11 : 11 pm ✖ Lee Felix

By zyrurui

336K 27.3K 5.6K

Apakah kamu tau, pada jam 11:11 malam aku berdoa. Aku berdoa pada Tuhan agar kamu mau menjadi belahan jiwaku... More

开始 ♥
一 | Gadis Ber-Sweater Biru
二 | Perbincangan di Tengah Hujan
三 | Detak Jantung Yang Seirama
四 | Dua Hati yang Gelisah
六 | Bertamu
七 | Alen Cemburu
八 | Aiko Demam
九 | Interogasi
十 | Rencana Terapi Wicara
十一 | Terus Terang
十二 | Bayangan #1 (Revision : Aiko POV)
十三 | Bayangan #2 (Revision : Aiko POV)
十四 | Rasa Takut Melihatmu Tak Berdaya
十五 | Terhubung Denganmu (Alen POV)
十六 | Ia yang Berpamitan (Alen POV)
十七 | Bertemu Aiko yang Lain

五 | Permintaan Aiko

8.6K 1.5K 198
By zyrurui

Matahari bersinar begitu terik siang ini, menyebabkan lingkungan terasa begitu panas. Tidak hanya sinar matahari, asap kendaraan pun turut serta membuat lingkungan dan udara menjadi panas. Namun, hal itu tidak menyurutkan niat Aiko untuk berkunjung ke rumah sakit. Ia dengan motornya, membelah jalanan menuju tempat Alen menjalani keprofesiannya. Walau panas begini, ia teruskan demi mendapatkan penjelasan dari lelaki itu.

Beberapa saat melaju di jalan, Aiko akhirnya tiba di rumah sakit. Gadis itu memarkirkan motornya sebelum menemui Alen. Setelahnya, ia bergegas ke gedung utama. Akan tetapi, ia singgah sejenak di lobi. Berniat menghubungi Alen lebih dulu.

Line

Kak Alen

|kak
|ngobrol sama aku sbntar bisa?
|aku uda di rumah sakit

Aiko menatap layar ponselnya. Berharap Alen segera membalasnya. Namun, hingga dua puluh menit berlalu, pesan Aiko tidak dibalas oleh lelaki itu. Lagi, Aiko harus menelan kekecewaannya akibat diabaikan Alen. Padahal, sebelum kejadian kemarin, Alen tidak pernah mengabaikannya. Dokter muda itu selalu membalas pesannya. Terlebih sekarang jam makan siang. Harusnya Alen bisa meluangkan waktunya sejenak.

Lama tidak ada balasan dari belahan jiwanya, Aiko memutuskan untuk mencari sendiri keberadaan Alen. Langsung dari lobi, ia masuk lebih dalam ke gedung rumah sakit. Kakinya yang dibungkus rok selutut dengan sepatu hak pendek, melangkah santai di koridor rumah sakit yang sepi. Aiko terus melangkah hingga melihat seorang lelaki berbaju hijau keluar dari sebuah ruangan.

Pemuda itu bukan Alen, tetapi tatapannya tertuju pada Aiko.

Melihat lelaki itu datang ke arahnya dengan tergesa, membuat Aiko berhenti melangkah. Ia pikir, pemuda itu ada perlu dengannya, walau sedikit aneh lantaran Aiko tidak mengenalnya. Benar dugaan gadis cantik itu, sang pemuda berhenti tepat di hadapannya.

"Aiko?" tegur lelaki itu

Aiko menganggukkan kepalanya sekali.

"Dafian," katanya sambil menjulurkan tangan.

Gadis cantik itu menjabat tangan Dafian dengan ragu. Ia meragu gara-gara diajak kenalan oleh orang asing. Meski tidak setampan Alen, tetap saja Aiko ragu. Alhasil, ia melepas jabatan tangannya dengan terburu.

"Saya temannya Alen. Kebetulan ponsel dia ada di saya. Saya mau ketemu kamu terus antarkan kamu ke dia," ucap Dafian. Aiko membulatkan bibirnya.

