudku sok polos? Tentu aku memakai kesempatan ini untuk memberi tahu Harry bahwa aku tidak memiliki seorang kekasih. Bagaimana mungkin aku memilikinya sementara orang yang ingin kujadikan kekasih adalah dirinya?

“Oh, kukira kau memiliki kekasih?”

“Tidak. Kau sendiri, apa kau memiliki seorang kekasih?”

“Um, aku—“

“Hei, kalian!”

Secara langsung aku dan Harry terloncat kaget saat tiba-tiba Louis datang dengan suara cemprengnya. Ugh, dasar pembuat onar! Padahal sebentar lagi aku bisa tahu apakah Harry memiliki kekasih atau tidak.

“Oh, hei Lou.” Sahut Harry.

“Apa yang kalian lakukan berdua di belakang tenda seperti ini?!” Tanyanya mendramatisir. Lelaki cempreng ini memang tidak waras!

“Apa maksudmu? Tentu saja kami hanya mengobrol!” Tukasku membuat Harry tertawa kecil. Uh, lucunya.

“Aku tidak perduli! Harry, kau dicari Shein. Ia merindukanmu sepertinya.”

Deg. Shein? Jadi kabar soal kedekatan Harry dengan Shein benar? Oh, atau mungkin mereka sudah berpacaran dan tadi Harry akan menjawab bahwa ia sudah memiliki kekasih dan kekasihnya itu adalah Shein? Oke, aku sedang dibakar api cemburu sekarang.

“Oh ya? Baiklah, aku akan menemuinya nanti.”

“Jangan nanti, Shein berpesan pada kau untuk segera menemuinya sekarang. Mungkin ia sudah tidak sabar lagi ingin berdua denganmu di malam indah seperti ini.” Kata Louis. Lagi, aku kembali terbakar api cemburu yang membuatku bungkam 1000 bahasa.

“Tapi aku—“

“Tidak ada tapi tapi lagi, Harry! Ayo cepat temui gadismu itu!” kini Louis menarik jaket yang dipakai Harry agar ia berdiri dari duduknya.

“Ugh, Erin.. Maaf, sepertinya aku harus—“

“Ya, ya. Kau tenang saja.”

“Um, oke. Aku akan menemuimu lagi nanti. Sampai jumpa.” Sekarang Harry benar-benar bangun dari duduknya dan melambaikan tangannya ke arahku, sedangkan aku hanya membalasnya dengan senyuman. Senyuman terpaksa.

“Hei, ada apa dengan wajahmu? Mengapa terlihat sedih?” tanya Louis. Ugh, bocah ini benar-benar hama!

“Bukan urusanmu.” Akupun beranjak hendak kembali ke tendaku bersama Jaq namun Louis menahanku.

“Apa lagi?!”

“Kau tidak mau duduk dulu dan mengobrol denganku sebentar?” Tanya Louis dengan senyuman terbodoh yang pernah kulihat. Kurasa ia memang benar-benar bodoh. Sudah jelas ia baru saja merusak momen terindah dalam hidupku, sekarang ia menawarkan untuk mengobrol?

Ewh, terima kasih. Lain kali saja!” Jawabku lalu mengambil langkah seribu untuk segera enyah dari hadapan hama BHS itu.

Sial, sial, sial. Louis memang pembawa sial! Bisa-bisanya ia datang secara tiba-tiba dan merusak suasana indahku bersama Harry! Terlebih ia terus mengolok-olok Harry dengan She—Tunggu, tunggu. Bicara soal Harry dan Shein.. Apa mereka benar-benar berpacaran? Oh, pupuslah sudah semua harapan dan angan-anganku. Sekarang aku sudah tidak memiliki semangat sekolah lagi.

Penyemangantku sudah mempunyai macan. Oops, maksudku sudah memiliki seorang kekasih. Eh, seorang atau seekor? Aku tidak tahu dan aku tidak perduli.

“Ugh!”

“Hei, hei, ada apa?”

“Aku benci Louis!”

Jaq mengerutkan keningnya setelah mendengar ucapanku. “Loh? Bukankah kau baru saja pergi bersama Harry? Mengapa jadi Louis?”

“Tidak tahu!”

“Oh, biar kutebak, pasti Louis mengacaukannya?”

“Louis memang hama!”

Jaq tertawa kecil melihat raut wajahku yang benar-benar kusut. Aku benar-benar kehilangan moodku sekarang.

“Louis menganggu momen indahku bersama Harry! Dan apa kau tahu hal paling buruknya apa?”

“Apa?”

“Harry dan Shein berpacaran.”

Jaq membelalakan kedua matanya sambil menganga. Jelek sekali, aku bersumpah demi apapun.

“Kau serius? Tidak mungkin!”

“Ugh? Kenapa tidak mungkin?

“Ya tidak mungkin saja.”

“Memangnya kau tahu yang mana Shein?”

“Tidak.” Jaq menggeleng dan memamerkan giginya yang rapih dan putih.

Aku memutar mata, “Bodoh.” Jaq terkekeh meresponku.

“Memang Louis mengganggu kalian bagaimana?”

“Ia tiba-tiba datang saat aku tengah bertanya apakah Harry memiliki kekasih atau tidak. Belum sempat Harry menjawab, si hama itu datang dan mengatakan bahwa Shein memanggil Harry karena gadis itu merindukannya. Sialan, aku kesal sekali mendengarnya.” Jelasku sembari memajukan bibirku tanda kesal.

“Tunggu dulu, sepertinya ada sesuatu disini.”

Aku menoleh dengan memasang raut wajah penasaran pada Jaq, “Apa itu?”

“Sepertinya Louis selalu saja mencoba untuk membuatmu kesal, benar begitu?”

“Benar! Tepat sekali!” Aku mengangguk pasti sambil menjawab pertanyaan Jaq.

“Ah, sepertinya Louis menyukaimu.”

Butuh waktu cukup lama untukku mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Jaq barusan. Tunggu, ia bilang bahwa Louis menyukaiku? Louis? Menyukaiku? Hama itu? Menyukai—

AH!

“Jacquelyn bodoh!!”

Seketika itu pula aku dapat mendengar gelak tawa Jaq disampingku. Dasar gadis abnormal! Untung saja ia sudah kuanggap sebagai sahabatku, kalau tidak mungkin aku sudah membakar wajahnya dengan api unggun yang ada dihadapan kami.

Tapi tunggu, jika perkataan Jaq tadi benar adanya... Ah, tidak, tidak. Itu benar-benar menjijikan! 

.

TO BE CONTINUED.

Suka? Ya divote. Mau tau kelanjutannya? Ya dicomment. Gak susah loh. Jangan cuma baca terus add this story to your Reading List only without your great feedbacks, darling. Coba deh kalian bikin cerita, susah tau. Jadi, hargain ya :D

Continue Reading

You'll Also Like

751K 75.4K 53
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
3.4M 266K 65
Diana Anggita Dwitama, gadis dengan kondisi tubuh sakit-sakitan bahkan untuk berjalan saja dia kesulitan. Kecewa pada diri sendiri ditambah dengan ke...
164K 8K 28
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
58.3K 9.6K 14
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...