Bitter-Sweet Wedding ✅

By chocodelette

6.6M 200K 4.2K

"Kalian menikah saja?" kata mamanya Tristan tiba-tiba setelah sudah selesai makan. "HAH?!" Luna mendongak. "... More

P R O L O G
Unexpected Dinner
Confused
Wedding Preparation
Day Minus 1
The Day (part 1)
The Day (part 2)
The Feeling
Sick....
Concert
Pregnant??!!
Inheritance
Tears
Merlyn?!?!
WHAT HAPPENED?!?!
Eviction
It's all about: LUNA
Found
Revealed
Tristan's Birthday
Special Gift
Welcome Home, Baby....
Spoiled
sweeter than chocolate milk
Epilogue

Unrequited

151K 5.8K 116
By chocodelette

Merlyn POV

Aku bingung harus kemana, aku tak punya keluarga selain mereka yang barusan kutinggalkan. Kalau aku ke kantor, pasti sudah sangat sepi. Aku juga malas ditanya-tanya oleh satpam yang jaga di kantor.

Aku menyetop taksi dan menyebutkan tempat tujuan yang kurasa tidak akan sepi selama 24 jam. Rumah sakit. Aku yakin Tristan ada disana. Kan memang setiap malam dia yang menjaga mama.

Aku langsung ke depan pintu kamar mama di rawat.

Tok tok tok

Tak berapa lama, muncullah Tristan dengan kemeja yang digulung setengah lengan dan kancing paling atas dibuka. Tampan sekali. Lelaki yang begitu kupuja sejak hampir enam tahun, sejak awal aku masuk kuliah.

"Merlyn? Masuk masuk" katanya.

Aku masuk ke dalam ruangan itu, dan langsung dipersilahkan duduk. "Kok tumben malem-malem kesini?" tanya lelaki dihadapanku dengan muka tampannya.

Nah, pertanyaan ini sudah kuperkirakan akan keluar dari mulutnya. Aku jujur saja, tapi tidak akan jujur-jujur banget. "Rumahku kebakaran, aku gak tau harus pulang kemana" jawabku, "terus aku keinget sama kamu, jadi aku kesini" lanjutku. Aku memang mengingatnya, disetiap aktivitasku.

Kulihat dia melotot kaget. "Kok bisa?"

"Gak tau, tadi aku lembur, dan pas pulang udah banyak orang" jawabku. Maaf Tristan, aku bohong sama kamu.

"Oh" Tristan mengangguk-anggukan kepalanya. "Tinggal di apartemenku aja?" tawarnya.

"Ha? Apa?"

Kulihat Tristan mengangguk sambil tersenyum. "Ini kuncinya"

Ya Allah, sejak kapan lelaki ini berubah menjadi segentle ini? Dulu dia cuek padaku. Apa karena Luna?

Ah wanita itu lagi...

***

Dua bulan kemudian...

Merlyn POV

Semenjak dua bulan yang lalu, aku tinggal di apartemen Tristan. Ya, yang aku sayangkan Tristan tidak tinggal bersamaku. Ia lebih memilih untuk bermalam di rumah sakit untuk menjaga Mama Karin, karena hanya dialah yang 'tidak' memiliki keluarga.

Luna pergi entah kemana sejak kejadian naas dulu, kejadian yang membuat rumahku hangus dan rata seperti tanah. Dan mama, sudah enam bulan gak sadarkan diri. Nyawanya terancam, tapi ia dinyatakan belum meninggal. Hal ini membuatku cukup sedih.

Seperti Tristan, keluarganya, keluarga Luna dan orang-orang suruhan Tristan, aku juga memiliki pertanyaan yang sama.

Kemana Luna?

Masa begitu saja ia menghilang, bagai ditelan bumi saja.

Ting..... tong......

Aku mendengar, bel apartemen Tristan bunyi. Kurasa itu Tristan. Ia memang beberapa kali datang ke apartement ini, untuk mengambil baju buat seminggu atau sekedar mengambil berkas-berkas diruang kerjanya.

