King Of Psychopath

By PuspitaRatnawati

8.5M 643K 43.4K

Senjata dan biola, dua benda yang cukup melekat pada dirinya. Dia memiliki dua reputasi yang cenderung bertol... More

The MACKENZIE
Stop Plagiarism!
PROLOG
KOP-01
KOP-02
KOP-03
KOP-04
KOP-05
KOP-06
KOP-07
KOP-08
KOP-09
KOP-10
KOP-11
KOP-12
KOP-13
KOP-14
KOP-15
KOP-16
KOP-17
KOP-18
KOP-19
KOP-20
KOP-21
KOP-22
KOP-23
KOP-24
KOP-25
KOP-26
BUKAN HASIL PLAGIAT!
KOP-27 (21+)
KOP-28
KOP-29
KOP-30
KOP-31
KOP-33
KOP-34
KOP-35
KOP-36
KOP-37
KOP-38
KOP-39
KOP-40
KOP-41
KOP-42
KOP-43
KOP-44
KOP-45
KOP-46
KOP-47
KOP-48
KOP-49
KOP-50
KOP-51
KOP-52
KOP-53
KOP-54
KOP-55
KOP-56
KOP-57
KOP-58
KOP-59
KOP-60
KOP-61
KOP-62
KOP-63
KOP-64
KOP-65
KOP-66
KOP-67
KOP-68
EPILOG
close PRE-ORDER
HASIL VOTE NEXT STORY
NEW STORY

KOP-32

90.1K 7.3K 581
By PuspitaRatnawati

     Dengan gagahnya, pria itu berjalan memasuki sebuah gedung yang menjulang tinggi. Gedung yang disebut-sebut perusahaan otomotif terbesar, milik seorang violinist. Tiap pasang yang melihatnya, baginya itu hal yang sudah biasa dan tidak penting. Sosoknya yang kental dengan segala sensasi dan reputasi telah membuatnya semakin berpengaruh.

"Mr. Leopold!"

Adexe tetap melangkahkan kakinya padahal ia mendengar jelas suara Fabio yang memanggilnya. Begitulah Adexe, bila seseorang memanggilnya, orang tersebut harus berada di depannya baru ia menghentikan langkah kakinya.

"Mr. Leopold!" Fabio berlari dan dengan nafas yang sedikit memburu, akhirnya ia bisa berdiri di hadapan triliyuner itu.

"Ada apa?" tanya Adexe dengan malas.

"Tuan, ada sesuatu yang harus ku beritahukan padamu," kata Fabio.

"Katakan," kata Adexe.

Fabio mengeluarkan ponselnya, ia menunjukan sebuah foto di salah satu sosial media kepada Tuannya.

"Paparazi," Adexe tersenyum kecut lalu melangkahkan kakinya.

"Tuan, tunggu!" Fabio mengekorinya, "Lalu bagaimana?" tanyanya.

"Nanti saja di ruanganku," kata Adexe.

Setibanya Adexe dilantai dimana letak ruangannya, beberapa pekerja yang kebetulan melewati lorong yang sama, menyapa pemilik perusahaan itu. Namun sikap Adexe tidak mengenakan. Bayangkan saja ketika kau menyapa, sapaanmu dianggap angin lalu. Sedikitpun tidak ada seutas senyum dibibirnya.

"Biarkan aku masuk! Minggir!" teriak seorang wanita seksi.

Adexe mengernyit, melihat ada kegaduhan di depan pintu ruangannya. Tampak dua orang pria bertubuh tegap dan berpakaian serba hitam berusaha menghalangi seorang wanita cantik nan seksi itu masuk.

"Argh! Kalian tuli hah?! Minggir! Biarkan aku masuk, bodoh! Beraninya kalian menghalangiku! Brengsek!" kata wanita itu dengan marah.

"Kami hanya menjalankan tugas kami, Nona," ucap kedua pria tersebut.

"Apa Adexe menyuruh kalian menghalangiku? Itu tidak mungkin! Minggir! Aku akan melaporkan kelancangan kalian padanya! Dasar pengawal-pengawal tidak berguna! Menyusahkan!" oceh wanita itu.

"Siapa yang tidak berguna?"

Suara bariton yang dingin membuat wanita seksi itu menoleh dan tersenyum lebar begitu melihat Adexe.

"Adexe!!!" pekiknya. Fabio sampai menutup telinga karena suaranya itu.

Pilihan Tuanku benar-benar luar biasa. Suara wanita itu bisa memecahkan gendang telinga! batin Fabio.

Wanita cantik itu berlari dan memeluk Adexe. Adexe tersenyum dan membalas pelukan wanita itu. Kemudian mengurai pelukannya.

