Us

By dianraaa12

335K 52.3K 5.9K

Ini adalah kisah tentang kita. Tentang kita semua. Tentang keributan di pagi hari, tentang kehangatan musim s... More

Wake Up, Jeon!
Side Story 1 : The Warmth Of A Family
Being Maknae
Nightmare
The Truth Untold
Choco Bar
Love Letter
Just Be Yourself, Hyung
AN
Basket
Camping
School Life
Introduction
Dreaming
Behind The Story : Kim Seokjin - Papa Bear
Find The Good In Every Day
Side Story 2 : You're The Best For Me
Shadow And Light
Behind The Story : Min Yoongi - Someone Who Hold My Hand
Umbrella
Festival Seni
Behind The Story : Kim Namjoon - Malam Penguhujung Musim Gugur
Side Story 3 : Mimpi Dua Anak Laki-laki
Wonderland
Behind The Story : Kim Taehyung - Teman Berhargaku
Hari Ujian Hoseokie Dan Sebungkus Kado Untuk Hani
Side Story 4 : Min's Chef
Behind The Story : Park Jimin - Scar In The Bottom Of Heart
Behind The Story : Jung Hoseok - Choco Bar Pt.2
Kejutan Ulang Tahun
A Man Under The Snow
Spring Is Coming
Monday
Drumsticks
Tangan Yang Patah, Pelipis Yang Robek Dan Cermin Yang Retak
Mimpi Yang Patah
Runtuh
Alasan Bertahan
Penguhujung Musim Semi
Pulang
Jangan Pergi Lagi
Maafkan Kami, Jungkook
Foto Keluarga
Extra : Nothing Like Us

Pergi

5.9K 996 176
By dianraaa12

Happy reading
Enjoy the story


Tiga hari aku dirawat, Jimin tidak juga datang menjengukku. Apa aku membuat kesalahan?
Apa Jimin marah padaku?

Pagi ini aku sudah diizinkan pulang ke rumah, meskipun gips nya belum boleh di lepas, tapi setidaknya kepalaku tidak dibalut perban lagi. Hanya tersisa potongan kecil kain kasa dan plester yang di tempel di dahiku.

Ayah dan ibu tinggal di rumah kami sampai makan malam, setelah Seokjin hyung dan Yoongi hyung pulang, mereka juga pamit pulang.

Agak sulit melakukan aktivitas karena tangan kananku yang di gips. Aku jadi merepotkan banyak orang, terutama Taehyung. Sejak pulang sekolah, dia menjagaku dan membantuku melakukan banyak hal yang tidak bisa aku lakukan sendiri.
Contohnya makan. Aku kan bukan kidal, jadi sulit sekali menyumpit makanan dengan tangan kiri.

"Aku akan jadi tangan kananmu selama kau sakit."

Mendengar kata-kata itu dari mulut Taehyung, aku jadi ingin menangis. Biasanya Hoseokie hyung dan Jimin yang menjadi budakku. Tapi sampai malam ini pun aku belum bertemu dengan Jimin juga.

Hari keduaku di rumah sakit, Hoseokie hyung dan Namjoon hyung kompak melakukan video call. Meskipun di tempat mereka sedang tengah malam, mereka menyempatkan sedikit waktunya untuk menanyakan keadaanku dan berbincang-bincang melepas rindu. Waktu berjalan cepat jika kita sedang bahagia.

Setelah makan malam, Seokjin hyung dan Yoongi hyung menyuruh kami naik ke lantai atas. Ada sesuatu yang perlu mereka berdua diskusikan, katanya. Kami pun menurut untuk naik.

Seharian ini aku terus memikirkan Jimin. Kemana dia? Aku sudah mengiriminya ratusan pesan tapi tidak ada satu pun yang dibalas. Dibaca pun tidak. Ponselnya juga tidak aktif saat aku coba menelponnya. Jimin berhasil membuatku cemas. Kemana sih dia?

"Kenapa?" tanya Taehyung menyadari aku yang diam saja.

Aku menyandarkan punggungku ke kepala ranjang. Menatap Taehyung yang sedang mengupas jeruk dengan ujung mata. "Jimin kemana, Tae?"