Mungkin ia bisa saja menyuruhku untuk mengambilkan berkas itu, dan memberikannya di kantor, tapi itu tidak ia lakukan. Bahkan asal kalian tau, ruang kerjanya di kunci, dan bahkan kamarnya dengan Luna dulu juga dikunci.

Aku tidur di kamar yang satunya lagi, yang juga cukup luas, tapi tidak seluas kamar 'mereka', aku tau karena aku sudah beberapa kali datang ke apartemen ini. Dulu saat aku berpacaran dengannya. Sekitar dua tahun yang lalu....

Kulangkahkan kakiku dari ruang tamu ke pintu apartement ini, saat aku membukanya, aku tak menyangka siapa yang menjadi tamuku di siang bolong begini...

Sepertianya, ia sama kagetnya denganku. Ia melotot melihat aku yang berdiri di depan pintu apartement ini.

"Elo?!" Ucapku dan dia bersamaan, dengan nada tinggi. Setengah berteriak.

***

Tristan POV

Sabtu siang ini, aku sedang berada di kantorku, untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan, dan untuk membaca berkas-berkas yang perlu kutandatangani secepatnya. Tidak, Raya tidak masuk hari ini hari libur baginya, dan aku tidak akan menyuruhnya untuk menjadi sekretarisku di hari sabtu.

Kalian pasti bertanya, untuk apa aku berada di ruanganku ini, dan bukan di rumah sakit?

Jujur, aku muak berada diruangan itu. Bukan, aku bukannya muak menjaga wanita yang telah melahirkanku, aku hanya muak dengan kakakku. Kak Vera.

Ia memaksaku untuk secepatnya melamar Merlyn, dengan alasan selama enam bulan ini dialah yang menemaniku saat aku 'ditinggal' oleh Luna. Ia juga memperhatikan keadaan mama.

Aku begitu muak dengan segala perintahnya yang menurutku sangat tidak konsisten. Dulu dia yang memintaku untuk memutuskan hubunganku dengan Merlyn, karena ia baru tau kalau ternyata Merlyn beda keyakinan denganku, dan dia mengompor-ngompori mama, dia bilang Merlyn membohongi kita selama ini.

Ya, memang benar, tapi aku tak mempermasalahkan hal itu. Merlyn juga saat itu sudah ingin pindah agama, tapi Kak Vera tetap saja tidak terima. Padahal saat itu rasaku sudah mulai tumbuh padanya. Tapi sekarang dah gak ada. Rasa ini hanya untuk wanitaku. Luna.

Bayangkan saja, hampir setiap jam dia memintaku untuk melamar Merlyn. Hey, dia pikir hubungan apa yang aku jalani sekarang? Aku hanya berteman dengan Merlyn. Dan apa Kak Vera lupa akan statusku? Aku masih menjadi suami Luna, dan Luna tetap menjadi istriku.

Luna.... Luna.... Luna....

Kemana wanita itu?

Kenapa dia hilang bagaikan di telan bumi?

Ia hilang tanpa jejak.....

Bahkan, Yudha dan orang suruhan ku lainnya sudah enam bulan ini mencarinya, tapi tidak menemukannya. Bahkan, sampai kepelosok gangpun, sudah mereka cari, tapi tetep gak ada. Kemana dia?

Vanya, Ibu, Bapak, juga gak tahu keberadaan wanita itu. Ia benar-benar hilang.

Bayangkan, Lea saja, menangis saat kutemui dua bulan lalu. Ia bilang ia merasa sangat kehilangan Luna, dan dia tidak tau keberadaan Luna sekarang.

Kemana wanita itu pergi?

Kenapa ia tak meninggalkan jejaknya agar dapat kulacak? Takut kah dia? Seandainya aku menemukannya, aku juga tidak akan menjebloskannya kepenjara langsung atas 'kecelakaan' yang ia buat, aku akan meminta penjelasannya...

Atau, apakah Luna bunuh diri sejak 'insiden' itu? Tapi untuk apa?

'Karena dia takut,' jiwa setanku menjawab, nelangsa.

'Kenapa kamu malah meragukan Luna? Bukannya kamu yakin kalau bukan dia yang ngebuat mama kamu terbaring lemah' jiwa malaikatku mengingatkanku.

