TMA Series 1: TANAH ✔️ [SELES...

By poccoloco

48.1K 5.1K 72

Sebuah petualangan untuk menyelamatkan keenam dunia paralel. * Buku pertama dari serial "TMA". •3k reads on 2... More

Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34
Episode 35
Episode 36
Episode 37
Episode 38
Episode 39
Episode 40
Episode 41
Episode 42
Episode 43
Episode 44
Episode 45
Episode 46
Episode 47
Episode 48
Episode 49
Episode 50 {Ending}
51 {Extended Version Part 1}
52 {Extended Version Part 2}
Announcement: Edisi Revisi

Episode 25

738 94 0
By poccoloco

"Ini sangat menakjubkan!" aku berseru riang, mengangkat tangan di udara. Kami sudah terbang keluar dari wilayah kota. Jauh di bawah, terhampar hutan penuh dengan pepohonan yang dua kali lipat lebih besar dari pohon yang ada di dunia kami. Warna hijau sejauh mata memandang.

"Perhatikan kompas pada gelang kalian, pastikan kita mengarah ke utara." Miss Anna memberi perintah.

Aku mengangguk, mengangkat tangan kiri, dan layar hologram kecil yang menunjukkan kompas muncul.

"Dua puluh derajat ke kiri, Miss!" seru Zandar yang berada di kiriku.

Miss Anna mengangguk, kemudian terbang ke kiri. Kami mengikuti, sambil menatap kompas.

"Sebenarnya, tidak ada yang tahu di mana letak Lembah Kematian dengan pasti." celetuk Elios.

"Aku tahu itu, Elios. Aku bisa mendengar percakapan kalian dengan penjaga utusan Lucius ke Bumi, Renesmee, saat aku melakukan video call denganmu tadi." Miss Anna menghembuskan napas pelan. "Maka itu adalah tugas kita untuk menemukan Lembah Kematian."

Aku mengangguk, kemudian kembali fokus melihat ke arah depan.

Kami sudah terbang selama kurang lebih sepuluh jam—sesekali kami berhenti untuk istirahat sejenak di atas tebing batu yang cukup tinggi. Layar sentuh tiga dimensi menunjukkan pukul lima sore.

"Sebaiknya kita segera mencari area terbuka di hutan yang ada di bawah sana agar kita bisa mendirikan tenda. Sudah hampir gelap," sahut Elios, menunjuk matahari yang mulai tenggelam. Pemandangan itu indah sekali. Langit berwarna kemerah-merahan bercampur jingga sejauh mata memandang. Sangat menawan dan memanjakan mata.

"Kamu benar, Elios," Miss Anna menoleh, "Zandar, gunakan kekuatanmu untuk mendata hutan di bawah sana. Coba cari area terbuka agar kita bisa mendirikan tenda."

Zandar mengangguk cepat, kemudian mengangkat kedua tangannya di udara. Layar sentuh tiga dimensi muncul di depan wajahnya. Tangannya yang bercahaya hijau, bergerak-gerak, sambil matanya menatap layar sentuh tiga dimensi yang menunjukkan area hutan di bawah. Seketika, hutan yang ada di bawah sana diselimuti semacam jaring bercahaya. Lima detik, jarring itu sudah menyelimuti permukaan hutan.

Setelah terdengar suara bip dari layar yang ada di depan Zandar, jaring itu perlahan menghilang.

"Kita harus terus terbang sekitar lima ratus meter lagi ke depan, lalu kita akan menemukan area terbuka yang cukup besar di dalam hutan, Miss!"

"Baiklah. Terus mengarah ke utara!" Miss Anna memberi perintah.

Sebagai jawaban, naga-naga kami meraung pelan. Kami terus terbang ke utara sesuai perkataan Zandar.

***

"Itu dia!" Lani berseru, menunjuk ke bawah.

Aku langsung menarik tali pelana nagaku, kemudian kami terbang tepat lima ratus meter dari area terbuka itu.

"Turun sekarang! Matahari sudah hampir tenggelam." seru Miss Anna. Kami mengangguk cepat, lalu naga-naga kami langsung melesat turun.

Satu jam kemudian.

"Ah, api unggun ini sangat hangat," gumamku, sambil duduk di sekitar api unggun yang aku buat. Lani dan Zandar masih menyiapkan perlengkapan tidur mereka di dalam tenda canggih itu. Tenda itu seperti kamar kos di dunia kami—tapi lebih futuristik. Sebelumnya, Elios, Miss Anna, Lani dan Zandar sempat kaget saat aku mengeluarkan api dari tanganku saat Elios akan membuat api unggun dengan lighter yang dia bawa. Bentuknya sama seperti yang ada di kota kami, tapi aku rasa lebih canggih.

