Right Eye

By Catsummoner

916 67 45

Dia cukup beruntung terlahir di negara yang aman dan relatif damai dalam Plate buatan. Dia juga dibesarkan da... More

Prakatanya Prakash
Sebuah Serangan
Ibunda
4 Sekawan
Perkumpulan
Keputusan
Gerbang Masuk
Sweet Punishment
Ruby Vines
Forbidden Room
Fragrant Orchid
Stranger from Faraway (1)
Stranger from Faraway (2)
Bitter Sip
Colloquium

Pertemuan Pertama

39 4 2
By Catsummoner


Sore hari di distrik pertokoan. Berbeda dengan jalanan utamanya yang masih banyak dilalui oleh pejalan kaki dan kendaraan, jalan-jalan kecil dan gang buntu sangat sepi. Di sekitar situ, baru mulai ramai setelah senja nanti. Di mana para pekerja pabrik dan pegawai kantor melepas lelah sebelum pulang.

Tetapi mungkin juga alasan tidak banyaknya orang melintas adalah cuaca yang suram. Kebanyakan orang akan memilih untuk bergegas pulang. Langit mendung gelap membuat lampu jalanan dinyalakan lebih awal. Pantulannya cahaya lampu yang merona kekuningan terpantul di jalan berpaving batu yang basah.

Seharusnya musim dingin sudah lama berlalu, tetapi dinginnya udara hari itu masih terasa menggigit hingga ke sumsum. Mungkin karena panas tubuhnya terbawa rinai lembut hujan yang turun terus tanpa henti sedari pagi. Mungkin juga karena cairan merah yang meleleh dan menetes perlahan bersama air hujan mulai berkubang di dekat kakinya.

Nyeri yang teramat sangat terasa berdenyut menusuk tulang. Dia tersenyum getir pada lelucon yang timbul dalam kepalanya sendiri, lengan kirinya memang tidak bisa digerakkan karena sebilah pisau lempar menembus daging—sepertinya otot brachialis di lengan bawahnya. Di berharap semoga tidak benar-benar mengenai tulang atau lebih parah, mengenai syaraf.

Dia mendapatkan luka itu ketika tanpa sengaja menggunakan lengan kirinya untuk mencegah bilah pisau lempar mengenai target misinya. Mendapatkan misi untuk diam-diam mengikuti dan mengumpulkan informasi dari target, berarti dia memang membutuhkan keselamatan targetnya.

Tak pernah dia sangka, misi belum lagi berjalan setengah hari dia sudah harus terlibat perkelahian tak jelas, enam lawan satu—dua, bila dihitung dengan dirinya sendiri. Yah ... Dua lawan enam, seorang menghadapi tiga mungkin masih ada kemungkinan untuk menang, seandainya lengan kirinya tidak terluka.

Dia menyesali kecerobohannya sendiri. Normalnya bila target direbut oleh orang atau kelompok yang tampak jauh lebih kuat, dia akan memilih untuk mundur. Menggagalkan misi jauh lebih baik daripada harus membahayakan diri. Terlebih lagi bila dirinya sampai tertangkap, bukan hanya nyawanya yang terancam, hidup teman-teman dan misi mereka berikutnya juga bisa ikut terseret.

"...Aku sudah tidak apa-apa," rintih suara bocah laki-laki yang sampai beberapa waktu lalu masih tertelungkup lemas. "Anda ... Lari saja. Mereka ... Hanya mengincarku," tambahnya lagi. Dari suara sepatu yang terdengar diseret, dia menebak bocah itu memaksakan diri untuk kembali berdiri—entah dengan bertopang pada pagar besi di belakang mereka atau ada penopang lain.

Tidak mungkin bocah mungil yang lebih pendek darinya bisa bertahan melawan beberapa orang dewasa. Dia sudah melihat sendiri bagaimana bocah itu—walau sempat memberikan perlawanan, mulai menjadi bulan-bulanan. Bukan karena kena serangan. Dari sekian banyak pukulan, tendangan, bahkan sabetan benda tajam yang diarahkan pada bocah itu dengan gencar, sebagian besar luput. Kekalahan bocah itu lebih disebabkan oleh kehabisan stamina.

Sebetulnya wajar saja bila bocah itu kewalahan. Usianya terlihat tidak lebih dari 12 tahun—dari postur dan wajahnya yang kekanak-kanakan. Dia seorang diri melawan sekitar setengah lusin orang dewasa, justru aneh kalau dia tidak—minimal, kehabisan napas.

