11 : 11 pm ✖ Lee Felix

By zyrurui

336K 27.3K 5.6K

Apakah kamu tau, pada jam 11:11 malam aku berdoa. Aku berdoa pada Tuhan agar kamu mau menjadi belahan jiwaku... More

开始 ♥
一 | Gadis Ber-Sweater Biru
二 | Perbincangan di Tengah Hujan
三 | Detak Jantung Yang Seirama
四 | Dua Hati yang Gelisah
五 | Permintaan Aiko
六 | Bertamu
七 | Alen Cemburu
八 | Aiko Demam
九 | Interogasi
十 | Rencana Terapi Wicara
十一 | Terus Terang
十二 | Bayangan #1 (Revision : Aiko POV)
十三 | Bayangan #2 (Revision : Aiko POV)
十四 | Rasa Takut Melihatmu Tak Berdaya
十五 | Terhubung Denganmu (Alen POV)
十六 | Ia yang Berpamitan (Alen POV)

十七 | Bertemu Aiko yang Lain

6.7K 1.1K 225
By zyrurui

16 days left


Jam koas belum berakhir, tetapi Alen mencuri waktu untuk duduk di salah satu bangku di dekat taman rumah sakit. Bukan sengaja membolos, melainkan karena kepalanya yang tiba-tiba pening. Sekujur badannya pun terasa lemas dan berkeringat dingin. Selain itu, kaki beserta tangannya tremor sehingga ia tidak sanggup beraktivitas sementara.

Tubuhnya menyandar pada kursi. Kedua matanya mulai terpejam. Tenang dan damai ia rasakan sewaktu semilir angin menerpa wajahnya yang rupawan, serta berbisik lembut di telinga lelaki itu. Seolah tengah membelai dan menyenandungkan nyanyian pengantar tidur. Kantuk datang perlahan-lahan hingga menguasai lelaki itu sepenuhnya.

Namun, tidurnya cukup singkat karena seseorang menyentuh wajahnya. Menusuk pipinya dengan jari. Agak kesal, ia membuka kedua matanya, mencari tahu siapa yang menginterupsi tidurnya. Di hadapannya, ada seorang anak perempuan. Tubuhnya mungil, agak gempal, dan berambut pendek. Anak perempuan itu menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa Alen terjemahkan.

"Kakak pucat!" seru anak itu. "apa kakak sakit?"

"Iya, sakit," jawab Alen lesu. Tidurnya terganggu dan ia tengah kesal. Akan tetapi, ia tidak bisa memarahi anak perempuan di hadapannya. Selain karena lemas, anak perempuan nan lucu itu terdengar tengah mengkhawatirkannya.

"Ayo cari kakak dokter! Biar kakak cepat sembuh!" ajaknya.

Alen tersenyum lirih. "nanti. Kakak mau istirahat dulu di sini,"

Meski kelihatan tidak suka, terlihat dari alisnya yang bertaut, anak perempuan itu mengangguk saja. Ia lalu mendudukkan diri di samping Alen. Kedua matanya yang bulat, tidak berhenti menatap Alen. Alih-alih risih, lelaki berusia dua puluh lima tahun itu malah sedikit teringat Aiko. Gadisnya juga suka menatapnya dengan intens

"Orang tua kamu di mana?" tanya Alen. Aneh mendapati anak kecil berada di tempat ini tanpa orang tuanya.

"Masih sama kakak dokter. Aku disuruh main dulu di taman," jawabnya lugu.

Ingatan Alen mulai terbuka soal denah rumah sakit. Ada dua koridor utama di dekat taman. Salah satu koridor merupakan jalan menuju beberapa ruangan rumah sakit termasuk gedung poli. Dan beberapa kamar inap di dekat taman, juga memiliki lorong yang tembus ke gedung itu. Alen pikir, kemungkinan anak kecil ini baru saja periksa di sana sementara orang tuanya sedang berbincang dengan dokter terkait hasil pemeriksaan.

"Kamu sakit?"

Anak itu menggeleng hingga rambutnya sedikit bergoyang. "papa aku sakit."

"Oh, kirain kamu,"

"Kepalanya sering sakit," ia menyentuh kepalanya yang mungil. "kalau kakak sakit apa?"

