“APA yang kau lakukan disini?!”
Seseorang yang tengah bersandar pada batang pohon berukuran sedang itu melambaikan tangannya dengan wajah datar.
“Kenapa kau bisa disini?” Oline kembali berbisik penuh penekanan. Matanya melebar seakan ingin keluar dari tempatnya begitu melihat pria yang baru ditemuinya pagi tadi berada disini.
“Tunggu disana.” Peringat Oline lalu kembali menutup jendela.
Dia melirik Aila yang tengah nyenyak dalam tidurnya. Dengan langkah yang mengendap-ngendap, Oline membuka pintu. Dia melongokkan kepalanya keluar pintu. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri memantau situasi di luar kamar.
Seakan tahu bahwa tidak ada tanda-tanda keberadaan siapa pun, Oline melangkah keluar. Dia menutup pintu dengan perlahan. Kini Oline menghela napas karena Vale sudah tidurㅡ
“Oline?”
ㅡnamun ternyata belum.
Punggung Oline menegak. Wajahnya berubah pasi mendengar suara itu. Oline berbalik. Dia langsung memasang senyuman kikuk.
“Oh, halo Ibu.”
Vale tersenyum. “Belum tidur? Kenapa berada di sini?” Vale menatap Oline bingung. Wanita Elf itu lantas mendekati Oline yang kini bergerak gelisah tanpa sepengetahuannya.
Waktu ingin pergi ke kamarnya untuk tidur, tak sengaja Vale melihat Oline yang keluar dari kamar. Tentu saja Vale bingung. Mengapa gadis Manusia itu belum tidur? Padahal sudah larut malam.
“Eh, itu, Bu. Aku... aku..,” Oline menggigit bibir bagian bawahnya. Matanya berpedar gelisah, mencari alasan yang tepat. Seakan tahu, Oline langsung menatap Vale.
“Aku baru terbangun karena haus. Jadi aku keluar kamar untuk mengambil air minum.” Oline kembali tersenyum, menutupi kebohongannya. Oline berjalan dengan perlahan menuju meja makan.
“Begitu?” Senyum Vale mengembang sambil memerhatikan Oline. “Baiklah. Segera selesaikan urusanmu dan kembali tidur. Hari sudah sangat larut. Ibu tidur duluan.” Pamitnya lalu melangkah menuju kamarnya yang letaknya sedikit jauh dari kamar Aila.
Melihat punggung Vale yang sudah menghilang tatkala pintu kamarnya tertutup, dengan segera Oline mengambil buah yang di panennya bersama Aila lalu mendekati pintu keluar dan membukanya dengan hati-hati. Gadis itu kembali melirik ke belakang, dan segera keluar. Saat kembali menutup pintu, Oline menghela napas lega.
Dengan segera Oline melangkah menuju samping rumah. Orang itu masih di situ. Memejamkan matanya, kedua tangan yang terlipat didepan dada, dengan punggung yang bersandar. Oline mengerutkan kening lalu melangkah semakin mendekat.
“Kennan!”
Kelopak mata yang tertutup itu perlahan terbuka, menampilkan iris mata berwarna abu-abu gelapnya. Kennan melirik dengan alis yang terangkat, seolah bertanya kenapa?
Oline mendengus melihat reaksi laki-laki itu. Lalu melemparkan buah yang dia ambil tadi kearah Kennan. Dengan sigap Kennan menangkapnya lalu memandangi buah tersebut.
“Apa yang kau lakukan disini? Bagaimana kau tahu aku berada disini? Dan lagi, pasti kau yang mengetuk jendela kamar Aila, kan?”
“Berisik sekali.” Kennan menggaruk tengkuknya dengan tatapan malas.
Mendengar tuturan Kennan, sontak Oline melebarkan matanya tak percaya. Apa-apaan itu! Dia yang datang, malah dia yang bersikap ketus. Seharusnya Oline yang melakukan itu!
“Dasar. Membuang waktuku saja.” Desis Oline kesal lalu berbalik, siap melangkah pergi.
“Tunggu.”
Oline tersenyum penuh kemenangan. Dia tahu laki-laki itu akan mengalah. Dengan wajah angkuhnya, Oline berbalik sambil bersedekap dada. Dagunya terangkat dengan wajah sok datar miliknya.
“Ada yang perlu di bicarakan?”
Bagi Oline, tak apa sok jual mahal. Setidaknya untuk saat ini. Lagian, Oline senang mengerjai laki-laki menyebalkan itu.
Sejujurnya Oline merasa senang karena ternyata Kennan tak melupakannya. Walaupun baru terhitung beberapa jam mereka tak bersua. Dia kira Kennan telah melupakan dan tak acuh kepadanya lagi. Dia kira pertemuan pagi tadi hanyalah angin yang berlalu bagi laki-laki itu.
“Singkirkan ekspresi angkuhmu itu. Aku tak datang untuk melihat mukamu itu.” Kennan berujar sinis. Kini dia menegakkan punggungnya lalu menghadap Oline sepenuhnya. Ia menatap buah berwarna merah yang tadi dilempar Oline dengan senyuman miring.
