Terima kasih kamu telah menolong mamaku, terima kasih kamu telah merawat mamaku, terima kasih kamu telah menjaga mamaku dengan baik, dan terima kasih kamu telah menyelamatkan orang yang paling berharga dalam hidupku.
***
"Gimana sih lo rin, udah ditolong malah diam aja. Ngucapin terima kasih atau apa kek. Greget gue lihatnya." Clara menyenggol bahu Morin.
Morin diam seribu bahasa tidak mendengar apa yang diucapkan Clara. Ia masih memikirkan kejadian tadi, bayang-bayang wajah Alizter terisi penuh diotaknya. Apalagi ketika cowok itu mengibaskan rambut basahnya ke arah belakang, hal itu membuat ketampanannya meningkat dua kali lipat.
Setelah pulang dari ruang guru, Morin senyum-senyum sendiri sembari memegang tangannya. Ia membayangkan kejadian itu lagi ketika bagaimana cowok itu memegang tangannya dengan penuh perasaan.
"Gue nggak akan cuci nih tangan gue."
"Alizter lo bikin gue baper. Tanggung jawab lo."
Morin bergumam dalam hatinya. Cewek itu terlihat sangat senang, Clara berdecak sebal, "Kalau orang ngomong tuh dengerin." Clara mencubit lengan Morin keras.
Sontak Morin melotot, kaget akan tindakan Clara yang tiba-tiba itu, "Aau!" Morin mengerang kesakitan. Cubitan cewek itu sangat keras seperti semut merah yang sedang menggigit kulitnya.
"Apaan si lo," dercak Morin. Cewek itu menatap sinis kearah Clara.
Clara tidak menghiraukannya. Cewek itu tiba-tiba asik dengan ponselnya sendiri.
Morin hanya mengikuti langkah kaki sahabatnya itu yang terus berjalan ke depan.
Morin mengambil ponsel yang terus bergetar dalam saku roknya. Cewek itu merasa aneh kenapa tiba-tiba ada yang menelponnya. Hal ini sangat jarang terjadi. Morin berusaha mengabaikan panggilan itu, tetapi deringan ponselnya tidak berhenti. Merasa sangat penasaran, cewek itu menarik berbenda pipih itu. Ia melihat nama yang terpampang jelas disana.
Clara sudah pergi menjauh pergi ke kelasnya. Morin menghentikkan langkah kakinya. Rupanya Nanda yang menelpon, cewek itu berpikir paling adiknya hanya mau iseng mengerjainya. Morin mengangkat sambungan telpon itu.
Ada apa si Nan?
Gimana si lo, ngangkat telpon aja lama banget.
Terdengar suara panik dari arah seberang. Morin menaruh rasa curiga yang kuat. Pasti ada kejadian yang tidak beres.
Lo kenapa panik, ada apa? Ada kejadian apa?
Mama kak
Morin seketika ikut panik. Entah ada kejadian apa kenapa tiba-tiba adiknya itu menangis. Morin bingung ketika Nanda terisak sangat keras. Morin dililiti rasa kepanikan yang dahsyat.
Mama kenapa? Ada apa?
Buruan ngomong ada apa?
Morin sangat ingin tahu jawaban dari sang adik. Nanda masih terus menangis semakin kencang. Hal itu yang membuat emosi Morin bertambah.
Mama kecelakaan kak
Mama sedang dirawat di rumah Sakit Nusantara kak. Buruan kesini
Nanda masih terus menangis yang diikuti oleh Morin. Morin membayangkan yang tidak-tidak. Tiba-tiba ponsel yang dipeganginya jatuh begitu saja, seperti tidak ada tenaga yang cukup untuk memeganginya. Sekujur tubuh Morin lemas, padahal sebelumnya baik-baik saja.
Cewek itu cepat berlari menuju ke kelasnya. Dengan air mata yang terus mengalir deras sontak membuat para siswa yang melihatnya kelimpung keheranan. Morin tidak memikirkan itu, ada hal yang lebih penting sekarang yaitu mamanya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Morin menyeka air matanya ketika dirinya sudah berada diambang pintu kelas. Cewek itu bersikap normal seperti biasanya. Ia tidak mau sahabatnya menjadi ikut khawatir akan hal ini. Morin berusaha menutup kejadian itu semaksimal mungkin.
"Lo nangis ya Rin?" Yuli sempat menaruh rasa curiga. Memang sebenarnya mata Morin agak sedikit sembam.
Morin menggeleng kepalanya paksa dan tersenyum. Walaupun dalam lubuk hatinya terasa sangat pedih menahan air mata yang akan keluar menjadi tangisan.
