Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.4M 268K 45.1K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

Bonus +++

52.2K 4K 1.1K
By AM_Sel

Saya ngga suka dimintain season 2, book 2, or whatever it is.

Terima kasih.
__________________________________

El mendusel wajahnya di dada bidang Vano. Hari ini hari Kamis, dan si besar ini libur. Setelah melewati tiga hari penuh kesibukan PKKMB, akhirnya hari-hari melelahkan itu berakhir.

Vano baru akan mulai masuk kuliah hari Senin nanti. Ah, El rindu sekali pada kekasihnya ini. Tiga hari berturut-turut kemarin, Alvano pergi pagi pagi sekali, dan baru pulang jam lima sore. Lalu, di apartemen, pemuda itu sibuk mengerjakan tugas PKKMB lainnya, dan langsung tidur habis itu.

El tidak bisa bermanja. Dia hanya bisa memeluk Vano ketika pemuda itu akan pergi, dan ketika pulang. Setelah itu, keberadaannya diabaikan. Menyebalkan sekali. Bahkan, dia tidak bisa tidur karena Vano tidak memeluknya!

Jadi, satu satunya cara agar El bisa tidur, adalah dengan memakai baju besar Vano, dan membayangkan bahwa pemuda itu tengah memeluknya. Hm. Mengenaskan sekali :')

El hanya tidak tega untuk membangunkan Vano yang terlihat kelelahan, hanya untuk membantunya tidur.

Pelukan ditubuhnya, mengerat. El mendongak menatap Alvano yang masih terpejam. Padahal, di luar sana matahari sudah tinggi. Si kecil itu kembali membenamkan wajahnya di dada Vano. Menghirup bau kekasihnya itu, yang selalu berhasil membuatnya tenang.

'Kryuuukk~'

El lapar ngomong-ngomong. Kepalanya menegak. Lalu, mendorong tubuh Alvano hingga membuat kekasihnya itu terlentang. Namun, dengan cepat, sepasang lengan milik si besar itu menariknya dan membuat El berada di atas tubuhnya.

"Aku laper," gumam El pelan.

"Mhh.. nanti dulu."

El menumpukan dagunya di atas dada bidang Alvano, "Udah siang, oi."

"Bodo."

"Tidur aja lagi. Aku mau buat sarapan," ujar El lagi sambil mencoba melepas pelukan Vano.

Kekasihnya itu berdecak, "Diem dulu kenapa si El. Nanti dulu sarapannya," gerutu Alvano. Sebelah kakinya melingkar di tubuh El untuk mencegah si kecil itu beranjak.

El memejamkan kedua matanya. Lapar lapar begini, emosi gampang naik. Dia harus sabar. Vano masih lelah karena tiga hari kemarin. Sabaar.

Jadi, dia kembali meletakkan kepalanya di dada sebelah kiri Alvano. Mendengar detak jantung si besar itu yang meraih indra pendengarannya. Sementara jemari tangan kiri, sibuk menyentuh sana sini pundak dan belikat sang kekasih yang memang terekspos karena dia tidak memakai baju.

"Kamu jadi anak baik kan selama PKKMB kemarin?" tanya El pelan.

"Mh-hm," helaian cokelat milik El diusap lembut.

El kembali mendongak. Kedua mata Vano terbuka menatapnya. Mereka saling tatap sejenak. Tangan Vano yang berada di belakang kepala El, menarik si kecil itu agar bisa melayangkan kecupan-kecupan manis di bibirnya.

"Aku jadi Komting Angkatan," ujar Vano.

El mengerjap. Dahinya mengerut, "Komting?"

Kekasihnya itu mengangguk, "Komandan Tingkat. Kalo di sekolah, kayak ketua kelas gitu," ia kembali menyatukan bibir mereka. Melumatnya pelan, dan menghisap bibir bawah El, "Tapi, kalo aku, untuk satu angkatan."

Pipi El dikecup. Lalu, turun ke lehernya. Jemari tangan kiri El menyusup diantara helaian rambut Alvano.

"Pas SMA jadi ketua OSIS, sekarang kuliah jadi Komting Angkatan. Ngga capek?"

Si besar itu memutar tubuhnya. Menjatuhkan El di tempat tidur dan mengurung tubuh kecil itu.

"Aku harus jadi yang nomor satu," gumam Vano. Lalu, kembali melumat bibir kesayangannya itu.

"Ngh.. Vano.."

Tangan kiri El menangkup pipi Alvano. Membalas lumatan-lumatan tersebut. Menyalurkan rasa rindunya.

'Kryuuukk~'

Tapi, sekali lagi, dia lapar. El melepaskan tautan bibir mereka. Bibir Vano turun mengecupi rahang bawah dan lehernya. Sementara, kedua tangan si besar itu sudah masuk ke dalam kaos besar yang El pakai.

