Profitable Love

De itserimnida

132K 8.9K 21.7K

[RE-WRITE] Setelah hubungannya dengan Daniel berakhir, Feira benar-benar dirundung rasa ketidakpercayaan. Dia... Mai multe

prologue
01. pertengkaran pagi
02. pertemuan menyebalkan
03. hal langka
04. insiden memalukan
05. usulan teman
06. bertemu kembali
07. permintaan mengejutkan
08. hari menyebalkan
09. insiden mengejutkan
10. posisi tak aman
11. timbul rasa
12. sebuah rencana
13. perasaan aneh
14. kali kedua
15. memanfaatkan keadaan
16. insiden di minimarket
17. permintaan konyol
18. jawaban tak terduga
20. keterkejutan mutlak
21. setitik penyesalan
22. hari terberat
23. akhir yang gagal

19. sebuah permintaan

1.9K 241 778
De itserimnida

"Bas, lo gak ada niatan buat cari pacar, gitu?"

Disuguhkan pertanyaan konyol seperti itu secara mendadak oleh Dion, membuat Bastian serta-merta merasa linglung untuk sesaat. Lantaran ia tak pernah menduga sebelumnya, jikalau dirinya yang baru saja selesai memesan makanan, dilempar sebuah bom begitu saja tatkala sampai di bangku kantin paling ujung dimana kedua temannya berada. Terlebih lagi, perihal mencari pacar, Bastian belum memikirkannya. Dia masih berada di zona nyaman sendiri, hidupnya terasa bahagia walau tanpa pacar.

Menurutnya, Dion itu merupakan spesies yang sangat kepo, ribet, dan selalu mengurusi hidupnya dengan berkedok peduli sebagai teman. Peduli setan. Dion tetaplah Dion. Dia menyebalkan. Tetapi, untung saja Bastian masih menganggapnya teman. Ya, masih untung. Menggaruk ujung hidungnya yang mendadak terasa gatal, Bastian serta-merta berujar, "Emangnya kenapa?"

"Kebiasaan banget orang nanya, malah nanya balik."

"Hehe." Bastian sedikit tertawa menatap Dion yang mulai sewot. Ia lantas melanjutkan, "Ada, cuma belum nemu yang pas aja."

"Emang tipe lo yang kayak gimana? Pasti yang bahenol."

Lihat? Selain kepo, Dion juga orangnya sok tahu. Dia yang bertanya, dia juga yang menjawab pertanyaannya sendiri.

"Enggak juga, tapi kalau nemu yang gitu sih gak papa, bonus."

"Terus, lo sukanya yang cantik?"

"Cantik mah relatif, yang penting baik aja hatinya."

Mendengar penuturan kata yang menurut Dion aneh bila diucapkan oleh Bastian, membuat Dion serta-merta mendorong sebelah bahu temannya itu dengan niat bercanda. "Gaya lo, Bas. Sok iye banget dah." Katanya sembari tertawa renyah, Bastian ikut andil menertawakan jawabannya sendiri, kendati sebenarnya dia tidak tengah melawak sedikit pun, melainkan berkata jujur.

Kemudian Dion menghentikan gelak tawanya sesaat ketika kedua netranya mulai terpatri kepada sosok Fanza yang kini tengah sibuk menyantap bakso di hadapannya, tidak ikut andil membuka suara sedikit pun, sama sekali tidak hirau dengan keadaan sekitar. Benar-benar flat. Membuatnya berhasil mendapatkan sebuah ide usil dalam sekejap, lalu Dion pun kembali melanjutkan konversasinya dengan Bastian, namun tentu saja dengan mata yang sengaja melirik ke arah Fanza, bersama suara yang dikeraskan. "Si Feira termasuk tipe lo gak?"

Bastian peka detik itu juga, apalagi setelah melihat gerak-gerik Dion yang ditujukan kepada Fanza. Maka dari itu, dia pun menyindir, "Dia termasuk, sih. Cuma kayaknya ada yang suka sama dia di sini. Makanya gue gak jadiin dia pacar."

