Lovely Glacie (Terbit; Penerb...

By honeydee1710

512K 55.9K 17.8K

(PART TIDAK DIHAPUS) Glacie : Aku pernah mencintainya. Sekarang, mungkin aku masih mencintainya. Aku menikahi... More

Dear Readers
Please, don't open! This's just a joke.
Descent Past
New Beginning
Just After My Fall
Imperfect Life
Breath, Pray, Love
Picture of Us 1
Song of the Party
The Drama
Call Me By His Name 1
Call Me By His Name 2
Heart of Mine
Heartgasm
Under the Sun
Insecure
Third Person
Melancholia
Heath : Confession
Pictures of Us 2
Heath; Ashes to Ashes
Heath; Birthday Wish
Lovely Glacie
Girls in His Life

Broken Wings

15.9K 2.4K 600
By honeydee1710

Tuhan, apa memang aku nggak pantas gitu ya bahagia? Apa memang aku ini cocoknya menderita dan nangis terus? Baru saja aku bisa mengendalikan perasaanku sendiri dan mencoba bahagia, eh sekarang sudah muncul iblis betina yang mengacak-acak kedamaian rumah kami.

Aku nggak minta apa-apa, kok. Benar. Aku cuma minta hidup tenang dan bahagia. Aku cuma minta bisa sama Heath dan anak-anakku dengan bahagia. Itu saja.

Tapi, gimana bisa tenang kalau sekarang suamiku mau mancing barengan cewek klub malam?

Iya, aku tahu Sheryl pacar anaknya. Terus, apa kalau pacar anaknya nggak ada kesempatan untuk jadi pelakor?

Aku marah sama Heath. Marah banget. Saking marahnya, badanku sampai gemetar dan pengin nangis. Nggak sanggup ngamuk di depan anak-anak, aku masuk kamar. Sebelum kututup pintu, Heath sudah lebih dulu memegang pintu. Ekspresinya lebih ke heran.

"Bee? Kenapa?"

"Kamu masih tanya? Yang tadi itu apa? Kamu ngajak dia mancing?"

"Aku tidak mengajaknya."

"Tapi kamu bolehin dia ikut."

"Kamu tidak ingin dia ikut?"

"Menurutmu gimana? Istri mana yang rela lihat suaminya nginap berhari-hari di hutan sama cewek yang bajunya nggak jelas gitu?" Kutarik napas dalam-dalam untuk mulai ngonel. "Heath, kita nggak pernah berantem sebelumnya. Aku juga nggak mau kita berantem. Aku nggak masalah dengan Shawn. Kamu tahu itu. Tapi, cewek itu nggak. Aku nggak suka dia ada di sini. Mau dia tinggal di rumah Collins, di tengah hutan, di sungai, di mulut buaya, di lobang hidungnya Caroline, atau di mana aja aku nggak peduli. Pokoknya aku nggak mau dia tinggal di sini."

Dia mengangkat alis dan memiringkan kepala, memperhatikanku. "Kamu cemburu." Dia tersenyum. "Iya. Kamu cemburu. Akui itu."

Dia mendekat, menarik bagian depan bajuku. "Aku suka kamu cemburu begitu." Dia menggigit leherku sambil berkata, "Rasanya seperti ada yang terbang di dalam perutku." Dia mengarahkan tanganku ke bagian bawahnya. "Lalu, terbang ke sini."

"Heath!"

"Istriku, Walau besok dia telanjang, aku tidak akan peduli. Aku punya kamu, gadis yang kucintai sejak pandangan pertama."

Pandangan pertama? Sejak kapan? Sejak dia sering lihat aku di video call Drey?

"Waktu kamu ke Jogja?" tanyaku ragu.

Dia menyentuhkan hidungnya pada hidungku. "Jauh sebelum itu."

"Kapan?"

"Saat kamu masih di rumah Ibumu. Kamu di atas rumah, menjemur kasur yang kena ompol." Dia tertawa, lalu mengigit bibir. "Kamu benar-benar menggemaskan."