Morin memasukkan buku-buku pelajaran, tempat pensil, dan handphonnya ke dalam tas. Cewek itu terlihat sangat gugup sambil tangannya tidak berhenti bergetar.
"Gue harus pergi sekarang," ucap Morin sembari menggendong tasnya.
"Mau kemana Rin? Lo mau bolos?" tanya Clara asal. Kedua sahabatnya itu memang tidak ada yang tahu, tetapi melihat tingkah aneh Morin dapat menyebabkan Yuli dan Clara ingin menyelidikinya.
"Ada urusan," jawab Morin singkat. Ia berjalan setengah berlari menuju keluar kelas.
Morin sangat ingin cepat sampai di rumah sakit. Ia sangat khawatir keadaan mamanya, tangis mulai menjadi saksi nyata atas kepedihan yang telah dibuat.
Selepas turun dari taksi. Morin bergegas masuk ke rumah sakit itu. Ia bertanya kepada salah satu suster yang terlihat sedang mengerjakan tugasnya.
"Sus, pasien bernama ibu Herlina ada disini?" Morin memastikan bahwa memang benar mamanya itu dirawat di rumah sakit ini. Cewek itu tampak terengah-engah.
"Sebentar ya mbak." suster itu tengah melihat daftar nama pasien yang dirawat.
"Ouh ada mbak. Tempatnya di ruang mawar no empat puluh tiga."
"Terima kasih sus."
Morin melangkahkan kakinya bergegas ke ruangan itu. Ia sangat cemas, kegelisahan menyelimuti tubuhnya. Deru napasnya semakin kencang serta keringat dingin membasahi pelipisnya.
Cewek itu membuka pintu ruang rawat yang diberitahu suster itu. Morin melangkah masuk, Nanda tiba-tiba datang memeluk dirinya yang sedang berdiri diambang pintu.
Nanda terisak sambil memeluk Morin. Cewek itu ikut menangis sedih membalas pelukan sang adik. Morin buru-buru melangkahkan kakinya menuju ranjang dimana mamanya tergeletak lemas disana.
Herlina tampak sedang tertidur pulas, mungkin pengaruh obat yang diberikan oleh dokter. Morin menangis tersedu-sedu memeluk tubuh mamanya yang masih memejamkan mata rapat. Cewek itu memegang pipi Herlina dengan lembut.
"Ma, kenapa mama bisa begini," ucap Morin disela tangis derunya.
"Jangan tinggalin Morin ma!" Morin semakin erat dalam pelukan Herlina. Cewek itu masih memakai pakaian sekolahnya.
Sebuah tangan terjulur mengelus rambut Morin secara pelan. Cewek itu dapat merasakannya dengan jelas. Ia langsung menatap mamanya yang terlihat tersenyum mengarah ke dirinya.
"Mama masih kuat, mama akan bersama terus dengan kalian," ungkap lirih Herlina. Perempuan berparas cantik itu tersenyum menatap Morin dan Nanda bergantian.
"Mama gak pa-pa kan?" Morin masih dikelilingi dengan rasa khawatir yang tinggi.
Herlina mengangguk pelan. Perempuan itu kembali tersenyum simpul, walaupun keadaannya masih sangat lemah dan butuh istirahat. Herlina mengalami kecelakan yang tidak begitu parah, hanya ada luka dibagian pelipis, siku dan dengkul kakinya serta terdapat luka-luka kecil.
"Siapa yang membawa mama kesini?" Morin kembali bertanya menatap lekat manik wajah Herlina. Sesaat ia memandang Nanda, Morin menggeleng pelan karena tidak mungkin adiknya yang membawanya kesini.
"Tadi ada anak laki-laki yang nolongin mama," jelasnya.
"Dia sangat baik hati dan lemah lembut kepada mama."
Morin berpikir sebentar. Siapa gerangan laki-laki yang disebut mamanya itu. Morin sangat ingin menemuinya, ia akan mengucapkan banyak berterima kasih kepada orang itu.
"Terus kemana dia sekarang ma? Udah pulang," tanya Morin.
"Mama gak tahu, soalnya tadi mama tidur."
Morin langsung menatap Nanda yang diikuti tatapan balik adiknya itu, "Kamu tahu dimana dia?"
Nanda mengangguk pelan, "Dia sedang keluar sebentar, katanya ada urusan mendadak. Tapi, kakak itu udah janji bakal kesini lagi nemenin Nanda nungguin mama."
Morin sangat fokus menatap wajah adiknya itu tanpa memalingkannya ke arah lain. Cewek itu semakin penasaran siapa gerangan cowok yang telah menolong mamanya itu.
***
.