"Biar aku saja yang membuat api unggunnya, Elios," sahutku, saat Elios akan menyalakan lighter di atas sekumpulan ranting kayu yang kami kumpulkan sebelum gelap.

"Bagaimana caranya? Kamu tidak punya lighter, kan?"

"Kau akan melihatnya," jawabku girang. Aku mengangkat kepalan tangan kananku, membukanya, berniat membuat api. Lima detik, semacam serbuk cahaya berwarna merah berkumpul di atas telapak tanganku dan membentuk api.

Elios menatap takjub, sampai-sampai dia menganga, tapi langsung menggeleng.

"Sejak kapan kamu bisa membuat api?" tanya Elios penasaran.

"Beberapa hari lalu, saat tabung gas di rumahku habis, kalungku mengatakan kalau aku bisa membuat api."

Elios ber-oh sebentar, kemudian ia menyeringai. "Itu menakjubkan, Afya. Kamu keturunan kerajaan Zoltria kedua yang mampu membuat api setelah Lucius. Kekuatan itu sangatlah sulit untuk dikontrol jika tidak dilatih dengan benar."

Setelah berbincang sebentar, aku dan Elios memutuskan untuk memberi makan naga-naga kami yang berada di sekitar api unggun, menghangatkan tubuh.

"Ini makananmu, kawan," aku berkata pelan, menyodorkan makanan untuk naga yang dikatakan Elios padaku. Nagaku itu menggerung pelan, mendongakkan kepalanya, kemudian memakan makanannya yang berada di atas kedua telapak tanganku. Aku tersenyum.

Nagaku langsung menggerung pelan saat aku mengelus lembut kepalanya yang berbulu itu. Tanpa kusadari, aku mengirimkan rasa hangat kepadanya, seperti Lani.

Setelah aku menyadarinya, aku tersenyum lebar.
"Selama seratus tahun terakhir, keluarga kerajaan sedang mencari informasi mengenai keberadaan Lucius. Tidak ada petunjuk yang ditinggalkan oleh Lucius, kecuali satu hal—"

"Apa itu?" tanyaku, memotong kalimat Elios.

"Ini,"

Elios mengeluarkan sesuatu dari sakunya, dan menjulurkannya kepadaku. Aku menerimanya.

Itu adalah sebuah kotak kayu tua. Di setiap sisinya, terukir simbol-simbol aneh yang tidak kukenali, kecuali satu simbol—yaitu simbol Dunia Cahaya, matahari.

"Kotak kayu? Mengapa ada benda seperti ini di dunia yang maju?"

Elios menggeleng, "Aku juga tidak tahu, Afya. Tapi kau benar, seharusnya tidak ada benda seperti ini di Dunia Cahaya, kecuali di beberapa museum sejarah di kota. Tidak ada yang bisa membuka kotak kayu itu sampai saat ini,"

Wajah Elios yang ramah seketika berubah menjadi wajah tegang.

"Kenapa kamu tegang, Elios?" tanyaku, menyelidik.

"Aku hanya berpikir," Elios menghela napas pelan, "apa mungkin kotak kayu tua ini merupakan petunjuk baru untuk kita? Karena sejak seratus tahun terakhir, kotak ini tidak bisa dibuka dengan apapun, bahkan mesin penghancur terkuat di kota tidak dapat membukanya. Kotak ini sangat kuat."

Aku menghembuskan napas pelan. Elios mungkin saja benar. Jika memang kotak kayu ini adalah petunjuk pertama kami, maka itu berarti misi kita sudah gagal. Kotak ini tidak berat, tapi tidak bisa dihancurkan, apalagi dibuka. Apa yang harus kami lakukan? Apakah misi kami akan berakhir secepat ini?

Aku menatap dan meraba-raba kotak itu, berharap mendapatkan sesuatu yang dapat membantu. Tanganku lantas terhenti saat penglihatanku seolah terganti dengan pemandangan lain. Di pemandangan itu, aku melihat seorang pria yang sedang membawa kotak kayu, mengukir simbol-simbol aneh yang kulihat tadi pada kotak kayu itu.

"Afya!"

Sekejap, penglihatan itu hilang. Digantikan oleh Elios yang sedang memegang kedua bahuku dengan erat.

"Kenapa kamu tiba-tiba melamun? Dan ada apa dengan matamu? Tiba-tiba berubah warna menjadi kuning kemerah-merahan."

"Aku sudah tahu cara membuka kotak kayu ini," aku berkata pelan.

Elios mendadak mundur dua langkah dariku, wajahnya memucat.

Kotak kayu itu mengambang di depanku. Kulepas kalungku, kemudian menaruhnya di "lubang kunci" kotak kayu itu. Seketika, kotak kayu itu dipenuhi serbuk cahaya, menyilaukan mata. Di seberang, Elios sudah meletakkan tangan kanannya di depan mata, beusaha menghalangi cahaya yang menyilaukan itu—tapi tidak untukku.