"Aku? Ka-kapan? Si-siapa yang ngompol?"

Dia tersenyum. Dia memegang wajahku dan menciumiku dengan gemas. Aku sudah mengelak, tapi dia terus menciumi wajahku.

"Bee, kamu membuatku sangat-sangat gemas. Astaga! Aku senang sekali melihatmu cemburu begini. Lihat, aku jadi sangat terangsang." Dia menempelkan tanganku di kemaluannya. "Aku senang kamu cemburu padaku. Tapi, tolong jangan berhenti percaya padaku, Bee. Aku bukan laki-laki murahan yang tergoda gadis pirang. Dia pacar anakku."

"Terus, kalau pacar anakmu, nggak bisa tidur sama kamu?"

"Diperkosa pun aku tidak akan mau. Aku akan melawan sekuat tenaga."

Melihat gayanya yang berusaha melucu, mau nggak mau aku jadi senyum juga.

"Bee, aku hanya ingin bersikap ramah padanya dan Shawn. Aku ingin memperbaiki hubungan dengan Shawn. Dia bilang dia menyesali perbuatannya di pesta kita. Kupikir ini saatnya memperbaiki semua. Tapi, kalau kamu tidak mau aku pergi, aku tidak akan pergi. Bagaimana?"

"Aku nggak ngelarang kamu pergi sama Shawn. Tapi pas kamu pergi, cewek itu tinggal di sini."

"Agar kamu tahu dia tidak bersama kami?"

"Iya."

Heath menciumku. "Aku setuju. Aku mengikuti apa pun maumu, Bee. Apa pun."

Dua hari kemudian mereka memancing bersama. Vi menangis terus sejak melihat Heath membawa tad besar. Karena nggak tega, Heath sempat mau membatalkan acara mancingnya. Tapi, kasihan shawn. Dia pasti sudah menunggu momen ini lama banget. Kalau jadi shawn, aku pasti ngamuk. Jadi, kupaksa saja Heath untuk pergi. Vi dikasih nenen sama mainan juga lupa kok sama sedihnya.

Sebentar lagi, kami bakal liburan ke LA selama beberapa hari pas ulang tahun Drey. Ini meneruskan ritual liburan bersama sejak dulu Dave masih ada. Jadi, waktu buat Shawn jelas bakal berkurang lagi. Siapa tahu dengan berduaan begitu, Shawn jadi mengerti tentang hubunganku dan Heath.

Orang lain yang manyun melihat kepergian Heath dan Shawn itu Sheryl. Dia menghentak-hentakan kaki kayak ikut gerak jalan. Lou tersenyum puas melihat cewek itu emosi, apalagi pas Sheryl histeris karena di rumah kami nggak ada TV dan sinyal HP.

"Kamu bisa bermain dengan kuda dan ternak lain seperti anak-anakku, Miss Hunt," kataku waktu kami makan siang. Memang apa lagi yang bisa dilakukannya? Cewek itu main kuda terus sampai kukira dia bakal pacaran sama kuda.

Malam saat seharusnya Heath pulang dari danau, anak-anak sudah ribut. Mereka kangen banget. Daripada mereka emosi terus, aku meminta anak-anak mengepak baju dan mainan mereka. Kuajak mereka ngobrol tentang apa yang bakal mereka lakukan pada liburan kali ini.

"Daddy bakal pulang kan, Mom?" tanya Rosie sambil mengelap air matanya. Aku terharu, sih. Rasanya baru kemarin dia menolak Heath. Sekarang dia malah menangisi Heath yang nggak pulang-pulang.

"Tentu saja, Sayang. Daddy bakal pulang," jawabku sambil menutup koper Mila, lalu menutup koper Rosie juga.

Mila turun dari tempat tidurnya dan duduk di sampingku. "Daddy bilang bakal ajak kita ke ulang tahun Om Drey. Daddy nggak pernah bohong. Pasti nanti pulang," katanya ke Rosie.