Aiko lalu memberi isyarat dengan tangan pada Dafian untuk menunggu. Ia mengambil notes dan pena di tasnya. Dengan cepat, ia menulis pertanyaan untuk pemuda di hadapannya. Setelahnya, ia menunjukkan tulisannya pada Dafian.

———————————————

Kak Alen ada di mana?

———————————————

"Oh...Alen di kantin. Makan siang," jawab Dafian usai membaca tulisan Aiko.

Aiko langsung menulis kembali, dan menunjukkannya.

———————————————

Oke, Kak. Aku akan ke sana. Terima kasih atas informasinya

———————————————

"Tunggu! Bareng saya. Saya mau ke sana juga," pinta Dafian.

Aiko terpaksa mengiyakan permintaan Dafian. Meski demikian, ia membuat jarak dengan Dafian. Alasannya karena tidak nyaman bersama pemuda itu, dan takut Alen melihatnya. Aiko tidak mau hubungannya dengan Alen tambah merenggang akibat salah paham.

Dalam keheningan, keduanya berjalan menyusuri koridor rumah sakit hingga tiba di kantin. Aiko di belakang Dafian, meremas tangannya sambil mencari keberadaan Alen. Ia mengedarkan pandangannya untuk menemukan pemuda ber-freckles itu.

Alen ditemukannya. Di sebuah meja di paling ujung di dekat jendela. Lelaki itu sedang makan. Namun, ia ditemani seorang wanita. Wanita cantik berambut hitam panjang dengan pakaian hijau seperti yang dikenakan Alen dan Dafian. Terlihat keduanya tengah makan bersama sambil bercanda ria. Keduanya saling bicara dan melemparkan tawa.

Aiko cemburu. Tidak suka melihat interaksi keduanya.

"Mau makan juga?" tanya Dafian. Mengalihkan Aiko dari pemandangan menyesakkan itu.

Yang ditanya mengangguk. Ia kelaparan, dan semakin kelaparan setelah melihat Alen bersama wanita lain.

"Saya pesan nasi pecel. Kamu mau apa?"

Aiko meraih notesnya, lalu menulis. Tulisannya kemudian ditunjukkan pada Dafian.

———————————————

Samakan sama minumnya

———————————————

"Oke. Tunggu, ya," Dafian tiba-tiba mendekatkan kepalanya ke telinga Aiko. "kita makan di mejanya Alen habis ini."

Aiko tidak menanggapi ucapan Dafian. Ia berdiam diri di depan etalase, sambil mengamati Alen. Hatinya bergemuruh saat melihat Alen tampak akrab dengan gadis itu. Alen tak segan menunjukkan senyum manisnya, yang mana Aiko lebih berhak untuk itu.

Ia soulmate Alen, dan Alen adalah soulmate-nya. Siapa pun tidak bisa menafikkan ikatan itu. Baik Aiko, maupun Alen.

"Ayo, Ai!" ajak Dafian kemudian.

Aiko kembali mengekori Dafian menuju meja tempat Alen berada. Dafian tiba-tiba berdeham, menarik atensi dua makhluk di hadapannya. Aiko langsung memilih duduk di samping Alen, sedangkan Dafian di samping gadis berambut panjang itu. Aiko lantas menatap Alen yang terlihat sangat terkejut. Kedua mata cantiknya itu melebar bak tengah melihat hantu.

"Siapa dia, Daf?" tanya si gadis. Aiko melengos. Tidak mau berkenalan.

"Sepupunya Alen. Katanya mau ketemu Alen," jawab Dafian. Setelahnya melempar senyum penuh arti pada Alen.

"Eh? Kamu gak bilang, Len, kalau punya sepupu cantik," ucap si gadis itu. "siapa namanya? Cantik kayak orang Jepang,"

"Namanya Aiko. Dia bisu," sambar Alen sembari meletakkan sendok ke piringnya semula. "dan tuli."

Aiko sontak meremas ujung jaketnya di bawah meja. Sakit saat Alen menjawab pertanyaan si gadis. Memang itu kenyataan. Namun, cara menjawab Alen-lah yang membuatnya sakit hati.

