Assassin

بواسطة Irie77

116K 15.2K 5.1K

Valen Trish tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah. Mimpinya menjadi seorang ksatria pelindung hanc... المزيد

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Epilog Part 1
Epilog Part 2
Chapter Bonus

Chapter 13

3.1K 401 82
بواسطة Irie77

Sunyi, itulah hal yang kurasakan ketika membuka mata. Hanya bara api yang mengeluarkan suara-suara kayu yang terbakar dan meninggalkan abu hangat di sekitarnya. Aku terduduk dengan susah payah sambil memegangi pinggangku kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar dengan bingung. Kemana mereka semua?

Aku terdiam sejenak setelah menyadari luka di kulitku sudah mulai mengering namun di olesi obat baru dan juga—kain di tubuhku sudah di ganti dengan yang baru. Pikiranku langsung tertuju pada Velian dan sejenak aku teringat kejadian semalam.

"Sepertinya semalam aku mimpi aneh yang menggelikan," pikirku. "Mana mungkin Velian menciumku." Aku menggelengkan kepala cepat, berharap pikiran terkutuk itu menyingkir. "Itu pasti cuma mimpi."

Aku mencium kain yang kukenakan dan sepertinya—kain ini miliknya. Aroma mint yang berbaur dengan udara lembab yang berarti—kain ini lama tidak dipakai.

Aku tak sengaja melihat sepotong paha kelinci di atas batu tak jauh dariku. Aku berjalan perlahan mendekatinya, tapi aku juga baru sadar tanganku belum bisa di gunakan untuk bergerak. Aku menghela nafas kemudian kembali duduk di tempat tidurku pelan-pelan.

"Kau sudah bangun rupanya."

Sosok berambut pirang sudah muncul dari luar, disusul pria berambut hitam pendek dengan balutan perban dimana-mana.

"Kalian baik-baik saja?" tanyaku masih dengan rasa bersalah. "Maaf sudah membuat kalian terluka seperti itu."

"Kau tidak bersalah. Kau justru yang banyak terluka," sahut Aleea.

"Seharusnya dari awal kami tidak mengizinkan dia tinggal disini." Zealda meraih sepotong daging kelinci yang tadi ingin kugapai kemudian duduk disampingku. "Makanlah!" lanjutnya sambil menyodorkan secuil daging di bibirku.

Aku membuka mulut dan mengunyahnya. Pagi ini aku belum melihat Velian, mungkin—ia sedang mengantar Sarah pulang.

"Kudengar kalian semalam pergi untuk mencari informasi. Aku tidak percaya kalian akan tetap melakukannya dengan tubuh seperti itu."

Zealda menyeringai sambil menyuapiku. "Kau pikir kami selemah itu? Lagi pula—kami menemukan sesuatu yang menarik." Ia menyeringai. " Ini mengenai keluargamu."

"Itu benar." Aleea mengeluarkan buku kecil yang tipis kemudian membunya. "Akhirnya aku tahu alasan kenapa ayahmu memperlakukanmu seperti itu. Dia—ingin melindungimu. Kau tidak diperbolehkan menggunakan nama ayahmu karena—untuk menyembunyikanmu dari yang mulia raja." Aleea mengeluarkan pena dan mulai mencoret-coret kertas. "Aku mendapat informasi dan beberapa data kerajaan mengenai kependudukan. Dan didalam catatan, ternyata tuan Kanz memiliki empat orang putra, dan mereka semua—terbunuh secara misterius."

"Jadi—maksudmu aku punya empat kakak laki-laki?"

"Ya," Aleea mengangguk. "Setelah megetahui bahwa anak berikutnya perempuan, tuan Kanz bersusah payah mencari cara untuk melindungimu. Kurasa—alasan kenapa kau selalu diminta untuk bermain pedang dan bertarung adalah—agar bisa menjaga dirimu sendiri."

"Apa—kau tahu penyebab kenapa kakak-kakakku dibunuh? Apa memang benar itu ada kaitannya dengan ritual itu?"