“Kenapa? Lagian aku bebas untuk berekspresi apa pun. Di dunia ini tak ada aturan tentang hal berekspresi, kan?” Tanya Oline seolah semakin merasa tertantang.
“Memang tidak. Tapi akan ada karena aku yang membuatnya.”
Oline terbahak. “Kau berkata seolah kau orang penting disini.”
Kennan menaikkan satu alisnya lalu memilih mengedikkan bahunya. Tak ingin memperpanjang masalah. Tapi sungguh, didalam lubuk hati Kennan yang paling dalam, dia merasa jengkel terhadap manusia asal Bumi itu. Tak ada makhluk semenyebalkan Oline!
“Aku datang kesini hanya untuk memastikan apa kau masih hidup atau sudah mati.”
Mata Oline melotot mendengar itu. “YANG BENAR SAJA!”
“Pelankan suaramu. Jika ada yang datang, kau tanggung risikonya sendiri.” Sela Kennan membuat Oline semakin melotot kesal.
Apa sekarang waktunya Kennan membalasnya? Baiklah, Oline tak akan kalah!
“Bilang saja kau rindu padaku.”
“Oh, begitu? Jadi perasaan ingin bertemu denganmu ini adalah rindu?” Tanya Kennan.
Jantung Oline langsung berdesir kencang mendengar itu. Benarkah Kennan merindukannya?
Kennan menyeringai melihat Oline yang tertegun. “Kurasa rindu terhadap perempuan kecil yang bisa di jual ke para bandit ada bagusnya.” Laki-laki itu mengelus-ngelus dagunya yang mulus, seolah ada janggut disana. “Kira-kira berapa harga yang akan ditawarkan?”
Hati Oline mencelos begitu saja saat mendengar itu. “Kau... kau berbohong, kan?”
“Apa gunanya aku berbohong?”
Oline melangkah mundur dengan ketakutan. Apakah benar Kennan mempunyai keinginan jahat seperti itu? Apakah Oline salah menaruh kepercayaan kepada laki-laki itu? Sungguh, Oline ingin tidak mempercayainya namun gagal karena melihat seringaian yang terbit di bibir Kennan.
Tawa Kennan seketika pecah. Dia puas melihat wajah ketakutan yang terpancar dari wajah Oline. Sangat-sangat puas!
“Selain berisik, kau tak berotak.”
“Maksudmu?”
“Kau dengan mudah mempercayai perkataanku. Mana ada bandit yang tertarik padamu. Tidak cantik, kurus. Tak ada hal apa pun darimu yang bisa mereka ambil.” Kennan tersenyum penuh kemenangan. “Mungkin mereka hanya bisa mempergunakanmu sebagai budak.”
“KENNAN!”
“Apa?”
“Kau... kau...” Tangan Oline terkepal. Wajahnya merah menahan amarah yang seketika memuncak begitu mendengar perkataan Kennan. Sungguh, Oline ingin mencakar-cakar wajah Kennan sekarang.
“Aku kenapa?”
Oline memejamkan matanya. Mengatur napasnya yang tak beraturan. Dadanya terasa sesak karena menahan rasa kesal yang ingin di keluarkan.
“Tadi kau yang bilang apa gunanya kau berbohong.” Ujar Oline berusaha tenang. Sudah banyak kata-kata yang tersusun didalam otaknya, namun ia memilih mengeluarkan kalimat itu.
“Gunanya berbohong itu seperti saat ini. Membuatmu layaknya ikan yang berada di daratan.” Jawab Kennan tak acuh.
“Baiklah. Kau menang.” Oline pasrah. Laki-laki itu memang seperti kancil!
“Kedatanganmu memang tak berguna. Sampai nanti.”
Oline berbalik lalu melangkah meninggalkan Kennan. Namun Oline merasa ada seseorang yang berjalan mengikutinya dari belakang. Yang jelas itu Kennan! Hah. Pasti dia ingin meminta maaf. Sayangnya, Oline tak berniat memaafkannya sampai kapan pun.
Tetapi sampai dirinya berdiri didepan pintu masuk, Kennan belum mengeluarkan sepatah kata pun. Sudahlah. Oline tak ingin memikirkannya lagi.
Pegangan pintu sudah Oline genggam. Tangannya yang hendak membuka pintu terhenti begitu merasa keberadaan seseorang yang berdiri tepat dibelakangnya. Sangat dekat sampai-sampai Oline dapat merasakan hembusan napas orang itu.
Lalu, bisikan pelan dan serak terdengar tepat di samping telinganya. Membuat bulu kuduknya meremang beserta jantungnya yang lagi-lagi berdesir.
“Aku tahu kau senang aku datang. Selamat malam. Semoga mimpimu indah.”
December 10th, 2018.
A/N :
Update lagi. Hehehe...
Full Kennan and Oline ya😍
Gila sih. Butuh 7 part untuk menceritakan hari pertama yang Oline habiskan saat dia berada di dunia Dracania😅
Fix. Aku sayang cerita ini :"))