Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.4M 268K 45.1K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 39 •

58.9K 4.7K 1.3K
By AM_Sel

Vano menatap wajah tidur El dalam diam. Pemuda kecil itu terlihat sangat nyenyak sekali. Sesekali, bibirnya bergerak, dahinya berkerut, atau ia mengeluarkan gumaman-gumaman yang tidak jelas. Membuat Vano terkekeh pelan melihatnya. Ia mengecup dahi El pelan, lalu menyisir rambut cokelat itu. Entah sudah berapa kali Vano jatuh cinta pada si kecil ini, dan dia tidak merasa bosan sama sekali. Vano malah semakin merasa tidak ingin melepaskannya.

Dia jadi ingat saat pertama kali melihat El dua tahun lalu. Saat itu sedang mendung. Sepulang sekolah, ia memutuskan untuk berhenti di sebuah tempat makan karena lapar. Penampilan El yang berantakan serta babak belur, membuatnya terlihat mencolok saat berjalan di pinggir jalan. Saat pertama kali melihatnya, Vano mendengus pelan. Apalagi ketika sadar El berasal dari sekolah mana saat melihat seragam yang ia pakai. Bina Mulia. Berandalan. Vano terus memperhatikannya. El berhenti di depan sebuah bangunan. Sebelah alis Vano terangkat. Pemuda berambut cokelat itu menunduk. Menatap sebuah kotak yang tergeletak di depan bangunan itu. Lalu, tangannya terulur. Mengambil sesuatu dari dalam kotak tersebut yang ternyata adalah seekor kucing.

Vano menyipitkan kedua matanya. Mewanti-wanti jika saja pemuda itu akan melukai kucing kecil tersebut. Tapi, tidak. Dengan tangannya yang terluka, El mengelus kucing itu dengan lembut. Bibirnya melengkung mengulas sebuah senyuman. Vano tertegun. Sorot lembut yang El arahkan ke kucing tersebut, serta tindakannya yang berhati-hati agar ia tidak melukai kucing itu. Tampak begitu... manis.

Petir menyambar. Hujan menderas. Dengan tangannya yang kecil, ia mencoba untuk melindungi kucing itu dari basahnya hujan, dan segera berlari dari sana. Saat itu, Vano hanya bisa menatap punggung kecil yang perlahan mulai menjauh hingga menghilang. Yang ada dipikirannya, ternyata anak Bina Mulia masih ada yang memiliki hati nurani.

Sejak saat itu, tanpa sadar, ia akan pulang melewati jalanan tersebut. Kedua matannya akan langsung mengedar untuk mencari pemuda kecil bertampang manis yang sebenarnya tidak ada tampang khas berandalan. Tapi, kita tidak bisa menilai seseorang berdasarkan luarnya saja. Dan setelah setengah tahun menjadi stalker-pengagum rahasia menurut Vano-akhirnya ia tau, mengapa si kecil itu hampir selalu pulang dalam keadaan yang memprihatinkan.

Dia dibully.

Kenyataan yang membuat kepala Vano panas karena emosi.

"..ngh.. Vano.."

Kedua mata itu membuka pelan. Alvano tersenyum. Ia mengeratkan pelukannya. Memberi El kehangatan lebih.

"Di luar hujan. Lo ngga bisa lari pagi hari ini," ujarnya. Sesuatu yang sangat bagus bagi Alvano.

El mencoba untuk melepaskan rengkuhan itu. Lalu, mendudukkan dirinya dan menatap jendela kamar yang mempertontonkan butiran-butiran air yang sedang menghujam bumi.

Vano ikut mendudukkan dirinya. Tangannya terulur untuk membenarkan rambut cokelat El yang mencuat ke sana kemari. Yang mana, membuat El kembali mendekatkan dirinya dan menyandar di bahu Alvano.

Pemuda tinggi itu tersenyum tipis. Tangannya mengusap lengan kiri itu dengan lembut, "El.."

Tak ada jawaban. Tapi, Vano tau si kecil ini mendengarkan.

