Skyscraper Desire

Door karinalexandra27

119K 6.6K 99

Meraih kesuksesan dalam karir tidaklah sulit untuk diraih Ellie dalam usia mudanya. Segala yang dimiliki Elli... Meer

Employee of the Month
Oops, My Mistake
Morning Coffee
Midnight Therapy
McDonald's Breakfast
Bad News! BAD!
The Love Spell
Walking Down The Aisle
Savior
The Other Woman
La Ville de L'amour
Money Money Money
Mind Reader
Ooh, Fancy
Spill The Tea, Sis.
Cafe Brown
That's Suspicious
House Visit
My New Office
Lost
Another Mind Reader
Broken
Is This The End?
Help Me, I'm Falling
...Still Falling
Knight In Shining Armor
Little Bundle of Joy
Confessed
Gelato From Hell

Skyscraper Desire (Final Chapter)

7.8K 246 36
Door karinalexandra27

"Cheers!"

Kami mengacungkan gelas kami ke atas dan menempelkannya ke satu sama lain yang menimbulkan bunyi berdenting lalu meneguk segala macam minuman yang disediakan di atas meja.

Musik yang beredar di ruangan membuat Joline tidak bisa berhenti menari. Vanessa dan Christian berdansa di tengah ruangan, sementara aku terus mengisi gelasku dengan soda dan mengisi perutku dengan camilan yang tersedia di meja.

Jaiden memutuskan untuk mengajak mereka untuk bekerja di sini. Dengan senang hati, mereka menerimanya tanpa berpikir lagi. Terutama Joline yang terus-menerus berterimakasih kepadaku dan Jaiden karena telah mengeluarkannya dari yang dikatakannya 'lubang neraka'.

Aku dan Jaiden telah berhasil merekrut 5 orang di bagian Marketing and Business Development, 6 orang di Finance and Adminsitration, dan 10 lainnya di bagian Sales. Masih banyak posisi yang belum terisi, namun kami yakin kami akan menemukannya segera.

Malam ini kami mengadakan pesta kecil pembukaan kantor dengan seluruh pegawai. Sebenarnya, Joline yang mengusulkan hal ini. Katanya dia butuh refreshing agar bisa berkonsentrasi dalam pekerjaannya besok. Aku tau itu hanyalah sebuah alasan tapi biarkan saja dia menikmati waktunya di sini.

Aku mencicipi keripik jagung yang tersedia di dalam mangkok besar sambil berkeliling kantor, menjauhi diriku dari musik yang berdentum, lalu memasukki kantorku yang telah didekorasi dengan rapi, sesuai dengan bayanganku sebelumnya. Aku menyandar di meja dan menatap pemandangan dari jendela kaca raksasa – melihat lampu-lampu kota berkilauan di langit malam.

Aku menengok saat mendengar ketukan pintu.

"Apakah aku menganggu?" Jaiden mengintip di ambang pintu.

"Tidak, masuk saja." Aku mengibaskan tanganku, mengundangnya untuk masuk.

Kali ini pakaian Jaiden terlihat lebih santai. Aku dapat melihat dasinya menyembul dari kantong celananya dan kancing atas kemeja putihnya dibuka. Seperti biasa, tulang selangkanya terlihat.

Ia menghampiriku dengan segelas minuman di tangannya lalu bersandar ke meja di sebelahku sambil menghembuskan napas. Rambutnya telah melebihi telinga dan belahan rambutnya makin terlihat. Beberapa poninya jatuh saat dia menunduk. Bibirnya yang tipis sedikit melekuk ke atas.

"Kapan terakhir kali kamu pergi ke salon?" Sepertinya mulutku berkhianat dan memutuskan untuk mengeluarkan semua yang ada di pikiranku.

Jaiden mengerjapkan matanya beberapa saat dan mendengus sebelum menjawab. Ia menatapku sekilas. "Apa?"

"Um, rambutmu...," ucapku ragu. "Rambutmu sudah panjang." Telunjukku mengacung ke rambutnya.

Ia mengusap rambut sambil terkekeh. "Akhir-akhir ini aku tidak sempat merawat diri. Kamu tau kan sibuknya seperti apa kemarin-kemarin?"

Aku mengangguk. "Aku masih tidak percaya semua ini terjadi."

"Percayalah. Kamu berhasil melakukan semua ini. Kamu berhasil melakukannya."

"Well, aku sangat berterima kasih padamu."

Dia menatapku dengan alis berkerut. "Untuk apa?"

"Untuk semua hal yang kamu lakukan untukku." ujarku.

Ia menunduk sambil memegang tengkuk lehernya lalu ia tersenyum lebar. "Kita melakukan semua ini bersama-sama, El." ucapnya setelah menyusuri pandangannya padaku.