Hening sejenak namun tatapan mereka menatapku lekat dan mendadak suasana menjadi canggung.

"Valen, aku harap kau mau menjawabnya dengan jujur." Zealda menatapku serius sementara Aleea sudah menyodoriku selembar kertas yang berisi beberapa simbol. "Apa—kau memiliki salah satu tanda lahir ini?"

Aku menatap mereka sama seriusnya kemudian aku menatap simbol-simbol disana. Tepatnya—ada sembilan simbol yang tergambar dan semua simbol itu masing-masing membentuk angka dengan ukiran yang beragam. Mataku tertuju pada simbol yang membentuk nomor empat. Ukirannya sama persis dengan secarik kertas yang terselip dibuku ayah.

"Apa—kau seorang Shirea?"

"Aku—tidak tahu pasti," jawabku ragu.

Pada dasarnya aku sendiri memang belum melihat tanda lahir itu secara langsung. Aku hanya baru menduganya, di tengkuk leherku. Aku menatap Aleea dan Zealda bergantian. Bisakah aku mempercayai mereka? Velian selalu melarangku untuk mengikat rambutku, dan aku mengerti apa maksudnya. Meskipun ia tidak mau menjelaskannya, tapi aku tahu ada sesuatu di tengkuk leherku. Tapi—kenapa Velian seperti ingin menutupinya dari Aleea dan Zealda?

"Aku—belum pernah melihat tanda-tanda ini ditubuhku," lanjutku jujur. Pada dasarnya aku tidak tahu apa yang tertoreh di belakang leherku, jikapun ada—aku belum berani mengatakannya. Setidaknya aku perlu menanyakan hal ini pada Velian terlebih dahulu karena aku yakin dia lebih mengetahui semuanya.

Zealda membasuh tangannya setelah selesai menyuapiku dan membantuku minum. Sebenarnya aku merasa tak nyaman di perlakukan seperti orang cacat, tapi aku tak bisa melakukan semuanya sendiri setidaknya sampai tanganku sembuh. Luka bakar yang mengering membuat sekujur tubuhku tampak mengerikan dan jujur, ini—sangat mengurangi rasa percaya diriku. Tapi—untung saja mereka bertiga seperti tidak merasa terusik sedikitpun dengan kondisiku.

"Begitu?" Aleea mengangga dagunya sembari berpikir. "Ini—cukup aneh. Tidak mungkin keluargamu di bunuh tanpa alasan."

Aku masih terdiam tanpa berani menyahut. Satu-satunya yang terbesit dalam pikiranku adalah bertanya langsung pada Velian.

"Misi berikutnya—mungkin harus menunggu kondisi Valen membaik." Aleea menatapku. "Dalam misi ini, kami membutuhkanmu."

Pikiranku teralihkan seketika. "Baiklah. Aku akan berusaha sebaik mungkin. Dan—maaf, karena aku misi kita jadi tertunda."

* * *

Sore menjelang malam badai salju membuat udara semakin dingin. Aleea dan Zealda masih sibuk memotong kayu untuk perapian sementara aku hanya duduk terdiam menatap mereka dan juga—memikirkan Velian yang belum juga kembali.

Meskipun Zealda sudah mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja atau menginap di rumah paman Thomas, namun sebagian dari hatiku tetap merasa khawatir dan aku tak berani menunjukkannya.

"Nah sudah selesai."

Zealda bertepuk tangan untuk membersihkan tangannya dari jelaga yang menempel dikayu, kemudian ia membasuh kedua tangannya.

"Aku akan berburu untuk makan malam," ujar Aleea sambil meraih belatinya. "Kurasa masih sempat sebelum gelap."

"Cepatlah kembali bocah," sahut Zealda.

"Baik pak tua," balas Aleea sambil menyeringai sementara Zealda hanya tersenyum miring.

Aleea langsung keluar dan melesat entah kemana sementara Zealda melepas pakaiannya untuk mengganti perban di tubuhnya.

"Bagaimana kondisimu?" tanyaku ingin tahu.

