Weddings' Smuggler

By lyanchan

2.9M 175K 4.5K

[Sudah tersedia dalam bentuk buku @gagasmedia] Wanda E. Pangestu, meneliti berbagai pesta pernikahan orang as... More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
epilog
Our Bundle of Joy
Selena's Effect
Selena's Effect - PROLOG
Selena's Effect - Satu
Selena's Effect - Dua
Selena's Effect - Tiga
Selena's Effect - Empat
OPEN ORDER
WEDDINGS' SMUGGLER PO!
Selena's Effect - Lima

dua belas

60.5K 5.3K 124
By lyanchan

Wanda menatap Bryant dalam diam, mengamati struktur wajah Bryant lebih teliti. Wanda melepas handuk pada kening Bryant kemudian mengecup pipinya sekilas. Tidak lupa juga mengelus pipi Bryant yang masih lumayan hangat.

Wanda mendadak canggung ketika pandangannya terhenti pada bibir Bryant yang tampak pucat. Wanda menurunkan tangannya lalu mengelus bibir Bryant lembut sebelum mendekatkan bibirnya untuk mengecup suaminya. Hal tadi tidak termasuk tindak kriminalitas, bukan? Karena mereka suami-istri, meskipun Bryant tidak sadar.

Wanda tersenyum kecil sebelum kembali mengecup pipi Bryant. Bisakah ia seterbuka ini ketika Bryant sadar?

Wanda mengedipkan kedua matanya kuat sambil memukul pipinya. Ia harus mengembalikan kesadaran dirinya. Sekarang sudah saatnya ia turun untuk menyiapkan bubur bagi Bryant sebelum bisa minum obat. Wanda mencoba melepas pelukan Bryant namun terlalu erat.

Wanda memutuskan untuk kembali ke dalam pelukan Bryant dan mengangkat tangannya ragu-ragu untuk membalas pelukan Bryant. Wanda mengeratkan pelukannya sambil mencoba mendekatkan dirinya pada Bryant. Jika ada kesempatan, mungkin harus dimanfaatkannya dengan baik.

Wanda menempelkan kepalanya pada dada Bryant, mencoba merasakan detak jantungnya sendiri. Berdebar cukup tenang. Kapan jantung ini bisa berdetak cepat karenanya? Tidak butuh waktu lama bagi Wanda untuk jatuh tertidur karena pelukan hangat Bryant. Pelukan pertama mereka saat tidur. Cinta lebih mudah tersalurkan jika mereka berdua tidak sadar, karena cinta adalah perasaan bukan logika.

***

Tengah malamnya, Wanda terbangun karena panas. Ia segera melepas pelukan Bryant untuk mengecek panas tubuh pria itu. Suhu badan Bryant lebih panas dari sebelumnya sehingga Wanda turun dari kasur untuk kembali mengompres Bryant. Setelah beberapa lama menunggui Bryant, Wanda bergegas memasak bubur dan menelepon Tony.

"Malam, Tony," sapa Wanda sebelum masuk pada inti pembicaraannya. "Maaf mengganggu."

"Malam, tidak apa-apa. Ada yang bisa saya bantu?"

"Apa Anda tahu obat demam yang biasa Bryant konsumsi? Bryant demam," jelas Wanda sambil mengaduk bubur dengan tekun.

"Demam? Bapak Bryant belum pernah demam selama saya menjadi sekretarisnya. Bagaimana jika saya panggilkan dokter ke rumah?" tawar Tony cepat.

"Tentu, terima kasih. Saya juga akan menghubungi orangtua Bryant," kata Wanda cepat. Ia mengecilkan api kompor sambil berlari cepat kembali ke lantai atas ke dalam kamar mereka untuk meraih ponsel Bryant. Sialnya, ponsel Bryant terkunci!

Wanda segera mencari cara, namun pada akhirnya ia sadar. Ia hanya perlu menempelkan jari tangan Bryant pada ponsel. Astaga! Setelah berhasil membuka ponsel Bryant, Wanda kembali berlari turun sambil mencari nomor ponsel Lina.