"Apa lo mau tinggal sama gue?"

Dahi El mengerut. Ia mendongakkan kepalanya untuk menatap Vano, "Bukannya kita memang udah tinggal sama-sama?"

Vano mengusap tengkuknya, "Gini, erm.. lo tau kan kalo gue keterima kuliah di kota sebelah. Ya sebenernya ngga ada masalah sih kalo gue tetap di sini. Cuma perjalanan dari sini ke sana, bisa dibilang lumayan. Apalagi kalo udah macet. Dan kuliah itu ngga kayak sekolah yang pasti masuk pagi pulang sore tiap hari. Bisa aja gue kena kelas pagi sama sore, dan siangnya kosong. Ya.. banyak kemungkinan lah. Kalo misalnya gue tinggal di sini, gue ngga mungkin pulang di waktu kosong itu. Boros bensin, terus juga buang-buang waktu di jalan. Dan gue ngga mau seharian penuh di kampus terus setiap hari. Jadi, gue mutusin untuk beli apartemen di sekitaran sana. Ayah sama Ibu juga udah setuju sih. Jadi, apa lo mau nemenin gue tinggal di sana?"

El mengerjap, "Berdua aja?" tanyanya.

Vano mengangguk mengiyakan.

Tangan kiri El menggaruk perutnya pelan. Langit-langit dan jendela menjadi fokus utama tatapannya karena berpikir. Tinggal berdua. Mereka. Hanya berdua. Berdua. El sebenarnya sadar, cepat atau lambat dia memang harus memberikan seluruh yang ia punya kepada Alvano. Dan 'memberikan seluruh yang ia punya' kepada Alvano itu tidak tepat jika diberikan di sini. Apa ini sudah saatnya? Apa El siap?

"Ya kalo.. kalo memang itu yang lo mau. Ya udah sih. Gue ngikut aja," ujar El, "Tapi, dengan adanya gue di situ, apa enggak ngebuat lo makin kerepotan?" tanyanya.

Vano tersenyum lembut. Lalu, mengusak rambut cokelat itu, "Ya enggak lah. Gue mau, lo terus di samping gue. Ada didalam pengawasan gue. Gue mau, gue bisa meluk lo sebelum pergi kuliah, terus bisa nyium lo begitu pulang kuliah. Terus, ngeliat lo sebelum dan sesudah tidur. Dengan keberadaan lo yang ada di sisi gue kayak begitu, menurut gue udah ngebantu gue banget El."

Vano menyentuhkan dahi mereka. Tangannya menyelipkan rambut cokelat El ke belakang telinga pemuda itu.

"Gue cinta sama lo, El," bisik Vano pelan. Membuat detak jantung El berdetak semakin cepat. Wajahnya memanas. Bibir bawahnya ia gigit pelan.

Tatapan Vano turun ke bibir itu. Lalu, mengecupnya lama.

"Vano.." El berbisik pelan. Ia menyurukkan kepalanya di leher Vano dan memeluk tubuh itu. Membuat yang dipeluk tertawa pelan dan mengusap punggungnya dengan lembut.

El ingat sekali. Dulu, dia sangat tidak suka disentuh-sentuh. Bersentuhan adalah hal yang paling tidak ia sukai. Tapi, saat Vano menyentuhnya, sentuhan itu terasa berbeda. Sentuhannya memberikan rasa aman. Jika ada Alvano, dia tidak akan khawatir pada apapun lagi. Dia tidak akan takut, karena Vano pasti akan melindunginya.

"El, sampai kapan kita tetap begini?"

El mendongak, "Maksudnya?"

"Ya maksud gue. Ya itu. Lo tau gue cinta sama lo, dan gue tau kalo lo punya perasaan yang sama. Terus juga, kita bakalan tinggal bareng, maksudnya tanpa ada Ayah, Ibu, sama Jeje. Apa lo ngga ngerasa kalo hubungan kita mulai naik ke tahap yang lebih lebih lagi? Apa lo ngga mau ngubah kebiasaan kita yang masih pake 'lo-gue'?"

