Ghea [PROSES PENERBITAN]

By KharlynUlle

5M 293K 12K

❝Sangat sulit tumbuh dalam keluarga yang sempurna, saat kamu tak sempurna.❞ Kata siapa anak kembar itu sama? ... More

Cast Tokoh
TRAILER GHEA
Prolog
01- Axelle Zega
02- Serendipity
03- School
04- Fake life
05- Becania Ghea Milenia
06- Heart
07- Night sky
08- Damn!
09- Family?
10- Bullying
12- Bad memories
13- Big mistake
14- Ghia
15- Something wrong
16- Rooftop
17- Destroyed
18- Difference
19- Painfull
20- Student exchange
21- List
22- Happiness is real?
23- Neverland
24- Forever?
25- Not important
26- Um?
27- Jepang
28- Inexplicable
29- Messy
30- Hope
31- Meet again
32- Remember who you're
33- You must accept it babe
34- Miracle
35- Dark
36- Sweet side
37- Fact
38- Happy
39- I know u more than urself
40- Secret
41- You Got that Boom Girl
42- Come Back
43- Running out
44- Real Princess?
45- The night
46- Sacrifice
47- Rain
48- About us
49- Die?
Kelanjutan Ghea

11- Me and You

87.4K 7.1K 218
By KharlynUlle

"Kisah ini terlalu rumit."

-

"PERGI KAMU!" kalimat itu yang pertama kali menyambut Ghea waktu masuk rumahnya. Gadis yang masih memakai pakaian putih abu-abu itu tercekat sebentar sebelum menatap Anita binggung.

"Kenapa ma?" tanya Ghea.

"Kamu tahu kan? Kalau kamu itu udah dianggap nggak ada di keluarga kami." Anita berbicara, seolah-olah itu hal mudah dan tak penting di antara mereka.

Ghea mengangguk. Sakit sekali. Sesuatu di jantungnya seperti ditikam banyak benda tajam.

"Malem ini ada acara kantoran disini," kata Anita melanjutkan. Melirik Ghea malas atau lebih tepatnya muak.

"Tapi kan ... Ghea bisa sembunyi kayak ulang tahun Ghia waktu itu," ucap Ghea mencoba mencari alasan agar tetap tinggal, dia sungguh capek sekarang bahkan untuk menyeret kakinya sendiri pergi tak tentu arah.

"Nggak bisa! Waktu itu aja udah banyak yang curiga waktu lihat kamu! Kamu gak bisa dipercaya!" Anita berteriak, memandang Ghea lebih tajam.

Ghea mencoba tersenyum, walaupun hatinya sakit bukan main. Gadis itu berpura-pura kuat, padahal tembok pertahanannya baru saja runtuh. "Ghea bisa pergi kok, ma. Eum, kira-kira, sampai jam berapa?"

Anita memainkan jari-jarinya malas, "jam dua belas mungkin?" wanita itu bahkan tak yakin dengan ucapannya. "Pokoknya kalau kamu balik dan masih ramai, sana cari tempat lain!"

Ghea mengangguk, ia bergegas mengengam ransel hijaunya erat. Hanya itu pertahanannya satu-satu saja, kalau tidak dia bisa tumbang. "Ghea pergi sekarang, ma." nadanya pias, namun Anita sama sekali tak peduli.

***

Ghea menangis kencang, mencurahkan apa yang ia rasakan sekarang. Bener-bener lelah menyembunyikan semuanya. Lapangan basket tua di pinggir kota menjadi tempatnya saat ini. Ghea telah mengetahui tempat ini sejak dia SMP—sekitar tiga tahun lalu, waktu dia melarikan diri dari rumah. Tempat ini sepi dan tenang. Ghea merasa menemukan rumahnya jika ia berada disini. Dia baru saja menyadari bahwa bahkan waktu itu dia membawa sepeda tak tentu arah ke pantai, juga pantai itu terdapat di dekat sini, dibelakang lapangan basket ini. Pertanyaan itu langsung mampir ke pikirannya; dan bagaimana Axel bisa ada disana juga?

Ghea memilih tak memikirkannya. Dia memandang lantai lapangan. Dia selalu datang kesini tanpa dia sadari. Cuma tempat ini yang mau menerimanya.

Ghea tak tahu lapangan basket ini milik siapa, yang ia ketahui pasti milik rumah besar berwarna coklat yang sudah rusak disampingnya karena sudah ditinggal pemiliknya lama.