"Mulai membaik jika di obati secara rutin," jawabnya sambil memotong kain bersih kemudian mengoleskan tanaman herbal yang sudah ditumbuk di bagian yang luka. "Bagaimana denganmu?"

Aku menatap kedua tanganku sejenak. "Yah, seperti yang kau lihat. Lukaku mulai membaik, tapi tanganku masih sulit untuk di gerakkan."

Zealda mentap tanganku sendu. Setelah lukanya selesai di perban ia menghampiriku dan menggait tanganku dan mengelusnya lembut.

"Butuh sekitar dua sampai tiga minggu untuk tanganmu pulih." Ia mengehela nafas tanpa melepas tatapannya dari pergelangan tanganku yang bengkak. "Aku tidak menyangka Velian benar-benar mematahkan pergelangan tanganmu."

"Maaf, waktu itu aku terlalu emosi sampai tak bisa mengendalikan diriku." Aku merunduk dengan rasa menyesal. Kulirik perban di luka Zealda sambil membayangkan luka menganga di baliknya. "Aku bahkan melukaimu."

Zealda meletakkan tanganku dengan lembut. "Ini bukan salahmu," ujarnya sambil mengacak-acak rambutku. "Kau mau makan apa? Nanti kubuatkan."

"Aku ikuti saja seleramu." Aku tersenyum berharap penyesalan ini tidak terlihat. "Kau yang masak, aku tidak berhak untuk pilih-pilih."

Zealda mendesah pelan. "Baiklah," ujarnya kemudian melangkah keluar.

Tak lama Aleea sudah kembali dengan membawa dua kelinci liar yang imut berbarengan dengan Zealda yang sudah membawa sebungkus rempah yang aku sendiri tak tahu dari mana ia mendapatkannya.

Disaat semuanya mulai sibuk, aku hanya bisa terduduk sambil melihat aktifitas mereka. Tak enak hati, itu sudah pasti, tapi—memang tidak ada yang bisa kulakukan saat ini.

Aroma harum masakan Zealda mulai memenuhi goa dan membangkitkan rasa laparku dan—tak lama makanan pun siap.

"Mungkin Velian memang tidak akan kembali malam ini," ujar Aleea sambil meniupkan sepotong daging dan menyuapiku.

Semenjak terluka, mereka memang suka menyuapiku secara bergilir. Terkadang aku merasa payah dan merepotkan meskipun mereka tak menunjukan rasa keberatan sama sekali.

"Biarkan saja. Biarkan dia memanjakan kekasihnya agar tidak berulah," sahut Zealda acuh.

Aku hanya terdiam ketika Zealda mengatakannya. Pikiranku langsung terbesit pada kejadian semalam. Jantungku menjadi berdetak lebih kencang dengan desiran lembut dari aliran darahku yang membuat kulitku meremang. Bahkan sampai sekarang aku masih merasakan Velian dalam diriku.

Kami bertiga menatap pintu luar ketika mendengar langkah kaki yang kedengarannya berjalan dengan tertatih.

"Bisa kalian tolong gadis ini?"

Kami bertiga menghentikan kunyahan masing-masing sambil menatap sosok yang kini sudah berada di dalam goa. Butuh waktu untuk menyadari bahwa osok itu adalah Velian. Dia—menggendong seorang gadis yang sebelumnya pernah kami lihat. Kami masih terdiam ketika Velian membaringkan gadis itu.

Zealda langsung menghabiskan makanannya dan membasuh tangannya. Ia menatap gadis itu sejenak sambil menedekatinya sementara Velian sudah membuka mantelnya dan menyiapkan beberapa obat herbal.

"Aku tidak mengerti, setiap kali kau pergi jauh sendirian kau selalu pulang dengan membawa gadis." Zealda menggelengkan kepala tanpa melepas tatapannya dari gadis itu, kemudian melirik Velian sejenak sambil berkata. "Kusarankan, berhentilah menjadi pahlawan untuk para gadis atau kau akan terlibat banyak skandal nantinya." Ia mulai mengecek kondisi gadis itu lalu mengusap darah di luka sayatan benda tajam di leher gadis itu kemudian menjilatnya. Namun sedetik kemudian ia meludah. "Dia terkena senjata beracun, ditambah lukanya cukup dalam."

