Jar of Hearts ( Versi Terbit...

By hapsari1989

6.7M 78.5K 1.1K

Diandra Kamila hanya memiliki Sang Ibu di dalam hidupnya. Apapun akan dia lakukan demi kebahagiaan satu-satu... More

2. Masa Lalu
3. Sahabat dan Cinta
4. Ruang Rawat
5. Permintaan Arinda
6 Negosiasi
36 Pre Order Diandra's Marriage

1. Cita-Cita

476K 15.4K 161
By hapsari1989


1

Diandra

Aku melangkah penuh semangat, menyusuri koridor ruang praktik beberapa dokter spesialis. Sambil memeluk dua map, aku tersenyum dengan pikiran optimistis pada masa depan. Beberapa orang menyapaku saat berpapasan. Inilah salah satu hal yang kunikmati dalam hidup.

Setelah sampai di ruang Dokter Eko, senyumku makin mengembang. Saatnya bekerja, saatnya melakukan hal yang sangat kusuka.

lalu masuk. Setelah dipersilakan duduk, aku menyapa pria setengah baya itu sambil menyerahkan salah satu map yang kubawa, "Jadi, Dok, ini proposal talkshow bulanan yang rutin kami adakan. Untuk acara bulan depan, kebetulan Dokter diminta menjadi penyuluh saat talkshow. Tema bulan ini adalah pola hidup sehat bagi penderita diabetes. Acaranya pukul sembilan pada hari Minggu, tepat satu jam setelah senam pagi selesai."

Beberapa menit kemudian, Dokter Eko menyanggupi segala konsep dan permintaanku. Meski hanya talkshow, persiapan detail seluruh rangkaian acara hingga dekorasi harus selalu kumonitor untuk mencegah kegagalan.

Aku tersenyum lega sambil berjalan menyusuri lorong koridor rumah sakit untuk kembali ke ruanganku. Koordinasi seperti ini sangat kusukai. Apalagi jika dokter yang ditunjuk sangat kooperatif dan antusias.

Tak lama, aku sudah memasuki lift. Saat pintunya hendak tertutup, ada sebuah tangan yang menghentikannya. Mataku membeliak. Aku segera mengalihkan pandangan. Oh, tidak. Aku sangat tidak suka dengan orang ini, atasanku, sang komisaris utama. Apalagi kami hanya berdua di dalam lift.

Bulu kudukku meremang dan tanganku gemetar. Suhu tubuhku bahkan seperti berada di bawah normal. Napasku sesak, seakan-akan oksigen dalam lift ini hilang tak bersisa saat pintunya perlahan tertutup.

Aku ingin keluar. Aku ingin berlari sekencang mungkin agar tak harus menghirup aroma parfumnya yang membuatku pusing. Mataku berkunang-kunang, kepalaku terasa berat. Ya Tuhan, tolong aku agar tak harus berdua dengannya di tempat sempit ini.

Aku mendongak demi bisa berdiri tegap, tetapi pantulan tubuhnya pada dinding stainless berkaca itu membuat jantungku bermasalah. Rasanya aku ingin memejamkan mata dan mati saja.

seolah-olah siap menyergap dan membuatku luluh-lantak. Wajahnya tampak tenang dan biasa saja, tetapi aku merasakan aura dingin dan bahaya yang menguar dari setiap embusan napasnya.

"Lantai berapa?" tanyanya memecah keheningan.

Aku terlonjak sesaat dan bergerak kikuk. "Ti ... tiga," jawabku tanpa memandang wajahnya. Aku tak berani beradu tatap dengan bola mata tajam itu.

Aku memajukan jari untuk menekan tombol tiga. Namun, jari kami serempak menekan angka yang sama. Sentuhan itu membuatku tersentak. Tubuhku menegang, bereaksi seakan-akan harus melindungi diri dari sentuhan apa pun yang mungkin terjadi di antara kami.

"Sori," ucapnya santai. Mungkin ia menyadari ketidaknyamananku.