"Hei, boss-boss besar nggak mau pidato? Semuanya lagi ngumpul di lobi." Joline muncul di ambang pintu.

"Apa? Nggak mau ah."

"Ide yang bagus, Jo." ucap Jaiden.

Aku menoleh kepadanya. "Ide yang bagus?"

"Iya, ada baiknya kita beri mereka sedikit motivasi sebelum bekerja." Jaiden bangkit berdiri, menarik lenganku, dan menuntunku ke lobi. "Sini."

Joline mengikuti kami sambil bersedekap dan memerhatikan kami dengan senyuman jahil.

Sesampainya di lobi, Jaiden mengetuk-ngetuk gelas kaca dengan sendok, menimbulkan bunyi berdenting dan berhasil menarik perhatian semua orang kepada kami. Puluhan pasang mata terpaku padaku dan Jaiden. Bagus sekali.

Aku hanya berdiri mematung di sebelahnya.

"Selamat malam semuanya. Ijinkanlah saya, selaku pimpinan perusahaan ini ingin mengajak kalian, khususnya diri saya sendiri juga dan Ellie." Ia menatapku dan aku membalasnya dengan senyuman. "Besok adalah hari pertama bagi kita untuk bekerja dan saya harap kita bisa bekerja sama sebagai tim, menghargai satu sama lain, dan melakukan gotong royong demi masa depan perusahaan ini dan masa depan kalian. Kita di sini adalah keluarga. Dan jujur saja jika ada yang mau kenaikan gaji, silakan langsung berbicara pada saya."

Kalimat terakhirnya berhasil membuat mereka tertawa kecil.

"Ellie, silakan." ucap Jaiden, melangkah mundur.

"Umm...," Astaga, ada berapa banyak mata yang sedang menatapku?

"Ya, sama dengan yang dikatakan Jaiden sebelumnya. Saya harap kalian bisa bekerja sama dan kita semua adalah keluarga. Jangan dibawa stress, ini adalah lingkungan yang ramah, dan..., tetaplah bekerja keras tapi dibawa santai aja. Itu aja pesan dari saya, terima kasih."

Walaupun aku dapat melihat beberapa dari mereka meringis ketika mendengar perkataanku, mereka tetap bersorak dan memberiku tepuk tangan. Aku membungkuk dan tersenyum lalu membalikkan badan.

Terima kasih banyak atas saranmu, Joline.

"Pesan yang sangat memotivasi." komentar Jaiden.

Aku mengisi gelasku dengan Sprite. "Jangan meledekku. Kamu tau aku belum siap."

Ia terkekeh lalu mengambil sepotong pizza. "Siapa yang bawa pizza ini?" tanyanya sambil menggigitnya.

"Kayaknya Vanessa. Atau Christian. Entahlah, salah satu dari mereka."

"Mereka pacaran ya?"

Disaat yang bersamaan, aku melihat Joline memutarkan volume speaker sambil berjoget ria hingga dadaku berdebum dan aku dapat merasakan lantai bergetar. Jaiden mengatakan sesuatu namun aku tidak dapat mengerti apa yang dikatakannya. Suara kami kalah bersaing dengan suara speaker.

Kemudian ia berseru. "Ikut aku!"

"Kemana??" Aku berseru kencang tetapi Jaiden tidak mendengar dan sudah menghilang duluan. Terpaksa aku mengikuti jejaknya dari belakang.

>>>>>>

Setelah berlarian dan menaiki ratusan anak tangga untuk mengejar Jaiden, aku membuka pintu yang menembus ke atap. Angin berhembus kencang, membuatku mengeratkan blazer-ku. Jaiden menghadap ke langit di tepi atap, bersandar ke tembok pembatas setinggi perutnya. Angin malam meniup rambut dan mengibaskan jasnya.

"Jay!" seruku, membuatnya menoleh dan membalikkan badan. "Apa yang kamu lakukan di sana?" Aku menghampirinya.

Jaiden menopang sikunya di pagar pembatas, menghadap ke arahku. "Kita tidak bisa bicara di bawah sana."

Napasku terengah-engah. "Kenapa kamu tidak menggunakan elevator?"

Senyuman jahilnya terbentuk di wajahnya. "Iseng aja."

Aku memukuli bahunya sambil terkekeh. Kemudian bersandar ke dinding pembatas antara jalanan padat beratus-ratus meter dariku di sebelahnya, membalikkan badan, lalu mendongak. Bintang-bintang berkilau jauh di atas langit di balik gedung-gedung pencakar langit yang mengerumuni kami. Gedung ini hanyalah sebuah miniatur dibandingkan dengan gedung lain.