Kenapa harus seketus itu? Apa Alen tidak menyukai kehadirannya sehingga bersikap seperti itu?

"Oh...aku bisa bahasa isyarat, kok,"

Si gadis melambai pada Aiko. Kemudian menggerakkan tangannya, merangkai kata. Aiko mengerti bahwasanya gadis itu tengah mengenalkan diri. Namanya Meira, dan dia seorang dokter muda seperti Alen. Meira  juga bertanya nama Aiko dan status pendidikannya.

Daripada menjawab dengan bahasa isyarat, Aiko menulis di kertas. Ia pun menunjukkannya kepada Meira. Jawabannya ternyata membuat Meira tersenyum cantik. Aiko semakin cemburu karena melihat keramahan dan kecantikan seorang Meira.

Pantas kalau Alen suka. Modelan Meira ini menggoda iman lelaki.

———————————————

Nama saya Aiko, kak. Saya kuliah di jurusan kesmas

———————————————

"Oh...anak kesmas," balas Meira.

"By the way, kamu tau dari mana bahasa isyarat, Mei?" Alen bertanya. Tampak tertarik.

"Aku belajar. Dulu, aku punya tetangga bisu. Buat berkomunikasi sama dia, aku belajar bahasa isyarat,"

Dafian tiba-tiba menjentikkan jarinya di depan Alen. "Nah, itu. Kamu juga harus belajar bahasa isyarat. Biar Aiko enak. Gak nulis melulu kalau bicara sama kamu,"

"Nanti, deh. Kapan-kapan,"

Tanggapan Alen yang terdengar malas dan enggan, membuat Aiko sedikit geram. Namun, ia tidak protes. Cenderung membiarkan. Toh, pada akhirnya nanti Alen tetap akan belajar. Karena lelaki itu hanya memiliki dua pilihan, bersamanya atau mati sia-sia.

"Ketemu dimana sama Aiko, Daf?" tanya Alen kemudian.

"Di koridor. Kasihan kayak anak hilang nyari kamu," jawab Dafian sambil mengerling.

"Gara-gara si Alen ini," batin Aiko kesal.

Alen hanya menganggukkan kepalanya.

"Oh, ya, tumben kalian makan bareng?"

"Ngapain tanya? Iri, ya, kamu?" tuding Alen dengan tengilnya.

"Gak-lah. Ngapain iri? Aku aja makan siang sama Aiko. Ya, kan, Ai?"

Aiko mengiyakan.

Tatap sinis dilayangkan Alen pada Dafian. "Mau pendekatan, kamu?"

"Iyalah! Siapa yang gak mau sama Aiko?"

"Oh, baguslah. Biar kamu gak jomblo," ujar Alen sedikit ketus.

"Dih, kayak situ gak jomblo aja," cibir Dafian.

"Enggaklah. Ada Meira, dong, aku. Soulmate-ku!"

Aiko langsung terdiam. Matanya mulai memanas.


"Ai, berhenti nangisnya,"

Bukannya berhenti menangis seperti permintaan Alen, Aiko malah semakin menangis. Tangisannya tersedu-sedu meski tanpa suara. Alen yang melihatnya merasa ngilu sekaligus iba. Ia pun menyesal sudah berbohong pada Aiko sepuluh menit yang lalu.

Omong-omong, saat ini mereka berdua berada di rooftop rumah sakit—dekat ruang anak. Alen membawa Aiko ke sana selepas makan siang. Pikirnya, tempat itu cocok untuk berbicara empat mata tanpa diketahui siapapun. Sekaligus tempat pelarian diri sementara waktu.

Melihat Aiko tidak berhenti menangis, Alen menarik tangan gadis itu. Diusap pipinya yang basah, lalu diangkat dagunya hingga pandangan mereka bertemu. Alen dapat melihat pancaran kekecewaan dan kesakitan dari kedua mata Aiko yang merah serta berair. Namun, sebelum kembali membuka suara, Aiko menepis tangan yang lebih tua.

