Down There Is What You Called...

By Atikribo

91.9K 10K 2.6K

Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan pen... More

Sebelum Menjelajah
Chara Profile
Surface - 1
Surface - 2
Surface - 3
Surface - 4
14 Years Ago, Capital City
Somewhere - 1
Somewhere - 2
Surface - 5
Surface - 6
1st Floor
2nd Floor
3rd Floor
4th Floor
5th Floor
At The Corner Of His Memories
6th Floor
10K READS: GIVE-FRICKIN-AWAY!! (Closed)
7th Floor
GIVEAWAY CLOSED
GIVE-FRICKIN-AWAY WINNER
8th Floor
9th Floor
10th Floor
11th Floor
12th Floor
13th Floor
14th Floor
15th Floor
Somewhere - 3
16th Floor
17th Floor
18th Floor
19th Floor
20th Floor
Antarkasma - 4
Antarkasma - 5
21st Floor
Antarkasma - 6
Antarkasma - 7
22nd Floor
23rd Floor
Orenda - 7 Years Before
24th Floor
Antarkasma - 8
25th Floor
26th Floor
27th Floor
28th Floor
Antarkasma - 9
29th Floor
30th Floor
31st Floor
Epilog
Afterwords & Surat Cinta
Bincang Ubin Vol.1
FLOOR NEW YEAR SPECIAL: College AU
Bincang Ubin Vol. 2
Maps & Glossarium

Orenda, 14 Years Before

406 73 3
By Atikribo

KIRIL MENGAMATI bagaimana orang-orang didudukkan di dalam ruangan berkaca. Kabel-kabel yang menghubungkan kepala ke tabung-tabung besar membuat subjek penelitian itu bagaikan sebuah trofi dan aset berharga. Pemuda berusia dua puluh tahun itu menempelkan wajahnya di kaca, membiarkan pori-pori dan minyak wajahnya membekas di sana. Jika ada Dasbala di sampingnya, pasti ia akan ditegur. Untungnya, seniornya tidak ada di sana. Larangannya tidak berlaku.

Bekerja di Tim Penelitian dan Pengembangan di Orenda selama setahun, Kiril selalu bertemu dengan tubuh-tubuh kaku manusia dan isi kepalanya. Dalam ruangannya terdapat puluhan gelas beaker yang berisikan otak manusia —kini mungkin sudah mencapai angka seratus. Kepalanya penuh dengan ratusan percobaan yang gagal dan harus terus diulang.

Merasakan dinginnya kaca di jemari, pemuda itu berjalan mengitari ruang penelitian. Ia melihat bagaimana seorang perempuan di dalamnya memejamkan mata bagai menyambut alam mimpi berkepanjangan. Entah apa yang tengah terjadi dalam dunia di balik kelopak matanya. Bola mata perempuan itu bergerak liar ke kiri dan ke kanan; mungkin bermimpi buruk yang tengah beralih menjadi mimpi terbaik dalam hidupnya.

Sesungguhnya Kiril ingin sesekali mencoba simulator itu. Akan tetapi, isi kepalanya jauh lebih berharga dibandingkan subjek-subjek penelitian ini. Kehilangan pemuda itu sama saja dengan kehilangan satu langkah besar Orenda untuk bisa meyakinkan masyarakatnya kembali. Kiril seorang jenius dan berkepala besar. Ia tahu apa yang ia bisa dan mahir lakukan.

Perhatiannya teralihkan saat ia mendengar langkah kaki Dasbala. Pria itu mengikat rambut ikalnya ke belakang dan menyampirkan kacamatanya di saku jas lab. Ia berkata, "Sudah kubilang untuk tidak menempelkan wajahmu ke sana."

"Apa maumu?"

"Ini caramu berbicara dengan senior yang membawamu bekerja di sini?" Dasbala menggelengkan kepala, "Kau harus membetulkan sikapmu terlebih dahulu."

"Bah! Enggak ada gunanya!" cibir Kiril, "Selama bisa terus menjalankan penelitian dan memberikan hasil yang baik, itu sih tidak penting."

Dasbala mengerling, "Flint mau berbicara denganmu."

"Kenapa tidak dia saja yang memberitahuku langsung?"

