11 : 11 pm ✖ Lee Felix

De zyrurui

336K 27.3K 5.6K

Apakah kamu tau, pada jam 11:11 malam aku berdoa. Aku berdoa pada Tuhan agar kamu mau menjadi belahan jiwaku... Mais

开始 ♥
一 | Gadis Ber-Sweater Biru
二 | Perbincangan di Tengah Hujan
三 | Detak Jantung Yang Seirama
四 | Dua Hati yang Gelisah
五 | Permintaan Aiko
六 | Bertamu
七 | Alen Cemburu
九 | Interogasi
十 | Rencana Terapi Wicara
十一 | Terus Terang
十二 | Bayangan #1 (Revision : Aiko POV)
十三 | Bayangan #2 (Revision : Aiko POV)
十四 | Rasa Takut Melihatmu Tak Berdaya
十五 | Terhubung Denganmu (Alen POV)
十六 | Ia yang Berpamitan (Alen POV)
十七 | Bertemu Aiko yang Lain

八 | Aiko Demam

7.4K 1.3K 325
De zyrurui

Suara petir terdengar begitu menggelegar tatkala Alen tiba di rumahnya. Lelaki itu, bersama Aiko, tiba setelah menembus hujan deras dari tempat mereka makan. Keduanya yang masih diguyur hujan segera masuk ke area rumah usai turun dari motor.

Di dalam garasi, Alen melepas tasnya dan sepatunya. Ia turut mengeluarkan buku-buku dan barang-barangnya di dalam tas serta membeberkannya di lantai supaya lekas kering. Sementara itu, Aiko terdiam sambil mengamati Alen. Gadis itu berdiri di belakang belahan jiwanya dengan tubuh yang menggigil.

Beberapa saat sibuk dengan aktivitas kecilnya, Alen berbalik usai mengeluarkan seluruh barangnya dari dalam tas. Ia terkejut mendapati Aiko berdiri seraya memeluk diri. Rona wajah gadis itu saat ini pucat. Matanya sayu dan bibirnya bergetar—sedemikian badannya. Alen seketika khawatir Aiko hipotermia.

"Lepas jaketnya!" Alen menarik jaket miliknya yang dipakai Aiko supaya dilepas oleh gadis itu. Pasalnya, jaket Alen basah. Bukannya menghangatkan, malah membuat suhu tubuh Aiko semakin turun.

Tanpa ragu-ragu, Aiko melepaskan jaket itu. Alen meraihnya dan meletakkannya di atas sadel motor.

Sesaat, Alen menyibak rambut Aiko. Memastikan keberadaan ABD (alat bantu dengar) milik gadisnya. Sayangnya, alat itu tidak terdapat di telinga Aiko. Entah dimana, namun ketiadaan ABD milik Aiko, membuatnya semakin cemas. Ia cemas benda itu terjatuh di jalan karena terkena air hujan.

Secara, satu ABD yang bagus dipatok dengan harga yang cukup mahal. kiranya dapat mencapai uang kuliah Alen selama satu semester.

Alen lantas menyentuh telinganya, dan mengetuknya dengan jari sebanyak dua kali. "mana? jatuh?"

Ia melakukan ini agar Aiko mengerti pertanyaannya.

Aiko mengangkat tas selempangnya, lalu menepuk permukaannya. Mengisyaratkan kalau benda yang dimaksud Alen ada di dalam tas.

"Syukur, deh. Saya pikir jatuh," ucapnya, walau tidak akan direspons oleh Aiko.

"Ya, udah. Ayo masuk! Mandi sekalian ganti baju!" ajaknya, lalu berjalan lebih dulu menuju pintu di depan sana. Sang gadis hanya mengikuti langkah Alen walau rasa penasaran sekaligus was-was mulai bercokol di benaknya.

"Ini rumah orang tuanya kak Alen, kah? Kalau ketemu gimana, ya?" batin Aiko cemas saat memasuki rumah Alen.

Keduanya terus berjalan memasuki rumah yang pencahayaannya remang-remang—berasal dari lampu flash ponsel. Pada saat berjalan, baik Aiko maupun Alen saling terdiam. Alhasil, sunyi menemani langkah mereka—tidak terlalu sunyi karena suara petir masih terdengar keras—hingga tiba di sebuah kamar. Alen memasukinya terlebih dahulu, kemudian Aiko.

Alen berhenti sejenak untuk meraih tangan Aiko. Dibawanya sang gadis menuju sebuah ruangan yang terletak di pojok. Alen membuka pintunya kemudian menuntun Aiko masuk ke dalam ruangan itu.

