HOT Single Daddy

Από ELLE_WANG

967K 52.2K 6.3K

BOOK TWO OF SINGLE DADDY THRILOGY Dominique Francessa itu cewek gesrek, bar-bar, liar, dan pastinya galak. Na... Περισσότερα

Let's Start The Party!
1. The Greatest Goal
2. Domi untuk Jovi
3. Janji Nikah
4. Tandayu Bersaudara
5. Accepted
6. Misi Maha Penting
7. Konspirasi Busuk
8. Profesional
9. Anak Ajaib
10. Les Privat Ala-Ala
11. Peluk-able
12. Bagian Terindah
13. Calon Ayah Mertua
14. Peri Baik Hati
15. Putri Kecil
16. Topeng Sempurna
17. First Dance
18. Kenapa Marah?
19. Melangkah Bersama
20. Terlalu Menggiurkan
21. Demit Tua
22. Adu Hujat
23. Tempat Untuk Pulang
25. Gadis Kesepian
26. Ambisi Besar
27. Tawaran Menarik
28. Pemberitaan
29. Escape
30. Granny
31. Bukan Romansa

24. Mimpi Buruk

11.8K 1.4K 200
Από ELLE_WANG

"Den, sarapan dulu. Non Dominya dibangunkan saja." Mbok Darmi mendekati Sena yang duduk memeluk Domi di sofa ruang keluarga.

"Nanti saja, Mbok. Kasihan kalau dibangunkan, Dominique baru tidur sebentar."

"Mau saya bawakan makanannya ke sini, Den?"

"Tidak usah, Mbok. Terima kasih." Sena kembali menunduk, memandangi wajah Domi yang sembab karena kebanyakan menangis. Setelah mengamuk subuh tadi dan menangis tanpa henti dalam pelukan Sena, Domi tertidur karena kelelahan. Domi tertidur meringkuk dalam pelukan Sena, persis seperti anak kecil yang ketakutan dan mencari perlindungan. Sebelum Mbok Darmi meninggalkannya, Sena memanggil wanita tua itu, "Mbok?"

"Iya, Den?"

"Boleh saya bertanya?"

"Boleh, Den. Kalau Simbok tahu pasti Simbok jawab."

"Sejak kapan Dominique tinggal sendiri, Mbok?"

Mbok Darmi kembali mendekat, duduk berlutut di dekat meja. Berpikir sebentar sebelum menjawab pertanyaan Sena. "Sudah sangat lama, Den. Mamanya Non Domi pergi ke luar negeri waktu Non Domi lulus SMP. Kanada kalau tidak salah."

"Kenapa Ibu ke luar negeri, Mbok?"

"Untuk bekerja, Den."

"Kalau Bapak?"

"Bapak, sih, dari Non Domi umur lima tahun, sudah tidak tinggal di sini, Den. Bapak cuma datang sesekali saja."

"Jadi sejak Ibu pergi, Dominique tinggal sama Mbok saja?"

"Iya, Den."

"Mbok tahu ada masalah apa di antara kedua orang tua Dominique?"

Mbok Darmi ragu untuk menjawab, meski sebenarnya calon suami nonanya ini berhak untuk tahu, tapi rasanya akan lebih baik jika nonanya sendiri yang mengatakannya. "Simbok tahu, Den. Tapi rasanya lebih baik Non Domi yang bercerita langsung. Simbok takut kena salah, Den."

"Tidak apa, Mbok. Saya mengerti."

***

"Menyesal aku menikah sama kamu! Perempuan pembangkang! Kamu cuma melakukan mau kamu, semua sesuka kamu! Kamu tidak pernah memikirkan aku, Rachel!"

"Kamu pikir aku nggak nyesel nikah sama kamu? Kalo tau akhirnya cuma bakal diduain kayak gini, nggak sudi aku jadi istri kamu! Nyesel aku nggak denger kata-kata Papi Mami dulu!"

"Berani kamu bicara begitu sama aku?! Kamu memang tidak pantas jadi istri aku. Kamu tidak punya tata krama, Rachel! Dan lihat apa jadinya anak kamu itu?! Dia tumbuh persis seperti kamu. Urakan! Tidak tahu aturan! Pembuat onar!" Bagi seseorang yang begitu bangga dengan darah ningrat yang mengalir dalam tubuhnya, tata krama jelas menjadi hal yang sangat penting.