Pria berambut ikal itu memijat pangkal hidungnya, "Apa yang terjadi di hidupmu sampai kau menjadi lebih brengsek dari sebelumnya?"

"Mayat, otak, dan orang-orang tak sadarkan diri. Kau mengharapkan apa? Aku mungkin sudah lupa rasanya berbicara dengan manusia."

"Bagus. Kalau begitu belajar berbicara lagi dengan manusia dan angkat kakimu untuk bertemu Flint."

Meskipun telah setahun, Kiril terlalu larut dalam pekerjaan hingga tak bisa membedakan waktu siang maupun malam. Tempat penelitian mereka terletak di pusat kota dan jauh di bawah permukaan tanah. Matahari tak tampak di dasar Floor di mana Orenda memproduksi segala obat dan bahan kimianya. Pun, hanya orang tertentu saja yang mempunyai akses untuk masuk. Ruang-ruang yang dikelilingi kaca itu terletak di empat lantai terbawah setelah ruang para ilmuwan melakukan laporannya.

Semakin ke bawah, semakin banyak penelitian yang dilakukan. Lantai paling dasar terhubung oleh Huva Atma di mana mereka 'membuang' subjek-subjek penelitiannya. Lab kiril terletak satu lantai di atas lantai dasar. Hanya dia dan tubuh-tubuh kaku serta asisten yang selalu mengeluh untuk pergi karena tidak tahan dengan sikapnya selama bekerja. Pemuda itu tidak peduli.

"Kenapa kau mengikutiku?" tanya Kiril pada Dasbala. Mereka keluar dari lift yang mengantarnya pada lorong berdinding putih bersih. Beberapa karyawan berpapasan, mengangguk pada Dasbala namun mengalihkan pandangannya dari Kiril.

Dua langkah setelah orang-orang itu masuk ke dalam lift, Dasbala membuka mulutnya, "Kau masih menjadi tanggung jawabku, Kiril. Kalau terjadi sesuatu padamu, aku pun akan dapat konsekuensinya."

"Khawatiran, ya. Kau bisa menyibukkan dirimu dengan hal yang lain."

"Umurmu dua puluh tahun dan tidak punya pengalaman bekerja. Hanya otakmulah asset berguna jika dibandingkan dengan hal-hal jongkok lain yang kau miliki," ucapan Dasbala terdengar dingin, "Jangan sombong."

Kiril mengatupkan giginya, memendam kekesalan. Langkah kakinya menggema di lorong dengan belasan pintu logam berplakat nama para ilmuwan dan peneliti. Ruangan Flint Sarojin terletak jauh di ujung dan harus menaiki tangga. Flint mengamati mereka berjalan dari dalam ruangan.

Saat mereka memasuki ruangan, Flint tengah memandangi papan tulis yang penuh dengan tempelan kertas serta catatan-catatan kecil. Rambut hitamnya tak disisir, menampilkan banyak rambut yang mencuat ke mana-mana. Pria itu pasti sadar akan kedatangan Kiril namun ia memilih untuk diam dan berpikir. Pria itu menghela napas dan membenarkan posisi kacamatanya.

Ia bertanya, "Bagaimana perkembanganmu, Kiril?"

"Tidak banyak," jawab Kiril apa adanya.

Kiril memerhatikan Flint yang berkali-kali mengusapkan telunjuknya ke kuku ibu jari, tanda ia gelisah dan juga menahan emosi. "Saya membutuhkan laporanmu, Kiril. Secepatnya."

"Tidak bisa," jawab Kiril, "Percobaannya saja belum selesai. Saya bahkan enggak punya asisten untuk membantu."

Flint menyugar rambutnya. Tangannya bertumpu pada meja sembari ia menudingkan jari telunjuknya pada pemuda itu, "Kau yang membuat mereka keluar. Saya membutuhkan laporannya sekarang."

Kiril memasukkan tangannya ke dalam saku jas lab kemudian melipat kedua tangannya, "Apa kau pernah bekerja di tempat saya, Pak? Apa yang saya dapatkan hanyalah kepala manusia, otak, formalin, elektrolit, dan mayat-mayat manusia."

