Weddings' Smuggler

By lyanchan

2.9M 174K 4.5K

[Sudah tersedia dalam bentuk buku @gagasmedia] Wanda E. Pangestu, meneliti berbagai pesta pernikahan orang as... More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
epilog
Our Bundle of Joy
Selena's Effect
Selena's Effect - PROLOG
Selena's Effect - Satu
Selena's Effect - Dua
Selena's Effect - Tiga
Selena's Effect - Empat
OPEN ORDER
WEDDINGS' SMUGGLER PO!
Selena's Effect - Lima

tujuh belas

57.4K 5.3K 138
By lyanchan

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Bryant sambil beringsut mendekati Wanda yang sedang memangku laptop, setelah masuk ke dalam selimut untuk menghalau dingin.

Wanda tidak menjawab.

Ada yang aneh dengan Wanda akhir-akhir ini. Wanda terlalu sering mendiaminya. Dan Bryant sudah tidak tahan! Tentu saja bukan dalam hal negatif.

Apa salahnya? Ia rasa, dirinya tidak berhak untuk didiami seperti ini, ketika ia sendiri bahkan tidak paham. Bryant mendekat beberapa sentimeter lagi hingga Wanda menatapnya dengan pandangan tajam seolah mengatakan bahwa ia tidak boleh mendekat satu milimeter lagi atau ia akan mati. Bryant menghela napas, begitu juga Wanda.

Tapi ada sedikit harapan yang muncul ketika Wanda menutup layar laptopnya. Kemudian memutar kepala menghadapnya, meskipun dengan dua tangan yang mendekap di depan dada.

"Ajak aku kencan."

Bryant mengangkat sebelah alisnya. Kencan? Apa mereka akan kencan dengan keadaan diam seribu bahasa seperti ini? Tapi Bryant menelan dalam-dalam pemikirannya itu. Ia tersenyum menatap Wanda lalu mengangguk antusias. "Tentu. Kamu mau ke mana dan jam berapa? Aku akan lihat jadwalku."

Bryant meraih ponsel dari atas nakas kemudian menyalakannya.

Wanda semakin berang. Bukankah sudah cukup saat Bryant tidak menjawab pernyataan cintanya? Sekarang, ingin kencan juga harus lihat jadwal dulu? Dasar pria payah! Amarah kembali mendidih dalam hati dan otak, siap dimuntahkan. Namun Wanda tetap berusaha tenang. Lebih baik ia diam daripada marah tidak jelas.

Wanda kembali membuka lipatan laptopnya, membiarkan Bryant sibuk dengan ponselnya. Memangnya hanya Bryant saja yang sibuk? Dirinya juga sibuk, lebih sibuk malah.

"Mau jam berapa?" tanya Bryant ulang sambil mengulir layar ponselnya yang sudah menampilkan jadwalnya sepanjang hari esok. "Aku kosong jam 12, jam 3, dan jam 5," tambah Bryant masih sambil mengulir layar ponsel, memastikan kembali bahwa informasi yang ia ungkapkan ke Wanda sudahlah tepat. Bagaimanapun ia tidak boleh keliru agar mereka dapat berkencan dengan tenang, tidak dikejar-kejar jadwal rapat. Atau seharusnya ia mengajak Wanda kencan setelah pulang? Bukannya kencan di malam hari lebih romantis?

Wanda semakin cemberut, meskipun ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak cemberut. Ia masih merasa tidak berhak untuk mengatur-atur Bryant, tidak peduli jika mereka sudah tidak mengungkit-ungkit lagi perjanjian mereka. Hingga Bryant mengungkapkan sendiri rasa cintanya pada Wanda dalam bentuk kata-kata, mereka tetaplah pasangan yang terikat perjanjian.

"Hei," panggil Bryant sambil mengusap pipi Wanda. "Ada apa dengan dirimu sebenarnya? Kamu sudah diami aku hampir satu minggu!"

Wanda masih diam, meskipun tangannya tetap bergerak mengetik dengan sembarang. Benar-benar sembarangan karena ia sendiri juga tidak tahu apa yang jari-jari nakalnya ketik. Mungkin xhsjshxajakaudndbye?

"Kamu sibuk? Kamu kehabisan ide? Lagi mumet? Ada yang bisa kubantu?" Bryant menanyakan itu semua secara beruntun. Karena pada akhirnya Wanda sama sekali tidak menjawab, Bryant memilih untuk berbaring membelakangi Wanda. Mungkin Wanda membutuhkan waktu sendiri untuk mencari ide bagi novelnya, karena dari yang ia lihat, Wanda terus mengetik namun terus menghapus saat ia mengajak Wanda bicara. Lebih baik ia tidak mengganggunya lagi. Yang penting mereka akan berkencan besok.