El kembali menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher Alvano, "Gue malu."

Vano mengulum senyum melihat tingkah menggemaskan ini. Ia mengeratkan pelukannya, "Malu kenapa?"

Pemuda berambut cokelat itu menggelengkan kepala, "Malu."

Ah, lihat betapa mudahnya pemuda kecil ini membuat Alvano jatuh hati padanya lagi.
Pelukan itu ia lepas, dan mendorong tubuh kecil itu pelan. Tangan kanannya mengusap pipi putih itu. Wajahnya ia dekatkan. Lalu, memagut bibir itu dengan lembut.

"I love you.."

*****

El menatap ruangan itu sambil mengangguk pelan. Lalu, berjalan mengelilinginya. Apartemen ini jauh lebih besar dari apartemennya dulu. Sangat sangat tidak bisa dibandingkan. Begitu masuk, kita langsung disuguhkan ruang tamu serta ruang tengah yang dijadikan satu. Di tengah ruangan, ada satu set sofa berbentuk L dengan televisi di depannya. Lalu, ada beberapa rak-rak yang masih kosong-El yakin akan segera penuh oleh buku milik Vano tak lama lagi-di pojok ruangan. Lalu, jendela-jendela besar yang langsung terhubung dengan balkon. Di balkon itu sendiri tersedia sebuah meja bundar dengan dua kursi yang menemaninya. Menurut El, ini terlalu luas. Ya, mereka hanya tinggal berdua di sini. Bertiga sama Poppy-kucing itu akan dipaksa berpisah dengan Burhan-dan dia rasa tidak perlu seluas ini.

Di sebelah kanan, ada lorong pendek yang menghubungkan ke dapur serta ruang makan. Di sana, ada dua pintu. Satu pintu kamar mandi dan satunya lagi pintu kamar utama.

"Gimana?" tanya Vano.

El menggaruk pelipisnya sejenak, "Ngga ada yang lebih kecil?" tanyanya.

Vano tertawa, "Yang besar lebih enak."

Pemuda tinggi itu membuka pintu kamar dan masuk sambil berkacak pinggang. Melihat-lihat kamar yang akan mereka tempati bersama. El mengikuti sambil melirik sinis. Kamar ini juga memiliki jendela yang besar. Membuat mereka bisa melihat gedung-gedung lain serta jalanan yang ramai di bawah sana.

"Kayak difilm-film ya," gumam El pelan.

Vano terkekeh dan merangkul bahu itu.

"Berapa harganya?" tanya El.

"Jujur, gue ngga mau nanya soal itu ke Ayah atau Ibu."

"Lo anak yang nyusahin ya."

"Ya mana gue tau bakalan dibeliin yang kayak begini. Gue kira yang tipe studio atau yah.. yang kecil dan minimalis gitu."

"Terus kenapa ngga nolak?"

"Udah dibeli."

El menatapnya dengan sebelah alis yang naik, "Belum lagi biaya kuliah lo, ya, kan?"

Alvano meringis, "Tolong jangan ingetin gue betapa gue ngehambur-hamburin uang mereka."

"Kalo gue punya anak kayak lo, udah gue biarin ngegembel di tepi jalan," gerutu El. Ia melepas rangkulan Vano dan berjalan keluar. Tapi, dengan sigap, Vano menahannya. Memeluk tubuh itu dari belakang. Kepalanya menunduk.

"Lo mau punya anak?" tanya Vano berbisik.

"Vano, jangan ngomong yang aneh-aneh."

"Boleh kok. Tapi, tunggu gue kerja ya. Gue ngga mungkin ngasi makan anak kita pake uang orang tua."

Wajah El memerah hingga ke telinga. Anak kita? Tangan kirinya menutupi wajah.

Vano tersenyum lebar, "Manisnya~"

"Tsk! Apa sih?!"