"Kiril...," Dasbala memanggilnya.

"Saya bahkan lupa bagaimana rasanya bicara dengan seseorang."

"Kiril!" suara Dasbala sedikit lebih tinggi.

"Lantai B1 itu? Ya, ya, saya pernah bekerja di sana jauh sebelum kau di sini dan saya bersama tim yang baik di sana. Tapi, sekarang ini pekerjaanmu. Tanggung jawabmu di mana? Selesaikan laporannya," kantung mata Flint tampak hitam di balik kacamata dan perkataannya sedingin es. Matanya yang lelah tetap saja menatap pemuda itu dengan tajam.

"Atau apa?" tantang Kiril.

"Kiril!" seru Dasbala, menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa dia berbicara seberani itu kepada atasannya? Cepat-cepat pria itu meraih kepala Kiril dan membuatnya menunduk secara paksa. "Maaf kau harus mendengar itu, Pak. Tata kramanya memang buruk. Meski sudah setahun di sini, hal yang mengakar pada kebiasaannya memang sulit untuk hilang," Dasbala melirik Kiril yang memandangnya kesal, "Anak ini pasti menyesal telah bicara seperti itu padamu."

Flint menaikan alisnya kemudian menghela napas dan memijit pangkal hidung, "Tidak, biarkan saja. Aku mau melihat bagaimana seorang jenius bisa bekerja tanpa adanya tata krama."

Kiril menepis tangan Dasbala dan bertanya, "Kapan kau membutuhkan dokumen itu?"

"Dalam tiga jam," jawab Flint setelah melirik jam melekat di dindingnya.

"Oke, saya akan berikan dua jam lagi," pemuda itu membalikkan tubuhnya dan melirik Dasbala yang berdiri tak bergerak sama sekali. Kiril mencibir, "Senang? Aku akan membereskan si sialan ini di atas ekspektasi kalian."

Ketika Kiril angkat kaki dari ruangan, Dasbala menghela napas panjang. Ia mengencangkan kembali ikat rambutnya dan memastikan Flint apakah dia harus melakukan itu terhadap rekan kerjanya.

"Pensil saja bisa berubah jadi permata dengan tekanan yang tepat, begitu juga dengan manusia. Terserah dia membenciku atau apa, tapi aku membutuhkan hasil yang prima," Flint membenarkan lagi kacamatanya.

"Kau punya...cara yang unik untuk memimpin seseorang," komentar Dasbala sembari menarik kursi, "Enggak heran banyak orang yang membicarakanmu di belakang."

Flint membalikkan badan kembali menatap papan tulis yang penuh dengan coretan, "Bukan unik," katanya, "itu namanya bekerja dengan efektif. Orang-orang hanya terlalu acuh dan menganggap diri mereka paling benar."

"Lalu kau menganggap dirimu sebagai orang paling benar?"

Flint terdiam cukup lama. Sebuah senyum pahit terukir di wajahnya, "Tidak. Kesahalan yang telah kubuat harus kupikul hingga...waktunya tiba. Tapi, mungkin berdampak selamanya."

"Boleh kutahu apa itu?" tanya Dasbala.

"Tidak sekarang," jawab Flint sembari memindahkan satu kertas ke pojok papan tulis yang berbeda.

Dasbala meraba dagunya yang ditumbuhi janggut tipis. Ia bertanya, "Apa itu berhubungan dengan formulasi yang kau tulis di sana? Kupikir ada perubahan detil di sana yang mempengaruhi banyak hal terutama pada ruska yang sedang dalam tahap produksi."

"Kau tidak banyak bicara, tapi kau memang pengamat yang baik," komentar Flint, "Katakan padaku, kenapa kau memutuskan untuk bekerja di Orenda?"

"Aku sudah mengutarakan alasannya saat wawancara dulu," Dasbala mengangkat bahu.

"Ya, tapi dalam dua tahun keinginan orang bisa saja berubah. Apa yang membuatmu masih mau bekerja di sini?"