"ARGHHHH!!!!" tanpa sadar aku mengenyahkan kertas coret-coretku, sehingga benda-benda sampah itu berserakan ke karpet beludru biruku.

"LUNAAAAA!!!!" teriakku frustasi, mengenyahkan juga laptop yang tak berisi pekerjaanku ke karpet ruangan ini.

"KAMU DIMANA LUNA?!!!! KENAPA KAMU NGILANGGG!!! ARGHHH!!! KENAPA KAMU NINGGALIN AKU? KENAPA LUNAAAA!!! JAWAAABBB!!!!" amukku pada sebuah bingkai foto yang didalamnya berisi foto Luna yang sedang tersenyum digenggamanku.

Aku merasa seperti orang gila yang berbicara pada foto, tapi mungkin ini satu-satunya cara untuk aku menumpahkan segala emosi yang kutahan selama enam bulan terakhir ini. Sedih, hampa, kehilangan, rindu, sakit, kecewa. semua kurasakan, kecuali bahagia. Akh....

"KENAPA KAMU MASIH BISA SENYUM LUNA? KENAPA? APA KAMU GAK TAU DISINI AKU KESIKSA, AKU BENCI SENYUM KAMU LUNA. AKU BENCI KARENA AKU CINTA SENYUMAN ITU" teriakku dengan emosi yang masih kalut.

Biarkan aku begini, toh di lantai ini hanya ada aku. Tak ada siapa-siapa lagi.

Aku beringsut di belakang kursi kerjaku. Aku menyenderkan punggungku di tembok ruangan ini yang terasa begitu dingin.

Katakan aku lemah, tapi apa kalian akan lebih kuat kalau menjadi aku? Merasakan apa yang kurasakan? Apa kalian akat tahan?

Mamaku koma selama enam bulan, dan selama itu juga istriku menghilang tanpa kabar. Dan kakakku, bilang kalau istrikulah penyebab mamaku koma. Dan yang lebih parah lagi, kakakku memintaku untuk melamar orang yang tak kucinta sama sekali.

Apa kalian akan kuat?

Aku merasa seperti semua wanita yang mencintaiku dari dulu, semuanya meninggalkanku...

"Aku sakit, Luna"

***

Author POV

"Aku sakit, Luna"

Tanpa Tristan ketahui, sebenarnya bukan hanya dia yang berada di lantai itu. Ada seorang wanita lemah, yang merasakan kepedihan sama seperti Tristan.

"Luna, kamu kapan pulang? Aku kangen kamu, apa kamu ngga kangen sama aku?" rintihan Tristan yang masih dapat ia dengar, semakin membuat hatinya pilu.

Wanita itu menyenderkan tubuh lemahnya ke dinding pembatas antara ruangan Raya dan Tristan, badannya beringsut ke bawah. Ia memeluk lututnya, dan menangis disana.

Hal yang persis dilakukan oleh Tristan di dalam ruangannya.

"Aku kangen kamu, Tan" isaknya. "Aku kangen Tristan yang cinta sama aku, bukan Luna" isaknya lebih dalam lagi.

Merlyn.

Setelah ia selesai menangis, ia bangkit dan mengintip dari celah pintu ruangan Tristan tadi. Ia membalikkan badannya, dan mengurungkan niatnya untuk membawakan makan siang untuk Tristan.

Merlyn tau Tristan di kantor, karena tadi saat ia menjenguk ke rumah sakit, yang ada diruangan itu hanya Dimas dan Vera. Lalu Vera mengatakkan kalau Tristan berada di kantornya, karena ia ingin menyelesaikan pekerjaannya. Ia pun berniat menyusul, untuk memberikan makan siang. Ia yakin Tristan begitu sibuk sampai-sampai ia tidak akan sempat hanya untuk memesan makan siang.

Tapi apa daya? Belum sempat ia melaksanakan niat baiknya, sudah ribuan belati yang menusuk hatinya.

"Ajarin aku buat berhenti mencintai kamu, Tan" katanya begitu miris, dan meninggalkan ruangan itu.