"Kenapa kau tidak balas menyerang, Bocah?" tanyanya sambil terus mengawasi lima orang lawan mereka yang masih bisa berdiri, mereka juga terlihat menjaga jarak. "Semua ini tidak akan terjadi kalau kau habisi lawan-lawanmu sejak awal!" tambahnya sedikit menumpahkan kekesalan.

"...Karena ... Aku perlu mengumpulkan mereka di satu tempat dulu."

Jawaban yang di luar dugaan. Dia mengira bocah itu akan menjawab dengan kalimat naïf, semacam: Tidak mau membunuh atau tidak mau melukai lawannya.

"Apaan ... Memangnya bocah sepertimu punya granat tangan atau mantra yang berefek area?" tanyanya pada bocah itu seraya mengerling, penasaran dengan wajah bagaimana bocah itu akan menjawab.

Candaan sarkasnya dibalas dengan senyuman. Bukan senyum sok kuat yang sering dia lihat pada bocah-bocah seumurannya, melainkan senyum percaya diri dari orang yang masih memiliki rencana untuk bertahan hidup.

"...Memangnya bagaimana kau mengumpulkan begundal-begundal ini di satu tempat?" dia kembali bertanya pada bocah itu. "Tuh ... Yang tadi sudah kubuat pingsan bahkan sudah bangun lagi...."

"Makanya...," bocah itu menjawab dengan suara lirih. "Anda harus lari dulu, biarkan mereka mengejarku!"

"...Kau masih bisa jalan?" dia mencoba memastikan pada bocah yang napasnya sudah tersenggal-senggal itu.

"Aku masih kuat berlari dengan 60% kecepatanku selama ... Sekitar 15 hingga 20 detik," jawab bocah itu. "Tapi lebih bagus lagi kalau jumlah mereka dikurangi. Anda bisa membantu?"

Dia melirik pada lengan kirinya yang masih melelehkan darah lalu menjawab, "Kalau hanya satu-dua orang, aku bisa melakukan sesuatu."

"Itu sudah cukup...." Bocah itu menarik napas dalam-dalam, lalu..., "Aku ke kanan!"

Bocah itu melesat, berlari dengan kecepatan yang mengejutkan. Butuh waktu satu atau dua detik hingga para penyerang sadar buruan mereka kabur. Sontak mereka bergegas mengejar. Namun....

"ARRRGH!!!" pekik dua pengejar, nyaris bersamaan. Pedih di salah satu tungkai masing-masing menyebabkan kaki mereka kehilangan tenaga untuk terus melangkah, hingga keduanya tersungkur.

"BANGSAT!" maki salah satu dari mereka ketika menyadari apa yang menembus tulang keringnya. Sebilah logam sepanjang satu jengkal orang dewasa dengan ujung bercabang tiga dan membengkok menyerupai kait pancing.

"Apa maumu, Perempuan jalang?!" seru yang lain murka, di antara desis dan erang kesakitan seraya memegangi pahanya yang juga tertusuk benda yang sama—walau tidak sampai tembus.

"Maaf, karena tanganku kalian buat jadi begini ... Aku hanya mampu memanfaatkan alat nista ini untuk menghentikan kalian berdua," gumamnya seraya mengangkat sedikit bahu kirinya, menunjukkan lengan yang masih meneteskan darah.

"Untung tangan kananku selamat, jadi masih bisa membidik kalian berdua," tambahnya lagi seraya menurunkan senapan crossbow di tangannya. Dia berpikir akan menaikkan bonus tips untuk ahli senjata langganannya karena percobaan menembak dua proyektil sekaligus cukup sukses.

"Jangan kira kau bisa lolos dari kami hanya karena kau perempuan, -shhh ... Aduduh ... Kalau ada pistol di tanganku, sudah kutembak pecah kepalamu!"

Ancaman yang tidak terasa menggigit bila pelaku meneriakkannya sembari mengaduh kesakitan. Sejak awal alasan perempuan itu memilih keduanya sebagai sasaran karena mereka tidak terlihat membawa senjata jarak jauh. Setidaknya dengan membuat dua lawannya tidak bisa bergerak dengan otot dan tulang kaki yang terkoyak, posisinya relatif aman.

Perempuan itu baru akan menanyakan, siapa saja yang mereka sebut dengan 'kami' itu ketika merasakan embusan gelombang energi yang janggal dari arah bocah tadi berlari. Belasan tahun dia hidup di luar Plate, tak pernah sekali pun dia merasakan gelombang energi semacam itu.

Posisi mereka tidak seberapa jauh tetapi karena terhalang belokan menuju gang sempit, baik dia maupun dua orang yang terduduk di hadapannya tidak bisa melihat apa yang terjadi di sana.