Tidak sulit menemukan nomor ponsel Lina karena Bryant menyimpannya dengan nama Mom. Wanda menghubungi Lina melalui ponsel Bryant dan sangat cepat dijawab, terlalu cepat malah.

"Putraku. Akhirnya kamu telepon. Bagaimana kabarmu? Apakah Wanda sudah hamil sehingga kamu telepon malam-malam seperti ini? Apa Wanda mual? Atau ngidam?" tebak Lina panjang lebar, membuat Wanda kesulitan menyelanya. "Mom harap kali ini cucu mom perempuan. Mom sudah lelah mengurus tingkah para lelaki."

"Tante," sela Wanda. Ia tersenyum kaku meskipun Lina tidak bisa melihatnya. "Ini saya Wanda."

"Hai, Sayang. Mana Bryant? Bryant yang sakit? Apa Bryant muntah-muntah? Dulu saat Mom hamil Bryant, Dad yang mual dan ngidam," jelas Lina panjang lebar, masih di dalam imajinasinya sendiri.

"Sayangnya bukan, Tan—"

Kalimat Wanda disela Lina begitu saja. "Kenapa masih panggil tante? Mom sudah jadi ibu mertuamu, panggil mom juga seperti Bryant."

Wanda kembali sibuk mengaduk bubur yang hampir matang lalu menuangkan telur yang sudah dikocoknya secara perlahan-lahan ke dalam bubur masih terus sambil diaduk. Ponsel Bryant sudah ditaruhnya lumayan jauh dari kompor dengan mode speaker. "Bryant demam, Mom."

"Si nakal itu demam? Bukan mual atau ngidam karena kamu hamil, Sayang?" tanya Lina sekali lagi, mencoba mendapatkan jawaban yang diinginkannya.

"Wanda belum hamil, Mom," jawab Wanda. Bagaimana ia bisa hamil jika dirinya dan Bryant belum pernah berhubungan badan sebelumnya? Hal ternekat yang ia lakukan saja baru beberapa menit lalu ia realisasikan. Dan tentu saja ciuman tidak bisa membuatnya langsung hamil begitu saja, kan?

"Sepertinya Bryant demam karena lelah bekerja," tambah Wanda. "Tony sudah menghubungi dokter untuk segera datang dan Wanda sedang memasak bubur untuk Bryant. Apa ada obat yang bisa dikonsumsi Bryant? "

"Mom dan Dad akan segera ke rumah. Untuk saat ini beri Bryant makanan dulu, Mom juga tidak tahu obat demam apa yang biasa dikonsumsi Bryant karena anak itu tidak pernah demam lagi sejak kecil." Setelah itu Lina memutuskan sambungan telepon secara sepihak.

Wanda segera menuangkan bubur ke dalam piring lebar agar mudah dingin lalu membawanya naik bersama dengan segelas air. Saat masuk ke dalam kamar, Wanda mendapati Bryant sudah terduduk di atas kasur sambil melihat ke arahnya.

"Sudah bangun?" tanya Wanda basa-basi sambil menaruh piring di atas nakas dekat Bryant. Ia menyodorkan minuman kepada Bryant yang langsung diminumnya habis.

Wanda menarik kursi rias dari dalam walk in closet ke hadapan Bryant sebelum kembali meraih piring untuk menyuapi Bryant bubur. "Kamu harus makan bubur, sebentar lagi dokter akan datang untuk memeriksamu."

Bryant menerima suapan Wanda dalam diam, tidak bicara sama sekali.

"Bagaimana bisa sakit?" tanya Wanda. Bryant masih tidak menjawab apa-apa, membuat Wanda hanya bisa kembali menyuapi Bryant bubur. "Ada masalah di kantor?" tanya Wanda lagi. "Jangan terlalu banyak berpikir."

Bryant masih diam.

"Kenapa diam? Masih tidak enak badan?" Kali ini Wanda mengembalikan piring ke atas meja. Ia mengangkat tangannya untuk mengecek suhu tubuh Bryant sekali lagi mulai dari kening, pipi, kemudian beralih ke leher.