***

Tristan membuka matanya, seketika pandangannya menjadi silau. Kepalanya juga terasa sangat pusing, seperti ada batu sungai menimpa kepalanya.

"Mas, Tristan udah sadar"

Rega langsung menghampiri ranjang Tristan, dengan tangan dilipat di dada. "Ck ck ck, kenapa sih lo, Tan? Kenapa bisa gini?"

"A...us" Tristan berusaha mengemukakan apa yang ia rasakan.

Yasmine istri Rega dengan sigap mengambil gelas kaca yang ada diatas laci besi disamping ranjang Tristan. Tristan meneguk air itu, dan terasa kerongkongannya udah lega.

"Apa yang lo rasain, Tan?" tanya Rega.

"Pusing....." Tristan diam, seakan berpikir. "....sakit, hampa, kehilangan" lanjutnya lagi.

Rega hampir saja menertawakan adik bungsunya saat ia mengatakan 'pusing' nadanya begitu manja di telinganya, seperti saat ia kecil dulu. Maklum, umur mereka berbeda delapan tahun, jadi Tristan sangat kecil dimata Rega.

Tapi ia mengurungkan niatnya saat ia mendengar lanjutan dari mulut si bungsu Ardinata. 'Sakit, hampa, kehilangan.' Ada raut kesedihan yang begitu terpancar dimata adiknya itu.

Rega sangat mengerti apa yang Tristan rasakan. Ia betul-betul mengerti, walaupun belum pernah merasakannya.

Hidup Tristan pasti sangat tertekan.

Mama terbaring lemah, dan kata Vera itu disebabkan karena istri Tristan. Luna. Dan sekarang, wanita itu pergi entah kemana. Sebenarnya, aku tidak yakin akan perkataan adik perempuanku itu. Tapi, aku tak punya dasar yang kuat untuk tidak percaya padanya.

Karena, Tristan sendiri mengatakan, Benar. Kalau Luna hari itu ijin untuk ke rumah mamanya.

Yasmine istri Rega seakan mengerti perang batin Rega, dan kondisi adik iparnya itu, memilih untuk keluar ruangan, membiarkan mereka bicara berdua.

Yasmine tau, hubungan persaudaraan mereka sangat kuat, bahkan melebihi Dimas dan juga Vera. Bahkan, sebelum mereka dikabarkan oleh cleaning service kantor yang sedang ingin membereskan ruangan Tristan, kalau Tristan masuk rumah sakit, Rega sudah memiliki firasat buruk terhadap Tristan.

Hubungan batin antara si bungsu dan si sulung biasanya lebih kuat...

"Aku cari angin dulu ya Mas, Tan" Yasmine pamit. Rumah sakit Tristan di rawat dan mamanya di rawat berbeda, jadi Yasmine tidak mengatakan kalau ia ingin menjenguk mama mertuanya.

"Iya" jawab Rega.

Setelah Yasmine keluar, tinggalah Rega yang menatap nanar adik bungsunya. Tristan memandang kosong ke langit-langit ruang rumah sakit ini.

Ia tidak bertanya ia dimana, dan mengapa ia berada di ruangan putih ini. Ia sudah tau jawaban apa yang akan ia dapatkan. Belakangan ini, kondisi fisiknya memang menurun.

Pekerjaan kantor yang banyak, dan hampir setiap malam ia habiskan untuk menunggu kepulihan sang mama, dan kedatangan sang istri.

"Kak," panggil Tristan lemah. Tatapannya masih menerawang ke langit-langit ruangan ini. "Luna kapan pulang?"

Jantung Rega mencelos mendengar pertanyaan ini. Tak pernah Tristan sekacau ini sebelumnya. Rega yakin bahwa beban yang Tristan tanggung sungguhlah berat.

Rega tersenyum, "secepetnya," katanya.

"Dimana aku bisa nemuin Luna, kak? Dimana?" Tristan menahan segala emosi yang dia rasakan. Ia sedang membangun benteng pertahanan, ia tidak ingin menangis dihadapan Rega, walaupun saat ia kecil, ia sering melakukannya.