"Vano, aku laper!" rengek El sambil mendorong tubuh diatasnya itu. Dahinya mengerut dengan wajah menekuk.

Telapak tangan Vano mengusap wajah itu, "Biasa aja mukanya."

El langsung menepis dan menggerutu. Menyebalkan sekali. Ia pun segera beranjak dari ranjang, begitu Alvano beringsut menjauh untuk mencari bajunya yang entah ia lempar ke mana tadi malam.

El keluar dari kamar. Persediaan roti mereka habis. Jadi, El memutuskan untuk membuat smoothies sebagai sarapannya.

"Vano mau smoothies juga?" tanya El dengan suara yang sedikit keras. Ia mengambil blender. Lalu, mengambil bahan-bahan yang diperlukan.

"Mau!" balas si besar itu dari dalam kamar. Ia keluar sambil memakai kaosnya, dengan sebelah tangan yang menggenggam ponsel. Setelah itu, mendudukkan diri di kursi ruang makan dan membuka kunci ponselnya sembari menunggu El menyiapkan smoothies mereka.

Sebelah alis Vano naik saat melihat ada beberapa pesan masuk sejak semalam. Dari Chikal. Si pemuda bermulut asal ceplos itu, mengajaknya jogging bersama teman-teman yang lain. Ia pun membalas pesan tersebut.

'Sori, gue baru bangun.'

Nah, karena dia kesiangan, otomatis dia tidak bisa ikut bersama mereka. Vano melirik El yang tengah asik memblender sarapan mereka, dengan tubuh yang membelakanginya. Tubuh kecil itu dibalut oleh kaos kebesaran berwarna abu-abu milik Alvano. Menutupi hingga setengah paha, dan menyembunyikan celana pendek yang ia pakai.

Tatapan Vano turun ke kaki putih itu. Paha berisinya yang padat, dan enak untuk diremas membuat pikiran Vano melayang ke kegiatan panas mereka.

Ponselnya bergetar, membuat lamunannya buyar. Chikal membalas pesannya.

'Kami juga kesiangan wkwk.'

'Jadi, mutusin buat ntar sore aja.'

'Ikut ga?'

Jogging, hm. Jujur saja, Vano sendiri lupa kapan terakhir kali dia lari. Sepertinya sudah lama sekali, hingga dia sendiri tidak ingat.

Suara ribut dari blender, menghilang. El mengambil dua gelas berukuran besar untuk mereka berdua, dan meletakkannya di dekat blender.

Vano meletakkan ponselnya di atas meja makan, dan beranjak menuju El. Blender itu isinya lumayan penuh. El akan kesusahan untuk mengangkatnya dengan satu tangan. Jadi, ia mendekati si mungil itu dan mengambil alih pekerjaan menuang smoothies ke gelas tersebut.

El tersenyum. Mengusap lengan Vano pelan, dan berjinjit untuk mengecup pipinya. Berterima kasih. Lalu, berbalik dan mendudukkan diri di kursi ruang makan. Ponsel Vano yang berada di atas meja, ia ambil. Lalu, mengerjap saat melihat percakapan yang ada di sana.

"Jogging?"

Vano sontak menoleh. El menatapnya dengan kedua mata yang berbinar. Semenjak pindah ke apartemen, kegiatan lari paginya belum dilanjut sama sekali. Belum sempat karena dia sibuk.

"Aku ikut, ya?" ujarnya penuh harap.

Vano menelan ludah dan menggeleng, "Aku capek. Lain kali aja," gumamnya pelan.

"Iya, kamu tidur atau istirahat aja gapapa. Tapi, aku ikut mereka. Ya? Ya? Ya?"

Ide yang sangat sangat buruk bagi Alvano.

"Nanti aja, El," Vano membawa dua gelas yang telah terisi itu. Satunya, ia letakkan di depan El. Lalu, mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan dengan kekasihnya tersebut.

"Sekali aja kok, Van~" rayu si kecil itu.

"Iya, hari ini sekali. Abis itu besok sekali lagi. Terus lusa juga sekali lagi. Sampaaai nanti berkali kali."

El refleks memberikan senyum lebar, "Ehe, tau aja," smoothies itu segera ia minum.

Vano memutar kedua matanya, "Terus, aku kan udah jadi anak baik. Kapan aku dapet hadiahnya?"

Kedua alis El naik, dan menatap Vano yang tengah bertopang dagu. Ia menelan smoothiesnya terlebih dahulu, "Nanti. Kejutan," ujar El sambil tersenyum kecil.

"Aku maunya yang hot," pinta Vano.

El mengulum senyum, "Ntar kepanasan kalo hot."

"Yang bikin berkeringat lebih enak."