Dasbala mengangkat ibu jarinya, "Pertama, Orenda merupakan sebuah perusahaan besar. Aku masih waras untuk tidak menolak uang besar yang masuk ke rekening tiap bulan. Kedua, mereka memberikan peralatan terbaik untuk penelitian! Ketiga, aku enggak yakin kalau kerja sebagai dosen, mahasiswa mau mendengarkanku ceramah setiap hari. Keempat, kurasa Orenda mempunyai visi yang baik untuk masyarakat. Aku tidak punya alasan kelima, tapi nanti bisa kuberitahu kalau kau mau."

"Tidak perlu," jawab Flint. Ia bertanya lagi, "Tapi kau yakin Orenda membuat ini semua untuk kepentingan orang banyak?"

Dasbala mengangkat bahu, "Setidaknya itu yang kulihat di publik. Propagandanya terlalu menarik untuk diabaikan."

"Itu pencitraan yang ingin Orenda sampaikan pada publik," koreksinya, "Kau lihat bagaimana percobaan Kiril yang melibatkan orang-orang mati itu kan?"

Dasbala menyipitkan mata, "Ya, aku. Itu hal terburuk yang Orenda lakukan, tapi memangnya kita bisa apa?"

Flint mengedikkan kepalanya ke arah papan tulis dan pria ikal itu menangkap maksudnya.

"Oh," Dasbala mengangkat alis, terlihat terhibur dengan proyeksi ke depannya. Melihat CCTV yang terpasang di ruangan itu membuat Dasbala tersenyum kecil dan bergumam, "Menarik. Lalu kau membiarkan mereka melihat apa yang sedang kau lakukan dengan formulasinya?"

Bola mata Flint mengikuti rujukan rekan kerjanya, "Kamera itu tidak terhubung ke sana," ucapnya.

"Lantas ke mana?" pertanyaan Dasbala yang dibiarkan larut dalam kesunyian membuat pria itu kembali tersenyum, "Aku tahu kau ini adalah kepala dalam departemen ini, tapi aku tidak tahu kau mempunyai niatan yang berisiko sangat tinggi. Kukira kau orang yang sangat kaku, Pak, tapi pikiranmu seliar kuda."

Flint terbahak. Tidak pernah ada yang berani mengatakan itu pada Flint sebelumnya. Dasbala pun baru pertama kali melihatnya tertawa; setelah dua tahun bekerja menjadi peneliti di sana. Jujur saja, Dasbala kebingungan.

"Kau ini aneh, Dasbala," ujar Flint, "Kau tidak banyak bicara, membereskan semua hal sampai tuntas, dan bisa memberikan opini dengan konteks yang jelas. Aku tahu itu sejak awal kita bertemu. Bagus."

"Terima kasih kalau begitu...?" Flint memuji pun merupakan hal yang asing. Pria itu semakin heran seolah-olah Flint di hadapannya adalah orang asing.

"Berbicara tentang kuda," Flint terdiam sejenak, "aku ingin kau yang berperan sebagai kuda di papan caturku --tentu saja saat waktunya tiba nanti."

"Apa yang kau rencanakan, Flint?" tanya Dasbala penuh pertimbangan. Pria itu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Selalu ada hal-hal menarik yang ia tidak ketahui dari Flint sebelumnya. "Kau tahu, aku tidak perlu tahu sekarang, tapi aku bersedia. Aku akan menunggu sampai tiba saatnya kau membicarakan semua hal itu."

"Meskipun nyawamu bisa saja terancam?" Flint memastikan.

"Semua orang bisa mati di waktu yang tidak terduga."

Jawaban Dasbala membuahkan senyum puas dari pria itu. Ketika Flint kembali fokus pada papan tulis di hadapannya, terlintas di kepala Dasbala mengenai kehidupan personal bosnya.

Menanyakan hal mengenai anaknya, pria berkantung mata hitam itu berkata, "Nova? Dia akan berusia tiga tahun minggu depan," tatapannya sendu, "Kupikir dia akan tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik seperti ibunya."

Dasbala memutar sebuah bingkai foto di atas meja bosnya. Tampak wajah Flint yang belum selelah sekarang, tanpa kantung mata yang gelap. Ia tengah merangkul seorang perempuan jelita.