Apa ia harus menjemput Wanda? Atau membiarkan mereka berdua berangkat masing-masing untuk bertemu di tempat tujuan? Bryant membuka mulutnya lagi, "Mau jam berapa?"

Wanda kembali menghela napas, namun lebih pelan. "Jam tiga."

"Baiklah, akan kujemput. Kamu tunggu di rumah," kata Bryant. Ia membalikkan tubuh kemudian mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk mengusap pipi Wanda yang langsung disambut istrinya dengan hangat, dilihat dari respon Wanda yang seperti kucing.

Bryant menguncupkan jari tangannya kemudian mematuk pelan pipi Wanda. "Kecupan dariku. Night, Darl. Jangan tidur terlalu malam."

Baru saja Bryant memejamkan mata untuk tidur, ia sudah membuka kembali matanya. "Berapa banyak proyek novel yang sedang kamu kerjakan?" tanya Bryant.

"Hanya satu. Karena yang kemarin sudah terbit," jawab Wanda sambil menunjuk layar laptopnya.

"Setelah ini, rehat dulu sejenak. Kita bulan madu."

Kita bulan madu. Kita bulan madu? Kita bulan madu!

Astaga! Bryant mengajaknya bulan madu! Seketika mood Wanda membaik.

***

Wanda kembali cemberut.

Pagi-pagi ini Bryant sudah membuat bibirnya maju beberapa sentimeter dan perasaannya tidak senang. Saat ia bangun tadi, ia mengira akan mendapatkan Bryant tidur di sampingnya tengah memeluknya erat seperti biasa. Nyatanya tidak.

Wajar memang mengingat waktu dirinya bangun sudah sangatlah siang akibat mengetik hingga hampir pukul empat pagi. Ia keasyikan saat ide mengalir lancar. Perlakuan terakhir Bryant sebelum tidur benar-benar membuatnya bahagia, sehingga tiga bab yang berhasil ia tulis adalah saat pemeran utama dalam masa-masa romantisnya. Ditambah adegan romantis yang dapat membuat bulu kuduk berdiri dan jari kaki mengkerut.

Wanda berjalan mendekati laptopnya yang sudah dipindahkan Bryant ke atas meja kerja di pojok ruangan, karena sebelumnya Wanda tidur dengan laptop yang ada di samping kepala. Meja kerja itu ditambahkan Bryant tiga hari yang lalu agar mereka berdua bisa bekerja bersama di sana jika ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan dan harus dibawa pulang ke rumah, sedangkan saat siang digunakan oleh Wanda untuk bekerja.

Bryant memang lumayan perhatian karena selain meja kerja di dalam kamar. Bryant juga membuka ruangan di seberang kamarnya dulu yang merupakan perpustakaan kecil yang sekeliling ruangannya terdapat rak buku yang sudah sepertiga penuh. Tidak ada novel roman memang, tapi ada lumayan banyak novel misteri, buku bisnis, ensiklopedia, serta beberapa buku lain yang bahasanya tidak dikenali Wanda yang dikatakan Bryant sebagai hadiah dari klien.

Wanda mendapati notes kuning tertempel di atas laptopnya. Notes itu berisi pesan dari Bryant agar Wanda menyiapkan diri sebelum dijemput pukul tiga. Ditambah tulisan kecil di bawah yang hampir Wanda lewati.

Kamu cantik. Telepon aku setelah bangun.

Oh, tidak! Perasaan Wanda kembali dikendalikan Bryant! Ia sudah kembali bahagia lagi. Apakah ia harus menelepon Bryant sekarang? Wanda menggigit bibirnya karena malu, lalu berlari kecil menuju ponsel yang diletakkannya di atas nakas.

***

Wanda sudah menunggu lama, menunggu dijemput oleh Bryant yang katanya akan berangkat sedikit lambat. Bryant sudah mengiriminya beberapa pesan singkat berisi permintaan maaf karena rapat sulit diselesaikan sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan.

Wanda menggerak-gerakkan kakinya bosan sehingga kembali meraih ponsel untuk menanyakan seberapa lama lagi waktu yang dibutuhkan Bryant untuk sampai.

Balasan tiba begitu cepat.

Jawaban yang benar-benar di luar dugaan. Kali ini Bryant menyuruhnya berangkat terlebih dulu ke Kafe BlackBean karena dia yakin terlambat, sehingga sulit baginya untuk pulang dan menjemput Wanda lagi sesuai rencana. Bryant masih ada dalam rapat, tidak bisa pergi, sedangkan empat puluh lima menit dari sekarang, pria itu harus rapat lagi.

Bukankah kalau begitu lebih baik kencan mereka dibatalkan saja?