Taehyung menghentikan kegiatannya sejenak, kemudian melanjutkan acara mengupas jeruknya yang tertunda. "Kau rindu Jimin, ya? Sejak kemarin selalu bertanya dimana Jimin terus. Nanti dia besar kepala kalau kau perhatian begitu."

"Jimin kemana, Tae?" aku mengulang pertanyaanku. Aku bersumpah akan terus mengulang pertanyaan itu sampai Taehyung mau menjawabnya.

Taehyung menghela napas, meletakkan jeruk yang sedang ia kupas di pangkuannya lalu menengadahkan kepala menatap langit-langit kamarku yang dipenuhi stiker glow in the dark berbentuk bintang yang kami pasang dua tahun lalu.

"Sejujurnya, aku juga belum bertemu dengan Jimin lagi. Sejak hari kecelakaanmu, Jimin pulang saat semua orang sudah tidur lalu pergi saat semua orang belum bangun. Aku bahkan tidak yakin dia pulang. Tiga hari ini dia juga bolos sekolah. Jika Yoongi hyung tahu, ini akan jadi masalah."

"Jimin tidak seperti Jimin yang kita kenal. Apa terjadi sesuatu saat aku tidak sadar?" rasa penasaranku mulai tergelitik mendengar jawaban Taehyung.

Taehyung lagi-lagi menghembuskan napas yang ia tahan. Aku bisa melihat beban tak kasat mata di mata Taehyung.

"Kau tidak menyadari perubahan, Jimin, ya? Akhir-akhir ini Jimin memang berubah menjadi orang lain. Aku pernah terang-terangan bilang pada Jimin agar ia menemui psikiater lagi, tapi dia marah. Dia terus menyangkal kalau dia sakit. Padahal aku sudah menghabiskan lebih dari setengah hidupku dengan Jimin. Aku menyadari perubahannya sekecil apapun. Ini pasti karena luka masa lalu Jimin yang kambuh lagi. Perlakuan buruk orang tuanya ketika Jimin kecil membawa dampak besar pada emosi dan kepribadian Jimin. Sejak dulu dia itu pendiam, memendam semuanya sendiri. Terkadang aku juga tidak mengenali Jimin. Jimin seperti punya dua kepribadian dalam satu tubuh. Mungkin karena itu juga dia keluar dari klub basket dan menghindariku."

Taehyung kembali melanjutkan, "Seokjin hyung marah besar pada Jimin. Ia menyalahkan Jimin karena tidak bisa menjagamu. Kau tahu sendiri bagaimana protektifnya Seokjin hyung pada kita. Terutama padamu. Seharusnya Jimin memang bisa menjagamu lebih baik."

"Tapi itu bukan salah Jimin, Tae. Itu kecelakaan. Kalau pun harus menyalahkan seseorang harusnya kalian menyalahkan pengemudi mobil itu, bukan Jimin." nada suaraku mulai naik. Apa sih isi kepala mereka? Kenapa malah menyalahkan Jimin?

"Aku tahu. Tapi dulu saat rem sepedamu blong, aku berhasil menyelamatkanmu. Aku berhasil menghindarkanmu dari kecelakaan. Aku berhasil menjagamu. Kenapa Jimin tidak bisa? Harusnya Jimin bisa melakukan sesuatu."

Mataku membelalak mendengar jawaban Taehyung. Aku tidak mau percaya dengan apa yang aku dengar.

"Kalian sungguhan berkata seperti itu pada Jimin?"

Lama aku menunggu jawaban Taehyung, aku berharap Taehyung tidak menjawab 'ya' pada pertanyaan yang aku ajukan.

Sayangnya, harapanku hanya tinggal harapan.
Taehyung mengangguk, mengakui."Ya, kami mengatakan itu. Aku juga tidak bermaksud memojokan Jimin, tapi melihatmu berlumuran darah dari kepala sampai ujung kaki, aku tidak bisa berpikir jernih."

"Kalian jahat! Tidak seharusnya kalian mengatakan hal menyakitkan itu pada Jimin. Jimin sudah melakukan yang terbaik. Lagipula, kenapa kalian selalu mengutamakan aku? Kalian tidak perlu mengistimewakan aku seperti itu. Aku sama dengan kalian."