Tangan Vano yang melingkari pinggang ditepis, dan berjalan menjauh. Vano hanya mengulum senyum sambil mengekori El.

"Ayo, temenin gue potong rambut," ujar El masih sambil menggerutu.

"Iya, iya," Vano mengusak rambut itu sebentar, "Beneran mau dipotong?"

El mengangguk mantap, "Gue gerah punya rambut segini."

"Padahal bagus. Kenapa ngga dipanjangin dulu kayak punya Orly?"

El menatap Vano jengah, "Orly punya Zin yang mau ngurusin rambutnya. Lha, gue?"

"Gue?" Vano menunjuk dirinya sendiri.

El mendelik, "Lo masuk kuliah aja belom, ya. Kalo lo bisa ngurus diri sendiri setelah masuk kuliah, dan masih mau ngurusin rambut gue. Gue oke-oke aja."

Alvano terdiam. Berpikir. Lalu, mengangguk, "Oke. Ayo, kita potong rambut."

*****

Setelah Vano selesai mengurus Ijazah serta SKHU miliknya di sekolah, mereka memutuskan untuk pindah ke apartemen. Ibunya ikut membantu dan menyusun barang-barang yang mereka bawa dari rumah. Jeje dan Suchart ikut datang untuk merusuh-jangan lupakan Burhan yang Suchart bawa untuk mengunjungi Poppy-di sana. Begitu pula dengan Orly dan Zin yang ingin tau anak mereka tinggal di tempat seperti apa.

Orly bersedekap dada menatap El yang tengah mendelik kesal ke arah Burhan yang sedang asik bermain dengan Poppy. Potongan rambut pendeknya yang baru, membuat wajah itu tampak lebih segar. Lalu, tatapannya beralih ke arah Zin yang sedang membantu Ibu Vano memindahkan barang, serta Jeje dan Suchart yang sedang asik bertengkar di belakang mereka. Kemudian, ia beranjak. Berjalan melewati lorong pendek yang ada di sana, dan berhenti di depan pintu kamar yang terbuka lebar. Setelah itu, menyenderkan bahunya di ambang pintu. Menatap Vano yang tengah mengurus kotak-kotak berisi barang pribadinya di sana.

"Kamarnya cuma satu?" tanya Orly.

Vano menoleh. Ia mengerjap, lalu mengangguk, "Iya."

Orly membulatkan bibirnya dan mengangguk. Kakinya melangkah masuk dan mendudukkan dirinya di pinggir ranjang. Kedua matanya mengedar ke seluruh penjuru ruangan.

"Berasa pengantin baru, ya," ujar Orly lagi.

Vano mengusap belakang lehernya canggung.

"Malam pertamanya udah diambil?"

Uhuk! Itu suara batin Vano yang tersedak. Ia memutuskan untuk menatap ke arah lain, "Be-belum."

"Oh? Wah, kamu tahan juga ya," ujar Orly sambil tertawa pelan. Vano menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil meringis.

"Ada lubricant ngga?"

"Hah?"

Lalu, Orly melempar sesuatu ke arahnya yang ditangkap dengan baik oleh Alvano.

"Anggap aja itu hadiah pindahan rumah-atau apartemen? Yah, gitu lah. Nikmatin surga dunia sebelum mulai kuliah kayaknya ngga salah juga," Orly mengedipkan sebelah matanya. Lalu, beranjak pergi dari sana. Meninggalkan Alvano yang hanya terdiam sambil menatap benda yang Orly lemparkan tadi.

Vano mengusap wajahnya gusar, dan mengacak rambutnya. Surga dunia? Vano beranjak dari tempatnya semula. Benda pemberian dari Orly tadi, ia letakkan di atas meja nakas. Lalu, memutuskan untuk keluar dari kamar.

Di luar, bisa ia lihat Ibunya sedang berbincang dengan Zin dan Orly. Jeje, Suchart, dan El tengah asik memainkan-mengganggu-Poppy dan Burhan. Vano memutuskan untuk duduk di samping Ibunya.