Lelaki itu pun menyorot ponselnya ke salah satu sudut ruangan hingga terlihat sebuah bak mandi. Aiko seketika paham dengan ruangan ini. Sudah pasti kamar mandi.

Sejenak, Alen mengetik di ponselnya. Selanjutnya, ia menunjukkan benda itu pada Aiko.

—————————————————

Ai, mandi ya. Biar gak masuk angin. Bajunya saya siapkan habis ini.

—————————————————

Aiko terdiam sesaat, lalu mengangguk.

"Saya tinggal dulu, ya, Ai," pamit Alen kemudian, walau tidak dapat didengar oleh Aiko.

Alen melangkahkan tungkainya keluar bilik, meninggalkan Aiko di kamar mandi. Ia membiarkan gadis itu membersihkan badannya terlebih dahulu. Selagi Aiko mandi, Alen bergegas ke arah lemari. Hendaknya menyiapkan pakaian untuk Aiko.

"Aiko masa iya pakai dalamanku?" monolognya sambil mengamati isi lemari.

"Jangan, dong! Ya, kali Aiko pakai sempak aku," gumamnya lagi. Pikirannya mulai tidak beres. "apa tanya Dafian, ya? Kalau tanya Nia yang ada dia curiga parah terus dilaporin ke mama. Wah, enggak, deh,"

"Mending tanya ke Fian aja walau saran dia gak bakal bener,"

Puas bermonolog ria, Alen pun menelepon Dafian. Butuh dua kali telepon baru diangkat oleh sejawatnya. Dari seberang sana, Dafian terdengar menggerutu. Entah menggerutui Alen atau sesuatu.

"Apa, Len?" tanya Dafian kemudian.

"Mau tanya aja, sih," sahut Alen sambil menggaruk tengkuknya. Ia merasa sedikit malu untuk bertanya.

"Tanya apaan?"

"Ini...Aiko di rumah. Bajunya basah sama kayak aku. Solusinya gimana, ya? Aku bingung,"

"Eh, kamu, kok, bisa sama Aiko? Bukannya sama Meira?" Dafian malah bertanya, alih-alih menanggapi pertanyaan Alen.

"Ya..." yang ditanya tidak melanjutkan perkataannya. Bingung hendak menjawab apa. Kalau menjawab langsung bertemu Aiko setelah mengantar Meira, dikira cemburu. Kalau menjawab lainnya, Dafian tidak akan percaya.

"Kamu nyusulin Aiko, ya, Len?" tanya Dafian lagi, menginterupsi lamunan Alen.

"Hng...iya," mau tidak mau, Alen mengakuinya. "jadi aku harus gimana? Aku gak punya daleman cewek, Daf. Mau beli pun hujannya deres banget."

"Aneh, sih, kalo kamu punya daleman cewek. Gini aja, kasih kaus kamu sama jaket atau hoodie. Jadi enggak bakal kelihatan banget dadanya. Kalo celana, ya, kasih celana kamu aja yang tebel."

"Gak usah daleman?"

"Astaga, Len! Mau pake daleman kamu?"

"Enggak! Jangan!" Alen spontan berteriak.

"Pengang kuping aku!" Dafian turut berteriak.

Alen menyengir. "sorry, lupa. Ehehe,"

"Udahlah, kasih yang aku saranin. Toh, lagi padam. Kamu gak bakal kelihatan. Omong-omong, kamu gak anterin dia ke rumahnya aja? Nanti dicari papanya gimana?"

"Dari Gacoan ke rumahnya Aiko jauh banget, Fian. Gak mungkin nembus hujan dari sana ke rumahnya. Ke rumahku pun terpaksa soalnya Aiko udah kedinginan,"

Alen memang sengaja menerobos hujan tadinya. Hal ini dikarenakan Aiko tampak begitu kedinginan meski sudah memakai jaketnya. Pikir lelaki itu, membawa Aiko ke rumahnya adalah pilihan tepat agar Aiko tidak jatuh sakit esok hari. Yah, Alen takut Aiko sakit. Takut akan dimarahi oleh Hanbin juga karena tidk menjaga putrinya dengan baik.

"Uluh-uluh...baiknya mas pacar. Gitu, dong! Perhatian sama Aiko!" seru Dafian.

"Iya-iya. Biasa aja dong!" balas Alen agak sewot.

"Itu kalo misal hujan sampai malem gimana? Sekarang udah jam setengah enam, loh, tapi hujan masih deras," ucap Dafian penuh kekhawatiran.

Alen menggamang. Dirinya tengah berpikir yang dikatakan Dafian, di samping berpikir mengapa Dafian mengkhawatirkan Aiko.