"Kau lupa ya dengan pesan Appa. Appa bilang kami harus menjagamu dengan baik."

"Tidak masuk akal."

Aku menggeleng, mereka semua sudah gila. Apanya yang menjaga? Omong kosong.

Aku bangun dari posisi dudukku, berjalan menuju pintu kamar dan membuka pitu itu lebar-lebar.

"Kau mau kemana?" tanya Taehyung.

"Mencari Jimin."

Aku menuruni tangga dengan kesal. Apa-apaan sih mereka. Membuatku kesal saja. Aku harus menemukan Jimin sebelum...

"Jimin..."

Di ruang tengah Yoongi hyung sedang mencengkram kerah kemeja Jimin dengan kepalan tangannya yang menggantung di udara hendak memukul Jimin. Sedangkan Jimin hanya berdiri diam seperti patung dengan sudut bibir berdarah. Saat itu aku tidak memperhatikan bahwa dibalik kemeja yang Jimin pakai nyatanya tersembunyi bekas luka yang tidak sedikit.

"Hyung apa yang kau lakukan!"

Aku berlari menuju mereka berdua, melepaskan tangan Yoongi hyung dari kerah kemeja Jimin dengan tangan kiriku. Di lantai barang-barang milik Jimin berceceran. Aku menangkap sebungkus rokok diantara barang-barang milik Jimin.

"Ada apa dengan kalian semua? Kalian sudah tidak waras, ya?"

Aku berdiri di depan Jimin menatap mata Yoongi hyung yang mengkilat marah. Tangannya sudah kembali ke sisi tubuh, tapi bukan berarti kemarahan Yoongi hyung sudah reda. Taehyung juga ikut turun mendengar keributan. Langkahnya terhenti di ujung tangga.

Sejujurnya, ini pertama kalinya aku melihat Yoongi hyung semarah ini. Tidak mungkin Yoongi hyung marah tanpa sebab.

"Menyingkir dari situ, Jeon Jungkook!"

"Tidak akan. Ada apa sih dengan kalian? Apa yang terjadi? Kenapa hyung memukul Jimin hyung? Apa salah Jimin hyung?"

Di belakangku, Jimin tiba-tiba terkekeh, awalnya kecil lama-lama ia tertawa sangat keras. Seolah apa yang baru saja terjadi adalah sebuah pertunjukan komedi.

Jimin bahkan bertepuk tangan dan memegangi perutnya, "Kalian memang yang terbaik. Pelawak terbaik. Sudah, hentikan pertunjukannya. Perutku sampai sakit."

Aku membalikan badan, menatap Jimin dengan pandangan ngeri.
Oh! Mata itu, itu mata yang aku lihat saat Jimin berkelahi dulu. Kilatannya. Pandangan matanya. Persis sekali.

"Jimin..." aku kehilangan kata-kataku.

"Padahal aku kira aku bisa menumpang tidur dan makan lagi di rumah ini untuk setidaknya malam ini, tapi sepertinya aku harus pergi. Aku tidak mau merusak keluarga bahagia ini dengan adanya sampah sepertiku."

"Jimin apa yang kau katakan?" tanyaku. Aku sungguh tidak mengerti dengan situasinya.

Jimin menoleh padaku yang berdiri di sisi kanannya, menatapku dengan mata yang menyeramkan. "Jangan pura-pura peduli padaku. Itu memuakan."

"Jim--"

"Aku muak. Aku muak pada kalian semua. Kalian tidak menghargai usahaku. Sejak awal kalian memang tidak pernah menginginkan aku. Harusnya aku sadar sejak lama."

Jimin membungkuk, memunguti barang-barangnya yang berceceran di lantai. Lalu memutar badan menuju pintu keluar.

"Berhenti di situ sekarang juga, Park Jimin!" Teriak Seokjin hyung. "Kalau kau berani melangkahkan kakimu keluar, aku tidak akan pernah mengizinkanmu masuk lagi."

Jimin menoleh kemudian menyeringai. "Baguslah. Aku juga tidak akan repot-repot kembali ke sini lagi. Terima kasih karena sudah merawatku selama ini, hyung."