"Berhubung udah mau magrib, kami pamit pulang dulu," ujar Orly.

"Oh, iya. Terima kasih banyak udah mau bantu-bantu. Maaf ya merepotkan kalian," Ibunya ikut berdiri saat kedua pria itu berdiri.

"Ah, gapapa kok. Kami juga sekalian ngunjungin si Daniel. Vano, jaga baik-baik ya Danielnya."

Tanpa disuruh pun, Vano akan menjaga pemuda cokelat itu dengan baik. Kedua pria itu memeluk Daniel sejenak, barulah beranjak dari apartemen tersebut. Sesaat sebelum mereka pergi, Orly kembali memberi petuah kepada Vano-dengan berbisik tentunya-.

"Pelan-pelan aja masukinnya. Tunggu Daniel udah nyaman. Kalo udah, baru digenjot."

Vano tidak tau sudah semerah apa wajahnya saat Orly membisikkan kalimat itu. Sepeninggal kedua pria tersebut, Ibunya ikutan mau pulang.

"Ibu pulang dulu, ya. Temen Ibu ada yang mau dateng. Yuk, Jeje! Chan!"

Jeje merengut, "Mas, aku nginep di sini ya."

Vano memelototinya, "Gaada. Pulang kamu sana!"

"Hari ini aja loh, Mas."

"Enggak!"

"Ibu, Jeje mau di sini."

Ibunya melirik Vano, yang langsung menggeleng untuk mengisyaratkan agar Jeje tidak menginap.

"Udah, ah. Kasian Mas kamu, capek baru pindahan. Ayo, cepet pulang."

Dengan merengut, Jeje mengekori Ibunya untuk pergi dari apartemen tersebut. Di sampingnya Suchart yang membawa Burhan, hanya menertawakan. Yang membuat Jeje kesal, hingga mereka bertengkar kembali.

Vano menghela napas. Pintu apartemen ia tutup. El yang ikut mengantar wanita itu hingga ke depan pintu langsung melangkahkan kakinya menuju sofa. Lalu, menghempaskan tubuhnya di sana dan berbaring.

Berhubung El sudah mandi tadi, Vano memutuskan untuk membersihkan dirinya saat itu. Sekalian untuk mendinginkan kepalanya dari kalimat yang Orly lontarkan tadi. Tak butuh waktu lama, karena Vano memang tidak suka berlama-lama di dalam kamar mandi-kecuali saat mandi bersama El-ia pun keluar dengan tubuh yang dibaluti oleh piyama lengan pendek berwarna biru laut. Saat kembali ke ruang tengah, El sudah tertidur. Kelelahan.

Vano tersenyum tipis. Sebelah tangannya menyentuh helaian cokelat yang telah pendek itu. Lalu, menepuk pelan pipinya.

"El, yuk pindah ke kamar."

Tidur El belum masuk ke tahap mimpi. Masih tidur ayam kata orang. Karena begitu Vano membangunkannya dengan pelan, ia bisa langsung bangun. Membuka kedua matanya, lalu menatap Vano tanpa ada niat untuk beranjak.

Vano mengambil remote televisi, dan mematikan benda elektronik itu. Barulah mengulurkan kedua tangannya untuk menggendong tubuh El yang tak bergerak sama sekali dari tadi.

"Lo dingin," gumam pemuda cokelat itu.

"Gue baru selesai mandi."

El tak membalas. Kedua matanya kembali menutup. Menikmati sensasi dingin enak dari kulit Vano. Poppy mengekori mereka. Mengikuti hingga masuk ke dalam kamar. Dia memiliki dua bantal tidur. Satu di dekat balkon, satunya lagi di kamar Tuan-Tuannya itu.

Saat El dibaringkan di ranjang, Poppy ikut membaringkan diri di sana. Vano menghela napas dan mendorong tubuh berbulu hitam itu hingga terjatuh. Poppy mendesis, Vano melotot. Merasa kalah, kucing itu pun berjalan menuju bantal tidurnya di dekat jendela.