Aku hanya menatap dua pemuda yang masih tampak sibuk dengan aktifitasnya, sementara Aleea mulai membantunya setelah selesai menyuapiku. Zealda masih sibuk mengeluaran racunnya sementara Velian mulai menumbuk tanaman-tanaman herbal. Aleea mulai bergerak dengan menyiapkan beberapa kain bersih untuk perban.

Aku cukup merasa sedih karena tidak iku membantu dan hanya duduk menonton tanpa melakukan apapun. Perasaan itu membuatku ingin sekali menggerakan tanganku, tapi telapak tanganku masih ngilu ketika aku menggerakan jemariku.

Seelah hampir setengah jam, akhirnya proses penyembuhan gadis itu usai. Kini mereka menghela lega dengan guratan kegelisahan yang mulai memudar.

"Apa kondisinya begitu parah?" tanyaku ingin tahu.

"Yah, tadi itu sangat berbahaya," jawab Zealda. "Tapi sekarang sudah baik-baik saja. Jika diobati secara rutin mungkin kondisinya akan perlahan membaik."

Aku turut menarik nafas lega sambil menatap gadis yang terbaring lemah di sana. "Syukurlah."

"Valen."

Aku melonjak sedikit kaget ketika Velian sudah duduk disampingku tanpa kusadari. Ia meraih tanganku dengan lembut sambil melepas perban di tanganku dengan hati-hati. Butuh waktu untuk menata pikiranku sejenak sebelum akhirnya aku berkata, "Terimakasih sudah merawat lukaku." Ya, hanya itu yang bisa terucap.

"Aku sudah mengatakannya berkali-kali. Dan aku tidak akan mengulangi perkataanku," jawabnya.

"Ma-maaf."

Aku tidak tahu ada apa dengan jantungku yang mendadak berdetak kencang. Bayangan mengenai mimpiku semalam telah menciptakan perasaan gugup yang tak bisa kukendalikan, nafasku menjadi sesak seketika dan tubuhku sedikit berkeringat. Aku tidak berani menatapnya dengan debaran seperti ini.

"Bagaimana kau bisa menemukan gadis ini?" tanya Aleea sambil menatap gadis itu serius.

Untung saja Aleea berhasil mengalihkannya dengan mengganti topik agar canggungku berkurang.

"Aku tidak sengaja menemukannya di bawah tebing. Jika dia tidak bersuara untuk minta tolong, mungkin ia akan mati di bawah semak belukar," jawab Velian tanpa melepas tanganku yang sedang diobati olehnya.

"Jika di lihat dari senjata yang ia bawa, sepertinya dia ahli panah. Lihat ini!" Zealda menunjukan potongan kayu yang terlihat seperti bagian busur panah yang patah. "Kasihan sekali."

"Yah, tidak mengherankan. Sebagian besar wanita memang menyukai panahan, dan gadis itu terasuk pengecualiannya." Aleea menunjukku dengan ibu jarinya.

* * *

Tiga hari berlalu namun gadis itu belum juga sadarkan diri. Luka bakarku semakin membaik dan mulai mengering meskipun masih ada sebagian yang mengeluarkan nanah dengan aroma tak sedap, tapi untung saja aroma dari obat herbal yang melapisi lukaku jauh lebih kuat. Velian mulai melilitkan kain di tubuhku dengan pelan-pelan.

"Sudah selesai," ujarnya sambil meletakkan sisa-sia obat herbal ke tempatnya.

"Terimakasih."

Velian mengelus tengkukku sejenak sebelum menutupinya dengan menguraikan rambutku. Dalam sekejap aku langsung teringat sesuatu. Sebuah pertanyaan yang masih tertahan dalam benakku mengenai hal yang masih mengganjal pikiranku.