"Entahlah. Mungkin sama," jawab Alen skeptis. Tangannya bergerak untuk menyugar rambutnya ke belakang.

Ia menduga dirinya sakit karena kelelahan dan stres. Beberapa hari ini terasa berat. Ia menjalani koas di stase baru, bertemu pasien dengan berbagai kondisi dan kepribadian, kemudian bertemu dokter konsultan—berujung dimarahi karena kurang kompeten atau salah diagnosis. Terakhir, pada malam harinya harus belajar dan menjaga Aiko. Selain lelah fisik, mentalnya juga lumayan lelah. Di samping karena masalah yang terjadi ketika jam koas berlangsung, Alen tak berhenti memikirkan Aiko. Rasa takut akan kehilangan gadis itu masih membelenggunya. Ditambah kenyataan bahwa gadis itu belum sadarkan diri juga meski sudah lewat lima hari, benar-benar mencekiknya.

"Semoga kakak lekas sembuh," anak itu menepuk pelan punggung tangan Alen. "kedepannya, kakak jangan sakit lagi, ya. Kata papa, sakit itu enggak enak," 

"Ya, memang. Enggak ada yang mau jatuh sakit," timpal lelaki itu setelah mendengkus. "oh, ya, nama kamu siapa?"

"Nama aku Aiko. Kalau kakak siapa?"

Alen terperangah. Anak perempuan yang kira-kira berusia tujuh tahun ini memiliki nama yang sama dengan belahan jiwanya. Apalagi cara menatapnya yang familiar dengan Aiko. Meski begitu, anak ini bukan Aiko belahan jiwanya—secara realistis dan bukan di dalam mimpi—karena wajah mereka tidak mirip.

"Alen,"

"Oh, kak Alen. Namanya ganteng, kayak wajah kakaknya,"

Kedua mata yang berbinar dan senyum polos yang mengembang di bibir Aiko kecil, membuat Alen terkekeh pelan. Kelihatan sangat lucu di mata lelaki itu. Di samping itu, lumayan mendebarkan dipuji tampan oleh anak kecil.

Ah, gara-gara kedatangan Aiko, peningnya lumayan reda. Alen baru menyadari itu.

"Kak Alen udah punya pacar?" tanya Aiko kecil kembali.

"Kenapa tiba-tiba tanya soal pacar?" Alen bingung.

"Yah, kata papa, orang dewasa pasti punya pacar,"

"Begitu..." Alen mengembuskan napasnya. Teringat Aiko-nya kembali. "punya. Tapi lagi sakit. Tidur lama enggak bangun-bangun."

"Pingsan?"

Pandangan Alen tertuju pada kolam air mancur di hadapannya. Haru mulai menguasai perasaannya kembali. "Bukan. Sakitnya terlalu parah sampai enggak bisa bangun,"

"Kakak pasti kesepian karena pacar kakak sakit," lirih Aiko yang mengundang perhatian Alen.

Saat meliriknya, air muka anak kecil itu berubah murung. Tangannya bertaut, dan kedua kakinya berhenti mengayun. Alen bingung karena perubahan raut wajah Aiko kecil yang tiba-tiba. Bukan dia kan yang seharusnya sedih, melainkan Alen.

"Aiko tau, kok, rasanya. Papa juga kesepian soalnya gak ada mama. Itu karena mama udah jadi bintang di langit," Aiko menatap Alen, lalu tersenyum. Hebatnya, senyum Aiko tidak terselip kesedihan. Anak kecil itu seolah baik-baik saja. Tampak telah mengikhlaskan kepergian sang ibu.

Alen tertegun sesaat.

"Kak Alen, jangan sedih. Pacar kakak pasti akan bangun. Aiko berdoa semoga pacar kakak bisa sembuh, terus bisa nemenin kakak," ujarnya seraya menangkupkan kedua tangannya, lalu tersenyum menampilkan deretan giginya yang kecil-kecil.

