Right Eye

By Catsummoner

916 67 45

Dia cukup beruntung terlahir di negara yang aman dan relatif damai dalam Plate buatan. Dia juga dibesarkan da... More

Prakatanya Prakash
Sebuah Serangan
Ibunda
4 Sekawan
Perkumpulan
Keputusan
Pertemuan Pertama
Gerbang Masuk
Sweet Punishment
Ruby Vines
Forbidden Room
Fragrant Orchid
Stranger from Faraway (2)
Bitter Sip
Colloquium

Stranger from Faraway (1)

24 3 0
By Catsummoner


Kicau burung terdengar riuh bersahutan. Semilir udara pagi masuk melalui celah-celah teralis jendela, membawa aroma embun dan kayu. Suhu dingin khas pegunungan membuat orang ingin tetap bergelung meringkuk di dalam hangatnya bungkusan selimut tebal. Samar-samar hidungnya mencium aroma masakan.

Gemuruh dalam lambungnya terpanggil oleh aroma sedap itu. Namun sudah lama sekali sejak terakhir kali dia merasakan tidur pulas. Dia tidak rela harus meninggalkan lelapnya. Sedikit kelaparan tak mengapa.

Sedikit mengherankan juga, sejak kapan kasur ranjang di apartemen sempitnya diganti dengan kasur seempuk itu. Juga tidak seperti kasur penginapan mana pun yang pernah dia tempati selama perjalanan menuju kediaman klan asal nenek buyutnya. Bahkan penginapan terakhir yang dia tinggalkan sebelum berangkat ke pedalaman gunung hanya dilengkapi selimut tipis, dia harus mengenakan mantelnya sepanjang malam.

Seperti baru saja ditampar oleh kesadaran, mendadak pemuda itu membuka mata.

Terdengar kepak sayap para burung pagi yang berhamburan pergi, meninggalkan ranting tempat mereka bertengger dan berlompatan sampai dengan beberapa saat sebelumnya.

Dia tidak mengenali ruangan kamar tempat dia berbaring.

Tergesa-gesa pemuda itu segera bangkit—awalnya dia bermaksud segera melompat turun dari ranjang, tetapi denyutan nyeri kepalanya menghalangi. Berkat itu dia mendapatkan waktu untuk menenangkan diri dan menata kembali ingatannya.

Pemuda itu sudah berhasil mencapai pintu gerbang raksasa. Dia sudah menunjukkan plakatnya sehingga mendapat izin untuk masuk dan diminta menunggu sebelum menemui orang dalam. Sampai di situ seharusnya tidak ada masalah. Kemudian pemuda itu kembali teringat keributan yang sudah dia timbulkan hingga sesaat sebelum dia kehilangan kesadarannya.

Kepercayaan dirinya seketika runtuh. Seorang tamu tak diundang seperti dirinya sudah membuat repot banyak orang. Seandainya dalam kekacauan kemarin dia juga merusak sesuatu yang berharga, tamat sudah riwayatnya. Tidak ... Tanpa merusak apa-apa pun tidak aneh bila tuan rumah memutuskan mengusir dia pagi itu juga.

Pemuda itu menghela napas panjang, mencoba meringankan rasa berat yang berkumpul di dada. Tidak terlalu berefek. Mungkin sebaiknya dia mandi saja. Setelah seharian berjalan, walau tidak terasa karena udaranya sejuk, tubuhnya pasti menghasilkan cukup banyak keringat. Kalau diingat-ingat lagi, dia juga sempat berguling-guling di jalan berpaving saat nyaris kehilangan kendali.

Bila memang harus diusir, setidaknya dia ingin terlihat sedikit lebih patut untuk terakhir kalinya.

Dengan langkah gontai, pemuda itu meninggalkan ranjang untuk mencari tas perjalanannya yang besar. Seseorang sudah berbaik hati membawakan tas berat itu dan meletakkan di kursi yang tersedia dekat ranjangnya. Mantel perjalanannya disampirkan di sandaran kursi. Sementara sepatunya tersimpan rapi di kaki ranjang.

Dia harus berterimakasih pada orang itu sebelum diusir pergi.

Dengan peralatan mandi di satu tangan, pemuda itu siap untuk mencari orang yang bisa dia tanyakan letak kamar mandi terdekat yang bisa dipinjam. Kemudian nyalinya kembali ciut. Dia berharap tidak harus menemui kakek penjaga gerbang atau pun gadis galak yang menyentil dahinya hingga pingsan.

Pada mereka berdualah pemuda itu merasa berhutang cukup banyak. Namun bila dipikir ulang, justru bisa menjadi kesempatan bagus. Bila bertemu dia bisa segera meminta maaf sekaligus berterimakasih atas bantuan mereka.

Dengan tekad yang bulat dan semangat tinggi, dia menarik gagang pintu. Daun pintu kayu dengan pola ukir sederhana berayun membuka. Di hadapannya terpampang sebuah kamar mandi mungil.