Menyadari bahwa kedua temannya tengah memerhatikannya, membuat Fanza mendadak mendongak, berhenti mengunyah, bertanya dengan raut heran. "Kenapa ngelihatin gue?"

Tidak buru-buru menjawab, Bastian dan Dion justru malah tertawa terbahak-bahak di sana. Menurut mereka, mengusili Fanza dengan cara menjodoh-jodohkannya dengan Feira merupakan pekerjaan baru yang terasa sangat menyenangkan. Bukan tanpa alasan, lantaran mereka berdua sangat yakin jikalau Fanza memang sudah menyukai Feira. Namun, pemuda tersebut masih saja tidak mengakuinya, entah gengsi atau Fanza memang benar-benar belum menyadari jikalau dirinya sudah mulai menaruh hati kepada gadis tersebut.

Kemudian tanpa merespon apa pun perihal kebingungan yang tengah dirasakan oleh Fanza, di sana Bastian mulai mengalihkan atensi serta berteriak kencang setelahnya, melambaikan tangan ke arah dua gadis di seberang yang terlihat sangat kebingungan, seperti tengah mencari sesuatu. "Hei, kalian, sini!"

Amanda dan Kanaya merupakan gadis yang dimaksud. Kedua gadis itu lantas menuruti permintaan dari Bastian tanpa berpikir panjang. Berjalan mendekat, lalu setelah sampai di depan mejanya, mereka mulai dicecar pertanyaan oleh Bastian, "Kok cuma berdua?"

Amanda membalas cepat, "Ah, itu, si Tasya lagi sakit, sedangkan si Feira lagi ke taman belakang, ada urusan."

"Oh, gitu. Kalian udah pesen makanan?"

"Baru mau. Tapi, kantinnya penuh."

"Gabung di sini aja," ajak Bastian ramah sembari menepuk kursi di sebelahnya yang kosong.

"Di sini, Nay?" tanya Amanda sedikit ragu, meminta persetujuan dari Kanaya.

Sama halnya dengan Amanda, Kanaya pun tampak ragu. Lantas, ia tidak buru-buru menjawab, melainkan kembali mengedarkan pandangannya sekejap ke sekeliling, memeriksa tempat kosong. Namun, tetap saja dia tidak menemukannya satu pun, semuanya penuh. Maka dari itu, dengan sangat terpaksa Kanaya menyetujui ajakan Bastian untuk ikut bergabung di sana. Well, biasanya jika ada Tasya, dia merasa biasa saja duduk bersama ketiga pemuda tersebut. Namun sekarang, keadaannya berbeda, Tasya tidak sedang bersamanya. Maka tidak heran, ketika duduk didekat Bastian, Kanaya benar-benar merasa kaku setengah mati.

Rasa canggung yang dirasakan Kanaya ternyata tidak berhenti sampai di sana. Lantaran setelah dirinya duduk, dia baru menyadari jikalau Amanda tetap berposisi berdiri seperti semula; stagnan ditempat dengan memasang raut wajah kebingungan--yang membuat Kanaya semakin kelesah karenanya, apalagi, setelah mendengar Amanda melontarkan pertanyaan sepihaknya dengan cepat sembari hendak mengambil ancang-ancang untuk pergi, "Nay, bakso kayak biasa, 'kan? Gue pesenin, lo tunggu di sini."

Sial.

Amanda benar-benar pergi dari sana begitu saja tanpa mendengarkan jawabannya terlebih dulu, gadis itu terlihat sangat terburu-buru saat mengambil langkah. Ketiga pemuda yang duduk bersama Kanaya bahkan sempat dibuat heran melihat gelagat aneh Amanda. Namun, sepertinya mereka tidak ingin memperpanjang serta tak ingin mengambil pusing, terlihat dari cara Bastian yang segera kembali membuka suara ditengah keheningan yang baru saja terjadi, hingga sukses membuat Kanaya yang tengah melamun menatap kepergian Amanda--mendadak tersentak. "Eh, omong-omong, si Feira ada urusan apa?"