"Iya. Terima kasih atas doanya,"

Hendaknya Alen mengelus kepala Aiko kecil, namun urung. Tangannya yang menggantung di udara, ia tarik kembali. Simpan rapat-rapat rasa gemasnya pada anak kecil ini—meski yang di hadapannya anak kecil, ia merasa tidak mau menyentuh orang lain selain Aiko-nya. Ia segera mengalihkan pandangannya lagi ke arah kolam yang penuh akan ikan koi. Namun, tak berlangsung lama karena ada seorang laki-laki dewasa tengah menyeberang taman. Rupanya, lelaki paruh baya itu adalah ayah dari Aiko kecil.

"Papa!" seru Aiko kecil dengan antusias.

"Papa cariin ternyata di sini," lelaki itu menghampiri Aiko. Ia berlutut di depan sang anak, lalu memeluknya. Alen dalam diam menatap interaksi mereka. Anehnya, dada lelaki itu tiba-tiba menghangat.

"Iya, sama kakak Alen di sini dari tadi," balas Aiko. Ia menunjuk Alen dengan telunjuknya.

Sang papa dari anak itu sontak menatap Alen. "Eh, adek...dokter di sini?"

Alen mengangguk. "Iya, Pak. Saya dokter koas,"

"Wah! jadi kak Alen dokter, ya? Kak Alen keren!" Aiko memujinya sekali lagi dengan penuh binar. Membuat Alen tergelak lagi.

"Iya,"

"Kalau begitu, terima kasih sudah menjaga anak saya, ya, Nak. Maaf kalau Aiko merepotkan,"

"Enggak, Pak. Berkat Aiko, saya enggak kesepian," dengan tulus, Alen menimpali.

"Baiklah. Saya dan Aiko pamit dulu, ya, Nak. Kami harus segera pulang,"

"Iya, Pak. Silakan,"

Setelah berpamitan, lelaki itu menggendong anaknya. Keduanya mulai beranjak meninggalkan taman. Alen tersenyum sambil melambaikan tangannya pada anak kecil itu. Lambaian serta senyumnya terbalaskan oleh Aiko kecil, bahkan hingga mereka tiba di koridor. Begitu mereka menghilang, Alen menghela napasnya.

"Jadi kangen Aiko," gumamnya.

Lelaki itu lantas beranjak dari tempatnya. Ia berencana kembali menjalani jam koas. Walau masih agak lemas, ia berupaya untuk tetap menuntaskan pekerjaannya. Setidaknya sampai jam istirahat. Setelah itu, ia akan menghabiskan waktu istirahat untuk tidur di ruangan khusus.

Tatkala tiba di gedung poli—hari ini akan ada visit dua pasien di bagian saraf—ia bertemu dengan Meira. Gadis itu menghampirinya dengan tergesa dan tatapan khawatir. Langkah Alen sontak terhenti begitu Meira tiba di hadapannya.

"Len, kamu kemana aja? aku nyariin dari tadi," ujar Meira.

"Ah, ya, di taman tadi. Tiba-tiba pusing," sahut Alen agak malas.

Tanpa aba-aba, Meira langsung menempelkan tangannya di dahi Alen yang berkeringat. Tanpa jijik, gadis itu memeriksa suhu tubuh Alen dan membandingkan dengan suhu tubuhnya sendiri. Setelahnya, ia mengambil tisu dari dalam saku scrub-nya. Dengan lembar putih nan tipis itu, ia mengelap dahi Alen. Sementara itu, Alen sendiri kagok dengan tindakan Meira yang tiba-tiba. Sampai tidak bisa mengelak hingga gadis itu selesai menyeka keringatnya.

"Kalau sakit harusnya bilang, Len. Mending gak usah visit aja. Istirahat dulu. Nanti aku bilang sama dokternya," usul gadis itu penuh perhatian.

"Nanti aja, Mei. Pas jam istirahat," tolak Alen. Ia tidak mau bolos untuk visit kedua pada hari ini. Ia tidak mau nanti kena omel dokternya lagi, dan berujung nilainya terancam.

"Gak bisa. Kamu pasti kecapean. Udah pagi sampai sore di rumah sakit, terus malem masih jaga Aiko," sanggah Meira. "tolong, deh, pikirin dirimu sendiri!"

"Iya...iya. Abis ini aku istirahat. Janji, deh,"

Meira berdecak kesal. "oke. Sekalian sampai malem biar cepet sembuh. Hari ini absen dulu jagain Aiko. Biar Dafian atau enggak orang tuanya."