"Bahkan polisi aja sampe sekarang belom nemuin dia" kata Tristan lagi.

"Kamu cinta sama Luna?" tanya Rega, walaupun ia sudah tau jawabannya.

"Cinta" jawab Tristan pendek.

"Pake hati kamu, Tan. Suatu hari nanti, hati kamu bakal nuntun kamu buat nemuin Luna" kata Rega mantap, berbanding terbalik dengan benteng pertahan yang Tristan buat. Ia menitikan air mata mendengar kalimat itu.

***

Drrt.......... Drrt..........

Sebuah pesan singkat masuk ke dalam HP Luna. Isinya membuat Luna hampir menangis, padahal ia baru saja selesai menangis.

'Tristan sakit'

***

"Hati-hati ya, Lyn," kata Yasmine setelah mengantar Merlyn sampai depan pintu ruang Tristan di rawat.

Sudah dua hari Tristan di rawat, dan dua hari itu juga Rega menemani adik bungsunya. Yasmine setiap siang akan datang untuk membawakan makanan, dan setelah hari hampir sore, ia akan pulang untuk mengurus anak-anaknya.

Yasmine membalik badannya dan berbicara dengan Tristan, "kata dokter hari ini kamu boleh pulang," katanya.

"Gimana, Tan? Udah sehat belom?" tanya Rega memastikan keadaan adiknya. "Kalo belom disini dulu juga gapapa" katanya lagi.

"Gak kak, gue udah sehat kok, lagipula kerjaan gue udah numpuk" kata Tristan sambil tersenyum. Ia yakin, kalau ia bekerja pemikirannya akan tersita untuk itu. Tidak akan tersiksa karena rindunya untuk Luna.

Rega pun nurut aja sama kemauan adik bungsunya itu. Yasmine membantu memberes-bereskan barang-barang adik iparnya, setelah ia merasa tak ada yang tertinggal satupun, mereka siap untuk pulang.

Sebelumnya, Rega sudah menyelesaikan biaya administrasinya lalu kembali ke ruangan untuk membawa tas bajunya Tristan.

***

Lagi, lagi, ada SMS yang masuk ke HP Luna.

'Tristan udah pulang'

***

Hari ini harusnya Tristan sudah masuk kantor, tapi Rega pagi-pagi datang ke rumah mamanya dan mewanti-wanti Tristan untuk tidak masuk kerja. Kondisinya masih lemah.

Kali ini Tristan gak membantah, akhirnya Tristan seharian ini hanya meringkuk di kamar lamanya. Dengan baju lengan panjang, dan celana tidur panjangnya, ia hanya menonton DVD yang sudah ia beli dari jauh-jauh hari.

Now you see

Mission impossible

Hangover I

Hangover II

Baru setengah jalan film, HP Tristan bergetar, membuat kasurnya sedikit bergetar.

Drrt... Drrt... Drrt...

Tristan melihar layar ponselnya, private number..

Awalnya Tristan mengabaikan, tapi lagi-lagi ponselnya bergetar. Berkali-kali Tristan reject panggilan itu, hingga panggilan ke emppat baru akhirnya mendiamkan ponselnya hingga mati sendiri. Tapi, sepertinya, penelpon itu betul-betul ingin berbicara dengan Tristan. Ia masih menghubungi Tristan.

Panggilan ke sembilan, akhirnya Tristan jawab panggilan itu. Tapigak ada ucapan apapun, ia menunggu si penelpon yang ngomong duluan. Kali aja, ini orang yang nyulik Luna. Eh, kok nyulik? Kan Luna pergi...

Sedetik... dua detik... lima detik... sepuluh detik...

'Gak sayang pulsa apa ni orang?' Batin Tristan bertanya.

Masih tak ada suara. Baru saja Tristan ingin menekan warna merah di layar sentuhnya, tiba-tiba suara di seberang berbunyi.

"Jangan dimatiin" katanya.

Tristan mengenal suara itu, suara yang begitu dirindukannya selama enam bulan terakhir. Suara yang ingin dia dengar, sangat, sangat, ingin.

"Jaga kesehatan, makan yang banyak" katanya.