Udara yang sejuk menyentuh kulitku dan bisingnya jalan raya tidak terdengar dari atas sini namun aku dapat melihat kegiatan di jalan raya, semua mobil yang sedang bermacet ria dan pejalan-pejalan kaki di trotoar. Di atas sini, kamu merasa paling berkuasa karena kamu dapat melihat segala hal yang sedang terjadi.

"Enak kan di sini?" tanya Jaiden.

Aku mengangguk. "Kamu sering ke sini?"

"Kadang-kadang." Ia bergidik. "Aku sedang sendirian di kantor waktu itu, dan entahlah, ingin menjernihkan pikiranku, lalu aku menemukan tempat ini."

Aku membalikkan badan dan melihat ruang atap yang kosong. "Kita bisa meletakkan beberapa meja dan kursi rotan disini, dan payung teduh juga bisa. Kita bisa menikmati sarapan atau kopi di sini. Mungkin kita akan menjadikan ini tempat istirahat pegawai, untuk melepaskan stress." Aku mengibaskan tanganku. "Eh, nggak deh. Di sini akan panas di siang hari. Kalo malam para pegawai sudah pulang."

"Ternyata kamu lebih cocok menjadi seorang desainer interior daripada direktur perusahaan, El."

Aku tertawa kecil.

Kami terdiam sambil melihat langit malam. Lalu Jaiden menatapku dan tersenyum. Dia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu. Aku menunggunya untuk berbicara namun ia mengalihkan pandangannya.

"Kenapa?" tanyaku.

Jaiden menggeleng. "Nggak apa-apa."

Aku menghembuskan napas. "Jay, kita rekan kerja sekarang. Aku harus tau apa yang ada di pikiranmu dan apa yang akan kau lakukan. Kita harus kerja sama." ucapku sambil memegang lengannya. "Katakan saja."

Ia menghela napas lalu menatapku. "Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih."

"Kenapa?"

"Karena telah menerima pekerjaan ini. Perusahaan ini tidak akan berdiri jika kamu tidak mengatakan iya waktu itu."

Aku mendengus. "Seharusnya aku yang berterima kasih. Kamu memberiku pekerjaan terbaik di dunia. Aku tidak seharusnya berada di sini. Seharusnya aku sedang memegang nampan sambil menerima pesanan pelanggan saat ini atau mengantarkan kunci kamar hotel kepada tamu."

Jaiden mengangguk pelan. "Pekerjaan terbaik? Apa yang membuatmu berpikir bahwa ini adalah pekerjaan terbaik?"

"Karena aku dapat bekerja denganmu." Senyumanku mengembang.

Jaiden tertawa lalu terdiam. Pandangannya menerawang ke bawah. Rahangnya mengatup tegang setelah ia membasahi bibir. Ia terlihat seakan-akan sedang menyembunyikan sebuah kesakitan, atau mungkin kesedihan, atau sebuah kehilangan.

Ia membalikkan badan tanpa melihatku lalu berjalan ke arah pintu. "Aku mau turun dulu."

"Jay?" Dia tidak menghiraukanku dan tetap berjalan.

"Sebenarnya kamu tau kan?" seruku, berhasil menghentikan langkahnya.

Ia menoleh ragu. Akhirnya dia membalikkan badan dengan alis berkerut. "Tau apa?" tanyanya sambil memasukkan tangan ke saku celana ketika angin berhembus.

"Kamu tau kalo aku punya perasaan yang sama terhadapmu seperti perasaanmu terhadapku." Suaraku hampir kalah bersaing dengan tiupan angin.

>>>>>>>>

Sisa dari chapter ini dihapus karena kepentingan penerbitan. Silakan dukung dan beli ebook complete untuk mengetahui kelanjutannya... 😊

Click this link to check it out! ⬇️⬇️⬇️

https://play.google.com/store/books/details?id=L91WEAAAQBAJ

Atau langsung ketik Skyscraper Desire: Eternity Publishing di kolom pencarian Google Playstore/Books

Jika ada kendala ataupun pertanyaan mengenai pembelian ebook, feel free untuk direct message me! Terima kasih readers untuk dukungan dan feedbacknya selama ini!

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

1.1M 15.8K 36
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
5.4K 471 59
Setelah rentetan kejadian mengenaskan terjadi padanya, Raquel sadar hidupnya sudah terbilang hancur untuk ukuran hidup normal. Pikirnya, kematian ibu...
6.4M 328K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
138K 7K 32
Jillian Summer sadar betul tidak banyak pria baik-baik yang bisa dia temui di bar -atau mungkin memang tidak ada- seperti yang selalu di ucapkan oran...