Kening dan pipi Bryant terasa biasa saja. Tapi saat tangan Wanda menyentuh leher Bryant, pria itu berjengit kaget dan dengan cepat menurunkan tangan Wanda.

"Tanganku terlalu dingin sampai membuatmu kaget? Maaf," kata Wanda sambil menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung.

"Bukan begitu, hanya saja, jangan pegang aku secara tiba-tiba lagi." Kalimat pertama yang keluar dari bibir Bryant, sayangnya berupa penolakan. Hal ini membuat Wanda sedikit kecewa.

"Maafkan aku."

"Bukan—"

"Bryant! Anak Mom! Kamu sakit?" Suara Lina yang baru saja masuk ke dalam kamar tanpa izin membuat Wanda langsung menjauhkan posisi duduknya, namun dilarang oleh Bryant dengan rangkulan mesra pria itu pada pinggang.

"Om Hardi sudah datang, tadi Mom ketemu dia di bawah bersama Tony. Sudah lama sekali kamu tidak sakit, kenapa sekarang bisa sakit? Kamu yakin, ini semua bukan karena Wanda sedang hamil?"

"Mom," tegur Bryant.

Wanda langsung beranjak dari kasur saat melihat pria tua seumuran Rudi berjalan masuk ke dalam kamar bersama Tony dan Rudi. Wanda mempersilakan mereka untuk berjalan mendekati Bryant.

Pria tua yang diyakini Wanda sebagai seorang dokter itu mulai membuka tasnya lalu mengeluarkan stetoskop dan termometer. Beliau mengukur panas tubuh Bryant sambil mendengar detak jantung menggunakan stetoskop. "Bryant tidak apa-apa. Hanya demam. Apa yang terakhir kamu lakukan hingga bisa demam seperti ini?" tanyanya.

Bryant terkekeh. "Hanya lelah, Om Hardi."

"Om ragu kamu bisa sakit karena lelah, karena kamu selalu fit. Apalagi vitaminmu tidak pernah lepas, kan? Jangan bilang kamu main hujan lagi seperti dulu hingga demam? Kamu paling lemah dengan air dingin," canda Hardi sambil menyimpan semua perlengkapan yang dikeluarkannya. "Om tidak memberimu obat, hanya perlu konsumsi vitaminmu seperti biasa."

"Apa karena Bapak Bryant mandi tadi malam? Bukannya bapak mengeluh karena kepanasan tadi malam lalu mandi air dingin untuk menghilangkan gerah?"

Bryant langsung meraih bantal dari belakang punggungnya untuk dilemparkan pada Tony, si mulut ember.

"Lho, kenapa, Pak? Katanya bapak gerah hingga tidak bisa tidur lalu memilih untuk mandi air dingin agar tidak gerah lagi? Saya tidak salah."

Lina tertawa nyaring sambil memeluk Rudi. "Oh, pantas saja Bryant demam. Benar katamu, Hardi, Bryant main air sampai demam."

Setelah mengatakan kalimat itu, Lina berjalan mendekati Wanda lalu memeluknya dari samping. Lina mendekatkan bibirnya pada telinga Wanda namun tidak berbisik. "Kamu gak kasih Bryant main ya tadi malam? Sampai pria beristri seperti Bryant harus mandi air dingin di tengah malam sampai demam seperti ini?"

"Kamu mau main? Kenapa gak bilang? Kartunya ada di laci nakas, kok, kamu tinggal bangunin aku. Aku temani main, gak usah frustasi gitu," kata Wanda polos sambil menunjuk nakas di samping tempat tidur mereka. Ia juga menatap Bryant kesal.

"Nyonya," panggil Tony pada Wanda, "maksudnya Nyonya Besar bukan main kartu remi, tapi hubungan suami-istri."

Saat itu juga pipi Wanda bersemu merah. Ia malu setengah mati sehingga bersembunyi di balik punggung Bryant yang juga tengah menahan malu.