"Berhenti nangis! Saya gak mau ngomong kalau masih nangis!" ancam Alen.

Aiko menyebikkan bibirnya. Jengkel dengan pemuda satu ini.

Tak mau membuang waktu, Aiko mengambil notes miliknya. Ia sengaja melempar buku kecil itu ke Alen. Yang lebih tua mengaduh pelan karena note tebal berwarna kuning itu mengenai perutnya. Sambil menahan kesal, Alen membuka buku tersebut. Ia mencari tulisan Aiko di dalamnya.

Sang gadis mengarahkan Alen ke lembar nomor sepuluh. Di sana ada pertanyaan yang sudah ia tulis sebelum ke rumah sakit. Dalam hati, Aiko berharap Alen menjawab dengan jujur walau menyakitkan.

"Pertanyaan pertama, 'kenapa kak Alen nolak aku? Padahal aku belahan jiwa kakak'" Alen mulai membacakan pertanyaan pertama dengan keras.

"Mau jujur?" tanyanya kemudian. Aiko mengiyakan dengan anggukan kepala.

"Jawabannya karena kamu bisu dan tuli. Ada orang lain juga, sih, sebenarnya. Meira tadi," jawab Alen dengan jujur.

Gurat kesedihan masih terpancar di wajah ayu Aiko. Ternyata dugaannya benar. Alen menolaknya karena kekurangan yang ia miliki, di samping ada wanita lain. Aiko tambah sakit hati saat tahu Alen menyukai Meira, si cantik yang ramah.

Setelah Aiko pikir-pikir, Meira dan Alen terlihat serasi. Mereka pun bisa berkomunikasi dengan lancar. Tidak seperti dirinya yang harus lewat tulisan.

"Pertanyaan kedua enggak perlu dijawab karena kamu sudah tau jawabannya," lanjutnya.

"Sekarang pertanyaan ketiga. 'Kalau kak Alen—'" Alen berhenti membaca dengan keras. "—jawabannya boleh. Tapi jangan terlalu berharap."

Alen menatap Aiko. Gadis itu masih bergeming dengan tatapan tertuju padanya. Bukannya berhenti, Alen malah menyelam ke dalamnya. Di sana, ia menemukan kesakitan dan luka. Entah bagaimana bisa, Alen turut merasakannya.

Fokus lelaki itu mendadak pecah saat Aiko menundukkan kepalanya dan menarik bukunya. Gadis itu memasukkannya ke dalam tas alih-alih menulis pertanyaan baru yang sejak tadi bercokol dalam kepalanya. Ia tidak lagi penasaran akan jawaban Alen. Pasalnya, jawaban pertama sudah menjawab seluruh pertanyaan. Kecuali yang nomor 3, tentang izin untuk berjuang.

"Kamu tau? Meira juga punya tanda belahan jiwa, sama seperti saya ke dia. Karena sama, kami pikir kami sepasang belahan jiwa," ujar Alen dengan lembut sambil mengingat Meira. "makanya...saya berani nolak kamu. Pikir saya, kamu bukan belahan jiwa saya. Sebelumnya saya pernah bilang sama kamu."

"Tapi aku dengar suara detak jantung kakak," batin Aiko sendu. Ia yakin, suara detak jantung yang seirama hanya didapatkannya saat berjumpa dengan Alen.

Aiko menunjuk jantungnya. Berharap Alen paham dengan kodenya. "dan bahkan di sini enggak sakit saat disentuh kakak,"

Alen terdiam. Sedang mendengarkan suara batin Aiko seperti kemarin malam.

"Kupikir kita benar-benar belahan jiwa karena waktu kita tinggal 29 hari," Aiko kembali membatin, lalu menangis.

Tak tahan dengan tangisan Aiko yang kembali meledak, Alen menarik Aiko di hadapannya. Didudukkannya gadis itu di samping tubuhnya, dan direngkuh erat. Saat memeluk Aiko, Alen merasa ada dentuman di jantungnya. Dentuman itu seolah-olah gendang yang ditabuh. Alen terkejut mendapati tanda lain belahan jiwa.