Pintu depan di banting keras. Jimin pergi meninggalkan rumah dengan banyak masalah yang tidak terselesaikan.

Satu lagi pilar rumah ini yang hancur.

***

Berdiri di atas panggung dengan sorakan dan tepuk tangan adalah mimpiku. Rasanya sangat bahagia mengetahui banyak orang yang mendukung dan menyukaiku. Tapi di satu sisi, aku merasa bersalah pada mereka yang sudah mendukungku. Nyatanya orang yang mereka sukai itu adalah seorang pembohong besar. Seseorang yang hidup dibalik topeng.

Kami kembali ke dorm setelah menyelesaikan jadwal grup, besok pagi kami akan membicarakan tentang album baru.

"Kalian sudah tahu konsep album baru kita?" tanya Jisung hyung.

Kami mengangguk, "Siap-siap begadang lagi mengaransemen lagu." keluh Hanbin hyung sembari mengacak rambutnya.

"Temanya kejujuran, ya. Sangat beresiko." komentar Daniel hyung. "Kalau penggemar tahu apa yang selalu kita sembunyikan di balik panggung, mungkin mereka akan berhenti mendukung kita."

Aku memalingkan wajahku ke jendela. Daniel hyung benar, tema comeback kali ini sangat beresiko. Tapi, aku tidak sabar untuk mengungkapkan kebohonganku di depan publik.

Kebohongan bahwa Jeon Jungkook hidup dengan baik-baik. Kebohongan bahwa aku bahagia.
Apa kalau aku berkata jujur, semua yang hilang dariku akan kembali? Apa jika aku berkata jujur mereka akan kembali?

***

Seharian kami mencari Jimin setelah insiden kemarin malam, tapi tidak menemukan keberadaannya juga. Rasanya hari ini aku sudah memutari seluruh penjuru kota, tapi Jimin tidak ada dimanapun. Apa jangan-jangan Jimin sudah pergi ke luar kota, ya?

Tapi Taehyung tidak setuju dengan hipotesaku, "Tidak, aku yakin Jimin masih ada di kota ini."

Hari semakin gelap dan udara semakin dingin, meski ini musim semi tetap saja masih terasa dingin. Seharian mencari Jimin, kakiku rasanya mati rasa. Kami juga lupa kapan terakhir kali kami mengisi perut.

Tapi dari pada aku, Taehyung terlihat lebih kalut. Hal ini pasti diluar dugaan Taehyung juga. Kami tidak pernah berpikir bahwa Jimin benar-benar akan pergi dari rumah. Seokjin hyung dan Yoongi hyung meskipun masih marah pada Jimin, aku tahu mereka juga peduli. Buktinya mereka tidak melarang kami pergi tadi pagi. Ya... Meski tidak menyuruh juga, sih.

Saat sedang menyusuri daerah pertokoan dekat apartemen, aku kehilangan keseimbanganku lalu jatuh terduduk ke aspal jalan. Sial, ternyata tubuhku memang belum sembuh benar.

"Jung, kau tidak apa-apa?" Taehyung menghampiriku lalu membantuku berdiri.

"Tidak apa-apa, hanya kehilangan keseimbangan. Ayo kita lanjutkan mencari Jimin."

"Bodoh, kau perlu istirahat. Kita cari tempat makan dulu. Aku lupa kalau kita belum makan."

Aku menggeleng, "Tidak apa-apa, Tae. Aku masih kuat."

"Kau mau aku diamuk Seokjin hyung, ya? Harusnya aku tidak mengizinkanmu ikut mencari Jimin. Kau belum sembuh."

Aku menggembungkan pipiku, tidak suka dengan kata-kata Taehyung. "Meski tidak diizinkan, aku akan tetap mencari Jimin."

Kami berjalan dengan Taehyung yang masih memapahku. Karena sejujurnya, aku sudah tidak bisa merasakan lagi kakiku. Campur antara pegal, kram, kesemutan, beku dan sakit di luka yang belum kering benar.

"Kenapa kau begitu peduli pada Jimin?"

Pertanyaan Taehyung sungguh tidak masuk akal. Tanganku jadi gatal ingin menjitak kepalanya. Tapi melihat raut wajah Taehyung yang kelelahan bercampur khawatir, aku mengurungkan niatku.