"Luna? Luna, kamu dimana?" Bahkan untuk menyebutkan empat kata itu saja sudah membuat nafas Tristan memburu.

"Aku sayang kamu" Luna tak menjawab pertanyaannya itu.

"Lunaaaaa! Kamu dimana? Lunaaaaa!" teriaknya dan.... Tut. Tut. Tut. Sambungan diputus secara sepihak begitu saja.

Teriakan Tristan ternyata terdengar sampai lantai bawah. Tristan tidak tau kalau ternyata Rega, Yasmine dan Merlyn datang ke rumah itu. Rega memiliki kunci untuk rumah itu, karena ia tau Tristan tak akan membukakan pintu untuknya karena sudah ia suruh bedrest.

Tristan tidak pernah membantah perintah Rega, apapun itu perintahnya.

Rega yang panik mendengar teriakkan itu langsung lari ke atas, ke kamar Tristan dan menerobos masuk kamar itu. Dilihatnya keadaannya masih baik-baik saja, hanya ia sudah melihat Tristan tidak tiduran lagi dan keringat sudah membasahi pelipisnya.

Rega langsung menghampiri Tristan yang memandangnya kosong. "Kenapa, tan?" tanyanya lembut.

"Luna kak... Luna" suara Tristan sedikit bergetar. Rega diam menunggu apa yang akan Tristan katakan, "Luna nelfon, kak" Tristan mengangkat ponsel yang ia genggam.

Rega mengambil ponsel itu, dan melihat daftar telpon masuk, dan ia melihat yang terakhir adalah, Private Number.

"Private number?" gumam Rega tanpa sadar.

"Iya, di private, segitu takutnya ya dia buat gue tau dia ada dimana?" tanya Tristan.

Rega tak menghiraukan pertanyaan Tristan, ia malah balik bertanya. "Tadi Luna ngomong apa?"

"Dia si bilang, aku disuruh jaga kesehatan, makan yang banyak" Tristan mengucapkannya begitu nanar.

Rega terdiam, darimana Luna tau kalau Tristan sakit? Apa Luna ada disekitar mereka? Dimana dia?

"Yaudah gak usah dipusingin, makan dulu aja" perintah Rega. "Gue ambilin, lo disini aja" perintahnya lagi.

Rega memerintah agar Tristan tetap disini, karena dia tak ingin Tristan bertemu dengan Merlyn di bawah. Bagaimanapun ia tidak bisa menutup mata dengan kacaunya Tristan mendapat telpon dari Private Number yang katanya itu adalah Luna, dan dipertemukan oleh Merlyn yang membuatnya tambah stress karena teringat permintaan Vera.

Bahkan tanpa sepengetahuan Tristan, Vera sudah berbicara pada Merlyn kalau Tristan akan melamarnya, makanya kemarin Merlyn menjenguk Tristan dan ia menanyakan kebenaran akan hal tersebut, dan itu membuat Tristan langsung mengusirnya secara halus, pastinya dengan bantuan Yasmine yang membujuk secara halus.

Dia mengatakan, kalau Tristan masih lemah dan tidak bisa diajak bicara seserius itu. Merlynpun ngerti, dan ia milih pulang, walau dengan berat hati.

Sedangkan Rega yang mau naik ke atas, sempet melihat wajah kaget campur terluka yang tampak dari muka Merlyn saat mendengar Tristan meneriakan nama istrinya. Luna.

Tristan tau betul kalau Merlun masih mencintai Tristan. Terlihat dari perhatiannya, gerak-geriknya, dan tatapan matanya pada Tristan.

Rega melihat itu dengan mata kepalanya sendiri.

Rega turun dari ranjang itu dan berjalan ke pintu, saat ia melihat Tristan turun dari ranjang dengan ekor matanya, ia berbalik dan memerintahkan Tristan lagi. "Disini aja, gak usah ikut" katanya. "Ngekor aja kaya anak bebek"

"Dih bapak bebek sewot aja, orang gue mau pipis" Tristan tertawa kecil melihat pelototan Rega.