Teriakan yang saling bersahutan itu terdengar mengerikan di telinga Domi kecil. Meski setengah mati Domi berusaha memejamkan matanya dan menutup telinganya dengan bantal, ia tetap tidak dapat terlelap.

Domi tahu orang tuanya bertengkar karena dirinya. Pagi ini, gadis kecil itu mogok sekolah. Domi kecil tidak mau pergi ke sekolah karena seharusnya hari ini ia pergi ke sekolah bersama ayahnya. Domi tidak mau menghadiri acara Hari Ayah tanpa ayahnya. Domi benci melihat tatapan kasihan dari para teman dan gurunya. Ketika ibunya tetap memaksanya datang ke sekolah, gadis itu melarikan diri. Dia tidak kembali hingga malam dan membuat ibunya cemas. Setelah sekian lama, ayahnya akhirnya datang. Ayahnya datang bukan karena merindukan putrinya, bukan juga karena khawatir putrinya menghilang. Ayahnya datang untuk memarahi ibunya yang dianggap lalai menjaga Domi. Ia merindukan ayahnya yang sudah lama tidak datang. Ia ingin ayahnya memperhatikan dirinya. Tapi bukan seperti ini caranya.

"Jangan berani-berani kamu ngatain anak aku! Kalo kamu malu punya anak kayak dia, nggak usah akuin dia! Kami nggak butuh pengakuan kamu!"

"Kurang ajar kamu, Rachel! Harusnya kamu bersyukur aku masih mau peduli sama kalian. Aku masih menyempatkan waktu melihat kalian. Begini cara kamu membalas perhatian aku?"

"Kalo ini yang kamu anggap perhatian, aku nggak butuh. Silakan pergi dari rumah ini, dan nggak perlu repot-repot nengok kami. Percuma kamu dateng cuma buat marah-marah. Pernah gak kamu pikirin perasaan Domi tiap kali liat kamu ngamuk-ngamuk dan banting barang kayak gini? Pernah gak kamu peduli kenapa anak kamu itu sering buat masalah? Pernah gak kamu sadar kalo dia kesepian?"

"..."

"Gak pernah 'kan? Karena yang ada di kepala kamu cuma mereka!"

Domi menangis dalam diam. Menangisi nasib ibunya yang malang. Ia memang belum cukup besar untuk paham permasalahan kedua orang tuanya, tapi Domi tahu jika ibunya tersakiti. Ada malam-malam panjang yang Domi lewati dengan mendengar isak tangis ibunya yang tanpa henti. Domi juga menangisi dirinya yang tidak pernah mendapatkan perhatian ayahnya. Domi tahu ayahnya hanya menyayangi adiknya. Adiknya yang terlahir dari perempuan lain, bukan ibunya.

"Mimpi apa kamu?" Sena menghapus air mata yang mengalir ke pipi Domi. Entah seburuk apa mimpinya hingga gadis itu menangis dalam tidurnya.

"Sayang, Mama pergi dulu. Kamu baik-baik di sini, ya?" Rachel mendekap erat tubuh Domi.

"Ma, aku takut. Aku kesepian. Aku mau ikut Mama aja." Domi hanyalah seorang gadis remaja biasa. Meski ia nakal dan keras kepala, dia tetap saja hanya gadis remaja yang masih membutuhkan ibunya. Ia begitu ketakutan ketika akan berpisah dengan Rachel.

Dengan berderai air mata, Rachel mencoba menguatkan Domi. "Kalo kamu ikut Mama sekarang, Mama gak rela. Mama gak tau kehidupan di sana kayak apa. Mama gak tau bakal tinggal di mana setelah sampai di sana. Mama gak mau kamu ikut susah. Biar Mama ke sana lebih dulu, biar Mama siapin kehidupan yang nyaman buat kamu. Ngerti ya, Sayang?"

Meski berat, Domi merelakan ibunya pergi. Mempersiapkan jalan untuk mereka, mencari kehidupan yang lebih baik di negeri orang. Tapi semua itu menjadi mimpi buruk ketika empat belas bulan setelah kepergian Rachel, Domi menerima kabar yang mengerikan.

"Mama!" jerit Domi putus asa di depan pusara sang ibu.

