Lo Dan Mo Dan Segala Kemungki...

By grasindostoryinc

92.9K 11.7K 384

Bimo sadar sebagai cowok feminin dia akan selalu dianggap aneh. Tidak punya teman, tidak masalah. Dia bisa hi... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26 (Tamat)
Corat-coret Kecil

Part 10

3.3K 497 9
By grasindostoryinc

Gosip dan omongan miring tentang Bimo mereda. Tidak seratus persen menghilang tapi lumayan tenang dibandingkan dengan keriuhan yang muncul setelah konfliknya di bangku populer.

Bimo kembali hidup di dalam gelembungnya dan berusaha tidak menyenggol siapa-siapa setiap hari. Beberapa kali, Bimo bersirobok dengan Loveyna. Cewek aneh itu selalu melempar sinyal kecil atau lambaian tangan yang dibalas Bimo dengan dengusan.

"Aku ingin berteman denganmu karena kamu tidak mungkin jatuh cinta kepadaku."

Dasar cewek aneh, pikir Bimo. Bimo yakin ada yang salah dengan kepala Loveyna. Mungkin ada satu dua sekrup yang hilang. Cewek itu bisa-bisanya mengucapkan hal absurd seenteng itu.

Ada kalimat-kalimat dan asumsi implisit yang tidak dikatakan Loveyna tentang Bimo. Imajinasi liar Bimo mulai menerka-nerka. Pertama, mungkin maksudnya Bimo tidak satu level dengan Loveyna. Jangan sampai Bimo kurang ajar mencoba cinta-cintaan dengan dia, semacam peringatan bahwa Bimo tidak layak. Yang kedua, Loveyna secara tidak langsung mengulang omongan teman-temannya. Dia mengira Bimo... gay.

Sedetik setelah kalimat itu keluar dari mulut Loveyna, Bimo ingin sekali menjambak rambut Loveyna sampai rontok. Untung saja, Bimo bisa menahan diri.

Bimo marah.

Sekaligus tertarik.

Bimo pasti buta kalau bilang Loveyna jelek. Loveyna memenuhi ceklis syarat-syarat untuk disebut cantik. Yang paling penting, dia tidak sekadar cantik. Ada magnet dalam dirinya yang membuat Bimo hampir terbujuk mengiyakan tawaran aneh Loveyna.

Bagi Bimo, Loveyna terlihat berbeda. Dia cewek paling orisinal yang pernah Bimo temui. Cewek itu bisa-bisanya menawarkan persahabatn seperti jualan cabai di pasar.

Loveyna mengucapkan kalimat konyol itu dengan cara yang memesona. Rambutnya sedikit bergelombang, mirip air laut dalam lukisan-lukisan Yunani kuno. Wajahnya sangat khas orang Indonesia. Ketika Loveyna berdekatan dengan Bimo, Bimo sempat lupa membuang napas. Meski sedang kesal, jantung Bimo terasa berdetak lebih cepat. Samar-samar wangi pelembut kain dari seragam Loveyna tercium.

Bimo ingin sekali mengalah, mengabulkan permintaan Loveyna. Tapi respon otomatis Bimo bekerja. Refleks, Bimo mundur melindungi dirinya. Segala macam alarm indera keenamnya berbunyi nyaring. Jangan mendekati masalah. Insting Bimo mengatakan berdekatan dengan Loveyna hanya akan membawa drama. Loveyna mirip pijar api. Dari jauh terlihat cantik, tetapi jika terlalu dekat akan membuat kulit melepuh.

Bimo tidak ingin masa-masa SMU-nya semakin rumit. Dia sudah pindah sekolah dan jangan sampai itu terulang lagi.

Bukannya Bimo tidak ingin punya sahabat. Bimo tetap makhluk sosial yang ingin tertawa-tawa membicarakan sinetron konyol kemarin malam. Dia iri dengan Loveyna yang kelihatannya senantiasa tersenyum dikelilingi sahabat populernya.

Setelahnya, Bimo ingat baik-buruknya memiliki sahabat. Sama seperti hubungan sosial lainnya, memulai bersahabat itu berarti siap membuka hati.

Rapuh.

Menjalin persahabatan itu menakutkan. Bimo harus menelanjangi dirinya, menunjukan rupa sejatinya. Segala macam kelebihan dan kekurangan terpampang. Harapan muncul. Ekspektasi tumbuh.

Berkaca dari pengalaman, Bimo tidak ingin menggantungkan harapan kepada orang lain. Bimo tidak siap kecewa. Biarlah Bimo sendirian. Bimo nyaman. Sendiri itu mandiri.