"Butuh alasan ya untuk peduli pada saudaramu?"

Langkah Taehyung berhenti yang otomatis membuatku juga menghentikan langkah.

"Kenapa?" aku bertanya pada Taehyung yang tiba-tiba terdiam.

Dia menggeleng, mengulas senyum kotak bodoh yang menghilangkan matanya. "Terkadang kau bisa bersikap lebih dewasa dari kakak-kakakmu. Aku iri. Kalau Jimin dengar kata-katamu barusan bahunya akan terbang ke langit."

Aku tidak mengerti dengan perkataan Taehyung, tapi aku memilih diam. Biarkan saja. Kami terus berjalan beberapa menit lagi sampai menemukan kedai ramen yang baunya harum sekali.

"Kita istirahat di sana dulu."

Aku mengangguk setuju. Itu pilihan terbaik. Aku harus mengisi energiku agar kuat melanjutkan pencarian Jimin.

Kami masuk ke dalam kedai, lalu Taehyung pergi memasan makanan. Diam-diam ketika Taehyung pergi aku melepas sepatuku. Pantas saja perih, luka akibat kecelakaannya mengeluarkan darah lagi. Ditambah tangan kananku yang masih di gips. Benar-benar hebat aku tidak tumbang tengah hari tadi.

"Lukamu berdarah lagi, ya?" aku menoleh pada Taehyung yang sudah berjongkok di samping kakiku.

Taehyung membuka kaus kakiku lalu membuka tasnya. Mengeluarkan kotak P3K lalu mulai mengobati lukaku. Aku tidak tahu darimana Taehyung belajar mengobati luka, tapi aku tahu bahwa ini bukan pertama kali buatnya.

"Dulu, aku sering mengobati luka yang Jimin dapat dari ibunya. Tadinya aku berpikir aku tidak akan pernah mengobati luka Jimin lagi setelah datang ke kota ini. Tapi, malah aku yang melukai Jimin. Ironis sekali."

Taehyung membalut kakiku dengan kain kasa baru hingga lukanya tidak mengeluarkan darah lagi. Mengganti kaus kakiku dengan yang baru lalu pergi ke toilet untuk membersihkan tangannya dan datang dengan membawa pesanan kami.

Kami makan dalam diam. Bukan karena makanannya enak, tapi karena banyak hal yang memenuhi kepala kami. Kami duduk di meja yang menghadap langsung ke jalanan. Tidak banyak orang yang lalu-lalang di daerah ini, padahal hari belum terlalu malam.

Saat mie di mangkuk kami belum habis, sebuah keajaiban terjadi. Kami melihat Jimin berlari tergesa-gesa di sebrang jalan. Segera saja kami berbenah untuk mengikuti jejak Jimin.

Sebelum kami benar-benar keluar dari kedai, Taehyung menghentikan jalannya tiba-tiba, membuatku menabrak punggungnya.

"Ada apa? Kita harus cepat mengejar Jimin sebelum dia menghilang."

"Dengarkan aku, Jung. Siapkan telponmu untuk menelpon polisi. Lalu jangan berjalan jauh dariku."

Polisi? Memangnya ada apa?

"Kita ikuti Jimin, tapi berjanji padaku bahwa kau akan mendengarkan perintahku."

Wajah Taehyung berubah tegang, nada suaranya juga bukan untuk dibantah.

"Baik, aku mengerti."

Kami pergi keluar kedai. Aku melihat beberapa orang berpenampilan seperti preman juga berlari di sebrang jalan mengarah ke tempat Jimin tadi.

Firasatku buruk.

Kami berjalan menuju arah Jimin. Menuju daerah pertokoan yang sudah tutup. Semakin dekat, aku bisa mendengar suara perkelahian yang terdengar semakin jelas. Kami mengintip dari balik tembok, Jimin di sana, seorang diri melawan para preman berjumlah lima orang.

Gila. Ini buruk.

"Tae, kita telpon polisi sekarang?"

"Jangan. Mereka akan kabur kalau mendengar sirine polisi. Termasuk Jimin."

"Lalu kita harus bagaimana? Jimin terdesak. Dia terluka."