"Cahaya apa itu tadi?" seru Miss Anna, yang keluar dari tenda, disusul Lani dan Zandar.

"Miss, ada apa dengan Afya?" tanya Lani. Suaranya cemas.

"Sepertinya Afya sedang berada di tahap Supernova, Lani,"

Ketika cahaya sudah menghilang, kalungku yang masih bercahaya melayang keluar dari "lubang kunci" kotak kayu tua itu, dan kembali terikat di leherku.

"A-apa yang terjadi?" tanyaku, memegang kepala dengan salah satu tangan. Aku merasa sedikit pusing. Mataku kembali menjadi seperti semula.

"Kamu tidak ingat apa yang baru saja terjadi?" tanya Elios memastikan.

Aku mengangguk, "Aku ingat semuanya. Aku melihat seorang pria memegang kotak kayu ini, dan membukanya dengan kalungku. Tapi, wajah pria itu tidak terlihat,"

"Itu pasti Lucius!" Miss Anna berkata memotong kalimatku. Kami menoleh kepada Miss Anna.

"Aku sempat berpikir kalau tadi Afya di tahap Supernova, tapi ternyata aku salah," Miss Anna menghela napas pelan. "Ternyata, tadi kamu sedang menuju masa lalu, dan menemukan jawaban yang kita cari."

Aku, Lani, Zandar dan Elios hanya bisa menganga, menatap bingung Miss Anna.

"Maksud Miss Anna, aku bisa menuju masa lalu?" tanyaku.

Miss Anna mengangguk. "Tepatnya, rohmu yang pergi ke masa lalu."

"Jadi itulah mengapa Afya hanya berdiri diam di depanku selama beberapa detik tadi,"

"Benar, Elios. Afya adalah orang pertama di Dunia Cahaya yang bisa melihat masa lalu. Bahkan Lucius tidak pernah bisa melakukan itu." tambah Miss Anna.

"Apa isi kotak itu?" tanya Zandar tidak sabaran. Aku mendongakkan kepala, melihat isi kotak itu.

Itu adalah sebuah kertas yang digulung.

Aku mengeluarkannya dari kotak, dan kotak itu berubah menjadi serbuk cahaya, menghilang di udara. Aku membuka gulungannya, dan membaca kata-kata yang tersirat di dalamnya. Hurufnya terlihat aneh, tapi aku bisa membacanya.

Matahari akan menunjukkan jalan,
Jika kau memperhatikan.
Ikutilah dia,
Dan yang dicari akan ditemukan.

"Apa maksudnya?" tanya Lani. Yang lain beranjak mendekat.

"Bahasa apa ini?" tanya Elios, wajahnya terlihat bingung. "Gelangku tidak mengetahui bahasa ini, tapi kenapa kamu bisa membacanya, Afya?"

Aku menggeleng, menjawab dengan polos, "Aku tidak tahu, Elios. Hanya saja, aku langsung mengerti apa yang tertulis di kertas ini,"

Miss Anna menghela napas pelan, "Ini semakin membingungkan saja."

Zandar menerobos Elios dan Miss Anna, ingin melihat kertas itu.

"Ini bahasa sanskerta Dunia Cahaya." sahutku dan Zandar bersamaan. Aku mendongakkan kepala, menatap wajahnya.

"Dari mana kamu tahu itu?"

"Dari mana kamu tahu itu?" tanya Zandar kembali.

"Itu langsung muncul di dalam kepalaku. Seolah ada yang berbicara di telingaku," jawabku pelan, "Bagaimana kamu tahu ini adalah bahasa sanskerta Dunia Cahaya, Zan?"

"Aku juga sama sepertimu. Ada suara yang mengatakannya kalau ini adalah bahasa sanskerta. Tetapi tetap, aku tidak mengerti bahasa ini."

Aku ber-oh pelan. Suasana di sekitar api unggun lengang sejenak. Hanya suara gemercik api, dan suara hewan hutan berderik saja yang terdengar selama beberapa detik.

"Sebaiknya kita berusaha untuk memahami petunjuk ini besok," sahut Elios. Kami bereempat mengangguk.

Tiba-tiba, terdengar suara bip berulang kali dari dalam tenda. Kami segera berlari ke dalam.

"Astaga!"

Lihatlah, di depan kami, dapur tenda itu kebakaran. Api melahap hampir seluruh sisi dapur yang minimalis itu. Gemercik api terdengar di telinga, mulai mendekati batas dapur dan kamar tidur.

"Bagaimana ini?!" seru Lani dengan suara serak.

Refleks, aku mengangkat kedua tanganku, mengarah ke dapur yang seperti lautan api, membentuk bola api yang menyala terang. Bola itu mengambang di depanku. Aku memejamkan mata, berkonsentrasi.