"Hubungi ayahnya aja, Len. Suruh jemput," usul Dafian kemudian.

"Ayahnya apa gak curiga nanti, ya, kalo aku yang mintain beliau jemput anaknya?"

"Terus? Mau disuruh nginep? Tidur dimana nanti? Kamar satunya aja gak pernah kamu bersihin, tuh,"

"Tidur sama aku, lah! Tapi aku di bawah. Aiko di atas,"

"Di atas mana? Badanmu?"

Alen spontan mengelus dadanya yang masih terbalut baju basah. "pikiranmu kotor banget, ya, Daf. Pengen kulempar jeruk Sunkist,"

"Lagian, sih, ambigu. Ya, udah kalau mau Aiko di sana, gak boleh dimacem-macemin. Pastiin dia baik-baik aja, ya. Kasih tempat buat istirahat. Kasih baju yang tebel biar hangat. Kasih makan juga," oceh Dafian dengan lagak seperti ibu-ibu.

Alen merotasikan matanya. Sebal dengan Dafian yang terlalu perhatian terhadap Aiko. "iya-iya. Bakal kurawat seperti anak sendiri!"

"Bagus. Kalau aku dengar kamu bikin Aiko kenapa-napa, siap kulapor ayahmu!" ancamnya.

"Anjrit! Jangan!"

Tut

Dafian memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Membuat Alen berdecak kesal, bahkan merutuknya dengan kata-kata kasar.

"Kok, ya, punya teman kayak dia," gerutunya.

Puas menggerutu, Alen sepotong mengambil kaus berwarna hitam dari dalam lemari. Ia turut mengambil jaket zipper yang cukup tebal dan celana olahraga yang jarang dipakai olehnya. Tak lupa, sebuah handuk juga ia ambil dari dalam sana.

"Ini gimana ngomongnya ke Aiko? Dia kan gak bisa denger" keluh Alen seraya berjalan menuju kamar mandi. Tangannya mengawang di udara, hendak mengetuk pintu, namun terhenti begitu saja.

Bingung.

"Aiko gak bakal denger kalau diketuk," gumamnya lagi.

Sementara Alen bingung, Aiko pun merasakan hal yang sama.

"Ini gimana cara ngomongnya? Aku gak pakai baju. Di sini gak ada handuk juga," batin Aiko, yang tentunya dapat didengar oleh Alen.

"Aiko...maaf..." bisiknya sebelum mendorong pintu kamar mandi. Untungnya, pintu itu tidak terkunci jadi dapat dibuka dengan mudah.

Namun, Alen tidak sampai membukanya lebar-lebar. Ia hanya membuka sedikit agar tangannya dapat masuk ke dalam ruangan. Yah, Alen meletakkan semua pakaian tadi beserta ponselnya yang menyala di salah satu tangan. Tangannya kemudian dimasukkan melalui celah yang ia buat tadi.

Helaan napas lega lolos dari mulutnya tatkala Aiko mengambil pakaian di tangannya. Ia lantas menutup pintu kamar mandi dan melenggang pergi.

Keesokan harinya

Alen masuk ke dalam kamarnya usai membersihkan diri di kamar mandi. Lelaki berusia dua puluh tiga tahun itu sudah terlihat segar dan wangi. Dengan balutan kemeja batik lengan pendek dan celana hitam panjang, Alen pun tampak rapi. Ia sudah siap untuk berangkat koas pagi ini.

Kedua matanya yang cantik bergulir ke arah ranjang, dimana terdapat Aiko di atasnya. Belahan jiwanya itu masih bergelung di dalam selimut tebal milik Alen. Aiko sepertinya terlalu pulas sampai tidak sadar kalau pagi telah menjelang.

"Perasaan semalam tidurnya lebih awal. Kenapa bangunnya lebih lambat?" gumam Alen keheranan.

Lelaki itu lantas merajut langkah menuju ranjangnya. Begitu tiba, ia duduk di sebelah Aiko. Hendak membangunkan gadisnya. Alen kemudian menyibak selimut yang menutupi tubuh Aiko. Dirinya seketika terkejut mendapati kening dan leher Aiko berpeluh banyak. Selain itu, rona wajahnya berubah pucat. Bibirnya pun demikian.

"Lah, demam," gumamnya sekali lagi tatkala menyentuh kening Aiko. Keningnya basah sekaligus panas.

"Padahal Aiko langsung mandi, tapi masih demam. Apa karena gak makan, ya? Masuk angin, kah?" Alen bingung sendiri sampai menggaruk tengkuknya.