Rega keluar dan saat ia di tangga ia sudah mencium aroma ayam goreng dan sup buatan istrinya. Sudah pasti itu. Ia hafal baunya. Kalau anggota keluarganya sakit, istrinya akan memasak sup daging pastinya. Sebelumnya juga, mereka sudah membeli bahan-bahan untuk makanan itu.

Rega langsung masuk ke dapur, dan melihat Yasmine sudah menggunakan celemeknya dan Merlyn yang sedang duduk sambil mengumpatkan wajahnya di tumpuan tangannya.

"Udah mateng, hon?" tanya Rega.

"Bentar lagi, tinggal nunggu sopnya mendidih, ayam gorengnya juga lagi ditirisin"

"Oke, aku nyiapin piring sama nasi buat Tristan dulu ya, masih lemes dia" Yasmine melirik ke arah Rega. "Kasian kalo ketemu sama Merlyn" katanya tanpa suara. Dan Yasmine hanya mengangguk saja.

Rega ngambil piring dan mengisinya dengan nasi, lalu memberikan mangkuk kosong untuk diisi oleh sup yang sebentar lagi akan mendidih sepenuhnya. Tak lupa juga ia mengisi gelas dengan air putih hangat.

Yasmine mengisi mangkuk itu dengan sup, dan menaruhnya diatas nampan, ia juga menaruh piring berisi nasi dan ayam serta air hangat juga. Yasmine yang akan membawakan nampan itu ke kamar Tristan, sedangkan Rega ditinggalkan dengan Merlyn yang masih menutup wajahnya.

Dia bukannya tak mendengar, kalau Tristan masih lemah, ia ingin sekali menjenguknya, tapi egonya dan sakit hatinya terlalu menguasainya. Harga dirinya sebagai wanita dipertaruhkan.

Ia sudah mendapat penolakan mentah-mentah. Jelas saja, lelaki yang ia cintai masih mencintai istrinya yang menghilang dan beberapa hari yang lalu Vera bilang kalau Tristan akan segera melamarnya. Dan bodohnya, Merlyn begitu percaya dan terlalu senang.

"Merlyn, perjuangin apa yang perlu kamu perjuangkan, dan yang memperjuangkan kamu" Rega membuka percakapan mereka. "Cinta itu egois, mereka perlu timbal balik"

Merlyn mendongak, dan matanya sudah sembab. Rega tak heran, karena tadi Yasmine juga sudah memeringatinya. Ia juga gak tuli mendengar isakan kecil Merlyn.

"Tristan gak memperjuangkan kamu, dia memperjuangkan Luna, jadi kakak harap kamu mundur aja dari cinta ini" Rega menarik nafas sejenak. "Kalian itu udah ditakdirkan untuk gak bersama"

"Tapi Luna pergi kan, kak? Dia juga gak memperjuangkan Tristan, tapi kenapa Tristan masih memperjuangkan dia?" tanya Merlyn dengan suara serak. Serak karena menangis.

"Karena mereka sudah ditakdirkan untuk bersama"

Merlyn mendengar itu dengan marah, ia menghapus airmatanya kasar, dan lari meninggalkan rumah ini dengan tangisan yang tak terbendung.

=====

Continue Reading

You'll Also Like

16.4K 1.5K 19
(Romance-Comedy) [AZURA POV] 🔎 Kata Enyak, "Pados itu mantu-able pisan, Ra. Kamu mending sama Pados aja, daripada sama pacar enggak jelasmu itu." Be...
22.9K 895 41
Bunga mencoba move on setelah putus dengan Rama. Namun kemana pun ia melangkah, ada bayangan sang mantan di situ. - 14 Juni 2018 -
573K 14.4K 19
#1 dalam Future (16/12/18) #1 dalam Past (15/7/20) *** CERITA LENGKAP ADA DI DREAME (BISA KLIK LINK DI BIO) *** Alena+Marco=Romeo. Tentang kisah masa...
1.7M 136K 40
Jagad jatuh cinta pada Raya, Adik temannya yang manja, cerewet, berisik, tapi cantik luar biasa. Selama ini ia tidak bisa menunjukkan rasa sukanya de...