"E-energi ini???" gumam yang tulang keringnya tertembus kait, masih terduduk kesakitan. Dia terlihat gelisah.

"Tak salah lagi! Dia memang anak yang hilang itu!!!" seru yang pahanya tertancap kait, panik. "Segera laporkan!" perintahnya, pada radio panggil yang baru saja diambil dari ikat pinggangnya.

"...Hei! Energi apa ini? Apa yang kalian maksud?"

"Kotoran kuda! Tidak ada yang merespon ... Gelombang energi ini mengganggu sinyal radionya!"

"...Heeei! Jawab aku!"

"Radioku juga tidak nyambung!" timpal yang lain. "Apa yang harus kita lakukan?!"

"HEI, GOBLOK! KALIAN BERDUA TULI,YA?!" maki perempuan itu saking emosinya. "JAWAB!!!" serunya galak hingga dua orang yang menjadi korbannya terdiam.

"Cuih!" Salah satu dari mereka meludah getir. "Untuk apa kami menjawabmu? Kau mungkin sudah berhasil membuat kami sulit bergerak tetapi apa pun yang akan kau lakukan, kami tidak akan menjawab satu pertanyaan pun!" ujarnya pongah.

"Oh, gitu?"

Segera setelahnya dua orang korban perempuan itu melihat pendaran lingkaran mantra seukuran piring berputar di kait yang menancap di kaki mereka masing-masing. Lalu seperti video time-lapse dari pertumbuhan tanaman sulur, sesuatu meluncur tumbuh dari pangkal kait. Hanya saja itu bukanlah sulur, melainkan rantai logam.

"Nah, kutanyakan sekali lagi...," perempuan itu melanjutkan setelah memastikan ujung lain dari dua utas rantai logam itu tergenggam dengan baik di tangan kanannya. "Energi apa ini dan siapa anak yang kalian sebut-sebut tadi?"

"Siapa yang mau ja- ... ARRRGGGHHH!!!"

"GUAAARRRGGGH! Kenapa aku juga?!"

Raungan kesakitan keduanya disebabkan oleh perempuan yang menggenggam rantai memutar sedikit pergelangan tangan hingga rantai yang terhubung pada kait tertarik. Kait yang masih menancap menggesek luka di kaki masing-masing. Mengoyak daging di tungkai mereka lebih jauh. Menambah lebar luka yang ada.

"Tidak hanya sakit, bila rantai-rantai ini kutarik hingga yang menancap di kaki kalian lepas, kalian bisa melihat semburan cairan merah yang bagus dari lubang yang ditinggalkan," ancam perempuan itu lagi seraya terus menggerakkan pergelangan tangannya dengan perlahan.

"Heh, teruskan saja kau tarik, Perempuan sial!" tantang salah satu dari mereka, sembari mengerang dan merintih. "Rantai yang sudah ketat ini jadi bisa kubeginikan!!!"

Satu dari mereka yang kaitnya menembus tulang kering, mencabut pisau bergerigi dari sarungnya lalu ditebaskan pada rantai di kaitnya. Dia menjerit pedih, tetapi rantai itu tetap utuh seperti tak terpengaruh tebasan tadi.

"Ah, aku lupa bilang...," perempuan yang menggenggam rantai mulai berbicara setelah membiarkan tawanannya gagal memutuskan rantai. "Entah bagaimana, aku bisa menggunakan mantra walau tanpa mineral anti-Plate. Jadi rantai ini juga... ."

Perempuan itu kembali memutar pergelangan tangannya, membiarkan kedua tawanannya mengerang dan merintih.

"...Bukan rantai biasa yang bisa diputuskan oleh pisaumu. Tapi, kalau kalian memaksa...."

Perempuan itu mengaitkan rantai di tangannya pada tiang lampu jalan lalu meraih kembali senapan crossbow-nya.

"...Aku bisa tambahkan beberapa kait lagi untuk menembus kaki atau tangan kalian yang lain, siapa tahu kita cukup beruntung sehingga aku bisa menambah rantai-rantainya sekalian?" tambah perempuan itu lagi dengan mata berkilau mengancam.

Tidak begitu terlihat karena sebagian besar wajah mereka tertutup masker yang sewarna dengan tudung dan pakaian mereka, tetapi keduanya mulai memucat ketakutan.

"K-kami ... -urkh! Hhhkkkh!"