Pemuda itu tertegun. Apa yang dia kira sebagai pintu keluar, ternyata adalah pintu menuju kamar mandi dalam. Pada saat itu dia berterimakasih dari lubuk hatinya yang terdalam pada kenyataan bahwa dia sedang sendirian.

Lantai dan dinding kamar mandi itu dilapisi keramik. Sebagai ganti bak mandi, ada sebuah gentong dari gerabah tebal yang menampung air dari pancuran. Di sampingnya tersedia wastafel batu tanpa keran dengan cermin bundar menempel di dinding. Tidak ada ruang untuk kloset.

"Minta keran dengan air hangat sepertinya berlebihan, ya?" gumam pemuda itu ketika mencelupkan tangan ke air yang dingin.

Lebih dingin dari yang dia duga. Namun segar yang dia rasakan setiap guyuran air gunung menimpa kepala hingga ujung kakinya membuat perasaannya menjadi tenang. Usai membersihkan diri, selanjutnya dia harus memastikan tidak ada rambut wajah yang tumbuh tidak teratur.

Tangannya meraih sebilah pisau cukur dari perlengkapan mandinya, tetapi belum sempat pisau itu menyentuh dagunya pandangan pemuda itu terfokus pada satu titik. Di antara rambut poni kecokelatannya yang basah, di sebelah mata cokelatnya yang biasa dia bisa melihat iris mata kanannya tetap berwarna merah.

Dia sudah berkali-kali mengalami perubahan warna mata, semua terjadi saat kekuatannya sedang aktif—baik saat masih dalam kendalinya maupun saat sudah di luar kendalinya. Namun baru kali ini iris matanya tetap merah saat kekuatannya tidak aktif.

Bukannya sama sekali tidak aktif. Bila dia perhatikan baik-baik, sesungguhnya ada hal-hal kecil yang tidak bisa dia lihat dan rasakan kecuali kekuatannya sedang aktif. Namun berbeda dengan rasa panik dan menekan yang biasa memenuhi pikirannya setiap menggunakan kekuatan yang ada di dalam mata kanannya, saat ini dia merasa jauh lebih tenang.

Apa yang membuat perbedaan?

Saat benaknya mempertanyakan itu pandangannya berpindah ke pelat logam tipis berwarna keperakan yang menjepit daun telinga kanannya. Pemuda itu tidak merasa memiliki benda itu sebelumnya. Tanpa sadar tangannya diarahkan menuju pelat keperakan itu, seolah hendak memastikan benda itu benar-benar terpasang di situ.

"...Jangan dilepas!" tegur gadis galak yang menyentil dahinya kemarin.

Pemuda itu tidak merasa heran dengan kemunculan mendadaknya. Bahkan sepertinya dia sudah menyadari kedatangannya sejak gadis galak itu baru memasuki ruangan melalui pintu lain—pintu keluar yang sesungguhnya.

"Bahkan aku pun tidak tahu apa yang akan terjadi padamu bila anting segel itu sampai terlepas," jelas gadis galak itu seraya meletakkan kotak bambu yang terlihat mengepulkan uap hangat di atas meja mungil.

Rupanya pintu keluar ada di balik pembatas ruangan dari anyaman rotan dan bambu, menghalangi pandangan langsung dari pintu ke ranjang. Karena itu tadi dia tidak melihatnya.

Aneh juga bahwa pemuda itu bisa tidak menyadari keberadaan pintu keluar ruangan tetapi bisa mengetahui dengan tepat kapan gadis galak di hadapannya masuk—juga mengenai burung-burung yang terbang menjauh dari dekat jendela kamarnya.

Tunggu, pikirnya tiba-tiba. Dia sekarang memang bisa melihat posisi gadis itu dan meja mungil di kamarnya dari pantulan bayangan di cermin. Bagaimana gadis itu bisa tahu dia hendak menyentuh antingnya? Apakah gadis itu bisa melihat dirinya juga?

Pandangan mata pemuda itu diturunkan, melihat sosok dirinya yang hanya mengenakan pakaian dalam dan lilitan handuk di pinggang. Cermin di atas wastafel sepertinya hanya memantulkan sosoknya dari dada ke atas. Sedangkan baju gantinya ... Masih ada di atas kasur.

Pemuda itu lengah. Karena mendapat kamar mandi di dalam, dia tidak terpikir untuk membawa serta pakaian ganti. Sementara pakaian sebelumnya ... Dia memandang ke seutas tali yang dia rentangkan di kamar mandi, di situ tergantung baju atas dan bawah miliknya, masih meneteskan air karena baru saja selesai dia cuci. Gadis galak itu sepertinya belum menyadari juga.

"Umm... -Ehm!" Suaranya meliuk, dia perlu membersihkan tenggorokan dengan berdehem. "Maaf mengganggu, tetapi ... Kalau anda tidak keberatan...."

Kening gadis galak itu berkerut. Dia bisa merasakan keraguan dari kata-kata pemuda yang berbicara padanya.

"...Bolehkah saya meminta bantuan anda untuk...."