Anggap saja kesendirian adalah takdir Bimo. Wajar kalau Bimo kadang-kadang kesepian. Itu bukan masalah. Manusia tidak akan bisa mendapatkan semua yang diinginkannya.

"Ah, kepikiran lagi, kan." Tukas Bimo. "Enggak penting."

Kalau sudah sendu begini, Bimo mencari penghiburan lewat buku. Buat Bimo, buku bagus lebih membekas dibandingkan menonton film epik miliaran dolar atau suara musik. Bimo memutuskan untuk mampir ke toko buku saat pulang sekolah.

Bimo berjalan cepat. Tas plastik berisi judul baru dari pengarang favoritnya berayun seirama langkah. Bimo tidak sabar duduk di rumah, merobek bungkus plastiknya lalu menikmati setiap kalimat yang tercetak di tiap lembar. Bimo sudah membayangkan secangkir teh dan kudapan ringan akan cocok menemaninya membaca.

Sengaja Bimo mengambil jalan pintas dari samping toko buku, melewati gang-gang sempit menuju jalan besar di sisi yang lain. Lewat jalur berkelok-kelok ini, Bimo tidak perlu memutar jauh menuju halte bus.

Bimo mengecek seleting tasnya tertutup sempurna dan sedikit menunduk memasuki gang. Lebarnya cukup dilalui dua motor dengan selokan kecil di salah satu sisinya. Jalan potong ini bercabang-cabang lagi ke jalan yang lebih kecil dan gelap. Salah ambil belokan, bisa-bisa berakhir di pemukiman padat penduduk. Butuh waktu untuk terbiasa. Orang yang tidak familiar akan tersesat di rute ini.

Dinding-dinding kasar belakang bangunan-bangunan tinggi yang menghadap jalan utama menjulang. Permukaan gang berlubang tidak pernah dicor ulang. Kabel-kabel listrik melintang kusut di atas. Beberapa titik got tersumbat sampah plastik, menguarkan aroma tidak sedap.

Bimo pelan mengucapkan permisi setiap kali melewati gerombolan yang duduk-duduk. Dia sebisa mungkin tidak melakukan kontak mata pada orang-orang itu.

Sikap waspada Bimo berkurang ketika dia mendekati jalan besar.

"Aduh."

Setika Bimo menoleh. Asalnya dari satu kelokan sempit seukuran satu setengah bahu menuju perumahan padat. Sebuah kotak kayu tidak terpakai hampir menutupi setengah jalan gang.

Bimo celingak-celinguk. Sekeliling sepi.

Bukan urusanmu, Bim. Pikiran itu terlintas.

Tapi suara itu terdengar familiar. Bimo menajamkan telinga, mencari sumber suara. Dia sedikit was-was melihat gang suram yang tidak ditembus cahaya matahari.

Bukan urusanmu, Bim.

Rasa penasaran Bimo menjadi-jadi. Dia tidak bisa mengingat siapa pemilik suara itu.

"Jangan."

Kaki Bim berhenti. Malas sekali kalau ternyata Bimo menemukan dua orang yang sedang bermesra-mesraan menjurus mesum di belakang kotak. Kalau mereka bertindak tidak senonoh, Bimo tidak ingin campur tangan. Bimo bergidik membayangkan memergoki dua orang dalam posisi tidak jelas lalu terlibat keributan

"Sudah jangan banyak omong." Dari suaranya, jelas laki-laki.

"Ya. Berikan saja." Laki-laki yang lain menimpali.

Bimo yang hendak berbalik, melotot. Dua laki-laki dan satu perempuan? Ini sudah pasti bukan mesra-mesraan. Bimo menimbang-nimbang sebelum memutuskan untuk masuk gang. Beberapa meter dari tempatnya berdiri, tiga sosok berdempetan. Dua laki-laki sedang mengancam satu perempuan.

Ah, akhirnya Bimo ingat.

Loveyna.

Cewek aneh yang mengajak Bimo "bersahabat".

Punggung Loveyna bersandar ke dinding. Dia mendekap tasnya di depan dada seolah dengan begitu dia bisa melindungi dirinya dari dua cowok di depannya, satu gendut pendek dan satu lagi kurus jangkung.

Dua preman tanggung itu saling pandang. Ditilik dari rupanya, mereka seumuran dengan Bimo. Dari perawakannya jelas sekali mereka bukan siswa SMU Harapan. Tidak ada yang bisa lolos dengan gaya rambut seperti itu. Guru-guru di SMU Harapan cukup kejam mencukur habis rambut-rambut aneh yang tidak sesuai standar sekolah.