"Kamu kangen ya sama Archie?" godaku yang ternyata dibalas dengan dengusan kesal.

"Aku jadi nggak kangen sama Archie, Mommy."

"Kenapa? Kan dia waktu itu telepon kamu."

"Dia suka atur-atur aku. Dia bilang aku nggak boleh makan kue cokelat nanti gigiku sakit. Aku kan suka makan kue cokelat. Dia sopesi."

"Sopesi?"

"Yang Mommy bilang ke Daddy itu. Sopesi."

Ya, Tuhan! Anak ini kok dengar, sih?

"Posesif maksudmu?"

"Iya!" Mila menjentikkan jari. "Aku dengar waktu Mommy ngomong sama Daddy."

Sambil menahan ketawa sampai pengin kentut, aku menjelaskan, "Mila, Posesif itu kalau ada yang terlalu mengatur orang lain sampai orang itu nggak bisa ke mana-mana atau ngapa-ngapain tanpa persetujuan orang itu."

"Kayak Mommy. Mommy kan nggak bolehin aku ngapa-ngapain kalau nggak izin dulu. Kata Mommy nanti aku hilang." Rosie menggosok hidungnya.

Kali ini aku ngakak beneran. "Itu protektif, Rosie. Mommy ingin melindungimu. Karena kamu masih kecil dan belum tahu banyak hal, Mommy yang punya kewajiban melindungi kalian biar kalian nggak terluka. Kalau ada Daddy, itu jadi tanggung jawab Daddy. Makanya, kalian harus bilang kalau mau pergi-pergi."

"Iya, Mommy," kata dua anak itu berbarengan bikin mereka jadi berkali lipat lebih menggemaskan.

"Tidur, ya. Biar kalian ketemu Daddy juga malam ini."

Rosie tersenyum. "Aku belum cerita," katanya sambil terkikik geli. "Kemarin aku bermimpi Daddy Dave ketemu sama Daddy Heath. Mereka ngobrol di belakang. Aku suka. Daddy Dave pangku aku sambil ngobrol. Katanya, Daddy Dave mau ajak aku jalan-jalan ke hutan belakang sana. Di sana ada unicorn."

Aku tertawa, sebenarnya karena ingat anak-anak unicorn di dalam kepalaku sendiri. Bisa kubayangkan bagaimana nanti Heath membangunkan semua unicornku kalau sudah pulang. Pasti bakal seheboh malam pertama kami.

"Oh, ya? Wah! Bagus banget mimpinya. Tidur cepat biar kalian bisa mimpikan Daddy lagi." Kucium pipi dua gadis kecil itu.

Setelah keluar dari kamar mereka dan memastikan Sophia sudah tidur, aku mencari Lou. Seharusnya Heath pulang sore tadi. Tapi, sampai jam tidur begini dia belum juga pulang. Siapa tahu dia mampir ke barak pekerja dan ngobrol sama mereka. Kadang, suamiku itu nggak enak memotong cerita orang.

"Lou," panggilku saat melihatnya membersihkan oven bekas memanggang lasagna. "Apa kamu lihat suamiku? Seharusnya dia sudah pulang."

Lou mengibaskan tangan. "Jangan dipikirkan. Laki-laki memang suka begitu. Siapa yang tahu dia mampir ke bar untuk minum dan mengobrol?"

Heath sudah lama nggak minum. Dia juga nggak bakal minum lagi katanya. Nggak mungkin hanya demi Shawn dia jadi minum lagi, kan?

"Sheryl itu. Apa dia di rumahnya?"

Lou tersenyum licik. "Apa kamu memintaku meracuninya? Dengan senang hati kulakukan, Miss Glacie. Aku punya banyak persediaan pestisida. Cukup untuk betina seperti dia."