Angin berhembus, Ghea menghapus air matanya kasar. Menangis pun percuma, itu cuma hal konyol yang selalu dilakukannya selama ini, namun tak membuahkan hasil. Gadis itu tersenyum, memandang langit yang cerah, setidaknya itu membuatnya bahagia.

Bunyi daun diinjak, dan langkah kaki mendekat membuat Ghea terkejut, kadar keterkejutannya menambah saat melihat yang berjalan mendekatinya adalah ... Axel

"Kamu?" tanya Ghea, sedikit tak percaya.

"Lo kenapa?" tanyanya balik, menatap Ghea yang terlihat sedikit menyedihkan dengan pakaian putih abu-abu yang masih melekat ditubuhnya.

Ghea mengeleng cepat.

Zega melirik mata Ghea, "lo barusan nangis," katanya.

Ghea terkejut, ia langsung linglung ingin mengucapkan apa lagi. "Ah, enggak, kok. Mata aku kelilipan tadi."

"Lo bohong sama orang yang salah."

Ghea menutup mulutnya rapat. Ia menatap Zega dengan pandangan terkejut. Bagaimana lelaki itu bisa tahu, apakah Ghea memang terlihat seperti orang bodoh dengan alasan konyolnya? Tapi, Ghea merasa alasannya tak terlalu konyol. Gadis itu akhirnya menunduk, binggung ingin menjawab apa.

"Nggak apa-apa kalau lo nggak mau cerita, gue gak maksa." Zega berbicara ketika melihat Ghea yang nampak terusik dengan ucapan sebelumnya.

Ghea mengangguk. "Kamu kok bisa disini?"

Zega tertawa. "Ah iya, soalnya itu rumah masa kecil gue," kata lelaki itu sambil menunjuk rumah besar berwarna coklat yang sudah rusak, warna temboknya memudar, dan temboknya retak dibeberapa sisi. Pagar depannya bahkan ditumbuhi tumbuhan liar yang merambat sampai tembok rumah. Bener-bener seperti rumah angker di film-film horor, tapi Ghea sama sekali tak takut, karena nyatanya dunianya lebih mengerikan.

Zega mengenang sesaat. Mengingat rumah itu, rumah kebahagiaan, keceriaan dan kenyamanan. Dulu ... Disini tempat Zega menghabiskan masa kecilnya yang bahagia. Hingga pada umur delapan tahun, keluarganya memutuskan untuk pindah dari sini. Ah, iya, lapangan basket kesayangannya ini juga. Ringnya sudah berkarat dan jaringnya bolong. Lapangannya juga sudah tak seperti dulu lagi. Lantai semennya pecah-pecah dan jaring yang mengelilinginya bolong dimana-mana.

"Dulu kalian tinggal disini?" tanya Ghea tak percaya, semuanya terdengar begitu membingungkan.

Zega mengangguk. "Iya. Gue sayang sama tempat ini, sama rumah ini, sama suasana disini. Karena sekarang ... Semuanya gak bisa diulang lagi, maybe itu yang disebut kenangan, kan?"

Ghea terkesiap sebentar sebelum akhirnya mengangguk membenarkan. Kenangan. Apakah semua kenangan itu menyenangkan? Karena selama ini, dia cuma punya kenangan buruk.

"Btw, kenapa lo bisa ada disini?" tanya Zega, pertanyaan yang sangat ingin dia tanyakan sedari awal melihat keberadaan Ghea disini. Begitu mengejutkan.

"Aku nggak sengaja ketemu dan langsung suka, udah sejak lama. Maaf, kalau kamu nggak suka aku nggak bakal kesini lagi, kok."

Zega tertawa. "Lo terlalu negatif thinking, gue senang, kok. Datang aja terus, nggak apa-apa. Tempat ini memang menyenangkan, walaupun dilain sisi buat gue sedih."

Ghea mengernyitkan keningnya binggung. Namun, terlalu malu untuk bertanya. Mereka cuma dua orang asing, yang tak sengaja bertemu.

Zega melirik rumah itu sebentar, sebelum akhirnya pandangannya beralih kembali kepada gadis disampingnya. "Mau masuk nggak?" tawarnya.

"Serius?" tanya Ghea, bener-bener tak menyangka.

"Emang muka gue, muka-muka nggak memungkinkan ya?" tanya balik Zega memandang Ghea tanya.

Ghea nyengir. "Enggak sih."