"Jika mereka tidak berguna, untuk apa aku mempekerjakan mereka?" tanya Adexe pada si wanita.

Wanita itu mendengus, "Mereka itu sialan! Lancang menghalangiku masuk ke ruanganmu. Apa mereka lupa siapa aku untukmu? Peringatkan mereka, sayang."

"Oh, manjaku," Adexe membelai sisi wajahnya.

Manjaku katanya? Jujur saja, aku merasa jijik pada wanita itu. Sok manja dan suka mencari perhatian Tuanku, batin Fabio.

"Ada apa dengan ekspresimu?!" tanya wanita itu dengan ketus ketika melihat ekspresi Fabio.

Adexe menatap Fabio dengan dingin, "Pergilah!"

Fabio mengangguk. "Baik, Tuan," katanya lalu melenggang pergi.

"Kenapa dia melihatku begitu, Adexe? Kesannya seperti tidak suka padaku," kata wanita itu.

"Jangan hiraukan dia, ayo!" Adexe menggandeng tangannya dan mengajaknya masuk.

Adexe memerintahkan kedua pengawalnya yang berjaga di depan ruangannya untuk pergi. Selepas para penjaga itu pergi, wanita itu kesal sampai menghentakan tangan Adexe yang memegangnya.

"Kenapa kau tidak memarahi mereka? Kalau perlu bunuh mereka, Adexe! Mereka lancang menghalangiku masuk ke ruanganmu!" kata wanita itu.

"Aku memang menugaskan mereka untuk tidak mengizinkanmu masuk," kata Adexe.

"Apa alasannya?"

Adexe masuk ke dalam diikuti wanita itu. Adexe mengatakan padanya, jika ia tidak mau pekerjaannya nanti terganggu oleh keberadaan wanita itu. Ya, wanita berambut cokelat itu hampir setiap harinya kesana dan mengganggu Adexe yang sedang bekerja.

"Aku sudah memperingatkanmu. Tapi kau mengabaikannya," ucap dingin Adexe.

Wanita itu menangkup sisi wajah Adexe, "Oh, tolong jangan marah, sayangku. Baiklah, maaf kenakalanku ini yang tidak menurut padamu."

Adexe menurunkan tangan cantik wanita itu, lalu melangkah mendekati kursi kebesarannya sebagai CEO. Adexe duduk dan wanita seksi itu memeluknya dari belakang.

"Ku mohon..., hari ini saja, ya? Aku ingin menemanimu sampai kau selesai bekerja," ucap wanita itu dengan suara manjanya.

"Apa kau tidak bosan?"

"Katakan padaku, apa aku pernah mengeluh padamu selama aku lakukan itu?"

"Tidak. Baiklah, untuk hari ini saja."

"Terimakasih, sayang."

"Tapi ingat, jangan ganggu aku ketika aku sibuk bekerja. Mengerti?"

"Siap, Mr. Leopold!" wanita itu tersenyum menang. "I love you so much, baby," tambahnya mengecup pipi Adexe.

Callie Marcedes, wanita berdarah Spanyol yang tinggal dikota New York. Dia putri seorang pengusaha besar dikota Miami. Belum sampai disitu saja namanya menjadi dikenal publik, Callie seorang selebriti ternama di USA. Berkat Adexe, Callie semakin populer pasalnya dia adalah kekasih violinist tersebut.

Alanzo, CTO perusahaan milik kakak tirinya itu tengah berjalan menuju ruangan yang menjadi tujuan utamanya kesana. Dengan keputusan yang telah ada dalam genggamannya ia akan membawanya ke ruangan itu.

"Good morning, Mr. Christopher!" sapa seorang pria berkemeja biru.

Alanzo membalas sapaannya seraya tersenyum hangat. Alanzo tidak seperti Adexe, ia ramah dengan para pekerja yang menyapanya atau hanya tersenyum padanya. Ketika Alanzo menarik handle pintu itu dan melihat apa yang dilihatnya, itu berhasil membuat Alanzo menggeram. Ia menyaksikan ciuman panas yang dilakukan Adexe dan Callie, ia kenal dan tahu siapa Callie bagi kakak tirinya itu.

Tampak Callie duduk diatas meja kerja dan bercumbu dengan Adexe yang berdiri di depannya. Di sela ciuman panas mereka, jari jemari Adexe bergerak untuk membuka resleting bagian dada mini dress yang dikenakan Callie. Begitu terbuka, pamandangan bukit terbelah nan besar terpapang disana. Callie mendesah dan mencengkeram rambut Adexe ketika pria itu mencium area dada dan lehernya. Alanzo tersenyum miring, ia mengeluarkan ponselnya lalu merekamnya selama beberapa detik. Akan ia tunjukan itu nanti kepada Allcia.