Gadis berkacamata itu mengerjap, lalu menjawab, "Gak tahu."

Bastian terlihat menganggukkan kepala paham, sempat diam sesaat untuk mencari topik pembicaraan. Lantaran Bastian pun mendadak jadi merasa canggung tanpa alasan, mungkin gara-gara mendapat respon singkat dari Kanaya barusan, pun karena ia tahu bahwa Kanaya merupakan tipikal gadis yang pendiam, sama seperti Fanza. Menurutnya, akan terasa sulit jika berkomunikasi dengan spesies manusia kulkas seperti mereka, dia pernah mengalaminya dulu ketika ingin menjalin hubungan pertemanan dengan Fanza. Lalu kembali pada realita yang ada, Bastian serta-merta kembali berucap, "Erm, lo ... udah lama sahabatan sama mereka, Nay?"

"Lumayan."

"Berapa tahun?"

"Dua."

"Mereka baik sama lo?"

"Iya."

"Rumah lo di mana?"

"Rahasia."

Reflek, Bastian menanap ke arah Dion, begitu pun sebaliknya. Mungkin mereka memang memuliki pemikiran yang sama satu sama lain tentang Kanaya, atau bisa jadi sama-sama terkejut mendengar respon gadis tersebut yang sangat singkat setiap menjawab. Namun yang jelas, Kanaya tidak peduli terhadap tanggapan apa pun dari kedua pemuda tersebut tentangnya. Mendengarnya pun tidak ingin. Lantaran perihal urusan pribadinya, dia tidak ingin memberitahukannya kepada siapa pun.

Maka dari itu, setelah mengalihkan tatapan ke arah Fanza yang tengah bermain ponsel tepat dihadapannya, bahkan sepertinya sama sekali tidak menyimak pembicaraannya sejak tadi--membuat Kanaya mendadak teringat akan sesuatu hal. Ia pun lantas segera mengajaknya untuk mengobrol--karena dirasa memang perlu dan penting, "Kak Fanza, Kakak masih punya contoh soal olimpiade sains?"

Fanza terlihat mejauhkan ponselnya dari pandangan dengan keadaan agak tersentak, menyimpannya di atas meja, perlahan mulai mendongak. "Punya."

"Gue boleh minta?"

Fanza mengangguk. "Kapan?

"Secepatnya."

"Oke." jawab Fanza sesingkat-singkatnya, lalu kembali  bermain ponsel.

"Lo jadi perwakilan sekolah?" kali ini Bastian ikut nimbrung.

"Iya."

"Wah, keren."

Ditengah-tengah percakapan mereka, secara tiba-tiba seorang pemuda yang tidak lain adalah Daniel datang menghampiri meja tersebut, dia mendekat dengan segudang rasa lelah serta memasang raut kebingungan yang begitu kentara, wajahnya kuyu, tatapan seperti tengah mencari sesuatu, bertanya dengan terburu-buru, "Kanaya, si Feira mana?"

Belum sempat Kanaya membuka mulut, Amanda sudah lebih dulu menjawab, "Dia gak sekolah." Gadis tomboy itu berada tepat di belakang Daniel, sehingga membuat pemuda tersebut menoleh dengan terkejut. Amanda datang dengan langkah santai sembari membawa nampan berisi dua mangkuk bakso pesanannya bersama Kanaya.

"Serius? Kenapa? Dia sakit?" tanya Daniel panik.

Amanda hanya mengedikkan bahunya tak acuh, menyimpan nampan tersebut di atas meja, lalu duduk di sebelah Dion dan menatapnya dengan raut tak suka. Dari sana, Daniel mulai menyadari jikalau Amanda nampaknya masih menyimpan rasa kesal terhadapnya perihal ia yang telah menyakiti Feira waktu itu. Maka, jika seperti itu kebenarannya, Daniel tidak ingin memperpanjang. Dia lebih memilih untuk menarik presensi setelah mengatakan, "Oke, thanks."