"Ambil uangnya tapi jangan ambil tasnya." Muka Loveyna pucat. Bibirnya bergetar tapi dia masih melawan. Dia mempererat pelukannya.

Bodoh.

Bimo gemas. Sekilas dia bisa mengenali logo tas itu. Memang barang bermerek tapi untuk apa mempertahankan tas seperti itu? Bimo bisa melihat tas kulit yang dipeluk Loveyna sudah usang. Bentuknya ketinggalan zaman. Kalaupun dijual, harganya paling tidak seberapa.

"Wah, mahal kayaknya."

Persis dugaan Bimo. Dua orang barbar ini malah penasaran karena Loveyna mati-matian bertahan.

Kalau Loveyna bijak, dia akan merelakan tas itu.

"Ambil."

Loveyna mulai terisak. "Jangan. Ambil saja uangnya."

Bimo terpaku, menonton kejadian di depannya

Dua orang ini tidak akan bertingkah mesum pada Loveyna. Hari masih siang dan, meskipun sepi, pojokan ini tidak terlalu jauh dari jalan raya. Mereka cuma tukang palak tanpa senjata. Harusnya Loveyna teriak saja. Mereka pasti panik.

Yang tadi itu bukan urusan Bimo. Bimo tidak usah sok jagoan. Ingat, otak lebih baik dibandingkan otot. Adu otot itu untuk orang barbar. Masih banyak cara lain....

Loveyna tarik-tarikan. Si pendek gendut mengangkat tangan untuk menampar Loveyna. Gadis itu memekik kecil melepaskan tasnya. Dia duduk menangis sementara dua preman di depannya tertawa. Dua orang itu melempar-lempar tas Loveyna.

"Bukan urusanku. Ini tidak ada sangkut pautnya denganku." Bimo tidak mau melihat tapi tidak bisa mengalihkan pandang. Si jangkung mengacak-acak rambut Loveyna sambil berterima kasih. Bimo merasakan sengatan di dadanya. Argh, aku pasti menyesali ini.

"Hei." Bimo berteriak. "Kembalikan."

Si gendut mendecakkan lidah. "Wah, siapa ini?"

"Kembalikan," kata Bimo. Jantungnya berdebar kencang. Begitu kencang seperti akan meledak. Bimo belum pernah berkelahi. Bimo belum pernah mengayunkan tinju. Instingnya mengatakan ini akan jadi yang pertama.

"Ada pahlawan kesiangan rupanya." Mereka mendekat. "Lebih baik kamu pergi sebelum badanmu luka-luka."

Lutut BImo gemetar, sebenarnya saat ini Bimo ingin kabur. "Aku tidak takut." Bimo mengatakan hal yang sebaliknya, meyakinkan dirinya supaya lebih berani. "Aku tidak takut dengan kalian."

"Hahaha. Ada mainan baru." Preman itu melempar tas yang direbutnya dari Loveyna.

"Ayo hajar," kata yang seorang lagi.

Akhirnya, Bimo tahu mengapa Loveyna tidak lari atau melakukan segala macam kemungkinan logis. Di saat seperti ini, pikiran dan otot tiba-tiba tidak sinkron. Otak Bimo memerintahkan untuk kabur, tetapi kaki terpaku di tanah. Refleks, Bimo mulai memasang kuda-kuda, meniru gaya pesilat.

Si jangkung tertawa. "Mau ngapain? Menari?" ejeknya.

Sial. Apa yang Bimo kira kuda-kuda malah kelihatan seperti tarian. Tidak kehilangan akal, Bimo menggeram galak. Tujuannya untuk mengintimidasi.

Mereka tertawa lagi lalu segalanya terjadi begitu cepat. Dua orang di depan Bimo maju. Mereka mengayunkan tinju. Bimo berusaha membalas. Apa daya, Bimo yang minim pengalaman jadi sasaran empuk.

Nyeri menyebar di perut Bimo. Pandangan matanya buram. Dan, Bimo merasakan rasa asin darah menyebar di mulut.

Loveyna sepertinya sadar dari kagetnya. Dia berdiri, menyambar tasnya, lalu....

Lari.

"Hei!" Si Gendut berusaha menangkap Loveyna, tetapi tidak berhasil. Dia berbalik. Uh oh, ini tidak baik. Muka si Gendut merah padam dibakar amarah. Mereka murka. "Gara-gara kau, kami jadi rugi."