"...Apa? Bicara yang jelas!" sergah gadis galak itu tak sabar.

"...Yah, saya tidak bermaksud untuk mengusir anda, tetapi ... sudikah kiranya Nona keluar dulu dari ruangan ini?" tanya pemuda itu akhirnya bisa menyelesaikan kalimatnya.

"...Hah?" gumam gadis galak itu terlihat makin tidak senang. "Kenapa aku harus keluar? Kalau kau tidak suka dengan kehadiranku, aku bisa keluar setelah urusanku selesai."

"Bukan ... Bukan," bantah pemuda itu segera. "Bukan maksud saya untuk membuat anda merasa tidak diterima. Hanya saja...,"

"Hanya saja, apa?!" amarah gadis galak itu bertambah.

"...Saya perlu sedikit privasi untuk mengenakan pakaian."

Untuk sesaat, gadis galak itu terlihat bingung dengan apa yang dimaksud oleh si tamu asing. Kemudian dia menangkap arah yang dilihat pemuda itu dari bayangan di cermin. Ketika gadis itu ikut melihat ke arah yang sama, di atas kasur terpampang satu set baju ganti yang masih terlipat rapi.

Pintu terbanting menutup. Gadis galak itu berdiri di luar dengan wajah merah padam.



"Apakah ada yang perlu saya bantu, Nona Lanfan?" tegur pelayan yang sedari tadi berjaga di luar selagi gadis itu mengantarkan makanan untuk tamunya.

"Tidak ada."

"Apakah urusan anda sudah selesai?" Pelayan itu kembali bertanya. "Mungkin perlu saya bereskan kamar tamunya?"

"JANGAN!" sergah Lanfan.

Membuat pelayan perempuan itu menghentikan langkahnya, lalu memandang gadis itu dengan penuh tanda tanya.

"Tamu di dalam ... Dia masih perlu membersihkan diri. Jadi kita harus tunggu sampai selesai," jelas Lanfan cepat-cepat.

"Oh ... Mungkin kebiasaan di tempat asalnya, ya, Nona?" celetuk pelayan itu riang.

"...Apanya?"

"Itu ... Tamu kali ini. Mungkin di tempat asalnya mereka biasa berdandan sebelum sarapan, seperti ... yang ada di film-film Barat itu, Nona!"

Lanfan teringat pada video film asing yang setiap beberapa minggu sekali bergantian diputar pada waktu rekreasi para pelayan. Para aktor dan aktris menggambarkan karakter mereka selalu terlihat rapih dan sempurna sebelum menemui tamu atau keluar dari kamar tidur masing-masing. Gadis itu tahu kenyataannya tidak begitu tetapi bila penjelasan itu cukup untuk menghentikan pertanyaan pelayan yang ada di hadapannya, dia memilih untuk diam saja.

Lanfan menghela napas panjang. Dia sadar, dirinya juga punya andil atas kesalahan kali ini. Walau di luar ada pelayan yang menunggu, seharusnya gadis itu tidak begitu saja melangkahi ruang pribadi seseorang.

Dia terburu-buru masuk karena mengira pemuda yang menjadi tamunya belum sadar—atau lebih gawat lagi, kondisinya memburuk. Biasanya setelah kasus seperti kemarin, seorang pengguna Ruby Vines akan terlalu lemas untuk melakukan hal lain.

Ketika yang bersangkutan sudah meninggalkan ranjang dan ada suara air dari kamar mandi, Lanfan berasumsi pemuda asing yang menjadi tamunya hanya mencuci muka saja. Apalagi menurut kebiasaan di kediaman itu, tamu-tamu yang menggunakan paviliun dalam akan meminta pada pelayan untuk disiapkan air hangat untuk mandi.

Terdengar suara klik sebelum pintu masuk ke kamar tamu terbuka. Ketika Lanfan dan pelayan perempuan itu menoleh, pemuda asing itu muncul dengan penampilan yang rapih. Senyum tersungging di wajahnya yang bisa dibilang cukup tampan.

"Maaf membuat anda menunggu," ujarnya seraya sedikit membungkukkan badan jangkungnya dengan sopan. "Silahkan masuk?" ajaknya ramah.

Lanfan perlu menahan pelayan perempuan yang bersamanya untuk tidak begitu saja menuruti ajakan pemuda itu. Mungkin karena pesona dari tamu asing yang hanya dari penampilan saja sudah layak untuk tampil di film yang biasa ditonton pelayan itu.

"Pembicaraan setelah ini hanya untuk anggota keluarga," tegas Lanfan ketika pelayan perempuan itu terlihat hendak protes.

Pintu kamar kembali tertutup. Kali ini meninggalkan wajah penasaran dari pelayan perempuan yang harus berjaga di luar.


*****

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 102K 51
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ⚠ �...
2M 295K 77
The Another World Series (1) - Anstia Cerita berdiri sendiri. Dia terbangun dengan tangan mungil dan badan yang tidak dapat di gerakkan seperti bia...
604K 36.9K 63
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...
354K 20.5K 25
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...