Weddings' Smuggler

By lyanchan

2.9M 175K 4.5K

[Sudah tersedia dalam bentuk buku @gagasmedia] Wanda E. Pangestu, meneliti berbagai pesta pernikahan orang as... More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
epilog
Our Bundle of Joy
Selena's Effect
Selena's Effect - PROLOG
Selena's Effect - Satu
Selena's Effect - Dua
Selena's Effect - Tiga
Selena's Effect - Empat
OPEN ORDER
WEDDINGS' SMUGGLER PO!
Selena's Effect - Lima

empat belas

61.9K 5.2K 128
By lyanchan

"Bukankah aku sudah menjadi istrimu?" tanya Wanda kembali. Ia malu untuk menjawab Bryant sehingga ia memilih untuk membalas dengan pertanyaan.

"Kamu memang sudah menjadi istriku, tapi aku ingin mendengarnya dari bibirmu sendiri," kata Bryant sambil mengusap bibir merah Wanda.

Pandangan mata yang terlihat tulus, membuat Wanda tenggelam ke dalamnya. Dalam bola mata Bryant, Wanda dapat melihat dirinya sendiri dengan jelas. "I'm yours."

Detik itu juga Bryant merengkuh Wanda ke dalam pelukannya. Ia mengecup perpotongan leher Wanda, kemudian menghirup segala udara yang ada. "Aku resmi beristri sekarang," kata Bryant. Kata sederhana namun tetap membuat Wanda bersemu.

"Aku juga resmi bersuami sekarang." Wanda melepas pelukan Bryant, "Apa kamu memintaku ulang menjadi istrimu karena telah meniduriku?"

Bryant mencubit ujung hidung Wanda gemas, "Apa tidak terlambat menanyakan hal itu sekarang?"

"Jadi, benar?" Wanda mendorong dada Bryant agar menjauh. Ia terlihat kecewa bercampur kesal.

Bryant tertawa keras hingga dadanya bergerak naik-turun. "Bukan karena telah menidurimu hingga aku harus memintamu ulang menjadi istriku. Tapi, karena aku tidak sanggup membayangkan diriku kehilanganmu hanya karena keraguan dan ketidak pastian yang bisa tercipta karena hal tadi."

Wanda terdiam.

"Ternyata benar adanya kata Mom dan Dad tentang diskusi setelah melakukan hubungan suami-istri. Kita lebih terbuka satu sama lain," kata Bryant takjub. "Terima kasih," tambah Bryant di dekat telinga Wanda, "karena sudah bersedia menjadi istriku."

"Apa kamu bisa mengulanginya lagi?" tanya Wanda di tengah-tengah kebisuan mereka setelah bisikan mesra Bryant pada telinganya.

"Mengulangi apa?"

"Seperti yang tadi kamu lakukan," jawab Wanda malu-malu. Bola matanya tidak terfokus pada Bryant melainkan langit-langit kamar.

"Pengakuan cinta?"

"Bukan," Wanda terdiam cukup lama sebelum melanjutkan kalimatnya dengan suara yang lebih kecil lagi, hampir saja tidak terdengar oleh Bryant, "tapi yang sebelumnya."

"Kamu ingin lagi?"

"Paling tidak, harapan Mom mungkin akan segera terkabul," kata Wanda malu-malu lalu memunggungi Bryant.

"Kamu ingin? Sungguh?"

"Tentu tidak," jawab Wanda sambil memunggungi Bryant. Ia berubah pikiran. Ia malu. Bagaimana dirinya yang seorang wanita malah meminta hal itu setelah melakukannya satu kali?

***

"Kenapa sepagi ini sudah rapi?" tanya Bryant selagi menuruni tangga. Ia mendapati Wanda yang biasanya masih dengan baju tidur, telah rapi dengan setelan formal sama sepertinya yang hendak berangkat kerja.

Wanda mengelap tangannya pada celemek yang tergantung di leher, bertugas sebagai prajurit perang untuk melindungi pakaian Wanda dari serangan minyak goreng. "Aku harus keluar sampai sore nanti, ada yang harus kukerjakan."

"Pekerjaan zaman now-mu?" tanya Bryant. Sedetik kemudian ia telah mencuri kecupan dari bibir Wanda yang sudah menjadi ritual wajib mereka setiap pagi.

"Iya, pekerjaan zaman now-ku," jawab Wanda sambil kembali membalikkan badannya menghadap kompor untuk membalik telur. Telur yang sedang digorengnya sekarang tidak boleh matang karena Bryant suka dengan telur setengah matang. Suaminya ini memang tidak menuntut agar telurnya setengah matang sempurna, tapi tetap saja gengsi Wanda lebih tinggi. Telur pertama boleh gagal dan menjadi santap paginya, tapi telur kedua ini tidak boleh.

"Kuantar," kata Bryant, seperti perintah yang harus dipatuhi oleh Wanda. Ia memeluk Wanda dari belakang, kemudian meletakkan dagunya di atas bahu Wanda. "Kamu wangi sekali. Setiap santai di rumah, kamu tidak pernah sewangi ini, malah selalu tenggelam dalam daster longgar dan rambut acak-acakan, aku bahkan ragu kalau kamu mandi."