"Makanya, yuk jogging biar berkeringat."

Vano mendengus. Padahal dia sudah mengalihkan pembicaraan, tapi El malah menyeret topik itu untuk masuk kembali.

"Aku capek, El," ujar Vano mengulang perkataannya yang satu ini.

"Iya, kamu istirahat aja. Biar aku sendiri."

Si besar itu berdecak, "Ngga mungkin aku biarin kamu sendiri sama mereka."

"Memangnya kenapa? Lagian aku juga sering lari pagi sendiri kok."

"Ini bukan rumah El. Kalo di rumah, aku tau lingkungannya aman. Kamu ngga bakal kenapa-kenapa. Nah, aku ngga tau lingkungan di sini. Ngga mungkin aku biarin kamu sendiri."

El menatap kekasihnya itu sejenak. Paham akan kekhawatiran Alvano. Tangan kirinya terulur dan menggenggam sebelah tangan si besar itu.

"Plis?" tapi biarpun begitu, dia tetap ingin ikut jogging.

Vano kembali berdecak. Tangan El yang menggenggamnya, ia angkat dan ia kecup jemarinya, "Jangan jauh-jauh dari gue nanti."

El sumringah, "Oke! Makasih, Vano!"

Ia menarik tangannya kembali agar bisa meminum smoothiesnya. Vano hanya diam. Tak membalas ucapan itu, dan ikut meminum smoothiesnya.

Lalu, begitu gelas ia jauhkan, bibirnya ia jilat singkat, dan menatap El, "Beri aku ciuman."

El mengerjap. Giginya yang tadi bermain-main di bibir gelas, ia jauhkan. Dengan perlahan, ia beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan memutari meja makan.

Tangan Vano terulur. Menyentuh pinggul El begitu si manis itu berada di jangkauannya, dan menarik tubuh itu untuk duduk di atas pangkuannya.

"Kenapa sih suka nyium?" tanya El pelan. Vano tersenyum dan menggosok hidung satu sama lain.

"Nyium kamu enak sih. Ngga suka aku cium?"

"Mh-hm," El menggeleng pelan, "Suka kok."

Bibir mereka beradu. Membagi kecupan manis. Lalu, lumatan-lumatan pelan. Bibir El dihisap rakus. Lidah Vano masuk untuk merasakan kehangatan El. Suara kecipak dari mereka terdengar keras. Satu tangan Vano turun, dan meremas pelan bokong kekasihnya itu.

Membuat El tersentak dan menggeram pelan.

Bibir keduanya berpisah. Membuat benang tipis diantara bibir mereka terputus. Vano mengecup dagu El. Lalu, turun ke lehernya.

El refleks mendongak saat batang lehernya dijilati. Jemari tangan kirinya meremat rambut Vano. Apalagi saat bibir itu mengisap lembut kulit putihnya, dengan sesekali gigitan pelan.

"Ngh.. Van.."

Setelah dirasa cukup, Vano sedikit menjauhkan wajahnya. Menatap tanda kemerahan yang ia buat sambil menyeringai kecil. Ia mengecup tanda itu dan menatap El dengan tatapan (sok) polos, "I love you," bisiknya.

Wajah El memanas. Memerah yang manis menggemaskan.

Vano mengulurkan tangannya untuk mengambil gelas El di ujung meja sana.

"Van, kamu ngga bosen sama aku kan?" tanya El pelan.

Dahi Vano mengerut. Gelas itu ia berikan ke El, "Enggaklah, Sayang. Udah capek-capek dapetin, masa dibosenin," lalu, mengambil gelas miliknya. Bibir itu, ia kecup sekali lagi, barulah kembali meminum smoothiesnya.

"Vano.."

"Hm?"

"..aku mau nonton."

Sebelah alis Vano terangkat, "Nonton apa?"

"Di bioskop tapi."

Lalu, seulas senyum tak bisa Alvano tahan, "Iya. Nanti kita kencan."

"Main game?"

Vano mengangguk, "Terus, ke Funstation."

"Bilangin temen kamu gih, kita ikut jogging," ujar El.

Vano menghela napas, "Iya, iya."

Tangannya kembali terulur untuk mengambil ponsel yang berada di atas meja. Setelah itu, membalas pesan tersebut dan mengatakan bahwa ia bersama El akan ikut sore nanti.

"Puas?" tanya Vano sambil menunjukkan balasan pesan yang telah terkirim itu.

El tersenyum lebar. Memperlihatkan gigi-gigi putihnya dan mengangguk. Dia puas sekali.

Vano mendorong pelan gelas yang El genggam, "Abisin. Terus, kita mandi," ujarnya.