Aku tertawa. Sebenarnya memang itu yang kuinginkan. Aku gemas sama cewek itu. Kemampuannya untuk jadi cewek yang nggam bisa apa-apa itu luas biasa. Dia terus-terusan minta tolong cowok buat membuka botol, mengoleskan sun screen, dan banyak pekerjaan remeh lainnya. Perhatian, ya. Yang dimintai tolong itu cowok. Cuma cowok.

"Pastikan dia aman dan sendirian di kamarnya, Lou. Aku tidak ingin terjadi keributan karena dia selingkuh dengan pekerja," kataku sebelum mengecup pipi Lou dan pamit tidur.

Nggak. Aku nggak tidur. Sampai jam dua dini hari, kerjaku cuma mondar-mandir di kamar. Heath belum pulang juga. Ditelepon juga HP-nya nggak aktif. Terus, aku harus gimana?

"Miss Glacie," panggil Lou yang kelihatannya baru datang. "Maaf. Aku mengkhawatirkanmu. Jadi, aku ke sini." Wajahnya terlihat nggak enak.

"It's ok. Aku harus menunggu suamiku pulang." Melihat ekspresinya yang jadi tambah nggak enak, aku bertanya lagi, "Ada apa?"

"Kamu tidak akan suka ini," katanya sambil berjalan mendahuluiku. Sepanjang jalan dia terus mengomel, "Aku sebenarnya bukan pengadu. Aku tidak suka menjadi pengadu. Tapi, aku tidak suka dengan apa yang kulihat."

"Lou?"

Dia menarik napas dalam-dalam dengan ekspresi ketakutan. "Seorang pekerja melihat suamimu di bar dengan Miss Hunt."

Cukup. Satu kalimat ini saja sudah cukup. Kuseret Lou ke garasi. Aku nyetir dengan jantung berdegup kencang. Jari-jariku sampai gemetar di roda kemudi. Kami berhenti di bar yang ditunjuk Lou. Baru saja aku keluar dari mobil sudah terdengar jeritan cewek. Sheryl. Cewek itu pakai mini dress yang ketat sekali. Di kepalanya ada topi hitam milik Heath. Di dekatnya, Heath berjalan keluar dari bar. Matanya lurus menatapku.

Baiklah. Aku mengerti. Aku paham apa yang kulihat. Pantas Sheryl nggak kelihatan sejak makan malam tadi. Di sini mereka rupanya.

Heath melompati mobil yang parkir dan memanggilku. Tapi, aku sudah ada di dalam mobil, pulang. Sudah saja. Aku nggak bisa diginikan. Aku bukan untuk diginikan. Aku rela hidup di sini buat jadi istrinya, buat mendampinginya, bukan jadi orang yang disakiti begini.

Kukunci pintu kamar, lalu menangis sekeras yang kubisa. Kuseret koper besar yang kubawa ke sini dan kulempar baju di gantungan ke dalam koper itu.

Kok bisa sih Heath kayak gitu? Masa iya dia nggak tahu kalau aku dan anak-anak segitu kangennya sama dia? Enak banget dia nongkrong di bar sama pelacur itu!

Suara ketukan pintu. "Bee?"

Aku diam saja. Bodo amatlah sama dia.

"Bee, tolong buka pintunya, Sayang."

Kuncinya kugantung di pintu. Pasti dia nggak bisa buka walau punya kunci cadangan.

"Bee, aku minta maaf," katanya lagi.

Kututup kepalaku dengan bantal. Belum setahun menikah dia sudah bikin sakit hati begini. Apa sih Heath itu?

Pelan, kubuka bantal yang menutupi kepalaku. Nggak ada suara ketukan lagi. Heath sudah menyerah? Dia nggak berusaha keras demi bisa kubukakan pintu lagi. Benar kata Caroline, dia mungkin sudah bosan sama aku. Mungkin sekarang dia lihat cewek lain yang lebih baik dan berpikir kalau dia bisa mendapatkan yang lebih baik dariku.