Baru saja salah satu dari mereka yang terduduk di sisi kanan mulai bersuara, tiba-tiba saja dia membeliak. Tangannya menggapai, sementara tangan yang lain berusaha meraih kerah bajunya. Mulut yang tersembunyi di balik masker hitam terlihat megap-megap mencari udara. Urat nadi di sekitar matanya menonjol. Sembari berusaha merayap di jalan berpaving batu, dia menggelepar seperti cacing kepanasan.

Sadar ada yang tidak beres, perempuan itu membatalkan mantra pemanggil rantainya. Dia bergegas mendekat untuk memberikan pertolongan yang mungkin bisa dia lakukan pada orang malang yang liurnya mulai menembus masker kain yang dia kenakan. Namun belum sempat tangan kanannya mencapai kerah baju orang tersebut yang bersangkutan sudah berhenti bergerak.

Perempuan itu menyentuh nadinya untuk memastikan. Sudah tidak ada denyutan. Apa pun yang membunuhnya jelas bukan sekadar sesak napas biasa. Manusia seharusnya masih bisa bertahan hidup selama beberapa menit tanpa oksigen.

Melihat rekannya terkulai lemas dengan mata membeliak kosong yang seorang lagi buru-buru meraih sesuatu di saku bajunya, sebuah kapsul transparan. Menyadari apa yang dilakukan oleh tawanannya yang tersisa, perempuan itu mencoba menghentikan. Sayangnya lengan kiri perempuan itu tidak bisa bergerak, sementara lengan kanannya terlambat bereaksi.

Apa pun isi kapsul transparan itu kini sudah meluncur masuk ke dalam perutnya. Namun ternyata kapsul itu bukanlah racun untuk bunuh diri karena di bawah tubuhnya mendadak muncul lingkaran cahaya yang menelan seluruh tubuhnya dalam sekejap.

"Ck! Mantra pemanggil, ya ... Ternyata mereka membawa mineral anti-Plate," gerutu perempuan itu kesal.

Kini dia hanya punya mayat mantan tawanannya. Ogah-ogahan perempuan itu meraih kalungnya, lalu mencoba menggunakan mantra komunikasi. Lingkaran mantranya hanya sempat muncul sekejap, lalu pudar. Itu merupakan pertanda bahwa medan Plate di sekitar mereka sudah pulih kembali.

Makin kesal karena keberuntungannya habis, perempuan itu menggeledah tubuh tak bernyawa mantan sanderanya. Sesuai dugaan dia menemukan slot rahasia berisi sebongkah kecil mineral anti-Plate. Hanya butuh satu ketukan jari lentiknya, mineral itu berpendar. Selagi pendarnya masih ada, perempuan itu buru-buru menghubungi bala bantuan untuk membereskan tubuh yang masih tergeletak tak bernyawa di dekat kakinya.

Dengan sisa pendar yang sudah mulai pudar, perempuan itu juga menggunakan mantra untuk mencabut pisau yang masih menancap di lengannya. Berkat itu, sakitnya berkurang drastis dan darahnya tidak mengucur deras. Sayang pendar mineral di tangannya keburu lenyap sebelum perempuan itu sempat mengobati sepenuhnya luka menganga yang tertinggal.

"Yah, segini juga cukup, lah...," desahnya setelah membebat bekas lukanya dengan kain ikat pinggangnya sendiri.

Air menetes dari ujung-ujung rambut depannya yang basah. Rintik hujan yang semakin deras mengencerkan genangan air bercampur darah pada jalan berpaving batu. Dia membiarkan limpahan berkah alam itu menyapu berbagai kotoran yang tersisa, mengalir hingga ke selokan-selokan kecil di balik paving batu, membersihkan jejaknya.

Bala bantuan akan tiba sekitar 15 menit lagi dari pos terdekat mereka. Luka di lengannya sudah tidak berdarah dan terbalut rapi. Walau belum bisa bergerak bebas, dia mulai bisa menggerakkan jari-jari tangan kirinya.

Dia memutuskan untuk mencari bocah sasarannya tadi. Seharusnya jaraknya tidak terlalu jauh, sepengetahuannya di ujung jalan arah bocah tadi berlari merupakan jalan buntu. Dia merasa agak sulit bergerak dengan senyap di jalan yang basah, tetapi suara hujan menyamarkan langkahnya.

Sesampainya di tujuan, dia melihat pemandangan yang sulit dipercaya. Empat orang yang berpakaian sama persis dengan dua tawanannya tadi, tampak bergelimpangan—dari erangan yang sesekali terdengar lirih, mereka semua masih bernyawa. Di ujung jalan yang di kelilingi tembok bata tinggi tak berjendela dari ketiga sisi, bersandar bocah misterius tadi.