"Aku akan pergi ke sana. Kau tunggu di sini. Kalau situasinya semakin buruk, telpon bantuan, mengerti?"

Aku menggeleng tidak setuju dengan ide Taehyung. "Kau gila, Tae. Kau bisa mati. Memangnya kau bisa berkelahi?"

"Tidak. Tapi setidaknya tanganku tidak di gips. Sejak kami bertengkar, aku tahu diam-diam Jimin pulang dengan bekas luka. Jadi ternyata dia berkelahi di luar rumah. Dasar otak udang. Kalau aku masih selamat malam ini, aku akan memukul kepala itu keras-keras agar ia sadar."

Taehyung memengang bahuku, "Jadi, dengarkan aku. Kau bersembunyilah di sini, berjanji padaku kalau kau tidak akan membahayakan dirimu. Aku akan membantu sahabaku yang kehilangan akal sehatnya itu dulu."

Aku belum sempat mengutarakan pendapatku tapi Taehyung keburu pergi. Membawa balok kayu sebagai alat bantu Taehyung pergi menyelamatkan sahabatnya.

Ah, jadi luka di sudut bibir Jimin bukan ulah Yoongi hyung, ya. Aku kira perkelahian Jimin dan Dongho dulu itu yang pertama, ternyata bukan.

Ternyata aku tidak mengenal Jimin dengan baik. Jimin dan diamnya menyembunyikan banyak hal termasuk dari keluarganya. Harusnya aku lebih memperhatikan Jimin. Apa selama ini Jimin menderita? Apa senyum Jimin selama ini palsu?

Taehyung sudah bergabung dengan perkelahian, tapi dilihat dari sudut manapun Taehyung itu payah. Meski memegang balok kayu, tidak satupun pukulannya yang mengenai para preman itu.

Jimin mendengkus marah. Kedatangan Taehyung itu sebenarnya bukan membantu malah merepotkan pergerakan Jimin.

"Buat apa kau datang kemari?" tanya Jimin di sela-sela perkelahian.

"Membantumu tentu saja."

"Kau itu hanya penghambat. Aku tidak butuh bantuanmu. Pergi sana!"

"Tapi aku tidak butuh alasan untuk meninggalkan sahabatku. Kita selalu bersama selama ini, mana mungkin aku membiarkan sahabatku menderita sendirian."

Preman berkepala plontos berhasil menangkas serangan balok kayu Taehyung juga membuat balok kayunya terpelanting dari tangan Taehyung.

"Sial." decak Taehyung marah.

Semakin lama perkelahian mereka semakin tidak seimbang. Dari arah punggung Jimin empat preman datang lagi sebagai bantuan. Menambah buruk saja.
Total ada sembilan orang preman yang melawan dua anak sekolah menengah. Dilihat dari ukuran tubuh saja Jimin dan Taehyung sudah kalah jauh. Aku merogoh sakuku. Bersiap menelpon polisi.

Sialnya, sebelum aku sempat mengatakan pada polisi dimana lokasi kami, preman berkepala plontos tadi memungut balok kayu Taehyung. Tanpa rasa iba ia memukul belakang kepala Taehyung keras. Membuat Taehyung jatuh terduduk. Tidak sampai disitu, preman itu juga menginjak pergelangan kaki Taehyung membuat Taehyung menjerit kesakitan.

"Tae!" aku memekik, tapi syukurnya mereka tidak menyadari keberadaanku.

Aku benar-benar tidak berguna. Disaat dua kakakku sedang berkelahi dengan preman aku malah bersembunyi. Kalau saja aku tidak berjanji pada Taehyung. Kalau saja tanganku tidak terluka. Kalau saja kemarin aku tidak kecelakaan. Semuanya tidak akan seperti ini.

Aku kira Taehyung akan pingsan, tapi ia bangkit lagi meski kaki kanannya sedikit pincang. Dia berhasil menendang dan memukul jatuh preman yang mengerubungi Jimin.

Suara sirine terdengar. Para preman yang juga mendengar suara sirine menatap takut-takut ke arah datangnya suara sebelum kabur mereka menghajar Jimin dan Taehyung sekali lagi. Preman berkepala plontos itu lagi-lagi menginjak pergelangan kaki Taehyung membiat Taehyung mengerang kesakitan sampai jatuh dan ambruk di tanah. Mereka menyeringai senang melihat Taehyung dan Jimin yang babak belur di tanah.