Kututupkan selimut sampai kepala dan lanjut menangis.

Aku menjerit waktu ada yang memelukku dari belakang. "Bee," katanya pelan.

Aku berbalik. Heath tersenyum. Badannya bau keringat dan apek. Wajahnya merah terbakar. Ujung hidungnya menggelap dan agak terkelupas karena terbakar matahari. Ia memaksa memelukku.

"Aku merindukanmu," katanya.

Kudorong tubuhnya sekuat tenaga, tapi gagal. Dia tetap memelukku dengan erat. "Buat apa?" semburku.

"Saat kami dalam perjalanan pulang, Shawn melihat Sheryl bersama laki-laki lain di depan bar. Dia turun dari mobil dan memukuli laki-laki itu. Aku melerainya. Kakinya patah dan harus mendapat perawatan intensif. Sheryl mabuk berat. Aku baru akan membawanya pulang." Dia merapatkan pelukannya lagi. "Aku benar-benar merindukanmu."

Apa dia ngomong benar? Apa dia jujur?

"Maafkan aku, Bee." Dia menciumi leherku. "Aku hanya memikirkan Shawn. Anak itu sudah terlalu banyak mendapat pukulan belakangan ini."

"Aku marah banget, Heath," kataku dengan tangisan. "Kamu nggak tahu gimana kangennya anak-anak sama kamu. Kamu nggak tahu gimana takutnya aku kamu kenapa-napa. Kok bisa kamu nggak bilang?"

"Ponselku mati." Dia menggeleng. "Ini kesalahanku. Seharusnya aku mengatakan akan pulang terlambat. Kamu mau memaafkanku?"

"Jadi, nggak ada apa-apa antara kamu sama Sheryl?"

Dia tersenyum sambil terus membelai rambutku. "Bee, cuma kamu yang mau dipeluk laki-laki yang tiga hari tidak mandi sepertiku. Cuma kamu yang bisa memuaskan lelaki tua ini, Bee." Dia menarik kakiku sampai terbuka, lalu mendesah. Matanya terpejam, merasakan gesekan tubuh kami.

Kalau sudah begini, bagaimana caranya aku marah sama dia?

Murahan banget sih aku ini! Baru begini aku sudah mendesah. Kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya. Dia duduk di atas tubuhku, melepas bajunya yang sudah bau nggak enak, dan mulai menyentuhku. Kemarahan, kekesalan semua selesai di tempat tidur ini.

"Gi-gimana caramu masuk?"

Dia tersenyum. "Apa yang tidak bisa kulakukan untuk mendapatkanmu kembali, Bee?" katanya sebelum membalik posisi kami. "Sungguh, aku ingin menyenangkanmu sampai pagi, tapi aku lelah sekali. Bagaimana kalau kamu yang memimpin perjalanan kita?"

Dengan posisi di atas, aku bisa melihat jendela kamar masih sedikit terbuka. Penguncinya rusak. Kok aku nggak dengar dia membobol kunci jendela begitu?

"Besok, perbaiki jendelanya, Pak Tua," kataku yang dijawabnya dengan tawa.

Mungkin, rasa cemburuku memang sudah parah banget. Walau sudah tahu cerita sebenarnya, aku tetap nggak mau Heath ketemu sama Sheryl sendirian. Heath bilang, dia memaklumi kecemburuanku dan pasrah sama apa pun yang kumau. Tapi, Sheryl masih saja menggeliat-geliat seperti ulat bambu setiap bertemu dengan Heath.

Shawn kembali ke rumah kami dua hari setelah malam itu. Aneh, dia menatapku terus. Senyumnya seperti senyum licik. Apa mungkin dia tahu kalau aku cemburu sama pacarnya?

Sekarang, aku nggak peduli sama Sheryl atau siapa pun. Selama Heath nggak berpaling, semua aman. Orang ketiga nggak bakal bisa masuk ke dalam rumah kalau nggak dibukakan pintu, kan? Kalau toh dia masuk, selama tuan rumahnya mengusir pengganggu itu lagi, nggak bakal ada yang namanya perselingkuhan.