"A-apa yang terjadi?" Belum genap kalimat Lani, api yang berada di dapur itu mulai terhisap kedalam bola apiku—dengan kedua tanganku yang berada di sekeliling bola.

Satu menit pun berlalu. Semua api yang ada di dapur sudah terisap ke dalam bola apiku. Setelah mataku terbuka, bola api itu langsung menghilang menjadi serbuk cahaya, mengambang, kemudian menghilang di udara.

"Kalian baik-baik saja?"

Lani dan Zandar mengangguk. Elios masih terlihat terkejut—malahan, melebihi Lani dan Zandar.

"Bagaimana kau bisa melakukan itu, Afya?!" seru Elios.

"A-aku tidak tahu. Hanya saja, aku refleks melakukannya. Aku tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Ini yang pertama,"

"Itu tadi keren, Afya! Kau seperti superhero saja." sahut Zandar. "Sebenarnya, aku hanya melihat sekilas kejadian barusan lima jam yang lalu. Tapi samar-samar, hanya api yang aku lihat."

"Setidaknya, kemampuanmu mulai berkembang, Zan," Elios menepuk bahu Zandar.

"Juga Lani. Aku yakin kamu bisa jadi penyembuh yang hebat. Yang harus kalian lakukan hanyalah terus mencoba dan mencoba. Mungkin saja, kalian akan menjadi pemilik kekuatan terkuat sepanjang sejarah para pemilik kekuatan."

Kami semua tertawa pelan. Aku mengaminkan dalam hati.

"Sebaiknya dapur ini kuperbaiki," sahut Lani. Kami semua menoleh.

Lani perlahan mengangkat salah satu tangannya, dan tangannya bercahaya ungu lembut. Seketika, cahaya ungu itu berubah menjadi serbuk cahaya, kemudian menuju lantai dapur. Dalam sekejap, dapur itu sudah kembali seperti semula, seolah tidak ada kebakaran yang terjadi beberapa menit yang lalu.

***

"Marshmallow yang dipanggang tadi enak banget! Aku kenyang hanya makan lima biji!"

"Itu sih kebanyakan, Zan!" Lani berseru ketus, "Dasar perut karung."

Aku tertawa bersama Lani melihat wajah cemberut Zandar. Tetapi, Zandar ikut tertawa bersama kami.

"Ternyata Marshmallow yang ada di dunia ini dua kali lebih besar dari yang biasanya aku makan, dan jauh lebih enak," sahutku, setelah membuka pintu kamar. Kamar Zandar ada di sebelah kamar kami, terhubung dengan sebuah pintu bulat setinggi dua meter.

"Jangan tidur larut malam," sahut Miss Anna dari seberang pintu kamar. Kamarnya berada tepat di depan kamarku dan Lani.

"Baik, Miss," Kami bertiga mengangguk. "Selamat tidur."

"Selamat tidur, anak-anak. Simpan energi kalian untuk esok hari. Sebelum matahari terbit, kita akan melanjutkan perjalanan."

Kami bertiga mengangguk sekali lagi, kemudian kami memasuki kamar. Di dalam, sudah ada koper besar kami yang sudah dikeluarkan Zandar sejak tadi. Aku dan Lani mengambil piyama di dalam koper, kemudian berganti baju di kamar mandi. Zandar sudah masuk ke kamarnya melewati pintu bulat di sisi kanan dinding.

    "Hari yang melelahkan!" aku menghempaskan punggungku di ranjang yang sangat nyaman. Bentuknya tidak aneh, masih bisa aku kenali. Setelah Lani mematikan lampu, kami langsung jatuh tertidur saking lelahnya. Besok adalah hari kedua kami dalam menjalankan misi. Kami masih punya banyak waktu untuk menyelesaikan misi penting ini. Apapun caranya, misi ini harus tuntas.
***
Please support me by vote and follow! {^~^}

Continue Reading

You'll Also Like

303K 7K 11
Book 2 From Déjà Vu Trilogy Sequel of Déjà Vu: Another World Setelah kepergian Sam, Mia menjalani kehidupan seperti biasanya. Melupakan pria yang dic...
8.6K 1.3K 26
Clary Hart, gadis 16 tahun yang kehilangan ingatannya setelah mengalami kecelakaan misterius mengikuti tes sekolah lanjutan yang diselenggarakan peme...
214K 21.2K 56
[Fantasy & Minor Romance | 15+ | Highest Rank: #23 in Fantasy] "Tidak ada manusia yang hidup setelah melihat Maut." Seorang pemuda ter...
2.2M 84.6K 18
-The First Book of Zodiaque Trilogy- Selamat datang di Zodiaque Academy! Tempat di mana murid dibagi berdasarkan zodiak mereka. Tempat ini dipenuhi...