El mengangguk patuh. Segera menghabiskan 'sarapan' mereka. Vano tersenyum. Mengusap rambut cokelat itu dengan lembut. Lalu, mengecup dahinya dengan sayang.

"Udah napa sih, Van," gumam El pelan dengan pipi yang merona manis, "Jangan cium cium terus."

Vano tertawa, "Gemesin sih. Aku kan rindu, ngga pegang-pegang selama tiga hari."

El mencebik, "Siapa suruh ngacangin gue mulu kemarin," gerutunya.

"Dah, cepet abisin."

Mereka menghabiskan 'sarapan' mereka dengan cepat. Lalu, beranjak untuk mandi.

Mandi bersama pastinya 😏

Jam telah menunjuk pukul satu siang saat mereka baru selesai mandi. Tubuh El, Vano 'gulung' dengan handuk, sementara dirinya sendiri sudah memakai celana panjang. El duduk di pinggir ranjang. Membiarkan Vano yang mengambilkan baju untuknya.

Si besar itu memberikan boxer pendek dan baju besar miliknya untuk dipakai El.

Sementara menunggu El memakai baju, Vano membaringkan dirinya di ranjang. Tidak berniat untuk memakai atasan.

Ia berbaring miring. Menatap dalam diam balkon kamar mereka dari balik pintu kaca. Sepertinya dia harus membeli beberapa tanaman agar balkon itu bisa lebih enak dipandang. Sedikit sentuhan warna hijau akan membuatnya menjadi lebih menarik.

Ranjangnya bergerak. El menimpa tubuhnya. Membuat Vano terkekeh pelan, dan memeluk tubuh kecil itu.

"Vano.."

"Kenapa, Sayang?"

El menatap matanya lurus, "Kapan kita jemput Poppy?"

"Kapan-kapan. Aku mau berduaan aja sama kamu," pelukan ditubuh itu, Vano eratkan.

El cemberut, "Ntar pas kamu kuliah, aku sama siapa?"

"Ya udah, hari minggu kita jemput."

"Sekalian makan di luar yuk, hari minggu," ajak El.

"Iya."

Mereka menghabiskan waktu menuju sore, dengan berpelukan sambil berbincang ringan. Sesekali membagi kecupan manis, atau selingan permintaan-permintaan El.

El nyaris tertidur lagi, kalau saja Vano tidak bergerak untuk mengambil ponselnya yang ia simpan di atas nakas sebelum mandi tadi. Pesan dari Chikal. Mereka akan bertemu di stadion yang terletak tak jauh dari sana.

"Udah jam tiga. Ganti baju gih," suruh Vano ke El.

El menurut. Beranjak dari ranjang, dan melepas baju yang tadi ia pakai.

Lemari ia buka. Tapi, kemudian ia tutup lagi. El terdiam menatap bayangannya di cermin. Lebih tepatnya, menatap tanda kemerahan yang berada di lehernya.

Ulah siapa?

Alvano pastinya.

Lalu, ia mendelik tajam ke arah si besar itu. Sementara yang didelik, menyibukkan diri sendiri dengan mencari baju yang ingin ia pakai di lemari lain.

"Babi anjing bangsat sial~"

Vano melirik. El masih mendelik.

"Daniel anak baiknya Orly~"

Tunggu. Tunggu. Lagu macam apa yang El nyanyikan sekarang?

"Anak baik ngga maki~
Ngga boleh ngomong kasar~
Nanti mulutnya ngga manis lagi~"

Vano terkekeh pelan. Tau sekali bahwa kekasihnya itu tengah menahan emosi karena tanda kemerahan yang ia buat. Tapi, apa harus dengan membuat lagu aneh dadakan bernada anak-anak seperti itu?

El mengambil celana olahraga berwarna hitam dan memakainya. Lalu, mengambil kaos berlengan pendek warna maroon.

"Ngomong brengsek bajingan dilarang~
Apalagi ngatain ke orang~"

Ah, lagunya masih berlanjut ternyata. Vano menahan tawa sambil memakai kaos hitam tanpa lengan. Lalu, mengambil sweater putih.

"Kalau kita diusik~
Balas dengan perlahan~
Ngga ngasi jatah s'lama sebulan~"

"Heh!" Untuk kalimat terakhir, Vano tidak terima.

El mencibir. Membenarkan kaos maroon yang sudah ia pakai itu. Lalu, dengan menghentak, ia beranjak untuk mengambil kaos kakinya.

Vano menghela napas. Mendekati si manis itu dan memeluknya dari belakang.

"Ngga usah peluk-peluk gue, lo pencabul!" gerutu El sebal sambil mencoba melepas lengan yang melingkar di perutnya tersebut. Vano meringis mendengar itu. Tapi, ia tetap menolak untuk melepaskan.

"Aku harus apa biar ngga marah lagi, hm?" tanyanya lembut.