"Velian, bolehkah aku menanyakan sesutu padamu?"

"Mengenai hal apa?" Velian melompat dan kini posisinya sudah berdampingan denganku.

"Ada apa dengan tengkuk leherku? Kenapa kau selalu menutupinya dari orang lain?"

"Bukankah aku sudah menjawab sebelumnya?"

"Tapi itu tidak berlaku untuk diriku bukan? Kau bisa mengatakannya padaku."

Velian mendesah resah sejenak, kemudian menatapku. Aku bisa merasakan keraguan dimatanya, namun disaat yang sama aku juga melihat ada perasaan lega yang tersirat.

"Sebenarnya—di tengkuk lehermu ada sebuah tanda lahir dan tanda lahir itu—mirip dengan putra ke empat raja terdahulu."

"Jadi—aku benar-benar seorang Shirea? Apa itu berarti jika aku hidup, putra ke empat juga masih hidup?"

Velian terdiam menatapku dan ia hanya mengangguk. "Selama kau hidup, putra ke empat juga akan tetap hidup meskipun berusaha untuk dibunuh. Tapi jika kau mati, putra ke empat akan kehilangan pelindungnya dan akan mudah untuk dibunuh. Itulah alasannya kenapa tidak boleh ada yang tahu tentang simbol Shirea di tengkukmu. Jika orang-orang itu mengetahuinya, mereka akan memburumu untuk membunuh putra ke empat dengan mudah."

Aku masih terpaku dengan perkataannya dan sebuah sosok misterius muncul dalam pikiranku yaitu pangeran ke empat. Dimana dia sekarang?

"Apa—kau tidak berniat untuk mencari putra ke empat? Mungkin saja dia membutuhkan bantuan."

"Itu tidak perlu. Dia sudah berada di tempat yang aman."

Kenigku berkerut karena bingung. "Kau tahu dimana dia berada? Apa—kau dulunya seorang pengawal pribadi di istana?"

Velian tersenyum samar. "Anggaplah seperti itu."

Dahiku berkerut seketika setelah merasakan ada yang aneh dengannya. "Kalau—di izinkan, bolehkah aku bertemu dengannya? Aku—ingin berbicara padanya."

Velian terdiam begitu lama seolah-olah sedang memikirkan sesuatu sebelum menjawab. "Ketika kau bertemu, apa yang akan kau katakan padanya?"

Aku menatap Velian dengan serius dengan tekat yang mulai membulat untuk memberikan sebuah keyakinan.

"Jujur, awalnya aku tidak tahu apa tujuan kalian ingin menyelidiki masalah ritual kerajaan itu. Tapi—setelah aku tahu kau merupakan pelindung putra ke empat, aku hanya ingin mengatakan bahwa—aku bersedia sepenuh hati untuk melindunginya. Menjadikan diriku sebagai ksatrianya meskipun tanganku harus berlumuran darah sekalipun. Aku tak akan membiarkan siapapun melukainya dengan taruhan nyawaku."

"Kalau begitu, kau harus berjanji padaku." Velian mengambil dagger-nya dan menggores telapak tangannya. "Berjanjilah kau takan pernah mengkhianatinya. Jika kau melanggarnya, maka nyawamu sebagai taruhannya."

Entah kenapa aku menjadi gugup dan takut mendengar penuturannya. Tapi pada dasarnya aku ingin menjadi pelindungnya karena aku Shirea-nya.

"Baiklah, aku berjanji."

Velian mengangkat telapak tanganku dan menggoresnya. Aku meringis kesakitan dan tanganku bergetar karena berusaha menahannya. Ia menempelkan telapak tanganku diatas telapak tangannya dan darah kami bertemu.

Ada semacam energi yang menjalar ketika tangan kami bersatu, tengkuk leherku terasa pedih dan panas hingga tangan dan kakiku bergetar.

"Aku memegang janjimu, kuharap kau bisa menepatinya apapun yang terjadi."

"Aku berjanji." Kali ini nadaku penuh penegasan.

