MAHESWATI (TAMAT)

By ruangsari

705K 50.7K 2K

Maheswati rasanya ingin menangis. Di saat ia kehilangan orang tua satu-satunya yang tertinggal, ia juga kehil... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33

Bagian 24

15.6K 1.4K 158
By ruangsari

Genggaman erat tangan Hakim menjadi satu-satunya sumber kekuatan bagi istrinya. Menarik napas panjang dan membuangnya pelan-pelan. Di ruang bersalin yang berpenyejuk keringat bercucuran membanjiri pelipis, wajah dan seluruh badan perempuan ini. Semakin bertambah pembukaan maka kontraksinya semakin sering. Istrinya merintih, menggigit bibirnya, lalu menjerit.

Ini merupakan pengalaman pertamanya menyaksikan sendiri secara langsung proses persalinan, betapa Hakim sangat paham Hesa tersiksa, berat perjuangannya dan besar rasa sakitnya. Dulu saat Prisa melahirkan, kekhawatiran itu tak begitu berarti jika dibandingkan sekarang, karena ditempuh dengan jalan operasi.

Jika saja rasa sakit ini bisa digantikan, dengan senang hati Hakim akan melakukannya. Ia tak sampai hati melihat istri yang sangat dikasihi berjuang sendiri. Tangannya tak berhenti mengelus kepala Hesa, merapalkan doa dan selawat. Sesekali Hakim akan memegang handuk kecil untuk menghapus keringatnya, usai membasuh peluh sendiri yang ikut keluar.

"Kuat, Sayang! Kuat! Hesaku kuat!" bisiknya terus menerus.

Jalan lahir terbuka sempurna, Hesa mengejan kuat-kuat setelah mendapat instruksi dari dokter. Mengejan lalu kemudian mengatur napas dan diulang-ulang, hingga bayi suci berjenis kelamin laki-laki lahir ke dunia. Dengan berat 3.5 kilogram. Hakim mengecup kening Hesa lama, sembari ngucapkan terimakasih berkali-kali. Ia memandang bayi itu penuh haru. Wajah, mata, bibir, hidung persis bundanya.

***

"Hes, dia nangis! Mas pikir kamu nggak ada di kamar!"

Hesa seolah tuli, dan tetap fokus dengan buku-buku pelajaran. Mengabaikan Hakim yang tergopoh-gopoh merengkuh bayi mungil dalam boks. Lelaki itu tak habis pikir dengan kelakuan istrinya yang banyak berubah. Dua minggu setelah melahirkan, Hesa mengutarakan keinginannya melanjutkan kuliah. Sempat bersitegang karena tak setuju. Hakim meminta Hesa untuk fokus dulu mengurus Cahya, tapi tak dihiraukan. Akhirnya Hakim pun pasrah dan membiarkan Hesa melakukan apapun yang diinginkan.

"Hesa, Sayang! Dia nggak mau diam! Dia lapar, Hes! Dia haus!" Sekonyong-konyong Hakim mendekati Hesa yang masih tak perduli. Sementara tangisan Cahya semakin nyaring memenuhi isi kamar.

"Minta ke Luluk. Sudah ku suruh dia beliin susu formula." Sahut Hesa tanpa menoleh.

Tentu saja Hakim terkejut. "Susu formula? Memangnya kenapa dengan ASImu?" tanyanya tak mengerti. Selama ini tidak ada kendala menyusui yang mengharuskan istrinya ini harus menggantinya dengan susu formula.

"Aku sibuk! Nggak ada waktu ngurus dia!"

Emosi Hakim naik seketika. "Nggak begitu seorang ibu memperlakukan anaknya, Sayang. Dia menangis, kamu biarkan saja."

Hesa menoleh, menatapnya tajam. "Itu kan anakmu! Selama ini Mas yang mau!"

"Ya Allah, Hes! Apa kamu nggak kasian sama dia? Dia lapar. Ayolah! Apa untungnya buang-buang ASImu?"

"Kalau aku bilang nggak ya nggak!"

Sementara tangisan itu semakin mengiris hati, Hakim memilih berhenti berdebat. Melangkah gegas keluar kamar sembari terus menenangkan bayi Cahya. Menuju ke dapur dan berteriak, "Luluk! Buatin susu sekarang!"