"Bodo amat ya. Cari tau sendiri! Minggir, gue mau ambil kaos kaki!"

Vano memutar bola matanya dan melepas pelukan tersebut. El merunduk untuk mengambil apa yang ia mau di laci bawah lemari. Lalu, beranjak untuk duduk di pinggir ranjang. Vano mengekori.

Si besar itu berlutut di hadapannya, dan mengambil kaos kaki tersebut. Lalu, memasangkannya ke sang kekasih.

"Gue bisa sendiri!" gerutu El dengan wajah menekuk.

Vano mengabaikan. Tetap memasang benda itu ke kaki Daniel. Lalu, matanya tertuju ke tangan El yang tidak tertutup apapun. Jelas saja sih. Itu kaos berlengan pendek. Jadi, dari setengah lengan atasnya hingga ke ujung jemari, tidak dilindungi oleh apapun. Membuat bekas- bekas luka yang ada, terlihat dengan cuma-cuma.

"Kamu ngga mau pake jaket?" tanya Vano pelan, "Biarpun udah sore, tetep aja masih panas."

El menggeleng. Anak ini sudah tidak masalah memperlihatkan bekas lukanya. Jika Vano tidak malu berjalan dengannya, maka dia akan biasa saja.

Kepala bermahkotakan helaian lembut berwarna cokelat itu, Vano tepuk pelan. Lalu, ia beranjak mengambil sebuah topi, dan memakaikannya ke El.

Vano segera mengantongi ponsel dan dompetnya. Lalu, mengambil kunci mobil. Ia duduk di pinggir ranjang dan memasang kaos kaki berwarna abu-abu sejenak. El masih duduk di sampingnya. Menunggu Vano selesai bersiap.

Setelah itu, mereka keluar dari kamar. Vano kembali merunduk mengambil sepatu olahraga milik El, dan memasangkannya ke si pemilik.

Kali ini, El tidak protes. Ia menurut dan memasukkan kakinya dengan perlahan ke dalam sepatu. Lalu, Vano mengikat tali itu dengan telaten. Begitu pula dengan kaki satunya lagi.

Setelah selesai, barulah ia memasang sepatunya sendiri.

Vano segera menggenggam tangan El. Membawanya keluar dan mengunci pintu apartemen. Tanpa peduli dengan orang lain, ia tetap menggenggam tangan itu hingga ke parkiran.

"Eh, ngomong-ngomong, kita ngga bawa minum?" tanya El.

Vano mengerjap, "Beli aja nanti."

Si kecil itu sontak memutar bola matanya jengah. Dasar anak orang kaya.

Mereka segera masuk ke dalam mobil. Mesin, Alvano nyalakan. Dan kendaraan itu segera melaju menuju tempat lari mereka.

El jadi tidak sabar. Ini pertama kalinya ia berolahraga bersama Vano.

Lima belas menit kemudian, mereka sampai. El segera melepas sabuk pengaman. Dengan sedikit melonjak-lonjak, ia keluar dari mobil. Bersemangat. Vano hanya mengulum senyum dan ikut keluar. Mereka pun segera melangkah memasuki stadion.

Kedua mata El berbinar melihat trek lari yang ada dihadapannya. Vano langsung menggenggam tangan kiri itu, saat dilihatnya El akan menjauh.

"Kita cari yang lain dulu," ujar Vano.

El mengangguk. Topi yang El gunakan, Vano betulkan sejenak. Barulah menggenggam tangan itu lagi, dan menariknya pelan untuk mencari Chikal dan kawan kawan.

"Inget apa yang aku bilang. Jangan jauh-jauh dari aku," ujar Vano.

El mengangguk semangat. Kedua matanya tetap terfokus pada orang-orang yang sedang berolahraga di sana. Ada yang sedang berlatih lari cepat, ada yang sedang berlatih lari estafet, banyak sekali.

Vano mengangkat sebelah tangannya yang tidak menggenggam El saat ia melihat Koko. Si pemuda bermata sipit itu sontak tersenyum lebar dan melambai ke arahnya. Lalu, berbalik untuk memanggil teman-temannya yang lain.

"Jangan nakal di sini," ujar Vano lagi.

"Iya, iya, bawel."

Genggaman tangan itu terlepas saat mereka sudah berada di depan empat sekawan tersebut. El menaikkan topinya agar bisa melihat mereka dengan leluasa. Lalu, memberi seulas senyum formal.

Dan.. keempat orang itu tertegun.

Terdiam.

Tercengang.

Apapun itulah.