Wanda segera membalas pesan Bryant. Ia mengetik dengan cepat, meminta agar kencan mereka dibatalkan saja atau diganti lain waktu. Bukankah mereka masih bisa keluar nanti malam setelah Bryant pulang kerja?

Wanda berdecak kecil ketika Bryant bersikukuh agar Wanda tetap berangkat ke Kafe BlackBean sendirian dan mereka akan bertemu di sana. Kenapa Bryant bersikeras seperti ini?

Tiba-tiba senyumnya terbit. Apakah ini rencana Bryant untuk memberinya kejutan? Wanda antusias. Ia segera berangkat menuju Kafe BlackBean sesuai arahan Bryant.

Sesampainya di sana, keadaan Kafe BlackBean masih seperti biasa. Tidak terlihat seperti disewa untuk mereka berdua. Mungkin harapan Wanda terlalu tinggi, hingga ia menurunkannya sedikit.

Wanda kembali menunggu, menunggu, dan menunggu hingga pukul setengah enam sore, namun batang hidung Bryant tetap tidak tampak.

Begitu juga hingga pukul tujuh malam saat Wanda sendiri bahkan sudah menghabiskan tiga gelas tinggi Chocolate Milk dan dua tiramisu. Saat pergi meninggalkan meja untuk ke kamar mandi juga ia lakukan dengan tergesa-gesa karena takut Bryant datang di saat ia tidak ada di meja.

Ternyata ini rasanya, ketika dirinya merasakan sendiri adegan dalam novel yang pernah dibaca. Terasa sedikit nyeri di dada yang menimbulkan sesak. Mata juga mulai merah karena air mata yang mendesak keluar.

Sederhana memang. Tapi kecewa ini bisa terjadi karena berharap lebih, karena menginginkan sesuatu yang lebih dan tenggelam dalamnya. Dan Wanda juga sadar, secara tidak langsung dirinya menaruh harapan besar pada Bryant agar dapat saling mencintai.

Ia memantapkan hatinya, karena sudah mengenal kekecewaan itu— rasa tidak nyaman yang menusuk relung hatinya, Wanda akan berhenti berharap lebih dan menggunakan perasaannya. Sudah saatnya logika yang berjalan.

***

Wanda memandang langit-langit kamarnya. Kamarnya yang biasa terlihat cerah dan beraroma jeruk segar mendadak pengap dan gelap. Tidak sesegar dan tidak seterang kamar Bryant. Padahal kamar suaminya itu hanya berbau pewangi selimut, tapi dapat menimbulkan rindu berlebih. Buktinya, baru saja tinggal di sana sebentar, Wanda sudah bisa membandingkan kamarnya dengan kamar Bryant.

Iya. Wanda sedang ada di apartemennya, bukan untuk kabur dan tidak pulang kembali ke rumah Bryant, tapi hanya ingin menenangkan diri sebentar sebelum pulang pukul sepuluh nanti.

Bagaimanapun juga ia harus menurunkan amarahnya terlebih dulu dan mengendalikan perasaannya. Perasaan yang mulai tumbuh ini harus dipupuskan terlebih dulu, dan salah satu cara yang terbaik adalah pulang ke apartemen. Menyadarkan dirinya kembali bahwa memang inilah tempatnya, bukan rumah Bryant. Pada akhirnya, ia tetap harus pulang ke sini.

Wanda mengangkat telapak tangannya, mendapati cincin yang berkilau terkena cahaya lampu kamar. Perasaannya kembali sendu, bahkan cincin yang dikenakannya bukan miliknya.

Wanda tersenyum pasrah. Ia membiarkan air mata yang sedari tadi ingin mengalir untuk keluar. Lagipula ia memang harus mengeluarkan semuanya—sesak, nyeri, air mata lalu kembali bersikap normal seolah ia tidak pernah menyukai Bryant.

Perlahan tapi pasti, isakan tertahan Wanda berubah menjadi isakan bebas. Wanda menangis kencang, mengeluarkan semua sesak di dada.

Ia janji. Setelah ini, perasaan itu tak akan ada lagi. Ia tidak ingin menyakiti dirinya sendiri lebih dalam lagi.

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 16.3K 36
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
7.7K 704 13
"Lo ribet banget sih jadi orang? Temen gue itu baik,ganteng, mapan, kurangnya apa coba?" "Kamu siapa? Datang tiba-tiba lalu memaki-maki saya!" "Lo ka...
72.6K 7.4K 43
Adalah sebuah dosa besar bagi Luna yang mencintai ayahnya sendiri. -------πŸŒ™ Javier Hernandez (18) merelakan masa depan dan impiannya untuk menjadi p...
629K 34.1K 31
7 tahun yang lalu... Dia masih begitu muda saat itu. Hanya seorang gadis yang baru saja dinyatakan lulus dari SMA. Di usianya yang baru menginjak 18...