Tak lama tangan kami terlepas dan rasa pedih di tengkuk leherku hilang secara misterius namun aku merasa lega.

"Kalau begitu—kapan aku bisa bertemu dengannya?"

"Berjanjilah kau tidak akan memberitahukan hal ini pada siapapun, termasuk Aleea dan Zealda."

Keningku kembali berkerut dengan bingung. "Kenapa? Bukankah—kita satu kelompok? Kalau kau seorang pelindung pangeran seharusnya Aleea dan Zealda juga demikian bukan?"

"Kau salah. Mereka sama sekali tidak tahu siapa putra ke empat raja terdahulu. Mereka hanya mengetahui sekedarnya saja."

Aku kembali terdiam sebelum berkata, "Baiklah. Aku akan merahasiakannya."

"Aku percaya padamu."

Velian membalikkan tubuhnya dan duduk di depanku dalam posisi memunggungiku. Ia menyingkapkan rambut panjangnya yang selalu menutupi lehernya kemudian menunjukkan tengkuk lehernya.

Mataku melebar ketika melihat corak disana. Sebuah ukiran klasik membentuk angka empat, sama seperti corak yang ada di kertas itu. Tunggu, apa maksudnya ini?

"Pangeran keempat ada disini, yaitu—aku. Kau sudah berjanji untuk tidak mengatakannya pada siapapun mengenai hal ini."

"Apa—Aleea dan Zealda mengetahuinya?" Itu adalah pertanyaan pertama yang terbesit dalam benakku ditengah rasa shock. Putra ke empat yang ku cari—adalah Velian. Pria menyebalkan yang baik hati dan juga kejam namun perhatian.

Velian menggeleng pelan. "Saat ini, hanya kau dan aku yang tahu. Aku memberitahumu karena kau Shirea-ku dan kebetulan kau juga bertanya."

Bertekuk lutut, itu adalah tindakan pertama ketika pikiranku kembali jernih untuk menyadari bahwa posisinya begitu tinggi. Raja terdahulu begitu dihormati, dan Velian adalah salah satu putranya. Bagaimana bisa aku bersikap tidak sopan padanya, bahkan mnyerangnya.

"Maafkan saya yang mulia atas tindakanku selama ini padamu. Saya—benar-benar tidak tahu," ujarku sambil merunduk.

Velian mendesah pelan. "Sudah kuduga kau akan bersikap seperti itu setelah mengetahui identitasku. Bangunlah!" Velian membantuku untuk berdiri. "Jangan bertekuk lutut seperti ini dihadapan orang lain. Bersikaplah padaku seperti biasanya, jangan sampai orang lain curiga."

Aku mengangguk setuju. "Baiklah, sesuai perintahmu."

_______To be Continued_______

Malam semua.. ^^ Maaf kalo up nya malem banget.. Authornya sibuk banget sampai gak ada waktu.. Maaf yah.. T_T

Maaf juga kalo ada yg typo dsb, kondisi yang cape bikin author gk fokus.. T_T

Makasih banget atas kesabarannya dan suportnya selema ini kawan, jangan lupa tinggalkan jejak.. ^^

Salam Fantasy, by Indah Ghasy.. *



واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

1.2M 167K 26
[Fantasy & (Minor)Romance] Seluruh umat manusia tahu kenyataan bahwa volume air di bumi semakin naik dan menenggelamkan satu persatu pulau di dataran...
6.7K 1.6K 32
Irina Winter, werewolf Beta yang jatuh cinta pada teman Alpha-nya sejak kecil. Suka duka telah mereka lalui bersama sampai mereka beranjak dewasa. Hi...
310K 73.8K 36
"Bahkan walau jiwa gue dirobek berkeping-keping, gue bakalan mastiin lo bisa pulang." Pasca melihat ibu kandungnya sengaja bunuh diri di depannya unt...
7.8K 452 19
Kisah cinta terlarang antara seorang wanita desa dengan gadis kota yang ditolongnya saat terjatuh dari paralayang. Akankah mereka bersatu? "Galuhh...