"Papa, adek kenapa?" Rupanya kegaduhan yang berlangsung menarik atensi Jinan mendekat.

"Haus!" Jawab lelaki itu.

"Oh adek haus. Trus Bunda mana? Kok dikasih susu formula, Pa?"

"Bismillah, aaaa, Sayang!" Pelan-pelan Hakim menyuapkan dot ke mulut mungil sang putra.

Cara bayi ini menyedot rakus membuat hati Hakim dihujani rasa bersalah yang bertubi-tubi. Tak pernah menyangka bila seperti ini pada akhirnya. Tak pernah menyangka Hesa akan menolak bayinya. Untungnya Cahya pintar. Dia langsung bisa beradaptasi dengan benda plastik.

"Sini, Pa ... biar Jinan yang pangku."

Dipindahkan tubuh kecil itu pada pangkuan Jinan. Pikiran Hakim kacau. Ia membanting punggungnya di sandaran sofa. Tatapannya nanar pada interaksi Jinan dan Cahya. Dadanya sesak memikirkan keduanya yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Jika si kembar masih merasakan kasih sayang Prisa dengan utuh meskipun hanya sampai usia 11 tahun. Lain halnya dengan Cahya. Bayi yang masih merah ini harus merasakan namanya ditolak, bahkan sebelum dia dilahirkan ke dunia harus menanggung keegoisan yang disebabkan oleh kedua orang tuanya.

"Adek Sayang, adek ganteng!"

Tak asing lagi bagi bapak tiga anak ini dalam hal mengurus bayi. Bisa dikatakan Hakim sudah menjadi ahlinya. Dulu saat bersama Prisa bahkan dia harus mengurus dua bayi sekaligus tanpa bantuan pengasuh. Maklumlah, saat itu ia masih kuliah dan hanya kerja paruh waktu. Jangankan untuk mempekerjakan pengasuh, untuk hidup saja serba pas-pasan. Hakim harus membawa Jinan ke kampus, dan tempat kerjanya. Hal yang sama juga dilakukan Prisa, kuliah dan kerja sambil membawa Jihan. Sesusah apapun itu bila dilalui dengan bahu membahu pasti semua akan terasa ringan.

Bersama Hesa, ia tak merasakan itu. Sifat Hesa yang sangat kekanak-kanakan, sungguh melelahkan. Harus dengan cara apa lagi Hakim mengajari istrinya itu untuk menjadi istri yang baik, penurut, penyabar dan dewasa. Kenapa rasanya susah sekali?

Sedangkan dari balik pintu kamar, bahu Hesa merosot. Tubuhnya luruh ke lantai. Ditepuk-tepuk dadanya yang sesak menelan isak tertahan. Sungguh mati, ngilu mendengar tangisan Cahya. "Maafkan Bunda, Nak! Maaf! Bunda emang nggak berguna! Bunda emang jahat!"

***

Hakim menyeringai mendapati istrinya hanya mengenakan handuk sehabis mandi dengan tubuh yang segar dan harum semerbak. Seperti biasanya, Hesa tampak tak perduli. Berjalan melewatinya masuk ke dalam ruang ganti tanpa menutup pintu. Membiarkan kain yang menutupi tubuhnya jatuh ke lantai. Perempuan itu segera memasang bra dan underware.

Seketika badan Hakim terasa panas dingin menyaksikan pemandangan tersebut. Ia lantas mendekat. Mencekal tangan ramping istrinya saat akan mengenakan daster rumahan.

"Kamu udah bersih?" tanyanya saat tak mendapati perempuan ini menggunakan pembalut. Berarti masa nifasnya sudah berakhir.

Istrinya tidak menjawab. Melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.

"Mas sudah puasa dua bulan loh, Sayang!" Cetus lelaki itu menggoda. Telapak tangannya mengelus paha istrinya. "Kamu tambah seksi!"

Perempuan itu menghindar. "Aku nggak bisa!"