El memiringkan tubuhnya saat Vano naik ke ranjang. Lalu, memeluk tubuh itu dan membenamkan wajahnya di dada bidang tersebut. Vano melirik benda pemberian Orly yang ia letakkan di nakas yang El belakangi. Lalu, ia menggeleng. Tidak. Tidak. Tidak malam ini. El sedang lelah. Dia juga lelah.

"Vano.." gumaman pelan itu menarik perhatiannya. Tangan kiri Vano mengusap belakang kepala itu dengan lembut.

"Iya?"

Lalu, tubuhnya didorong. Menjadi telentang dengan El yang naik ke atasnya. Mendudukkan diri di perutnya. Vano mengerjap cepat. Tunggu. Apa-apaan ini?!

"E-El, ada apa?"

Pemuda bersurai cokelat itu tak berani menatap matanya. Ia menunduk, tapi Vano bisa melihat telinganya memerah.

"O-Orly bilang.."

Orly?!

Ada apa dengan Orly hari ini?!

"..lo.. lo mau.."

Vano menghela napas. Mengingat hal-hal menjurus yang Orly katakan padanya, ia rasa pria itu juga mengatakan sesuatu pada El. Tangan kanan Vano terulur. Menyentuh dagu El dan mengangkatnya agar pemuda kecil itu mau menatap dirinya.

"Jangan dengerin apa yang Orly bilang. Gue ngga bakal ngapai-ngapain lo sebelum lo siap kok. Gue ngga bakal maksa. Oke?"

El mengangguk. Kedua matanya menyorot lega. Vano tersenyum tipis dan mengacak rambutnya pelan.

"Dah, yuk tidur."

"V-Vano!"

Vano menatapnya lagi dengan sorot bertanya. Kedua mata El bergulir ke kanan. Lalu, menatap Vano malu, "G-gue.. gimana kalo.. gue juga mau hari ini?"

Tunggu. Apa? Mau apa?

"Hah?"

El yang masih mendudukkan dirinya di atas perutnya mulai mendekatkan wajahnya.

"E-El!"

"Van.. tolongin gue."

Tolong apa?! Tolong macam apa?!

Kali ini, El menatapnya tanpa ragu.

"Tolongin gue, untuk ngehapus mereka."

Kedua mata Vano langsung menatap lekat ke arah El. Mereka?

"Tolongin gue untuk ngehapus jejak mereka dari tubuh gue. Sampe ke paling dalam. Buat gue cuma inget sentuhan lo doang, Van," bisiknya, "Please?"

Ah, Vano mengerti. Ini semua karena jejak dari orang-orang berengsek itu. Jejak mereka. Ditubuh kekasihnya.

"El, lo yakin?"

El mengangguk yakin.

Tubuhnya ditarik untuk berbaring, dan langsung dikurung oleh tubuh besar itu. Vano menatapnya. Lalu, mengecup dahinya lembut.

"Kalo lo memang ngga sanggup, bilang ke gue, oke? Biar kita berhenti. Semuanya bisa dilakukan secara perlahan. Lo ngerti?" ujar Vano.

"Ya."

"Gue akan pelan-pelan. Lo jangan khawatir."

El mengangguk.

"Vano.."

"Ya, El?"

El menatapnya. Pemuda itu menelan ludah, "...i'm sorry," bisiknya dengan suara bergetar.

"Why?"

Kedua manik biru yang cantik itu berkaca-kaca, "Karena lo bukan yang pertama buat gue."

Vano tertegun sejenak, lalu mencoba untuk tersenyum menenangkan. Ia menunduk dan mengecup leher El pelan, "No. Gue akan jadi yang pertama buat lo."

Vano bangkit dan menumpu pada lututnya. Kedua tangannya membuka kancing piyama yang ia gunakan, lalu melepas piyama tersebut. El hanya menatap dalam diam. Sesekali mengusap tetesan air mata yang jatuh.