Setelah melihat Daniel berjalan keluar dari kantin, Bastian mulai bertanya heran kepada Amanda, "Lo kenapa bohong?"

"Biar si Daniel gak nyariin si Feira terus. Kayaknya alasan si Feira ngumpet ke taman belakang karena dikejar si Daniel, deh. Kasihan sampai segitunya."

"Lah, tapi kemarin lusa gue ketemu mereka berdua di rumah sakit sambil pegangan tangan."

"Serius, Kak?" Amanda tampak terkejut mendengarnya, sementara Bastian mengangguk yakin sebagai jawaban.

"Gue gak tahu masalah itu sama sekali, Kak. Si Feira gak cerita apa-apa."

"Ah, kalau lo gak percaya, tanya aja si Fanza. Kemarin lusa dia nyariin si Feira di rumah sakit, katanya dompetnya jatuh."

"Beneran, Za?" Dion ikut andil penasaran.

Pemuda yang ditanya hanya mengangguk sekali tanpa minat. Bahkan, tidak berniat menceritakan hal apa saja yang terjadi pada hari lusa, kendati Bastian dan Dion menagih penjelasan padanya. Untung saja, detik itu juga ponselnya mendadak bergetar, muncul pemberitahuan bahwa Virania menelponnya. Jadi, dia tidak perlu melanjutkan pembicaraannya. Tanpa membuang waktu banyak, Fanza segera mengangkat sambungan teleponnya. "Halo, Vir?"

Orang diseberang sebenarnya sudah memulai percakapan, namun sayangnya Fanza tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Lantaran suasana kantin semakin siang semakin ramai dan berisik. Maka dari itu, si pemuda lantas berdiri, lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun kepada para temannya. Pemuda tersebut hanya fokus kepada ponselnya, bahkan ditengah perjalanan dia mulai memasang earbuds di kedua lubang telinganya, memiliki asumsi bahwa tangannya tidak akan merasa pegal jika harus menempelkan ponsel pada telinganya secara terus-menerus.

"Bentar, Vir. Di sini berisik banget."

Fanza masih saja berjalan tanpa tujuan, menghindari keramaian. Namun, saat menemukan tempat yang sepi--yakni koridor sekolah sebelah utara, jaringan internetnya malah menghilang, membuatnya harus kembali mencari tempat yang pas untuk memulai pembicaraan dengan sang adik. Fanza kembali melanjutkan perjalannya sembari menatap layar ponsel, tak membutuhkan waktu lama, jaringannya kembali membaik. Ia pun lekas membuka suara, "Ada apa, Vir?"

Terdengar suara decakan di seberang. "Kakak kenapa, sih? Kok lama banget?"

"Gak ada jaringan di sini."

Vira mendesah, wajahnya menekuk kesal. "Kakak pulang jam berapa?"

"Kayak biasa, mungkin?"

"Jangan keluyuran dululah, Kak. Uang gue habis, nih. Gak ada ongkos. Nanti jemput gue, ya?"

"Ogah."

"Ih, Kak Fanza! Pelit banget!"

"Bodo amat."

Untuk seketika, Virania segera mengubah ekspresinya dengan penuh harap, semangatnya menggebu-gebu untuk membujuk sang kakak, mencari seribu cara agar permintaannya lekas terkabulkan. "Kakak, ih! Jemput gue, ya, ya, ya? Nanti gue traktir bakso Mas Dino, deh."

"Buat ongkos aja gak punya, sok sok'an mau traktir segala."

"Yeehh, gue punya kali kalau di rumah. Bahkan, lebih banyak dari lo."

"Oh."

"Pokoknya, nanti jemput gue, ya, ya, ya?"

"Iyaaa, bawel."

"Hehe, iya apa nih?"