Tak menyangka, si manis 'adik' Alvano, ternyata memiliki tubuh yang tidak sempurna. Pasalnya, hari minggu lalu, ketika mereka bertemu, si kecil ini menggunakan sweater hitam yang besar sekali. Jadi, 'kekurangan'nya tidak terlalu terlihat. Ah, pantas saja dia bersalaman dan makan dengan tangan kiri. Bahkan, meminta Vano memegang jajanannya hanya karena ia ingin makan.

"Sore," sapa El dengan nada manis.

"A-ah, sore, Daniel," balas Bayu pelan.

Sementara Mei, merasa tak enak hati. Masih jelas diingatannya bahwa dia menyuruh El untuk makan dengan tangan 'baik', tanpa mengetahui keadaan sebenarnya si manis ini.

"Aku lari duluan ya?" El bertanya ke Vano. Meminta ijin.

"Pemanasan dulu sana," ujar si besar itu.

"Oke~" si kecil itu pun beranjak menjauhi mereka. Tapi, masih dalam pengawasan mata Elang milik Vano.

"Sori, mungkin gue keknya ngga sopan, tapi gue mau nanya. Itu.. Adek lo udah begitu dari kapan?" tanya Chikal.

Bayu menyikutnya. Semakin merasa tak enak.

Dahi Vano mengerut, "Setahun lebih, atau dua tahun mungkin. Ngga tau. Yang jelas, dari gue kelas dua."

"Kecelakaan?"

Vano memutuskan untuk mengangguk. Tidak mungkin ia mengatakan 'Bukan, itu karena dia gagal bunuh diri,'.

Ah, jadi menguak luka lama.

"Vano.." Mei menggigit bibir bawahnya, "Maafin gue. Gue kemarin--"

"Ngga papa," potong Alvano. Dia mengerti maksud gadis ini, "El ngga mikirin hal itu kok. Kalian berperilaku biasa aja. Dia juga udah bisa nerima keadaannya begitu."

Mereka terdiam sejenak. Hingga Chikal beranjak dari tempatnya.

"Gue mau ikutan pemanasan sama Daniel," ujarnya sambil berlalu. Diikuti oleh Bayu, lalu Koko.

Vano menatap Meidy.

"Mei, lo lari ngga?" tanyanya.

Meidy mengerjap. Lalu, menggeleng, "Gue ke sini buat foto-foto," ujarnya sambil nyengir tak enak, "Kenapa?"

Vano melepas sweater putih yang sedari tadi ia pakai. Menyisakan kaos hitam polos tanpa lengan di tubuh itu. Lalu, memberikan sweater tersebut ke Mei, "Tolong pegangin. Gue ngga mau itu kena keringat."

Dahi Mei mengerut. Tapi, ia tetap mengambil sweater besar tersebut. Lalu, Vano pun ikut mendekati keempat orang yang sedang pemanasan itu.

Mereka pemanasan selama sepuluh menit --minus bercandanya, karena Chikal selalu menyeletuk akan hal aneh--, baru setelah itu lanjut berlari. Vano tak melepaskan tatapannya dari Daniel. Sesekali ia menyejajarkan langkah mereka. Atau, membiarkan El untuk berlari di depan agar bisa mengawasinya dengan leluasa.

Dua putaran, Chikal menyerah. Ia memutuskan untuk berjalan sambil mengumpulkan tenaga.

Begitu pula dengan Koko dan Bayu yang kadang berhenti sejenak untuk mengambil napas.

Vano bingung. El memang sudah berkeringat banyak, tapi kenapa wajahnya tidak terlihat sekarat ingin mati seperti Chikal yang kelelahan di ujung sana.

Raut si manis itu tampak serius. Bibirnya tak terbuka sekali pun semenjak mulai berlari. Vano segera menyejajarkan langkah mereka.

"Kalo capek... Hm.. berhenti.." ujarnya pelan.

El mengangguk. Nyaris ketika putaran keempat selesai, ia baru berhenti berlari. Keringat membanjirinya. Begitu pula dengan Vano. Mereka terengah. Tapi, El masih ingin mengitari lapangan itu walau dengan berjalan. Melihat aktivitas-aktivitas yang terjadi, yang jarang ia lihat ketika ia lari di lingkungan 'rumah'.

El menatap ke sekitarnya. Masih ada beberapa orang yang berlari. Lalu, ada juga yang sedang lompat tali di tepi trek, atau sedang sit up dan push up. Kedua alisnya naik saat melihat tubuh berbentuk milik lelaki-lelaki itu.

"Suka sama pemandangannya?" tanya Vano kesal.

El menoleh, dan dengan polos ia mengangguk, "Lumayan."

Si besar itu berdecak tak senang. Tanpa peduli akan keringat yang membajiri mereka, bahu El segera ia rangkul dan wajahnya ia alihkan agar menatap ke arahnya.

"Tatap gue aja. Ngga usah ngeliat ke cowok lain," gerutu Vano.