Aku berlari menghampiri Taehyung yang memegangi kakinya."Tae, kau tidak apa-apa?"
Tuhan, jangan sampai kaki Taehyung cedera. Aku mohon.

Jimin bangun, mengelap sudut bibirnya yang berdarah lalu meludahkan saliva bercampur darah. "Orang lemah sepertimu seharusnya tidak punya keberanian yang besar. Kau lihat kan akibatnya."

"Jimin, kenapa bicara begitu? Kami datang untuk membawamu pulang. Kenapa kau biacara seolah ini salah Taehyung."

"Aku tidak meminta kalian datang. Aku juga tidak meminta kalian membantuku. Itu salah kalian."

Aku membelalak tidak percaya mendengar ucapan Jimin. "Kau benar-benar Jimin?" bibirku bergetar mengucapkan sebaris kata itu tanpa sengaja.

Jimin tersenyum miring, "Bukan. Jimin yang kau kenal sudah mati kemarin. Kalian yang membunuhnya. Tidak ada lagi kepribadian Jimin yang tersisa di tubuh ini."

Aku masih syok mendengar perkataan Jimin, sementara Taehyung masih meringis memegangi kakinya. Tapi tiba-tiba, Jimin berteriak sembari memegangi kepalanya dan melangkah mundur menjauhi kami.

"Apa yang terjadi? Apa yang aku lakukan?"

Aku mengerutkan kening. Teringat percakapanku dengan Taehyung semalam.

"Dia terus menyangkal kalau dia sakit. Padahal aku sudah menghabiskan lebih dari setengah hidupku dengan Jimin. Aku menyadari perubahannya sekecil apapun. Ini pasti karena luka masa lalu Jimin yang kambuh lagi. Perlakuan buruk orang tuanya ketika Jimin kecil membawa dampak besar pada emosi dan kepribadian Jimin."

Oh, jadi ini maksud perkataan Taehyung semalam itu. Jimin punya pengendalian emosi yang buruk dan berakibat pada kepribadiannya yang terpecah menjadi Jimin yang aku kenal dan Jimin yang tidak aku kenal.

"Jungkook, apa yang terjadi? Apa aku melukai Taehyung?"

"Jim..."

"Ini pasti ulahku." Jimin menggeleng kuat-kuat. "Ini pasti karena aku."

Lalu sebelum polisi berdatangan, Jimin kabur. Dia pergi meninggalkan sahabat yang sudah menghabiskan lebih dari separuh hidup mereka bersama.

Taehyung mengerang, meski kakinya terluka Taehyung masih berhasil membuka matanya dan mengatakan kalimat yang membuatku sadar bahwa persahabatan Taehyung dan Jimin bukan bualan.

"Jangan pergi, bodoh. Jimin, kembali!"

Tapi Jimin tidak menghentikan langkahnya. Bahkan menolehpun tidak. Meskipun aku tahu Jimin mendengar ucapan Taehyung.

Sejak hari itu, aku tidak pernah bertemu Jimin lagi. Dia sempurna menghilang. Pergi bagai debu yang dibawa angin.

Terima kasih telah membaca dan menyukai cerita ini.

"Jim, kalau suatu saat Taehyung meninggalkanmu, apa yang akan kau lakukan?"

"Aku akan meninggalkan Taehyung lebih dulu."




Apa ada yang pernah kepikiran alurnya bakal kayak gini?

Continue Reading

You'll Also Like

60.5K 4.2K 17
[ 방탄소년단 ] Hancurnya keluarga karena keegoisan masing-masing dan tanpa mereka tau kalau mereka sedang dalam bahaya karena sebuah masa lalu yang sediki...
247K 21.3K 33
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
59K 149 1
Sejauh apapun kita pergi, jangan lupa jalan pulang.
141K 8.6K 28
"Please, don't hate me. " Apa salahku hyungdeul, saeng?? setiap aku bertanya, kalian meninggalkanku aku bagaikan makhluk halus. Bisakah kalian mem...