Hakim membuang napas. Sejak insiden susu formula beberapa minggu yang lalu hubungannya dengan perempuan ini belum begitu mencair. "Ya ya ya! Sekarang nggak bisa nggak papa." Senyum bermain di sudut bibir. Hakim semakin mendekat, memangkas jarak. Menjangkau tubuh istrinya dan berbisik. "Tapi, tolong lain kali jangan nolak. Karena nolak suami itu dosa, Hes!"

"Nggak ada lain kali!" Hesa mendorong tubuhnya hingga terlepas. Mereka saling tatap. "Aku nggak mau melakukannya dengan orang yang nggak mencintaiku!"

Hakim mengernyit tak paham. "Kamu ini ngomong apa?"

"Aku bukan Hesa yang bodoh yang bisa dimanfaatin. Mungkin Mas bisa melakukannya tanpa melibatkan perasaan, tapi aku nggak bisa, Mas!"

Hakim masih tak mengerti.

"Aku nggak mau diperlakukan beda. Aku ini istrimu, tapi seolah hanya Tante Prisa yang jadi nyonya di rumah ini. Kenangannya. Foto-fotonya. Semua seolah abadi. Begitu juga cintamu. Aku di rumah ini seperti orang lain."

Mata Hakim membeliak. Mulutnya sedikit terbuka. Dan detik selanjutnya ia terkekeh. Apalagi yang ingin Hesa minta darinya? Selama ini ia sudah bersabar sebagai suami. Semua permintaan Hesa sudah ia turuti.

"Sekarang apa lagi?" tanya lelaki itu pelan.

"Cinta!"

"Anak kecil kayak kamu tahu apa tentang cinta? Mengurus anak saja nggak becus!" Ini memang terdengar kejam, dan Hakim bisa melihat kilat kecewa di mata perempuan itu. Tapi ia tidak bisa menarik kembali yang sudah terlanjur ia lontarkan.

"Aku benar-benar kasian sama Papa. Saking percayanya dia sama orang, sampai-sampai anaknya dijadikan tumbal. Papa nggak pernah tahu seperti apa lelaki yang sudah menikahi anaknya. Om om hidung belang yang gila hasrat, bahkan tega menyebutku anak kecil setelah aku bertaruh nyawa melahirkan bayinya."

"HESA!" Darah Hakim rasanya mendidih. Kedua tinjunya mengepal. Segenap kendali diri ia kerahkan agar tangannya tak berpindah dari tubuhnya. Sungguh, perkataan Hesa melukai harga dirinya sebagai seorang suami.

"Trus apa bedanya aku sama Tante Prisa? Aku juga istrimu!"

"Banyak! Saking banyaknya sampai-sampai nggak bisa disebutkan satu-satu. Yang jelas, Prisa punya segalanya yang nggak kamu punya. Dia perempuan yang mandiri, paham, pengertian, dewasa ...." Hakim berhenti saat melihat Hesa menutup telinga dengan kedua tangan.

"Aku mau cerai!" Teriak perempuan itu.

Bagai disambar petir, napas Hakim tertahan. Permintaan Hesa kali ini jauh lebih membuatnya kaget. "Kita ini jodoh, Hesa. Semuanya sudah diatur sebelum kita dilahirkan. Apakah kamu masih belum mengerti juga? Masih merasa terpaksa?"

"Pokoknya aku mau cerai."



-REPOST-
Baca selengkapnya di Karyakarsa // Total 45 chapter

Continue Reading

You'll Also Like

64.9K 5.3K 35
"Bee, ce-petan ish, nan-ti anak-anak bangun," pinta seorang wanita bertubuh gemuk kepada sang suami yang tengah bergerak di belakangnya. Tak peduli...
69.8K 4.3K 24
[TERSEDIA VERSI LENGKAP DALAM BENTUK PDF] Mia dan Johan, adalah pasangan beda usia yang rentang selisihnya tak main-main jauhnya. Dua puluh lima tahu...
94.7K 3.9K 42
"Dengar sayang, ini mobilnya teman aku. Tadi dia jemput aku di bandara. Setelah itu aku pinjam mobilnya, buat ketemu kamu," "Memangnya temannya kamu...
99.3K 12.6K 69
[ Jujutsu Kaisen X Reader] ā¯¯Walaupun memiliki wujud layaknya manusia, bukan berarti seseorang bisa disebut manusia. Menipu dan berpura-pura sama seka...