Aku menatap jariku yang baru saja bersentuhan dengannya. Keningku serta-merta berkeringat dan tanganku makin gemetar. Aku meremas satu map tersisa yang kubawa demi meredam ketakutan dan hasrat ingin menangis serta berteriak.

Aku terdiam, enggan menjawab atau sekadar berbasa-basi. Yang bisa kulakukan hanyalah menunduk dengan mata terpejam dan terus meremas map agar perasaan tak nyaman ini bisa kukendalikan. Aku mencoba bernapas normal, meski nyatanya embusan napasku sangat cepat dan pendek.

Untungnya, jarak lantai satu ke lantai tiga butuh waktu beberapa detik. Jadi, aku hanya perlu menahan diri selama sesaat. Iya, hanya sesaat, meski hal kecil ini harus kulakukan sekuat tenaga. Berdua bersamanya benar-benar mengganggu kestabilan mentalku.

Saat denting lift menunjukkan lantai tiga dan pintunya terbuka, aku melangkah cepat meninggalkan atasanku tanpa satu sapaan pun. Masa bodoh! Untuk yang satu itu, aku alpa saja dari kode etik bawahan kepada atasan.

Dadaku kembang-kempis tak beraturan. Aku hanya berdiri di dalam lift selama beberapa detik, tetapi tubuhku terasa lemas seperti habis berlari puluhan kilometer tanpa henti. Aku melangkah lunglai ke dinding dekat ruanganku dan menyandarkan tubuhku yang terasa tak bertulang. Aku ingin meluruhkan diri, tetapi tak ingin memancing perhatian orang-orang.

Kepalaku masih terasa berat dengan perut yang terasa diaduk. Aku ingin muntah, tetapi tak ada yang bisa kukeluarkan. Aku benci tubuhku saat bereaksi terhadap kehadiran pria itu. Satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah kembali ke mejaku secepatnya.

Saat sudah duduk di ruangan, aku menyandarkan punggung pada kursi sambil memejamkan mata. Bayangan wajah pria itu terlintas dan napasku rasanya kembali menghilang. Aku terus meraup oksigen dan menenangkan diri. Setelah itu, aku mengambil buku yang kusimpan dalam laci, lalu menulis untuk mengeluarkan hal yang saat ini ingin kucurahkan.

Buku ini adalah saksi perjalanan hidupku. Tak semua orang mengetahui apa yang kupendam. Aku menulis semua yang kurasakan hingga air mataku jatuh. Aku mengusap pipiku cepat agar tak ada yang tahu jika aku sedang tersiksa dan berusaha mengendalikan sesuatu yang sangat kubenci.

***

"Diandraaa!" pekik Mikaila, biasa dipanggil Ika, salah satu tim corporate communications yang satu ruangan denganku. Ia menduduki meja kerjanya yang terletak beberapa langkah dariku.

"Ya, Ka?"

"Kuisioner buat survei kepuasan pelanggan mana? Udah masuk semester baru nih. Gue takut kalau entar pas ada meeting sama owner, kita missed sama grafik kepuasan pelanggan. Metong gue!"

Aku tersenyum simpul. "Udah gue e-mail dari minggu lalu. Pasti lo keenakan honeymoon kan jadi lupa tugas?" sindirku seraya terkekeh.

"Eh, masa iya?" Mikaila langsung membuka e-mailnya dengan wajah malu. "Eh, iya, Di, udah lo e-mail," katanya. Ia ikut terkekeh. "Ya udah gue print aja hari ini. Besok udah mulai disebar."

"Iya. Agak banyakin, sepuluh persen dari jumlah responden semester lalu. Soalnya sejak ada Dokter Siska di poli gigi, jumlah pasien nambah banyak. Nggak tahu karena Dokter Siska yang cantik atau karena hasil tambal giginya rapi dan cabut gigi sama dia nggak sakit. Entahlah. Tapi, menurut data yang gue dapet dari meja regis, jumlah pasien dia nambah hampir dua kali lipat," jelasku. Mikaila mendengarnya dengan serius.

"Oke, Bu Koordinator. Saya siap menjalankan tugas!"