Ya, aku percaya pada suamiku.

Hingga tanggal 9 Desember pagi yang membuatku sangat ingin menyakiti cewek itu. Aku akan selalu mengingat tanggal itu sampai kapan pun. Nggak perlu tato untuk membuatku mengenangnya. Luka pada tanggal itu akan terus ada di dalam kepalaku.

Setelah sarapan, aku mencuci piring. Rencananya, setelah ini aku bakal mengepak barang lain untuk persiapan. Kata Heath, kami bakal ke Dubai kali ini. Jadi, aku harus menyortir lagi pakaian anak-anak.

Anak-anak bermain di belakang. Sophia lagi nggak enak badan dan masuk kamar lagi untuk istirahat. Heath mendapat tugas menemani anak-anak bermain sampai aku selesai membuat kue. Suara mereka terdengar ribut sekali. Kadang, aku dan Lou tertawa mendengar jeritan anak-anakku sambil menebak-nebak siapa yang sedang menjerit.

Waktu aku cuci tangan setelah memasukkan kue ke dalam oven, seorang anak menjerit. Kali ini jeritannya kencang sekali. Jerit ketakutan. Orang-orang ikut berteriak. Panik, aku berlari ke luar juga. Ke mana Heath?

Bersamaan dengan saat aku ke luar dari dapur, Heath dan Sheryl berlari dari kandang kuda. Mereka nggak melihatku. Mereka berlari ke satu titik yang sama, kuda yang berlari kencang. Di belakang kuda itu ada tali yang terurai. Di ujung tali itu ada sesuatu yang terseret. Aku berpaling pada anak-anakku. Rosie nggak ada.

Rosie! Itu Rosie!

"MILA, JAGA ADIKMU!" teriakku sebelum berlari sekuat tenaga menuju kuda itu.

Aku tahu seharusnya aku nggak mempercayakan anakku pada siapa pun. Seharusnya aku yang menjaga mereka. Seharusnya nggak melakukan apa-apa selain memeluk mereka.

Jangan bawa anakku pergi. Tolong jangan bawa dia!

***

Kudaaaaa... jangan bawa Rosie... huwaaaa....

Itu Heath ngapain di dalam kandang kuda sama Sheryl? Astaga! Bapak! Disuruh jagain anak malah cewekan!

Ya ampun!

Sabar ya, Bees. Tunggu part mendatang Melancholia. Semoga anak itu bisa lari-larian lagi. Rosie anak kuat, kok. Waktu G mau menenggelamkan dia dulu aja Rosie yang pintar menjerit biar Drey dan Heath dengar suaranya. Kali ini dia pasti bisa melakukan keajaiban lagi.

Jangan nangis, yak. Sedih aja dikit gak papa sampe sesenggukan gitu sedihnya. Hoahahaha...

Sampai jumpa hari Senin.

Dengan jantung deg-degan,

Honey dee

Continue Reading

You'll Also Like

57.2K 2.8K 8
"Ini Surabaya bro! bukan Keraton Jogja apalagi Buckingham Palace buat nerapin aturan-aturan lo yang kolotnya ngalahin kitab Sansekerta!" Sekretaris R...
19K 4.2K 15
Sebuah kisah sedih yang terjadi di antara seorang wanita rapuh penyandang beasiswa di sebuah universitas dengan seorang bad boy yang kurang kasih say...
3.5M 102K 122
sajak-sajak sederhana yang didedikasikan untuk? jika kau merasa, maka itu untukmu. 21/07/16 #1 in poetry (05-11-16) jika ingin digunakan unt...
68.1K 3.5K 21
Spin off dari LUCIUSERA (ini tentang Xavier, anak dari Lucius & Sera) ***** Xavier, si putra mahkota yang ditunjuk Ratu Zenith, akan dinikahkan denga...