Perempuan itu mempunyai mata bulat besar, tersenyum menunjukkan deretan geligi yang rapi. Rambut bergelombangnya berwarna hitam kecoklatan, dipotong sebahu dan tampak mengembang. Hanya foto mereka berdua, tanpa figur seorang putra maupun putrinya; membelakangi sebuah lanskap yang Dasbala ketahui bukan di Floor maupun tempat yang pernah ia kunjungi.

"Dia tidak berasal dari Floor kan? Istrimu?" tanya Dasbala, "Dia mempunyai karakter wajah yang berbeda dengan orang kebanyakan."

"Yep," ulang Flint dan pembicaraan pun tidak berkembang ke mana-mana. Flint melirik Dasbala yang masih terdiam mengamati bingkai fotonya kemudian memicingkan mata, "Bukannya kau masih ada pekerjaan?"

"Aku sedang istirahat," jawab Dasbala, "sejenak. Tapi, aku bisa pergi kalau kau mau konsentrasi dengan apapun yang sedang kau kaji itu."

"Datang lagi saja jika Kiril sudah selesai dengan tugasnya," ucap Flint, "Dia punya potensi, tapi sikapnya tidak masuk akal."

Beranjak dari kursinya, Dasbala terkekeh, dan mengatakan bahwa ia akan mengurusi hal itu nanti. Benar saja, dua jam kemudian, Dasbala datang menghampiri ruangan Kiril, pemuda itu sudah menyiapkan puluhan lembar kertas yang sudah dicetak di tangannya. Wajahnya tampak kesal dan sombong sekaligus.

Kiril menjatuhkan laporannya di atas meja Flint sembari berkata, "Saya telah menyelesaikannya, Pak. Dalam dua jam."

Membuka lembar demi lembar laporan yang diketik, Flint mengangguk, "Lumayan, tapi akan lebih baik jika kau menyelesaikannya sebelum kuminta."

Mengerling, Kiril berjalan keluar ruangan diiringi oleh Dasbala yang hanya menggelengkan kepala.

Selain bisa dengan mudah keluar-masuk ke Lingkar Dalam, keuntungan lain menjadi karyawan Orenda adalah dapat menikmati fasilitas kawasan elit yang masih sesuai dengan koceknya. Malam itu —setelah pekerjaan selesai dan Dasbala susah payah membujuk Kiril untuk berbicara dengannya— mereka mendatangi sebuah restoran di perbatasan Lingkar Dalam.

Jika dilihat sekilas, rupa tempat itu sama sekali berbeda dengan wajah-wajah toko maupun perumahan di sekitarnya. Dengan lokasi yang kecil pula, tak heran hanya pelanggan setia sajalah yang akan berkunjung dan menikmati hidangannya. Tempat mereka duduk menjadi satu dengan konter; tak ada kursi yang terpisah dari sana. Kiril memicingkan matanya saat menginjakkan kaki ke restoran itu untuk pertama kali.

Pemuda itu terlalu skeptis. Dia bertanya mengapa harus membawanya ke kedai kecil seperti itu. Dasbala menyuruh juniornya untuk diam, duduk, dan makan. Pemantik api dinyalakan, rokok disulut, dan asap dihisap. Ketika pesanan dan juga minuman dihidangkan, Kiril berkata bahwa tidak ada hal yang harus dibicarakan hingga harus makan malam bersama.

"Kalau kau mengajakku karena Flint yang minta, maka enggak ada hal yang bisa dibicarakan," ucap Kiril ketus sembari memakan santapan di hadapannya.

Dasbala menompang dagu, "Flint tidak meminta apapun dariku. Memangnya salah untuk mengetahui rekan kerja secara personal?"

"Sudah setahun sejak aku kerja, kenapa baru sekarang?" tanya Kiril, "Lagipula kita pernah berbicara saat masa sekolah dulu."

"Cuma satu tahun. Aku mengenalmu cuma satu tahun kemudian aku lulus. Di saat aku harus menyelesaikan studi selama lima tahun, kau menyelesaikannya dalam dua tahun dan di usia belia pula!" kata pria berkacamata itu, "Ada hal yang membuatku tertarik padamu sejak dulu, tapi kau sedikit lebih menyebalkan dibandingkan dulu. Ada apa?"

"Kau bukan psikiaterku, jangan banyak tanya."