"Kalau soal Aiko, kayaknya enggak bisa, Mei. Aku takut Aiko pergi saat aku enggak di sana,"

"Tapi—" belum selesai Meira berkata, Alen menyela lebih dulu.

"Meira, Aiko itu penting buat aku." ia membuang mukanya ke lantai. Menghindari kontak mata dengan gadis di hadapannya. "aku akan sangat menyesal kalau terjadi apa-apa padanya tanpa sepengetahuanku."


Sayup-sayup ketukan di pintu, mengalihkan pandangan Ayush dari Aiko. Terlihat di balik jendela, Edwin tengah berdiri sambil melambaikan tangannya. Ayush seketika mengembuskan napasnya, kesal lagi-lagi lelaki itu datang. Meski begitu, ia tetap beranjak dari tempatnya untuk memberi waktu pada Edwin agar dapat menjenguk Aiko.

"Aku enggak akan lama, kok. Sebentar aja," katanya sewaktu Ayush sudah di depan pintu.

"Iya," balas Ayush acuh tak acuh.

Edwin masuk ke dalam ruangan, sementara Ayush berjaga di depan. Di dalam sana, Edwin tampak berbicara pada Aiko sambil menggenggam tangan gadis itu. Entah apa yang ia katakan, tetapi air mukanya terlihat sedih dan penuh penyesalan. Sama seperti yang biasanya. Ayush mengira kalau Edwin masih diliputi rasa bersalah dan menyesal karena telah membuat Aiko terbaring di ranjang rumah sakit, di samping karena telah mempermainkannya saat SMA dulu.

Yang Ayush ingat dulu, Edwin yang pertama kali mendekati Aiko. Ia bersikap seseorang yang menyukai Aiko. Memberi perhatian, melindungi dari pem-bully-an, mengajaknya jalan-jalan dan sebagainya. Atas sikap Edwin yang demikian membuat Aiko nyaman dan akhirnya jatuh cinta—atau lebih tepatnya budak cinta tolol a.k.a bulol. Sayangnya, setelah Aiko memiliki perasaan pada Edwin, semuanya berubah. Perubahan Edwin membuat Aiko sering murung dan pendiam.

Sejatinya Ayush sudah membujuk Aiko untuk tidak terlalu dekat dengan Edwin. Bagaimana pun bentuk afeksi Edwin, terasa janggal di benak Ayush. Ia takut Aiko akan sakit hati di kemudian hari karena lelaki itu—secara Aiko juga tidak memiliki pengalaman dalam percintaan. Akan tetapi, Aiko bertahan. Malah cintanya semakin besar hingga melakukan apapun untuk Edwin, termasuk pernah mengutarakan perasaannya pada lelaki itu lebih dulu.

Lantas di waktu berikutnya, ia patah hati berat. Edwin dan teman-temannya mempermalukan Aiko di depan umum. Saat itu, Ayush ingat sekali, Edwin datang ke kantin sembari membawa buket bunga. Pada saat yang sama, Aiko tengah makan siang bersama Ayush selepas jam pelajaran olahraga. Kedatangan Edwin saat itu tentu menarik perhatian orang-orang. Apalagi ketika teman-temannya menyeret Aiko ke hadapan Edwin. Aiko terlihat terkejut dan bingung, tetapi ada semburat merah di pipinya juga.

Ayush pikir, Edwin akan mengutarakan perasaannya pada Aiko. Namun, dugaan Ayush meleset jauh. Edwin malah mengutarakan perasaannya pada gadis lain—Ayush tahu kalau dia adalah ketua paduan suara yang terkenal akan kecantikannya. Gadis itu berdiri tepat di sebelah Aiko, sehingga banyak orang yang mengira Edwin akan menembak Aiko. Sialnya, salah. Aiko yang merasa malu, lalu berlari dari kantin. Gadis itu pulang tanpa pamit pada siapapun termasuk Ayush.