Wanda tidak tersinggung. Ia malah tertawa keras. Bagaimana bisa ia mengetik naskah novelnya dengan nyaman menggunakan rok spandek dan blazer seperti ini? Yang ada malah ia mengamuk karena kepanasan dan tidak berhasil mengetik satu huruf pun.

"Tidak perlu antar aku," tolak Wanda yang sudah kembali pada topik pembicaraan mereka. "Aku mandi tahu, wangi semerbak seperti bunga mawar. Kamu saja yang selalu cium saat keringatan."

Bryant mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau begitu, aku tidak boleh buat kamu keringatan lagi? Oke, aku setuju, asalkan kamu jangan minta, ya!"

Wanda membawa piring di tangan kanannya, kemudian mematikan kompor. Setelah itu ia berbalik, membiarkan kepala Bryant terangkat secara paksa dari bahunya. Ia mencubit Bryant sambil berjalan menuju meja makan.

"Jangan bahas lagi," kata Wanda. Ia tidak berani menatap wajah Bryant yang sudah menampilkan ekspresi jahil yang sangat amat menyebalkan.

"Aku tidak akan bahas lagi kalau kamu setuju untuk kujemput pulang," tawar Bryant sekali lagi. Saat melihat Wanda membuka bibirnya ingin menolak, Bryant menambahkan, "Biarkan aku merasakan bagaimana rasanya menjemput istri pulang kerja."

"Maaf, tapi aku tidak tahu pulang jam berapa," elak Wanda sebagai alasan agar tidak perlu dijemput Bryant, "kalau cepat, aku main ke kantormu. Kalau lama, kamu pulang dulu saja."

"Oh, kamu mau main ke kantorku? Memangnya tahu kantorku di mana?" goda Bryant, karena hingga saat ini mereka masih belum mengungkapkan pekerjaan masing-masing.

Wanda menunduk bingung. Ia baru sadar, selama ini ia sibuk menutupi pekerjaannya sendiri hingga tidak sadar bahwa ia tidak mengetahui pekerjaan suaminya. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa mengetahui pekerjaan seseorang itu cukup penting karena ia sendiri ingin menutupi pekerjaannya, dan sepertinya itu sudah menjadi ketidakpedulian yang akut.

"Di mana kantormu?" tanya Wanda, menjaga ekspresinya agar terlihat cuek.

"Datang saja ke Tower A jalan Gajah Mada," kata Bryant sambil mencomot kentang goreng dari piring.

"Ada Tower A di jalan Gajah Mada?" tanya Wanda sambil membayangkan kembali jalan Gajah Mada yang baru beberapa kali dilewatinya. Wanda tidak sering ke sana karena lumayan jauh dari apartemennya, ia juga jarang berbelanja di sekitar sana karena di sanalah area paling mewah di kota.

"Ada, huruf A besar di puncak tower," jawab Bryant, "bisa kita makan sekarang? Aku sudah harus berangkat. Yakin tidak perlu kuantar?"

Wanda menggelengkan kepalanya. "Akan kukabari lagi sore nanti." Wanda memutuskan untuk berjalan mendekati Bryant dan mencium pipi suaminya yang terlihat tengah menjaga ekspresi, antara kesal dan kecewa. "Akan kukatakan pekerjaanku ketika aku siap. Yang penting, pekerjaanku bukan pekerjaan buruk dan negatif."

Bryant menganggukkan kepala tanpa menatap Wanda, masih sibuk menyantap sarapan paginya.

"Aku akan terbuka ketika aku siap," tambah Wanda lagi. Ia mengambil alih dasi Bryant dari atas meja kemudian memasangkannya. "Kamu tahu tidak artinya mengikatkan atau membelikan dasi untuk pasangan?"

"Hm?" gumam Bryant, masih dengan ketidakpeduliannya.

"You're mine," kata Wanda sensual sambil menarik dagu Bryant agar wajah mereka berhadapan. Apakah ini benar dirinya? Astaga! Kenapa ia bisa senekat ini? Persetan dengan pikirannya itu. Wanda mengecup bibir Bryant.

Saat ingin melepas kecupannya, Bryant malah menarik Wanda hingga terduduk di atas pangkuannya kemudian melumat bibir Wanda dalam-dalam hingga berlanjut jauh di atas meja makan. Semua dimulai dengan celemek Wanda yang dilempar turun.

***

"Ini semua gara-gara kamu," tuduh Wanda sambil mengenakan setelan baru di walk-in closet, begitu juga dengan Bryant.

Bryant terlihat santai, ia malah tengah mengeringkan rambutnya dengan hair dryer untuk beberapa menit sebelum menatanya kembali rapi ke belakang. Kemudian beralih membantu Wanda mengeringkan rambut sedangkan istrinya itu sedang merias ulang wajahnya yang sudah bersih setelah mandi tadi.