"Kalian berdua memang payah, suami-istri itu harus terbuka meskipun kalian menikah karena terpaksa," tegur Lina setelah Hardi diantar pulang oleh Tony. "Menikah hanya status, keharmonisan dan keterbukaan hubungan kalianlah pernikahan itu sebenarnya."

"Mom," Bryant memicingkan matanya menatap Lina, seakan meminta Lina untuk berhenti mencampuri urusan mereka berdua. "Kami bisa menyelesaikan masalah kami berdua, sendirian. Kami sudah dewasa."

"Dengan cara mandi air dingin sampai demam?" Bryant menghela napas, kemudian menepuk kasur di sampingnya agar Wanda tidak lagi bersembunyi di belakangnya karena malu, "Sini, duduk di sini."

Setelah memastikan Wanda duduk di sampingnya, Bryant merangkul pinggul Wanda sebelum kembali menatap Lina. "Bryant tahu Mom akan mengerti, hubungan suami-istri tidak bisa dilakukan setiap hari. Ada saja halangannya dan saat itulah kami harus mengerti satu sama lain."

Bryant memutuskan untuk mengatakan kalimat yang terbuka, agar Lina memutuskan apa yang terjadi dengan pikirannya sendiri. Lagipula, ibunya lebih berpengalaman jika berkaitan dengan hubungan suami-istri. Pengalaman menikah puluhan tahun tentu lebih mengerti, bukan?

"Oh, Wanda sedang bulanan?" tanya Lina sambil mengangguk-anggukkan kepalanya puas. "Ternyata anak Mom adalah suami yang baik dan pengertian."

"Meskipun begitu, Mom tidak setuju dengan pakaian tidur Wanda, terlalu tertutup untuk pakaian tidur wanita bersuami," tambah Lina sambil menatap Wanda yang mengenakan kaos longgar dan celana panjang dari atas ke bawah, "seharusnya pakai gaun tidur."

"Mom, cukup," tegur Bryant sekali lagi.

"Iya, iya. Kenapa sih Dad dan Bryant suka sekali menghentikan omongan Mom? Gak usah colek-colek lagi, Dad. Mom gak akan ngomel lagi," kata Lina sambil melepas rangkulan Rudi pada pinggangnya. "Mom dan Dad akan menginap malam ini."

Setelah Lina keluar dari kamar, Rudi berjalan mendekati Bryant. "Jangan terlalu pikirkan perkataan Mom. Biasa, ibu-ibu."

Bryant hanya terkekeh, "Ibu-ibu dan pikiran liarnya."

"Tapi, Dad memang berharap kalian lebih terbuka satu sama lain, meskipun sulit mengingat pernikahan kalian masih seumur jagung dan tentunya masih malu-malu untuk mengungkapkan pikiran masing-masing. Tapi, hubungan suami-istri memang salah satu hal yang paling mudah mendekatkan suami-istri. Apalagi setelahnya kalian akan merasa lebih dekat dan terbuka untuk mengungkapkan pikiran." Rudi mengacak rambut Bryant sebelum beralih mengusap bahu Wanda. "Dad dan Mom tunggu kabar baik dari kalian."

Continue Reading

You'll Also Like

Diary Fanny By #AA

Teen Fiction

646 221 25
Beribu-ribu kali Fanny mengatakan bahwa ia suka dengan Gavin, tetapi laki-laki itu hanya menganggapnya sebagai angin lalu saja. Sampai suatu ketika...
2.8M 153K 42
Selamat datang di cerita Kinanti ❤ Mohon maaf kalau ada typo dan kekurangan dalam penulisan "Aku ingin kita berpisah" "jadi pada akhirnya aku kalah...
7.7K 709 13
"Lo ribet banget sih jadi orang? Temen gue itu baik,ganteng, mapan, kurangnya apa coba?" "Kamu siapa? Datang tiba-tiba lalu memaki-maki saya!" "Lo ka...
1.2M 17.3K 37
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...