Mereka memukul badan Bimo bertubi-tubi. Bimo hanya bisa memandang sosok Loveyna yang berbelok. Pahit menyebar. Sungguh, ini kali pertama dan terakhir Bimo bertingkah sebagai pahlawan kesiangan. Bimo ditinggal sendirian, itulah yang Bimo dapat dari menolong. Ini akibatnya bertingkah sok peduli pada sesama.

Bimo memejamkan mata, menahan diri hingga gigi gemeletuk.

"Pak polisi! Itu mereka."

Pukulan-pukulan di badan Bimo berhenti.

Loveyna di ujung jalan berdiri sambil berseru. "Cepat, Pak!"

Kedua preman itu berpandangan. Loveyna berteriak semakin kencang.

"Pak! Tangkap!" seru Loveyna. "Masukkan aja ke penjara."

"Kabur." Preman-preman itu langsung terbirit-birit memasuki pemukiman padat.

Loveyna berlari mendekati Bimo. "Pak, ayo ke sini." Dia terus memastikan dua preman itu pergi.

Bimo terbatuk. Kalau di film, rasanya keren sekali melihat pahlawan berdarah-darah. Semakin kotor dan berdarah-darah semakin keren kelihatannya. Kenyataan yang Bimo rasakan berbeda. Sekujur badannya sakit, luka-luka berdenyut. Sebentar lagi, pasti bengkak dan lebam. Bimo merasa tidak ada keren-kerennya sama sekali.

"Kamu tidak apa-apa?" Loveyna mendekati sambil menarik Bimo duduk.

Bimo memberikan tatapan kejam. Apalagi, saat Loveyna asal-asalan menyentuh lukanya. "Sakit."

"Maaf." Ia tertawa gugup. "Aku tidak sengaja."

Bimo meringis. "Mana polisinya?"

"Polisi?" Loveyna mengerutkan kening.

"Katamu tadi...."

"Ah, yang itu." Ia tertawa kecil. "Pura-pura."

Muka Bimo pasti kelihatan sangat aneh karena tawa cewek itu semakin keras. Bimo melongo. "Jadi, tidak ada polisi?" tanyanya.

"Dengan tenagaku, aku tidak mungkin melawan mereka," kata Loveyna. "Harus pakai akal."

Bimo ingin membenturkan kepala. Mengapa ide itu tidak terpikir olehnya? Kalau tadi Bimo pura-pura teriak seperti Loveyna, badannya tidak akan lebam-lebam. Ini buktinya otak lebih penting daripada otot.

"Terima kasih." Gumam Bimo.

"Tidak," kata Loveyna. "Justru aku yang harus berterima kasih."

Bimo duduk sambil menepiskan debu dari baju, menjaga sisa-sisa gengsi. Tidak ada bagus-bagusnya dikeroyok di depan perempuan. "Sepertinya penting," kata Bimo sambil menunjuk tas milik Loveyna. "Gara-gara tas itu, kamu rela melawan preman yang badannya lebih besar."

Loveyna mengelus tasnya. "Memang. Ini milik mendiang nenekku. Aku bisa digorok ibuku kalau sampai tas ini hilang."

"Lalu, kalau benar penting mengapa kamu sembarangan membawa-bawa barang penting seperti itu?" gerutu Bimo. "Harusnya, tas itu kamu tinggal di rumah. Kalau perlu gembok di lemari."

Loveyna memukul Bimo main-main. "Ini mau aku bersihkan. Mana kutahu bakal ada preman? Aku bukan peramal." Loveyna memungut kantong plastik, memasukan tas itu ke dalamnya. Permukaan plastik sedikit kotor bekas terinjak-injak. Mungkin terbuang saat Loveyna dan preman-preman tadi tarik-tarikan.

"Mau dibersihkan? Di mana?" Kepala Bimo pusing. Rasa sakit mulai tidak tertahankan.

"Ada toko khusus langgananku. Mereka ahli merawat barang-barang lama. Barang antik seperti ini tidak bisa langsung kena air," kata Loveyna. Dia terdiam sejenak. "Mau kupanggilkan taksi? Aku bisa menelepon orangtuamu."

"Tidak usah," kata Bimo sambil menyender. "Sebentar lagi, aku akan baikan."

Loveyna gelisah, dia melirik jam di tangannya.

"Kenapa?"

"Ah. Bukan apa-apa." Loveyna kelihatan agak bersalah. "Tokonya sebentar lagi tutup."

"Pergilah." Apa lagi yang bisa Bimo katakan?

"Serius?"

Bimo mengangguk.

"Kalau begitu, kutinggal dulu." Loveyna berdiri.