"Aiko—eh, ya, gak bakal denger. Dia gak pakai ABD," ia masih mengamati Aiko. Di matanya, saat ini, Aiko masih cantik walau pucat.

"Aiko...Aiko...nyesel saya bawa kamu. Tau gitu biar sama Ayush aja biar kamu gak sakit," sesal lelaki itu.

Alen membalikkan badan Aiko secara perlahan agar tidak membangunkan gadis itu. Begitu sudah telentang, Alen membuka jaketnya yang dikenakan oleh Aiko agar sang gadis tidak kepanasan. Lelaki tampan ini refleks memalingkan wajahnya saat melihat dada gadisnya yang cukup menonjol. 

Aiko tidak memakai dalaman, dan Alen tidak menyediakannya. Ia sama sekali tidak tahu ukurannya Aiko, di samping tidak dapat membelinya karena hujan deras.

Alen beranjak dari tempat duduknya, berjalan ke arah meja, lalu mengambil ponselnya. Ia mencari kontak saudaranya dan meneleponnya. Saat ini ia benar-benar butuh saudaranya untuk membantu dirinya.

"Ni," ucap Alen tatkala teleponnya tersambung.

"Apa, Len?" sahut saudaranya yang dipanggil "Ni" barusan.

"Sibuk?"

"Mau berangkat kuliah. Kenapa?"

"Bisa ke rumah, gak? Ini—" Alen menolehkan kepalanya. Menatap Aiko yang masih terlelap. "—teman aku sakit. Bawakan makanan sama dalaman."

"Teman? Cewek?" tanya Nia penuh kecurigaan.

Alen menganggukkan kepalanya. Seolah-olah saudara kembarnya dapat melihat. "iya, cewek. Nginep sini soalnya kemarin kehujanan."

"Waduh, Meira bukan?"

"Bukan,"

Nia berdecak di seberang sana. "Yang mana lagi, nih? Jangan suka bawa cewek ke rumah kamu sembarangan! Lapor mama, nih!"

"Aduh, Ni. Kemarin aku yang bawa dia. Kena hujan kitanya. Deres banget kan kemarin. Gak sempat anterin pulang. Naik Grab juga banyak yang nolak," curhat Alen.

Memang, gara-gara hujan deras semalam, ia tidak dapat memesan Grab untuk Aiko. Baik untuk kepulangannya, maupun untuk memesan makanan. Hujan baru reda saat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh.

"Tidur seranjang gak, tuh?"

Lelaki tampan ini diam sejenak.

Semalam memang seranjang dengan Aiko gara-gara ia takut tidur di sofa luar dan di bawah kasur. Tetapi ia memberi dua guling sebagai pembatas. Selain itu, selimut keduanya beda. Dapat dipastikan aman terkendali.

"Enggak. Udah, ya, cepetan ke sini. Aku keburu mau koas. Jangan lama-lama,"

"Dih! Dikira nyari dalaman gampang apa?"

"Ukurannya kayak punyamu, deh. Samain aja, ya. Bye!"

Alen langsung menutup panggilannya sebelum Chalenia Farhana atau yang kerap dipanggil Nia semakin banyak bertanya. Sambil memegang ponselnya, ia menatap Aiko. Di ranjang, Aiko sudah bangun. Gadis itu tengah berusaha duduk seraya  memegangi kepalanya. Alen segera melangkah cepat menuju ranjang.

"Ai," panggilnya, walau sia-sia.

Alen menyentuh lengan Aiko. Mencari perhatian gadis itu. "pusing?"

Yang ditanya mengangguk pelan. Ia pikir Alen bertanya kondisinya saat ini.

"Aku bakal ngerepotin kak Alen sama keluarganya kalau di sini. Mending pulang kali, ya. Tapi kepalaku pusing banget," keluh Aiko dalam hati.

Lelaki dengan balutan kemeja batik itu kemudian mendudukkan diri di sebelah Aiko. Tangannya terulur, menyentuh dahi sang gadis sekali lagi. Aiko tercenung sesaat lantaran diberi sentuhan oleh belahan jiwanya. Sentuhan yang cukup singkat, namun dapat menyedot seluruh perhatiannya.

"Kalau pusing, tidur di sini aja gak masalah, Ai. Nanti saya antar pulang kalau udah mendingan," sahut Alen. Ia mendadak iba dengan kondisi Aiko sekarang.

Aiko menatap belahan jiawanya kebingungan. Sementara Alen, baru tersadar kalau Aiko tidak dapat mendengar ucapannya. Lelaki itu agak kesal, tetapi ia menahannya. Aiko sedang sakit, tidak sepantasnya diperlakukan kasar. Mengingat ia seorang dokter muda, sudah sepantasnya berperilaku baik.