Allcia, batin Adexe. Ia membayangkan Callie adalah Allcia.

Itulah mengapa aku tidak rela bila psikopat itu masuk ke dalam hidupmu, Allcia. Allcia, sesungguhnya kau ada dalam lingkaran iblisnya. Aku takkan pernah mengampuninya, jika dia berani menjadikanmu korban selanjutnya. batin Alanzo.

BRAKK!!!

Alanzo sengaja menutup pintu itu dengan keras. Adexe dan Callie menghentikan aktivitas panas mereka begitu melihat Alanzo. Adexe membantu Callie turun lalu menyuruh kekasihnya itu duduk disofa.

"Ada apa?" tanya Adexe dengan santai.

Alanzo tersenyum miring melihat raut wajah kedua orang itu yang tampak santai. Alanzo sudah tahu bagaimana mereka. Tidak hanya bercumbu, kepergok sedang bersetubuh saja tidak ada kata malu dalam kamus mereka.

Bitch! batin Alanzo ketika melihat Callie.

Sepertinya urat malu wanita itu sudah putus, pikir Alanzo. Tampak Callie duduk disofa dalam keadaan belahan dadanya yang terlihat jelas, Callie sengaja membiarkan resletingnya terbuka. Callie mengangkat kedua kakinya ke atas meja, menghisap sedotan pada gelas berisi jus lalu menggigit bibir bawahnya dengan tatapan nakal ketika menatap Alanzo.

Kau pikir aku akan nafsu? Heh, lebih baik aku memuntahkan seluruh isi perutku ke wajahmu, batin Alanzo.

Ketika Adexe melirik Callie, wanita itu lantas menatap Alanzo dengan tatapan kesal. Wanita berwajah dua. Adexe dan dia sama saja, memiliki ribuan bahkan jutaan topeng.

"Kenapa kau terus melihat kekasihku?"

Alanzo menatap Adexe dengan tersenyum miring, lalu berjalan mendekatinya. Alanzo menghentikan langkah kakinya tepat di samping Adexe.

"Aku tahu, tidak ada rasa cemburu dalam hatimu untuk jalang itu. Aku tahu seperti apa siasatmu dalam menjalankan permainanmu. Memanipulasi," ucap pelan Alanzo.

Adexe diam.

"Bagaimana jika aku terus memandangi Allcia?" tanya Alanzo.

Pertanyaan Alanzo berhasil memacing amarah Adexe. Ia lantas membogem wajah Alanzo dan mencengkeram kerah jas Alanzo. Adexe menatapnya tajam. Callie yang melihatnya terkejut, namun tetap diam ditempat.

"Oh, come on! Lihat ada siapa disini selain kau dan aku. Dia pasti mempertanyakan sikapmu ini dan kau akan menjawab apa?" tantang Alanzo.

"Jangan sebut nama Allcia lagi dihadapanku. Aku tidak suka jika kau yang menyebut nama indahnya. Allcia hanya milikku!" geram Adexe dengan suara berdesis.

"Lalu Callie?" Alanzo mengangkat satu alisnya.

"Kau tahu siasatku, jadi kau tahu apa tujuanku memacarinya!"

"Dasar pria bejat! Ingat, jika kau memberikan tujuan yang sama pada Allcia, demi kepuasan fisikmu, maka aku tidak akan tinggal diam!"

"Hidupnya adalah hidupku. Dia segalanya. Aku bermain dengan wanita lain hanya ku jadikan pelampiasan. Hanya Allcia dalam pikiranku," balas Adexe.

"Apapun alasannya, kau tetap membuat posisinya terbagi. Begitu dia tahu kau masih bermain wanita, dia akan semakin membencimu. Mungkin mustahil untuk mendapatkannya."

"Aku tidak perduli dengan kebenciannya. Yang penting dia ada bersamaku!" Adexe melepaskan cengkeramannya dengan kasar, sehingga Alanzo sedikit terdorong.

"Dia tidak akan berpikir untuk pergi lagi. Dia akan memilih tetap bersamaku," ucap Adexe.

Alanzo tersenyum hambar, "Selicik-liciknya seseorang, hasilnya tergantung pada kemauan Tuhan. Aku yakin, Tuhan hanya berpihak pada orang yang benar. Hukum karma itu tidak akan pernah mati."

"Bagaimana jika aku berhasil?"