Kebesokannya, tanpa tahu malu, Edwin menemui Aiko. Lelaki itu menyuruh Aiko untuk menjauhinya. Ia juga mengatakan bahwa afeksi yang ia berikan selama ini hanyalah semu. Mendekati Aiko hanyalah sebuah taruhan yang ia lakukan dengan teman-temannya. Edwin pun meninggalkan Aiko tanpa peduli betapa hancurnya perasaan gadis itu. Setelah pengakuannya itu, Aiko kembali mengalami perundungan, bahkan jauh lebih parah dari sebelumnya.

Kalau teringat soal perbuatan Edwin, Ayush murka. Rasanya ingin menonjok lelaki itu hingga kehilangan nyawanya. Sekalipun Edwin kakak kelas mereka, Ayush tak peduli. Edwin sudah membuat mental Aiko terguncang hingga sampai berpikiran untuk bunuh diri. Namun, mengingat keluarga Edwin jauh lebih di atasnya, Ayush mengurungkan niat itu. Toh, Aiko juga melarangnya, bahkan sampai memohon dengan penuh deraian air mata. Entah apa yang dipikirkan Aiko saat itu, ia malah membiarkan Edwin bersenang-senang setelah melukainya.

Dan sekarang, Edwin muncul lagi. Kemunculannya justru kembali mencelakai Aiko. Walau tak secara langsung, tetap saja membuat Aiko nekat ke tengah jalan hingga ditabrak mobil. Ayush benar-benar ingin memukul Edwin, bahkan lebih dari yang Alen lakukan.

Lama melamun memikirkan masa lalu, Ayush tidak sadar kalau Edwin di dalam sana tengah mencium kening Aiko. Ia baru tersadar setelah lelaki itu menjauhkan bibirnya dari kening gadis itu. Tangannya tak berhenti mengelus surai Aiko, sedang tatapannya terlihat sendu. Ayush yang melihat adegan di dalam sana, merasa tiba-tiba sesak. Afeksi Edwin saat ini satu sisi membuatnya berang, di sisi lain membuatnya iba.

Lelaki yang lebih tua dari Ayush itu lantas beranjak dari tempat duduk. Keluar dari ruangan dengan tengan, lalu mendekati Ayush. Ia mengeluarkan sebuah map dari dalam tasnya. Ayush melirik map itu dengan tatapan bingung.

"Ini data pelaku penabrakan Aiko. Aku dapat datanya dengan menyewa detektif swasta," ujar Edwin seraya menyerahkan map itu pada Ayush. "tolong berikan pada om Hanbin kalau sudah ke sini, ya."

Tak menanggapi permintaan Edwin, Ayush memilih membuka map itu. Di dalamnya ada data si pelaku penabrakan Aiko. Ayush cukup terperangah saat membaca data-data itu. Berdasarkan data yang tertulis, pelaku merupakan seorang anak di bawah umur. Ia masih SMA dan seorang perempuan.

"Nyewa detektif sekaligus hacker sepertinya habis banyak, deh. Sampai data-datanya lengkap," komentar Ayush masih sambil membaca data-data si pelaku. Sejatinya ia tidak heran kalau Edwin mampu melakukan itu. Sebab, lelaki itu terlahir di keluarga sendok emas.

"Itu enggak sepadan dengan yang terjadi pada Aiko. Anggaplah sebagai penebusan kesalahanku juga," timpal Edwin pasrah.

Ayush sontak melirik Edwin yang tengah menatap Aiko dari balik jendela. "salah satunya, 'kan. Soalnya terlalu banyak."

Edwin bergeming. Tidak berniat menyangkal kenyataan itu.

Ayush pun menyudahi membaca isi map yang diberikan Edwin. Ia memeluk map itu untuk sementara—tasnya berada di dalam ruangan Aiko. Ia tidak langsung masuk karena ada hal yang ingin ia bicarakan dengan Edwin.

"Kita ke bangku di koridor depan. Ada hal yang ingin aku tanyakan," ajak Ayush. Lelaki di sampingnya hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Bersama Edwin, Ayush keluar dari ruang ICU. Hawa dingin—tidak sedingin di dalam—langsung menyambutnya saat berada di luar. Sesaat Ayush menatap langit yang begitu cantik karena rembulan malam ini bersinar terang bersama dengan gemerlap bintang. Namun, sendu menutup pandangannya sehingga tidak bisa melihat keindahan itu. Ayush pun melanjutkan langkahnya.