"Iya, iya," tapi matanya tetap saja melirik ke arah lelaki-lelaki itu.

Vano segera menarik El menuju kumpulan teman-temannya, yang berjarak lumayan jauh dari para lelaki itu. El mencibir pelan.

Begitu sampai, mereka segera duduk dan meluruskan kaki.

"Gila ya kalian berdua. Lari ngga berhenti hm," decak Koko.

Vano memutar bola matanya. Lalu, melirik El, "Udah selesai apa mau lanjut lagi?" tanyanya.

El mendelik, "Lanjut lah. Paskan ke sepuluh putaran."

"Yang ada gue bengek duluan kalo ngikutin lo El," gerutu Chikal.

Vano sendiri berdecak kesal, "Ngapain sebanyak itu? Lima aja udah. Sekali lagi abis itu selesai," ujarnya.

El mencebik. Ia beranjak dari duduknya, "Ya udah, aku mau jalan aja."

Vano menghela napas. Ikut berdiri lagi dan segera menyejajarkan langkah El yang tadi duluan. Bisa gawat kalau dia tidak ikut. Mata El bisa jelalatan ke lelaki lain.

Ah, sepertinya Vano juga harus mulai berolahraga, agar El tidak terpesona dengan tubuh lelaki lain selain dirinya.

"Nanti makan apa, Van?" tanya El.

Hmm.. baru juga olahraga, udah nanyain makanan.

"Kamu mau makan apa?"

El memiringkan kepalanya dengan dahi mengerut, "Apa ya.."

Vano menggigit bibir bawahnya, "Gue makan lo aja deh."

"Dih!" si manis itu mendelik.

Eh, kedengeran.

"Pengen sushi. Takoyaki juga. Sama Okonomiyaki."

Vano mengangguk, "Ya udah, ntar makan itu."

El mengerjap. Bahunya, ia sentuhkan ke lengan Alvano, "Kenapa ngga pernah nolak sih kalo aku mau ini-itu?" tanyanya.

Vano segera merangkul, "Mana bisa aku nolak kamu, Manis."

El menyipitkan kedua matanya. Mengingat-ingat satu julukan yang pernah ia dengar di televisi.

"Bucin," celetuk El.

Dan Vano merasa tertohok.

"Dih, apaan sih," gerutu si Besar itu.

El terbahak. Iya. Alvano itu bucin. Budak cintanya. Cuma miliknya.

Vano menyangkal. Tidak mau disebut sebagai Bucin. Padahal tingkah lakunya itu Bucin sekali terhadap El.

Puas mengejek Vano, dan mengelilingi lapangan itu lagi, mereka kembali ke kumpulan.

Vano mengambil sweaternya yang sedari tadi dipegang oleh Mei. Lalu, melepas topi El, dan memakaikan sweater itu ke kekasihnya tersebut.

El menurut. Tak protes sama sekali. Ia mencium sweater itu. Wangi Vano. Biarpun ada sedikit wangi manis perempuan milik Mei, tapi El tidak mempermasalahkannya sama sekali.

"Dah, yuk, pulang," ajak Vano. Keempat temannya langsung mengangguk setuju. El hanya mengekori di belakang. Di luar stadion, perutnya mulai berdemo. El menarik kaos hitam milik Vano, hingga membuat si besar yang tadinya sedang berbicara dengan Koko, menoleh.

"Kenapa, Yang?"

Koko melirik. Dahinya mengerut. Tapi, hanya diam. Ia beranjak karena Chikal memanggil.

El menunjuk ke salah satu sudut, "Bakso bakar," rengeknya minta dibelikan.

Vano memutar bola matanya, dan mengangguk, "Iya, kita beli."

"Yeaaay~" El segera berlari kecil menuju penjual bakso bakar itu.

"Sayang, jangan lari-lari!" peringat Vano.

Bayu menoleh. Kedua orang itu mulai menjauhi mereka, "Van!" panggilnya.

Vano menoleh, "Ah, kalian pulang aja duluan. Makasih untuk ajakannya!" seru Vano sambil melambai pelan. Lalu, kembali menghampiri El yang sudah memesan sepuluh tusuk.

Kalau begini sih, lari-lari mereka tadi tidak ada gunanya. El juga meminta untuk dibelikan es tebu.

Oke, baiklah.

Setelah mendapatkan apa yang El mau, mereka segera kembali ke mobil. Masuk ke dalam sana.

"Kita mau makan di mana?" tanya El.

"Masih mau makan makanan Jepang?"

El mengangguk.

"Oke, baik," gumam Vano pelan sambil menggeleng.

Lari-lari mereka sungguh tidak ada gunanya.