"Mama bohong! Mama jahat!" Domi memukul-mukul tanah yang masih basah itu. Ia putus asa. Takut membayangkan hari depannya tanpa ibunya. Domi gamang. Karena bahkan di hari seburuk ini, tidak ada tangan sang ayah yang menopangnya. Tidak ada pelukan hangat sang ayah yang memberinya ketenangan, sekadar memberi kepastian bahwa semua masih akan tetap baik-baik saja.

"Mama bilang kita bakal sama-sama lagi. Mama bilang nggak akan tinggalin aku. Tapi sekarang Mama pergi ...." Sedu sedannya tidak juga berakhir meski semua orang sudah pergi meninggalkan area pemakaman. Hanya tinggal sosok setia pengasuhnya yang tetap menemaninya di sana.

"Ma, balik Ma. Domi gak mau sendirian begini. Domi gak mau, Ma!" Domi terus menangis di atas tanah basah itu. "Bawa Domi, Ma! Domi mau ikut Mama. Mama udah janji mau jemput Domi. Ma!"

"Shh! Ada aku di sini, tenang, ya?" Sena membelai lembut kepala Domi. Gadis itu terus bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya. Anehnya, Domi tidak juga bangun dari tidurnya yang tidak tenang itu.

"Selamat ulang tahun," ujar Prabu Wiryawan datar.

Ada keterkejutan yang berpadu dengan kebahagiaan. "Tumben Papa datang?"

"Ada yang mau Papa sampaikan sama kamu."

"..." Tidak ada pelukan hangat yang diterimanya apalagi kecupan manis. Yang ada hanya sikap dingin dan kaku.

"Kamu sekarang sudah besar. Sudah saatnya hidup mandiri." Sejak dulu ayahnya memang tidak suka berbasa-basi dengan dirinya. Percakapan yang terjadi di antara mereka selalu singkat dan formal.

"Maksud Papa?" Suara Domi bergetar. Domi baru tujuh belas tahun, tapi dia cukup pandai menangkap arah pembicaraan orang dewasa.

"Mulai sekarang, jalani hidup kamu sendiri. Kamu harus bertanggung jawab atas diri kamu sendiri. Rumah ini milik kamu. Mobil yang biasa kamu gunakan, itu juga untuk kamu. Kamu juga tidak perlu khawatir masalah biaya hidup, Papa akan tetap sokong kehidupan kamu sampai kamu lulus kuliah nanti."

Domi ingin berteriak. Ingin memaki. Ingin mengamuk. Tapi yang bisa ia lakukan hanya tetap bersikap tenang. Sejak kecil, sikap seperti itulah yang ayahnya inginkan untuk Domi perlihatkan. Tenang, sopan, dengan tutur kata yang santun. Dan tidak bisa tidak, ketika berhadapan dengan sang ayah, otomatis Domi akan bersikap seperti itu. "Papa datang cuma untuk bilang itu?"

"Iya." Raut wajah seorang Prabu Wiryawan tetap datar dan kaku.

"Kalau begitu silakan pergi dari sini. Sekarang," ujar Domi dingin.

"Kamu tidak sopan," tegur ayahnya.

"Rumah ini sudah jadi milik saya, bukan? Berarti saya berhak mengusir siapa saja yang tidak saya inginkan keberadaannya. Tolong Bapak Prabu silakan angkat kaki dari sini."

"Kurang ajar kamu! Sudah bagus Papa masih peduli sama kamu, tapi begini balasan kamu?!"

"Kalau ini yang Anda bilang peduli, saya tidak butuh!" Kata-kata yang selalu ia dengar diucapkan oleh ibunya, kini keluar dari mulutnya sendiri.

"Ibu dan anak sama saja! Mulai sekarang jangan pernah temui saya. Saya bukan Papa kamu lagi! Urus hidup kamu sendiri."

Domi waktu SMA

***

--- to be continue ---

Συνέχεια Ανάγνωσης

Θα σας αρέσει επίσης

267K 7.4K 7
Kover by MaylaR3 *** Sifat dan sikap mereka sangat jauh berbeda. Natasya yang masuk dalam kategori tengil tanpa batas, sedangkan Zaqy yang masuk dala...
248K 39.4K 25
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...
45.6K 10.3K 63
CERITA SUDAH BISA DIBACA LENGKAP DI KARYAKARSA dan GOOGLE PLAYSTORE YAW ❤❤ *Mature Content 18+* Mengandung muatan dan unsur dewasa. Mohon bijak dalam...
1.1M 91.9K 54
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...