Kondisinya tampak payah. Perempuan itu bisa melihat uap putih napasnya tersembur pendek-pendek dalam cuaca yang semakin dingin. Bahu bocah itu terluka. Tidak terlalu dalam, tetapi cukup untuk membuat mantel seragamnya tercabik. Meninggalkan sedikit rembesan darah pada kemeja dibaliknya yang terlihat mengintip dari celah cabikan mantel.

"Bocah, kau masih kuat untuk jalan?" sapa perempuan itu.

Mendengar suaranya, bocah itu mengangkat wajahnya, dia terlihat sangat pucat. Hanya selintas, mata kanan bocah itu sempat terlihat berwarna merah lalu pelan-pelan berubah menjadi warna yang sama dengan matanya yang lain. Bibirnya yang mulai membiru bergetar. Dia menggerakkan mulut tetapi suaranya tidak terdengar.

Perempuan itu melangkah melewati tubuh-tubuh yang tergeletak di jalan berpaving batu untuk mendengar lebih jelas apa yang dikatakan oleh bocah yang terlihat bersikeras untuk bicara itu.

"A-aku ... Hanya ... Rep-p-pot ... Kan ... M-m-mu," ujarnya lirih di tengah gemeletuk giginya. "Ak-k-ku ... Bi ... S-s-sa ... Pu ... Lang ... Sendi ... R...."

Kalimatnya tidak sempat selesai, begitu perempuan di hadapannya menyentuh bahunya, bocah itu mencapai batas akhir staminanya. Dia merosot dari posisinya berdiri. Bila tidak segera ditopang oleh perempuan itu, dia akan menyusul para penyerang yang lain tergeletak di jalan yang basah oleh genangan air.

Dengan derasnya hujan yang menyiram mereka, sebetulnya tidak terlalu berbeda basah karena hujan atau karena genangan air. Namun setidaknya basah dari guyuran hujan tidak sekotor genangan air comberan di jalan.

"A-antarkan ... Halte ... Tolong," bisik bocah itu sebelum hilang kesadaran sepenuhnya.


***


"Kakak Lien Hwa, yang di sana sudah dibereskan. Tinggal empat orang yang di sebelah sini saja dan ... Bocah yang sedang kau topang itu."

Perempuan yang dipanggil Lien Hwa itu menjawab, "Kuserahkan empat orang ini pada kalian. Bocah ini ... Biar kubawa ke tempat Jan."

Setelah mengangguk patuh, orang tadi mulai memeriksa tubuh-tubuh tak sadarkan diri di sekeliling mereka.

Lien Hwa menyampirkan lengan bocah yang ditopangnya melingkari bahunya sendiri, lalu membawanya ke ujung lain jalan. Sebuah mobil sudah menunggu mereka. Dibantu orang yang bersiaga di dalam kendaraan, dia menaikkan bocah kuyup itu ke jok tengah.

Jendela mobil diketuk dari luar, membuat Lien Hwa yang sudah menutup pintu terpaksa memutar tuas untuk membuka kaca jendela. Rupanya yang bertugas di luar mengantarkan barang-barang yang tercecer. Beberapa bilah pisau lempar, cambuk rantai dengan ujung bandul besi—sepertinya milik orang-orang berpakaian hitam-hitam yang menyerang mereka.

"Hanya ini?" tanya Lien Hwa.

Orang yang sama menggeleng, lalu memasukkan sebatang gagang sapu yang patah, payung lipat dan terakhir tas sekolah model jinjing dari bahan kulit. Selain gagang sapu, semua itu terlihat milik bocah yang kini terbaring di jok tengah, dengan buntelan mantelnya di paha Lien Hwa sebagai bantal.

Mata Lien Hwa membulat, karena dia mengenali lencana sekolah yang disematkan pada tali jinjing tas kulit. Itu adalah lencana untuk pelajar SMP yang beraviliasi dengan kampus tempat dia belajar. Dari warnanya menunjukkan bahwa bocah itu sudah duduk di kelas dua.

"Wah-wah-wah ... Siapa yang menyangka kita demikian berjodoh sampai bersekolah di bawah lembaga yang sama, Bocah!"


*****

Continue Reading

You'll Also Like

328K 19K 21
Tak pernah terbayang olehku akan bertransmigrasi ke dalam novel yang baru aku baca apalagi aku menempati tubuh tokoh yang paling aku benci yang palin...
1.4M 76.2K 40
(BELUM DI REVISI) Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigra...
262K 22.4K 21
Follow dulu sebelum baca 😖 Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...
137K 12.8K 36
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...