Harusnya ia sudah yakin dengan ini. Dengan Aiko adalah soulmate-nya. Bukan Meira.

Tanpa Alen sadari, tangannya mengusap puncak kepala Aiko yang terasa hangat. Ia pun menepuknya dengan lembut berkali-kali. Begitu Aiko membalas pelukannya, barulah Alen sadar. Ia akhirnya berhenti, lalu menguraikan pelukannya.

Sayang, Aiko tidak mau.

"Ai, lepas!" titah Alen.

Aiko menggeleng di bahunya. Menimbulkan sensasi geli.

"Ai!"

Sang gadis malah mencubit punggungnya.

Pasrah. Alen membiarkan Aiko memeluk tubuhnya sampai puas. Sambil menunggu Aiko menguraikan pelukannya, Alen menatap langit. Di sana, awan kelabu mulai hadir. Sepertinya akan turun hujan meski tadi mentari bersinar terik.

"Mau hujan. Gak mau pulang?"

Aiko menggeleng lagi.

"Tapi saya harus balik koas, Ai,"

Hening.

"Kamu mau apa? Saya akan turuti asal lepas dulu,"

"Halah pasti bohong," batin Aiko.

Alen mendengkus. Sepertinya Aiko mulai memiliki trust issues dengannya.

"Ai, kalau gak kamu lepas saya lepas paksa, loh! Dan saya gak bakal menuruti permintaan kamu!" ancam Alen.

Dengan tidak ikhlas, Aiko menuruti ancaman Alen. Ia melepaskan lelaki itu dari pelukannya. Aiko merengut sedih karena kehilangan rasa nyaman di tubuh belahan jiwanya.

"Kamu mau apa sekarang? Saya turuti," tanya Alen sambil membersihkan sisa air mata di pipi tembam Aiko.

Entahlah. Alen refleks saja.

Tatapan ragu dilayangkan oleh sang gadis kepada Alen. Aiko tidak percaya. Siapa tahu Alen sedang berbohong.

Sementara itu, Alen yang melihat gelagat ragu Aiko, menganggukkan kepalanya. Berusaha meyakinkan. Tak berselang lama, Aiko mengambil notenya lagi dan menulis permintaannya. Sebuah permintaan yang membuat Alen menyesal sudah menawari gadis itu.

————————————————

Jadi soulmateku. Kakak harus terima aku. Tapi kalau kakak keberatan, kakak bisa jadi pacarku dulu

————————————————

"Ini serius?" tanya Alen tak percaya.

Yang ditanya mengangguk tegas.

"Kalau putus di tengah jalan? Bisa aja kan saya bosan atau menikahi Meira?"

Aiko kembali menulis.

————————————————

Kalau gitu kuganti permintaannya.

Nikahi aku

————————————————

"Makan batu nanti kamu, Ai, kalau saya nikahi kamu," jawab Alen sambil menatap miris tulisan Aiko.

Dia saja masih minta uang ke orang tua, bagaimana bisa menikahi Aiko?

"Gini aja. Saya terima permintaan pertama. Saya jadi pacar kamu, tapi kalau kamu bisa buat saya jatuh cinta, saya terima kamu sebagai soulmate,"

Aiko ragu, tetapi mulai berpikir sejenak. Sambil berpikir, tangannya kembali menulis.

———————————————

Setelah itu menikah?

———————————————

Alen mengangguk ragu.

Gadis berusia dua puluh satu tahun itu lantas menghela napas. Meski tidak bisa memiliki Alen sepenuhnya sekarang, Aiko merasa sedikit lega. Kini ia tinggal berjuang meluluhkan Alen hingga mau menerimanya sebelum habis masanya.

Lain halnya Aiko, Alen merasa menyesal sudah mengiyakan permintaan Aiko. Lelaki itu bimbang. Antara Aiko atau Meira.


Continue Reading

You'll Also Like

222K 33.3K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
124K 9.9K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
394K 4.2K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
478K 36.5K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.