Sebenarnya, Bimo tidak ingin Loveyna pergi. Pertama, karena badan Bimo luka dan Bimo pasti jadi tontonan. Kedua, kalau Loveyna tahu terima kasih seharusnya dia melupakan tas jelek itu, lalu mengantar Bimo sampai ke rumah.

"Yakin tidak apa-apa?" tanya Loveyna lagi.

Gengsi Bimo tidak mengizinkannya memohon. Bimo hanya mengibaskan tangan.

"Terima kasih, ya. Aku tidak akan melupakan ini." Loveyna terdengar tulus, hampir saja Bimo percaya. Bimo memperhatikan Loveyna berlalu membawa tas neneknya.

Bimo duduk beberapa menit dalam diam. Hening seperti ini membuat pikirannya menerawang. Dan, Bimo benci karena Bimo akan memikirkan banyak hal. Bimo akan mengingat masa lalu yang penuh kepahitan.

Awan berarak menutupi matahari membuat suasana sedikit berbayang. Bimo menatap langit. Rasa sedih menggerogoti. Mengapa dunia tidak bisa sepolos anak TK? Tidak ada yang namanya pilih-pilih teman. Tidak ada yang namanya perhitungan. Segalanya begitu murni. Naif.

Sekarang, semuanya dihitung dari penampilan. Beberapa orang yang di sekolah berteman berdasarkan merek bajunya. Sebagian karena kepintaran. Jarang sekali ada yang murni karena penasaran. Bimo merasa setiap kali berkenalan dengan orang baru, ada bunyi matematika di kepala masing-masing. Setiap orang berhitung untung dan rugi jika akan berhubungan dengan seseorang.

"Memikirkan aku?" Loveyna tersenyum manis sambil menganyunkan dua kantong plastik. Kantong berisi tas neneknya masih ia pegang. "Aku tahu kamu pasti menyumpahiku."

Bimo terpana.

"Ah, aku benar. Kelihatan dari tampangmu." Loveyna duduk di sebelah Bimo. Dia menyenggol bahu Bimo dengan bahunya. "Aku masih punya akal sehat. Tidak mungkin aku membiarkan penyelamatku tergeletak begitu saja."

"Tapi...,"

"Tapi apa?" Mata Loveyna berkilat jenaka.

"Tapi tas nenekmu?"

Loveyna membuka kantong plastik. "Masih bisa besok. Dunia tidak akan kiamat kalau aku menundanya. Sekarang, bersihkan dulu lukamu." Rupanya, dia pergi ke minimarket. Ia membeli obat luka dan perban. "Ini hanya sementara. Kalau sudah sampai di rumah, obati lagi ya."

Bimo menurut saat Loveyna mengoles lukanya dengan obat. "Kenapa?"

"Kenapa apanya?" tanya Loveyna mengerutkan kening.

"Kenapa kamu kembali lagi?" tanya Bimo lagi.

Loveyna tertawa kecil. "Bodoh. Tentu saja karena kamu temanku."

Tanpa bisa Bimo tahan, ada rasa hangat yang menyeruak dalam dada. Namun, Bimo paksakan memberi muka masam. "Itu menurutmu." Tidak berhasil. Rasa itu terlalu besar untuk ditekan.

"Ada beberapa hal yang membuat dua orang asing menjadi teman," kata Loveyna. "Menurutku, ini salah satunya."

"Wow." Kata Bimo Samar-samar dia pernah membaca quotes yang intinya kurang lebih begitu. "Harry Potter."

Loveyna mengacungkan kelingkingnya. "Teman?"

"Tidak usah sampai begitu," elak Bimo.

"Ini sebagai materainya." Ia menarik paksa tangan Bimo, lalu mengaitkan kelingkingnya ke kelingking Bimo. "Kamu sudah berjanji. Mulai sekarang kita berteman."

"Cih." Hangat menyebar di pori-pori kulit Bimo. Sudut-sudut bibir Bimo naik. Bimo ikut tersenyum. "Norak."

Teman.

Kedengarannya bagus.

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 58.5K 38
Millie Ripley has only ever known one player next door. Luke Dawson. But with only a couple months left before he graduates and a blackmailer on th...
1.1M 36.8K 70
HIGHEST RANKINGS: #1 in teenagegirl #1 in overprotective #3 in anxiety Maddie Rossi is only 13, and has known nothing but pain and heartbreak her ent...
53M 1.3M 70
after a prank gone terribly wrong, hayden jones is sent across country to caldwell academy, a school for the bitchy, the dangerous and the rebellious...
7.4M 206K 22
It's not everyday that you get asked by a multi-billionaire man to marry his son. One day when Abrielle Caldwell was having the worst day of her life...