Mikaila melenggang pergi menuju mesin fotokopi untuk mencetak dan memperbanyak kertas kuisioner survei. Survei tersebut juga bagian dari masukanku sejak dua tahun lalu. Jujur, sejak atasan baruku mengelola langsung rumah sakit ini, banyak perubahan yang ia lakukan seperti memperbanyak fasilitas, mengganti dan menambah jumlah poli dan dokter, serta mendirikan beberapa klinik khusus untuk pasien Jaminan Sosial.

Hal itu sontak membuat jumlah pasien bertambah, dan tugasku sebagai public relations adalah menyakinkan bahwa pasien yang datang ke Golden Hospital harus menerima pelayanan prima. Kalau mereka mengeluh, aku akan menampung keluhan dan berusaha mencari solusi yang tidak memberatkan satu pihak. Bekerja sebagai public relations tidaklah mudah, tetapi aku serius menjalani profesi ini.

Telepon mejaku berdering. Kulirik jam dinding, pukul sebelas lewat lima puluh.

"Diandraaaaaa!"

Suara Mitha memasuki telingaku.

"Pecah kuping gue, Mithaaa! Poli THT nggak praktik setiap hari, Bu!" Aku menjawab sedikit ketus. Namun, sahabatku itu justru tertawa dari seberang sana.

"Gue lagi masak banyak nih. Coba resep baru pas buka CookPad. Lo ke ruangan gue, ya. Kita makan bareng!"

"Aman nggak masakan lo?"

"Dari bahannya sih aman, Di. Gue masak pake bahan organik dan tanpa MSG. Terus dari jumlah juga aman, nggak bakalan kurang. Yang nggak aman ya dari rasa," ucap Mitha disertai tawa lagi.

"Gelo lo!" Aku tertawa geli. "Ya udah, gue ke sana sepuluh menit lagi."

"Lama ih sepuluh menit masaaa!"

"Ruangan lo di lantai sepuluh, Ibu General Manager! Gue yang cuma staf ini, kerjanya di lantai tiga. Lo paham kan maksud gue?"

"Iye, iye. Ya udah cepetan."

Aku menutup telepon dan bergegas menuju ruangan sahabat sekaligus atasanku. Hanya butuh sekitar lima menit untuk sampai di lantai sepuluh. Lantai sepuluh adalah lantai teratas gedung Golden Hospital. Lantai ini hanya ditempati para petinggi Golden Hospital seperti direktur utama dan direktur lainnya. Singkatnya, hanya keluarga Sutanto dan para pejabat pentinglah yang menempati lantai ini.

Aku mengetuk pintu lalu membukanya sebelum suara cempreng Mitha mempersilakanku masuk. Setelah di dalam, hawa dingin langsung menyambutku.

Namun, bukan dingin AC. Dingin ini berbeda.

Karena aku mendapati kehadiran orang lain.

Pradipta Sutanto, sang komisaris utama, dan Dokter Arinda, istrinya.

****** 


Holla! Seperti janji aku di sosial media, kalau aku akan posting 10 bab pertama Jar of Hearts atau versi terbit Diandra's Marriage di masa PO. Seharusnya sih tanggal 1 kemarin, tapi karena beberapa hal yang menyita waktu dan tenaga, akhirnya baru bisa posting sekarang. 

Hyuk yang masih mau ikutan PO, bisa ke OS yang kerjasama dengan Batik Publisher atau ke admin Batik Publisher 

Continue Reading

You'll Also Like

2.3K 339 37
END R 15+ 《PART LENGKAP》 ▪︎Genre spritual ▪︎ Cool boy series #1 ~ Cintamu ada untuk didapatkan dan juga dilepaskan ~ Takdir. Ya, takdir. Setiap orang...
3.3M 29.1K 29
Tentang jayden cowok terkenal dingin dimata semua orang dan sangat mesum ketika hanya berdua dengan kekasihnya syerra.
4.4M 55.5K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...
2.5K 526 18
HIATUS DULU... LAGI MAU SIDANG TESIS "Kalau kamu mau naik jabatan dengan cepat, ya pacarin dia saja!" Saran setengah mengejek itu melintas dalam piki...