Alen menghidupkan ponselnya, mengetikkan sesuatu di sana. Selepas itu, ia menunjukkan pada Aiko.

————————————————

Tidur aja di sini kalau masih pusing
Nanti siang saya antar pulang

————————————————

Sang gadis menggeleng.

"Merepotkan," ucap Aiko tanpa suara.

Alen mengetik lagi, kemudian menunjukkannya.

———————————————

Gak papa, Ai. Udah, tidur di sini aja sampai badan kamu mendingan. Hari ini gak usah kuliah dulu.

———————————————

Aiko mengangguk pada akhirnya. Luluh dengan bujukan belahan jiwanya. Di samping itu, kepalanya begitu pusing dan badannya lemas. Ia mungkin tidak akan sanggup untuk pulang. Sekalipun diantar oleh Alen.

Dengan bantuan Alen, Aiko kembali merebahkan diri. Ia menarik selimut untuk menutupi badannya, namun dicegah oleh Alen. Lelaki itu mengisyaratkan Aiko untuk membuka jaketnya terlebih dahulu, baru mengenakan selimut. Meski begitu, Alen hanya menyelimuti Aiko hingga perutnya.

Usai menyelimuti Aiko, Alen memalingkan wajahnya. Takut tergoda dengan salah satu bagian tubuh Aiko.

"Andai bisa bicara, aku pasti bilang terima kasih. Mungkin lain kali saja," ucap Aiko dalam hati, yang dapat didengar oleh Alen.

"Kak Alen baik. Semoga seterusnya seperti ini," sambung Aiko.

Tanpa Aiko ketahui, Alen merana mendengar suara batin gadisnya. Ia tidak sebaik yang Aiko pikirkan. Malah cenderung jahat. Sampai saat ini dirinya belum bisa menerima Aiko sebagai soulmate-nya. Hal-hal yang ia lakukan sampai detik ini hanya sedikit melibatkan perasaan. Selebihnya hanya terpaksa. Jujur, ia tidak ingin memberikan Aiko perhatian, bahkan sampai hidup bersama gadis itu.

"Maaf, Ai," lirih lelaki itu.

Alen bangkit dari tempat duduknya. Melangkah keluar kamar, menuju dapur. Ia berencana mengambil sebaskom air dan kain untuk mengompres Aiko. Begitu sudah mendapatkan yang ia butuhkan, Alen kembali ke kamarnya. Tatkala memasuki biliknya, terdengar terdengar suara dering ponsel.

"Siapa nelpon?" batinnya sembari mendekati sumber suara.

Usut punya usut, suara tersebut asalnya dari dalam tas selempang milik Aiko. Alen segera meletakkan bawannya di atas meja, lalu membuka tas Aiko. Ia pun mengambil ponsel Aiko yang berdering. Di layar terlihat panggilan telepon video dari Ayush.

Dengan iseng, Alen mengangkat teleponnya. Namun, bagian kamera ia tutupi dengan tangannya.

"Halo, Aiko sayang? Kamu udah di kampus? Aku tadi ke rumah kamu, tapi gak ada orang. Kemarin sama Alen habis makan langsung pulang, kan?" Ayush bertanya tiga pertanyaan sekaligus. "kenapa kameranya enggak aktif?"

"Apaan sayang-sayang?" batin Alen sewot.

"Halo, Ai?"

"Ini saya Alen. Ponsel Aiko ada di saya. Kenapa?" Alen bersuara sambil membuka kamera ponsel Aiko.

"Eh, kok ada di kamu? Dia sama kamu? Enggak di kampus? Baik-baik aja, tapi, 'kan?" tanya Ayush lagi sarat akan kekhawatiran.

"Iya baik. Sudah, ya, saya tutup," balas Alen dengan malas. "oh, ya. Tolong jangan panggil pacar saya dengan sebutan sayang. Saya gak suka!"

Tanpa menunggu jawaban dari Ayush, Alen langsung mematikan ponsel Aiko. Ia menyimpan benda itu di tempat semula usai menghidupkan mode senyap.

"Sial, kenapa sekesal ini?"

Welcome

Chalenia Farhana

Continue lendo

Você também vai gostar

42.8K 6K 36
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
33.3K 4.4K 42
[DISCLAIMER!! FULL FIKSI DAN BERISI TENTANG IMAJINASI AUTHOR. SEBAGIAN SCENE DIAMBIL DARI STREAM ANGGOTA TNF] "apapun yang kita hadapi, ayo terus ber...
44.6K 3.2K 48
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...
440K 4.6K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...