"Yaudah, mau masuk ngak, gue sempat check baru-baru, buku-buku di atap masih bagus," kata Zega bergegas duluan meningalkan Ghea.

"Buku?" Ghea berpikir sejenak dan tersadar. "Mau!" jawab Ghea cepat segera bangkit dari duduknya dan menyusul Zega.

Saat sampai di pekarangan rumah tersebut, Zega mendorong gerbang berkarat itu kencang, menimbulkan suara besi yang berdenging karena sudah lama tak bergerak. Keduanya bergegas masuk. Di pekarangan depan rumah, ada ayunan tua yang bener-bener sudah rusak, seperti pohon besar disampingnya.

"Punya siapa?" celetuk Ghea tiba-tiba. Terlalu penesaran bahkan hanya dengan ayunan itu.

"Oh itu, punya Clea, adik gue." Zega menjawab sambil melirik dalam ayunan itu. Kenangan yang menyakitkan dan menyenangkan.

Ghea menganguk mengerti.

Zega kemudian mengeluarkan satu set kunci, dan mengarahkan salah satunya ke lubang kunci di pintu berwarna coklat pudar itu.

Pintu itu berdecit nyaring. Saat terbuka, bau ruangan lama langsung menyeruak kedalam indera penciuman keduanya. Zega masuk lebih dulu, Ghea melihat ruang tamunya yang sudah berdebu, disudut kiri ada sofa panjang yang sudah lapuk, dan dipojok kanan ada tangga ke lantai atas. Saat Ghea menyelunsuri tangga itu dibelakang Zega, ia melihat sebuah kertas yang sudah tertutup debu, Ghea mengambil dan menyikap debu itu dari kertas yang sudah menguning tersebut.

Happy birthday my Hero!
36 years old, its amazing!
We love u Daddy!
10 November 2011.
From: mommy, Axel, Lea.

Tulisan cakar ayam bertinta emas yang sudah luntur diatas kertas putih itu, membuat Ghea menebak-nebak seharmonis apa keluarga lelaki didepannya itu. Bener-bener bahagia sepertinya.

"Ini punya kamu?"

Zega yang baru saja ingin menaiki tangan rewot terakhir itu menoleh, mata elangnya menatap kertas ditangan Ghea.

Zega meraihnya pelan, ia membaca dengan perasaan hancur. Kenangan manis itu kembali berputar di memorinya. Kehampaan yang mengisi hatinya semakin dalam. Pelan-pelan merasa begitu sesak.

"Keluarga kamu kayaknya harmonis banget, ya?" kata Ghea, entah kenapa dia senang sekali menanyakan banyak hal pada Zega. Namun dilain sisi dia merasa terkesan terlalu ikut campur. Apalagi melihat perubahan wajah Zega. "Maaf, kalau aku banyak nanya."

Zega mengembuskan napas berat. "Nggak seperti yang lo pikirkan."

Ghea mengerutkan keningnya binggung, tapi kemudian ia mencoba tak terlalu kepo dengan urusan orang lain. Karena baik Zega maupun dirinya terlalu banyak rahasia.

"Keluarga lo gimana?"

Ghea memejamkan matanya sesaat, ia melirik kesamping dimana ada jendela berdebu yang langsung terarah ke hamparan lautan lepas. Tangannya bergerak mencoret debu disana membentuk emoticon tersenyum.

"Aku dilahirkan dari keluarga yang utuh, namun dibesarkan dengan kehancuran."

***

Continue Reading

You'll Also Like

50.9K 2K 75
Mencintaimu adalah hal terindah Merindukanmu sudah pasti kurasa Memilikimu hanya impian semata Bersamamu adalah harapanku juga ~Rianty Febriana~ Ini...
4.2K 300 62
Tiada gading yang tak retak, artinya tak ada sesuatu yang benar-benar sempurna. Kalimat itu bukan hanya sekedar pribahasa, namun memang benar adanya...
50.6K 3.1K 45
[FOLLOW SEBELUM BACA KARENA ADA BAGIAN YANG DIPRIVATE] Dan buat yang baca cerita ini tapi nggak follow terlebih dahulu aku doain kalian cepat mendapa...
MIRACLE By Nana

Teen Fiction

641K 64.2K 70
(SEQUEL MAGENTA) Sesuai dengan arti namanya, Magika berarti keajaiban, atau dalam istilah lain disebut dengan Miracle. Begitulah penggambaran sosok M...