"Jadi kau punya psikiater?"

"Apa kau mau aku bedah kepalanya dan lihat apa yang ada di dalam sana? Apa yang kita kerjakan membunuh orang. Kau membunuh orang. Aku membunuh orang. Kau pikir mentalku sehat?"

Dasbala tersenyum, "Alasan bagus. Tapi, berbicara di sini mengenai pekerjaan kita bukan hal yang bijak," ia melihat sekeliling dan mendapati beberapa pelanggan memandangi mereka dengan ngeri saat mendengar kata 'membunuh. "Aku punya minuman di rumah kalau kau mau."

"Bah, terserah. Lagipula besok libur," Kiril merogoh kantongnya dan mengeluarkan beberapa lembar ori untuk membayar makan malam.

Malam sudah larut ketika mereka keluar dari kedai. Jalanan pun sudah sepi untuk para pejalan kaki. Meski wajah Kiril sudah memerah karena alkohol, ia tidak berjalan bagaikan orang mabuk. Alisnya tertekuk semakin dalam dan ia tidak banyak bertanya mengenai lokasi kediaman seniornya itu.

"Aku dengar cerita tentangmu," ucap Kiril. Dasbala menoleh dan mengerjapkan mata, menunggu pemuda itu untuk melanjutkan, "Kau enggak akan melakukan hal-hal aneh padaku di jalanan gelap ini 'kan?"

"Apa?" pria itu tampak kebingungan. Lima detik ia terdiam sampai Dasbala berkata, "Tidak, tidak. Aku menghargai momen-momen yang dibuat, oke. Aku bukan anjing kebelet kawin.... Kalau itu cerita yang kau maksud."

Obrolan mereka teralihkan oleh pemandangan ganjil di hadapannya. Sebuah pintu muncul tiba-tiba dari dinding. Flint keluar dari sana bersama seorang pria berpakaian serba hitam dengan mata yang sama gelapnya dengan malam.

Pria asing itu melihat Dasbala dan juga Kiril sesaat, seringainya menunjukkan geligi yang buruk. "Sepertinya kau punya tamu," suaranya begitu parau. Mendengarnya membuat bulu kuduk Kiril berdiri.

"Bagaimana perjalananmu, Pak?" tanya Dasbala dengan alis berkerut.

Flint, masih dengan kantung matanya yang hitam, menoleh. Ia tidak terkejut dengan keberadaan Dasbala dan juga Kiril di sana. Membersihkan kacamatanya, mereka dapat mendengar sosok di balik pintu berpamitan.

"Sampai bertemu lagi, Flint Sarojin. Kami sangat menunggu kelanjutan proyekmu itu."

Menyugar rambutnya, Flint menatap Dasbala dan Kiril bergantian. Dalam kebetulan yang terlalu baik ini, kedua anak buah Flint itu tahu bahwa mereka akan menjadi bidak kuda dalam papan catur yang sedang ia mainkan.

*

//WAAAA MAAFKAN TERLAMBAT! This new job is killing me. Semoga kamu suka dengan chapter flashback ini. Di chapter yang akan datang juga akan tetap flashback tentang Flint juga. Dasbala dan Kiril, huh, apakah menurutmu familiar? waseso. Oke deh maafkan akan keterlambatan ini dan terima kasih untuk yang sudah baca! Love you to the moon and back. Ditunggu jejak lainnya juga. Ciao~~~//

Continue Reading

You'll Also Like

HISTRIONICS By Aesyzen-x

Mystery / Thriller

3.7K 932 16
[Thriller - Misteri - Action] Ersa dihadapkan dengan dendam masa lalu kakaknya, sosok yang Ersa kira menghilang tanpa jejak pada 2015 kembali muncul...
848K 52.8K 22
[Completed Chapter] Anak itu muncul di jendela meski tak pernah ketahuan kapan masuknya. Tahu-tahu hidupku sudah dijajahnya. Banyu Biru bilang ingin...
179K 11.4K 19
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...
5.7K 1.5K 24
[Kelas X] Completed Synesthesia yang ia miliki, terus membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang. Murid-murid sekolah menjauhinya karena kesalahpahama...