Setelah kenyang, mereka langsung pulang. El bahkan sudah sulit menahan kantuk di perjalanan pulang. Begitu sampai, mereka segera mandi. Lagi-lagi, mandi bersama. Vano hanya takut, si mungil ini akan ketiduran di dalam kamar mandi.

Vano juga harus memakaikan El piyamanya dengan benar, karena si manis itu sudah terlalu malas dan memakai dengan asal. Lalu, setelah itu mereka langsung berbaring di ranjang. El segera memeluk Alvano. Kantuk langsung menyerang.

"Vano," panggilnya lirih.

"Hm?"

"Kencannya besok ya?" pinta El dengan kedua mata yang sudah terpejam.

"Iya."

Bibir tipis si manis itu tertarik untuk membentuk seulas senyuman. Lalu, mengeratkan pelukannya pada Alvano, dan membenamkan wajahnya di dada bidang itu.

"Makin cinta deh," gumamnya pelan.

Alvano hanya terkekeh. Rambut cokelat itu ia elus, dan sesekali ia kecupi. Membiarkan El untuk tertidur terlebih dahulu, barulah dirinya menyusul.

*****

Pukul sepuluh pagi, mereka berdua sudah rapi. Bersiap untuk berkencan. Vano duduk di sofa ruang tengah. Ia sedang melihat-lihat, film apa yang sekiranya bagus untuk mereka tonton nanti.

"Mau horror, romance atau apa?" tanya Vano ke El.

El hanya mengangkat kedua bahunya, "Apa aja."

Vano mengangguk, dan beranjak berdiri, "Yuk."

"Eh, bentar. Aku lupa bawa hape," ujar El dan ia langsung berjalan terburu-buru ke kamar.

"El, ambilin kunci mobil sekalian!" seru Alvano dari luar.

El menggerutu, "Di mana?!" balasnya tak kalah keras. Ia mengambil ponselnya yang sedang dicharge dan mendudukkan diri di pinggir ranjang dengan wajah menekuk.

"Di atas meja nakas kalo ngga salah!"

Dengan malas, El melirik meja yang berada di samping ranjang mereka itu. Menatap lekat permukaannya dan mencari benda penting tersebut. Namun, tidak ada.

"Ngga ada, Van!" serunya. Ia beralih menjadi membaringkan tubuh.

"Coba cek di lacinya!"

El kembali menggerutu, "Ish, kenapa ngga dia aja sih yang ke sini terus cari sendiri?!"

Dengan ogah-ogahan, ia beranjak. Menarik laci nakas seperti yang Vano suruh. Kunci mobil itu memang bersembunyi di sana ternyata. El pun mengambil benda tersebut. Namun, perhatiannya tertuju pada sesuatu yang lain, yang juga berdiam di laci itu. Dahinya mengerut bingung.

Dalam hati, El bertanya-tanya, sejak kapan ada benda itu di dalam sana?

Ah, tidak, bahkan ia mempertanyakan, sejak kapan mereka memiliki benda itu? Dan kapan pula dibelinya?

Ia pun mengambil benda tersebut untuk melihatnya lebih dekat. Lalu, melihat-lihat tampilan kotak itu. Dia tidak ingat pernah membeli benda ini, berarti satu-satunya tersangka yang wajib dicurigai adalah Alvano. Tapi, sejak kapan pula Vano tertarik pada benda seperti ini?

Sejak kapan Vano tertarik pada...

...kondom?

"El, ada ngga?!" seruan Alvano kembali terdengar.

"Iya, ada!"

Kotak itu, El letakkan kembali ke dalam laci. Lalu, menutup laci tersebut dan beranjak keluar. Dalam hati, ia mengingatkan diri sendiri untuk menanyakan 'guna keberadaan kondom' itu kepada Alvano nanti.

End.

I'm not happy with this chapter at all.

Continue Reading

You'll Also Like

KAPTEN ✔ By EL

Teen Fiction

1M 81.4K 34
[ Squel Sohib ] [GEN 2] N. Bisa baca sohib dulu. ⚠️Mpreg Belum Revisi! Tidak bertemu selama 14 tahun lamanya membuat Samudra canggung. Angkasa Ghav...
1.3M 108K 51
Ini sepenggal kisah tentang Owen dan Raksa yang dulunya adalah musuh lalu sekarang malah menjadi? _____________________________ HOMO♨️ LOKAL♨️ NON-BA...
4K 185 36
Setelah terbangun dari koma Farsan tidak mengingat apa-apa. Ingatannya seperti kertas putih tanpa goresan tinta. Hanya ada seorang pria yang dengan s...
1.2M 131K 45
[BL] [MPREG] "Lo masih mau berhubungan sama gue?" "Lo diem." "Mau bagaimanapun sikap gue ya lo harus terima dan cukup diem. Gausah komentar! Tapi kal...