"Kalo lo mau nangis, nangis aja. Gue ngga keberatan."

Tetesan itu menderas. El menutup wajahnya dengan lengan kiri.

Vano menaikkan kaos yang pemuda cokelat itu gunakan dan melepasnya. Lalu, mulai mengecup tiap inchi kulit putih yang dihiasi dengan bekas luka itu. El meliriknya, membuat Vano tersenyum menatap manik biru itu, dan berbisik..

"So beautiful."

*****

El membuka kedua matanya. Matahari sudah bersinar terang. Tubuhnya pegal, dengan bokong yang masih berkedut nyeri.

"Pagi."

Sebuah kecupan mendarat di dahinya. Vano membawakan sarapan. Dua lembar roti panggang dengan selai cokelat dan segelas susu cokelat kesukaannya. El menyentuh lengan Vano yang terluka karena dicakar Poppy tadi malam.

"Kucing nakal," desis El. Kalau saja dia bisa beranjak dari ranjang, sudah ia lempar kucing itu keluar.

Vano tertawa, "Dia cuma cemburu."

Dahi El mengerut, "Cemburu?"

"Kayak kamu yang cemburu ngeliat dia deketan sama Burhan, dia juga cemburu ngeliat kita berdua."

El mengerjap. Sepertinya ada yang janggal dengan perkataan Vano.

"Nih, makan," selembar roti, ia berikan pada El.

El mengambilnya, dan menatap Vano dengan lekat, "Kamu?"

Vano tersenyum. Sebelah tangannya ia tumpukan pada sisi tubuh El, dan menatap pemuda itu dengan lembut, "Ya. Kamu juga harus biasa. Ngga perlu malu, karena cuma ada kita di sini."

Wajah El memanas dan menatap ke arah lain. Vano tertawa pelan. Lalu, mengecup bibir itu.

Ah, betapa Alvano mencintai pemuda bersurai cokelat ini.

End.

Terima kasih banyak untuk kalian semua yang sudah mau rela meluangkan waktu untuk membaca cerita saya yang tidak sempurna ini wkwkwk

Terima kasih sudah mau memencet tombol bintang di tiap chapter, dan terima kasih banyak sudah mau mengomentari tiap chapternya juga! Maaf jika ada yang belum saya balas wkwk

Terima kasih atas semua dukungan-dukungannya. Saya bahagiaaaaaa sekali 😆😆😆

Maaf banget kalo endingnya amat sangat tidak memuaskan wkwk..

Nantikam Chapter-Chapter bonus selanjutnya!

Btw, nih ada fanart lagi wakakak
Dari @fumikofumi

Bukan fanart El, ataupun Vano.

Orly ;)

Terima kasih banyak untuk kalian semua yang sudah mau mengirimkan fanart-fanart kalian hingga saat ini :*

Kiriman kalian ini sukses ngebuat saya senyum-senyum terus seharian penuh, sambil mikir kapaaan saya bisa ngegambar kayak begini.

Makasih banyak ya kalian semua :*

Continue Reading

You'll Also Like

KAPTEN ✔ By EL

Teen Fiction

1M 81.6K 34
[ Squel Sohib ] [GEN 2] N. Bisa baca sohib dulu. ⚠️Mpreg Belum Revisi! Tidak bertemu selama 14 tahun lamanya membuat Samudra canggung. Angkasa Ghav...
213K 23.8K 20
"Di sini kost khusus putra, kan? Kok lu ..." Wirga natap Nanjan dari ujung rambut sampai ke paha. Sampai ke paha aja karna abis itu Wirga buang muka...
9.8K 1.2K 7
Rachel yang mendambakan kisah cinta romantis ala Disney Princess malah dapet pacar anak geng motor spek jamet kayak Adrian. Crackpair: Christian Yu...
130K 15.6K 18
WARNING! BL, UNREQUITED LOVE. Gak suka? Gak usah baca. ** [Book 3rd of Prince School SEX with Bad Boy School] Cio sudah menaruh perhatian kepada anak...