Fanza menjawab dengan nada yang mulai meninggi, lantaran kesabarannya mulai menipis. "Iyaaa, gue mau."

"Kakak mau jadi pacar Ira?"

Fanza mendadak dibuat tersentak setelah dihampiri oleh seorang gadis yang entah datang dari mana. Kedua matanya mengerejap kebingungan. Dan di sana, dia baru saja menyadari akan sesuatu hal, bahwa sejak tadi dirinya tanpa sadar berjalan menuju taman belakang sekolah. Ya, jaringan internetnya benar-benar bagus di sini. Kembali mengambil seluruh kesadaran yang baru saja hampir melebur, Fanza lekas memokuskan diri, menatap gadis yang kini masih berdiri tepat di depannya dengan tatapan penuh harap, menunggu jawaban darinya yang bahkan Fanza sendiri lupa dengan pertanyaan gadis tersebut.

Menyadari bahwa lawan bicaranya tidak memberikan respon sama sekali, membuat si gadis harus kembali bertanya dengan setengah gugup, "K-kakak mau jadi pacarnya Ira?"

Ya, dia adalah Feira. Teman dari pacar temannya, Dion. Fanza sekali lagi memastikan, dengan kerutan di dahi, sembari bertanya dalam hati, ini cewek lagi nembak gue, apa gimana?

Fanza terdiam sembari berpikir, sekiranya ada tiga detik pemuda itu bungkam dan diam, setelahnya dia mulai mengerjap saat mendegar suara Virania dari seberang, ternyata sambungan teleponnya masih tersambung. Maka, agar Vira tidak mendengar percakapannya dengan Feira di sana, Fanza pun segera mematikan sambungan teleponnya, melepas sebelah earbudsnya dan memasukkannya ke dalam saku celana.

Saat kembali mengangkat kepalanya dengan perlahan, membalas tatapan gadis di hadapannya, secara tiba-tiba sebuah ide melintas begitu saja di dalam kepalanya. Sudut bibir Fanza pun perlahan mulai terangkat. Dia mengangguk, "Iya."

Kedua netra Feira membulat sempurna, ia tampaknya sangat terkejut dengan situasi yang tengah dialaminya ini. Lantaran dia sama sekali tidak pernah menduga jikalau hal yang tengah dialaminya ini adalah nyata, lelaki kulkas tiga pintu yang kini sedang berada di depannya mau menjadi pacarnya pula. Ah, ini sebuah keberuntungan untuknya, bukan? Karena kini ia memiliki pacar yang wajahnya mirip Oppa Korea. Mimpi apa dia semalam?

"Ja-jadi, sekarang ki-kita jadian?" tanya Feira yang terbata. Entah mengapa dia menjadi gugup saat menatap kedua mata sipit itu.

Fanza mengangguk pelan tanpa berpikir panjang. Entahlah, menurutnya mungkin ini jalan yang terbaik baginya. Benar. Apalagi, setelah dia ingat akan sesuatu hal di dalam kepala. Perihal Bunda, Farah dan Tante Marissa. Banyak sekali celah jalan keluar yang membawanya berjalan menuju tempat dimana setumpuk harapan yang indah berada, bilamana ia mengikuti arus kesalahpahaman ini.

"Karena sekarang lo udah jadi pacar gue, nanti pulang sekolah lo bisa ikut gue?"

"Ke mana?" tanya Feira bingung.

"Rumah gue." <>

***

Please, nulis satu chapter aja rasanya sudah banget '(

Continuă lectura

O să-ți placă și

ARGALA De 𝑵𝑨𝑻𝑨✨

Ficțiune adolescenți

6.8M 286K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
ALZELVIN De Diazepam

Ficțiune adolescenți

5.6M 309K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
13.4M 1.1M 81
♠ 𝘼 𝙈𝘼𝙁𝙄𝘼 𝙍𝙊𝙈𝘼𝙉𝘾𝙀 ♠ "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...