"Aku yakin itu hanya sementara. Setelah itu... kau akan menelan rasa penyesalan."

"Kau mengancamku?"

"Tidak. Tapi jika kau merasa terancam, lebih baik kau bebaskan, Allcia."

"Takkan pernah," balas Adexe lalu duduk di kursi kekuasaannya.

Setidaknya aku sudah memperingatinya, batin Alanzo.

"Apa tujuanmu datang ke ruanganku?" tanya Adexe.

"Aku ingin memundurkan diri dari perusahaan ini," kata Alanzo dengan jelas.

Adexe tersenyum, "Kau yakin?"

"Itu keputusanku, aku takkan menariknya kembali," balas Alanzo.

"Bagus," Adexe tersenyum lebar.

"Untuk apa aku memimpin perusahaan yang dimiliki seorang anak yang bersikap tidak hormat pada Ayahnya?"

"Apa peduliku? Yang ingin punya Ayah sepertinya siapa?" balas Adexe.

Alanzo menatapnya tajam, "Bagaimanapun juga, dia tetap Ayahmu. Setidaknya dia sempat mengurusmu."

"Harusnya kau juga dibuang Ayahmu supaya kau merasakan kehancuranku," Adexe mengetatkan rahangnya. Jika sudah membicarakan tentang Ayahnya, Adexe merasa sangat terluka.

"Kau belum merasakan bagaimana rasanya benar-benar kehilangan seorang Ayah."

"Aku sudah merasakannya! Ayahku sudah mati! Ayahku, Andromeda Leopold!"

Alanzo terdiam, tiba-tiba lidahnya kelu saat melihat mata Adexe yang tajam itu berkaca-kaca. Adexe memalingkan wajahnya, memejamkan mata sesaat dan mengontrol emosinya. Tangannya sudah gatal untuk menghabisi Alanzo. Tanpa berkata, Alanzo melenggang pergi.

BRAKK!!!

Suara keras terdengar nyaring disana, lagi-lagi Alanzo membanting pintunya. Tiba-tiba saja Adexe tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya sesaat.

"Berani sekali dia menasehatiku. Dia pikir dia itu siapa?" kata Adexe dan tersenyum miring.

Callie berdiri lalu menghampiri Adexe, "Apa yang kalian bicarakan?"

"Apa kau tidak dengar dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan ini?" Adexe balik bertanya seraya membuka laptopnya.

"Bukan. Bukan yang itu."

Adexe tahu apa yang dimaksud Callie.

"Sebelum itu. Apa yang dibisiki Alanzo sampai kau memukulnya, mencengkeram jasnya? Apa yang kalian bicarakan? Kalian bicara dengan berbisik. Itu membuatku penasaran," papar Callie.

Adexe tersenyum, "Dia berani melihatmu dan berbisik bahwa dia bisa saja merebutmu dariku."

"Ummm..., jadi kau cemburu?" Callie tersenyum.

"Ya. Kau kan kekasihku. Hanya milikku, bagaimana bisa aku membiarkan orang lain merebutmu dariku?"

Callie terbuai dalam kata-kata Adexe, padahal apa yang telah Adexe katakan padanya adalah dusta. Adexe menarik tangan Callie dan membuat wanita cantik itu duduk di pangkuannya.

"Aku mencintaimu," ucap Callie seraya merangkul Adexe dengan manja.

"Apapun alasannya, kau tetap membuat posisinya terbagi. Begitu dia tahu kau masih bermain wanita, dia akan semakin membencimu. Mungkin mustahil untuk mendapatkannya."

Aku akan mengakhiri ini. Aku akan menunjukan pada Alanzo jika posisi Allcia tidak akan pernah bisa tergantikan, batin Adexe.

*****


.
.
.

👉Please, give me vote and comment 👈

PuspitaRatnawati

22 Okt 2018

*_ _NEXT TO PART 33_ _*

Continue Reading

You'll Also Like

63.7K 3.9K 15
(SEMI MATURE⚠️) Hyerin adalah tipe gadis yang memikirkan masa depan. Dia menata sedemikian rupa setiap detail rencana yang akan ia lakukan kedepan. ...
325K 5.5K 6
[PROSES REVISI] -----Siapa sih yang tidak bahagia punya pacar tampan? Ketua osis pula. Popularitasnya yang sudah tidak diragukan lagi membuatnya sela...
4.3M 187K 200
[FOREVER MINE COMPLETED] [HIGHEST: #1 on lovelife] [#32 in fiction] [#104 in bisnis] "Mr. Ramirez, lepaskan! Apa-apaan ini?! Aku tau kamu punya segal...
4.6M 170K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...