"Setelah lima tahun berlalu, kamu ngapain muncul lagi di kehidupan Aiko?" Ayush mulai bertanya setelah mereka duduk di sebuah bangku.

Pertanyaan itu belum sempat Ayush tanyakan. Ia jarang bertemu Edwin saat menjaga Aiko. Lelaki itu pastinya datang saat ia belum datang, atau saat sudah pulang. Daripada itu, Ayush tidak punya kontak Edwin yang baru. Ayush kan penasaran alasan si Edwin mendadak datang lagi setelah lima tahun berlalu.

Edwin membungkukkan tubuhnya. Kedua tangannya saling bertaut di antara kedua pahanya. Pandangan lelaki itu tertuju pada ubin rumah sakit yang dingin dan kotor. "Selain kerja, aku memang niat nyari Aiko. Minta maaf sekaligus memastikan. Aku baru menyadari tanda-tanda bertemu belahan jiwa saat melihatnya."

"Hah? belahan jiwa? kamu sama Aiko?" kerutan di dahi Ayush mulai terbit mendengar jawaban Edwin.

Serius Edwin mengalami tanda-tanda belahan jiwa pada Aiko?

Edwin mengulum bibirnya sesaat. "sejujurnya saat masih bersama Aiko dulu, aku sudah merasakannya. Namun, aku menafikkannya karena kekurangan Aiko. Setelah bertemu lagi saat di perpustakaan, Aiko waktu itu enggak sadar, aku merasakannya lagi."

Ayush diam-diam mengepalkan tangannya. Ia bahkan menyembunyikan tangannya, jaga-jaga agar tidak menonjok Edwin. Bukan cuma Alen ternyata, Edwin juga. Tidak mau menerima Aiko karena kekurangannya.

"Dipikiranmu cuma Yolanda sama mobil Tesla punya si Agus doang," sindir Ayush.

"Yah...benar. Aku enggak bohong lagi,"

Terdengar helaan napas Edwin sesaat.

Lelaki berkemeja biru itu menegakkan badannya, kemudian menyandar pada bangku. Ia asyik menatap tangannya alih-alih Ayush selaku lawan bicaranya. Terlalu malu Edwin lantaran Ayush mengingatkan soal taruhan itu. Hanya sebatas mobil dan perempuan, Edwin tega menghancurkan Aiko.

"Tapi Aiko udah punya belahan jiwa. Udah ketemu malah. Yang nonjokin kamu tempo hari itu,"

"Iya. Alen namanya,"

"Kalian sama. Sama-sama nolak Aiko karena gadis itu bisu dan tuli. Kalian gak peduli perasaan Aiko. Main menghancurkan padahal sudah hancur sampai gak bisa balik utuh,"

Ayush melirik Edwin. Lelaki itu bergeming. Entah tengah menyalahkan dirinya kembali atau tengah mengasihani Aiko. Ia tak terlalu peduli.

"Jujur, aku sebenarnya marah tau kamu balik lagi terus malah bikin Aiko celaka. Aku bisa aja mukulin kamu lebih parah dari Alen. Tapi Aiko pasti enggak akan suka," tutur Ayush sambil menyilangkan kakinya. "dari dulu, Aiko ngelarang. Saking cintanya sama kamu."

Kepala Edwin berputar. Menatap Ayush. "aku tau, dan aku ngerasa bodoh karena membuang itu."

"Cih, setelah ngebuang Aiko kayak sampah, baru menyesal," tak ayal, Ayush menyindir lelaki itu lagi. "tapi Win, mau kamu memperbaikinya, semua udah terlambat. Terlepas dari Aiko yang menemukan belahan jiwanya, hati yang udah gak berbentuk, susah untuk disatukan. Trauma Aiko terlalu besar, dan kamu enggak akan bisa memperbaikinya dengan kata maaf. Seenggaknya," Ayush menggelengkan kepalanya. "udah gak mempan lagi. Jadi...lebih baik kamu pergi sebelum Aiko sadar."

Continue Reading

You'll Also Like

490K 49.1K 38
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
82.2K 7.8K 21
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
504K 5.4K 88
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
249K 36.9K 67
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...