Mereka terlambat, sungguh sangat amat terlambat.

"Kenapa kamu santai sekali? Tidak takut terkena penalti?" tanya Wanda. "Aku tidak mau dengar kamu dipecat."

"Apa aku bolos saja kalau begitu?" goda Bryant. "Bukannya lebih baik bolos dengan beralasan sakit daripada datang terlambat kemudian dipecat?"

"Tetap masuk," tegas Wanda. "Karena aku juga tetap akan pergi menyelesaikan pekerjaan zaman now-ku."

"Kuantar," tawar Bryant sekali lagi.

Wanda membalikkan tubuhnya. "Lain kali, oke?"

"Oke. Tapi aku tidak tahu apakah di luar sana sudah aman, berita kita memang sudah tidak begitu terdengar lagi, tapi tidak menutup kemungkinan kamu masih diikuti wartawan." Bryant mengatakan itu semua memang bukan tanpa alasan. Keluarga mereka tertutup, tidak pernah berhasil diliput. Segala kekayaan, pekerjaan, dan kesibukan mereka hanya diketahui sampai di mana mereka perbolehkan.

Mereka sudah terbiasa untuk menghindar, berbeda dengan Wanda yang tidak tahu seberapa tertutupnya keluarga mereka dan seberapa haus wartawan di luar sana akan mereka. Wanda bagaikan celah baru bagi mereka untuk menyedot habis informasi yang tidak tergali selama ini.

"Tidak, kok," Wanda tersenyum, "selama ini mereka tidak pernah dapat informasi karena aku tidak pernah keluar dari rumah. Mereka juga pasti sudah menyerah dari jauh-jauh hari. Memang seberapa penting dirimu atau diriku sampai harus diikuti?"

Wanda mencium pipi Bryant. "Tenang saja. Atau malah sebenarnya yang harus kuhindari adalah kamu? Bisa saja kamu yang ikuti aku ke mana saja," tuduh Wanda, setelah itu ia tertawa. Ia meraih Bryant ke dalam pelukan.

"Jika aku tidak sibuk, akan kulakukan. Sayangnya aku sibuk," kata Bryant sambil balas memeluk Wanda.

"Bekerjalah yang rajin bagi bosmu," lanjut Wanda sebelum menarik Bryant untuk segera turun. Mereka harus berangkat sekarang sebelum semakin terlambat. Wanda sudah tidak enak sekali pada staf penerbitnya.

"Aku berangkat dulu," kata Wanda sambil masuk ke dalam taksi yang sudah menunggunya. Ia sudah memanggil taksi selagi menuruni tangga bersama Bryant tadi.

"Hati-hati," Bryant menatap Wanda dari jendela taksi yang terbuka, "hubungi aku sore nanti."

***

Wanda berjalan masuk ke dalam kantor penerbitnya. Ia langsung disambut oleh satpam yang membukakan pintu. Begitu juga dengan resepsionis yang langsung memeluknya hangat. "Mbak datang untuk tanda tangan novel?"

Wanda menganggukkan kepala sambil tersenyun manis ketika pelukan mereka sudah terlepas.

"Tolong tanda tangan punyaku juga setelah terbit ya, Mbak. Takut tidak kebagian edisi tanda tangan karena disebar secara acak," lanjutnya.

Wanda menggeleng. "Kamu tidak usah beli, akan kuhadiahkan untukmu."

"Makasih, Mbak!"

Wanda kembali tersenyum. "Saya naik dulu."

Wanda sudah menandatangani ribuan halaman pertama novelnya selama tiga jam, dan berakhir merasa sakit pada tengkuk. Ia juga sudah mulai lapar karena memang sudah waktunya makan siang. Wanda mengajak staf yang bertugas sebagai tim sukses novelnya untuk makan siang di restoran terdekat dan tentu saja mereka menjawab ajakan Wanda dengan senang hati.

Baru saja mereka menginjak lobi kantor, mereka mendapati puluhan
blitz kamera terarah pada mereka, tepatnya Wanda.

Di sisi lain, Bryant berangkat secepat mungkin menuju kantor penerbit yang menaungi Wanda. Berita tentang Wanda sudah menyebar di internet dua jam yang lalu dan istrinya tidak menghubunginya sama sekali? Apa sebegitu tidak bisa diandalkannya dirinya? Seburuk itu kah?

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 115K 37
"Aku akan pergi dari rumah ini dan segera urus surat perceraian kita," pungkas Jean lugas. "Aku tidak akan menceraikan kamu," tegas Richard. Start :...
4.8M 178K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
7.7K 709 13
"Lo ribet banget sih jadi orang? Temen gue itu baik,ganteng, mapan, kurangnya apa coba?" "Kamu siapa? Datang tiba-tiba lalu memaki-maki saya!" "Lo ka...
672K 22.4K 30
[Completed] [Adhya, Michelle, Nanta] Michelle mempunyai anak bernama Arananta. Arananta itu mempunya orang tua yang lengkap. tapi, Michelle memilih m...